#RandomPost - #GettingSick | 20 Mei 2013



NVRstepback. Sore ini terasa sangat dingin karena hujan tak henti-hentinya mengguyur bumi yang sudah menggigil. Harapan untuk dapat menikmati hangat sinar mentari pun harus bersabar hingga esok, karena tak senja yang terhalang mendung sudah hadir menjemput mentari untuk pulang. Jadi beginilah sore ini.. Dingin, gelap, dan basah! Hahahaha...

Ah, ya baru saja kepalaku tadi sedikit ringan selepas menghabiskan sepiring nasi yang ditemani daun pepaya serta gorengan bakwan di kantin. Perutku pun sudah lebih enakan setelah mendapat asupan teh hangat. Wait! Teh hangat? Oh God.. Jangan sampai ini pertanda penurunan daya tahan tubuh, dan akhirnya nanti aku harus sakit. Karena teh hangat adalah satu tanda yang cukup jitu, untuk memberitahukanku kalau aku 'akan' sakit. AAARRGHH!

Mataku pun juga dari tadi mual. Ah! Maaf, aku ngelantur.. Haha. Mataku pun juga dari tadi sudah berdenyut menahan radiasi lemah dari LCD laptopku. Dan denyutan itu sepertinya juga direspon oleh perut dengan mengirimkan sinyal rasa mual ke otakku. Wow! Hampir saja tadi aku muntah ketika pergi ke kamar kecil. Dan hampir saja muntah ketika melaksanakan sholat. Sakit memang menyebalkan! >_<

Tapi.. Sudahlah, toh dengan nanti tidur lebih awal pasti besok pagi aku sudah sehat seperti biasanya. Bisa beraktivitas menjalankan rutinitas di kampus. Namun kalau seandainya belum sehat, itu berarti aku harus menghabiskan waktu seharian terkapar di kamar kost.  'Menghindar' dari cengkeraman pekerjaan yang menjemukan. Hahahaha... Sakit memang nikmat yang terselubung sepertinya.

Err... Yang jelas apapun yang terjadi besok, aku lebih memilih sehat daripada harus sakit dan terkapar. Karena tentunya ketika aku sehat, akan lebih banyak manfaat yang bisa aku dapatkan & juga aku berikan untuk orang lain.


__ NVRstepback __
Share:

And.... Yes, It's You!




Halo, pembaca NVRstepback. Ada posting baru nih, tapi materi lama. Dan... Lama banget kayaknya, karena ini satu dari beberapa cerpen yang gue tulis pas pertama kali kenal dunia menulis, jadi yaa.. masih belepotan... *pipi merah*
Ada sedikit edit sana-sini, tapi gak ngurangin ceritanya... Yuk cusss dibaca :D


And.... Yes, It's You!

Arya adalah pemuda berusia 18 tahun. Dia baru saja masuk ke perguruan tinggi. Di tempat barunya, Arya termasuk anak yang kurang bisa beradaptasi dengan cepat sehingga belum memiliki teman. Satu – satunya teman adalah Ari. Teman sejak kecil. Meskipun tidak pernah satu sekolah, Arya dan Ari sangat akrab karena selalu bermain bersama sejak kecil. Dan meskipun kini mereka satu kampus, mereka mengambil jurusan yang berbeda. Arya berada di jurusan Seni Rupa karena dia suka melukis. Sedangkan Ari memilih teknik mesin. Dan ketika cinta menguji ikatan persahabatan mereka…
***
Seperti biasa, setiap hari Senin Arya masuk pagi karena ada jadwal kuliah jam 8. Dan kebetulan, dosennya yang bernama Pak Tono sangat galak sehingga banyak mahasiswa yang memilih datang lebih pagi daripada harus terlambat. Sialnya bagi Arya, jam 7.30 dia masih belum sampai di kampus karena ban motornya pecah di tengah jalan. Dia harus pergi ke tukang tambal ban untuk menambal ban yang pecah. Saat diliriknya arloji yang ada di tangannya, sudah jam 7.50! “Mati aku. Bisa habis kalau nggak buruan nyampe kampus.” Gerutu Arya dalam hati. Saat sedang bingung memikirkan nasibnya, ada suara yang memanggilnya.
“Arya!” ternyata itu suara Ari. Arya segera menoleh ke arah Ari.
“Eh, Ari! Untung aja loe dateng. Loe mau ke kampus kan?” Tanya Arya.
“Iya. Ada apa? Motor loe kenapa?”
“Ban motorku pecah. Udah ah, yuk buruan cabut. Udah telat nih.”
“Oke bos.”
Ari langsung tancap gas menuju ke kampus. Dan, sesampainya di kampus Arya mendapat kabar bahagia. Ternyata Pak Tono tidak masuk dan hanya menitipkan tugas. “Alhamdulillah, terima kasih ya Allah.” Batin Arya. Dia bisa tenang karena tidak perlu memperoleh sanksi dari Pak Tono. Kini, yang jadi masalah adalah bagaimana dia harus menyelesaikan tugas yang diberikan Pak Tono karena waktu pengumpulannya tinggal 1 jam lagi. Setelah memutar otak beberapa saat, dia pun memilih untuk meniru pekerjaan teman lainnya.
Setelah menyelesaikan tugas dari Pak Tono, dia berniat meminta tolong ke Ari untuk mengambil motornya ke tukang tambal ban. Dia bergegas pergi ke bengkel praktek teknik mesin untuk menemui Ari. Tapi, di sana dia tidak bisa menemukan Ari. Teman – teman Ari bilang kalau Ari sedang ke kamar mandi. Tanpa pikir panjang, Arya langsung berlari menuju ke kamar mandi. Tapi, saat masih kurang beberapa meter dari kamar mandi, dia melihat Ari yang keluar dari kamar mandi cewek. “Ha? Kamar mandi cewek? Gila ni anak.” Batin Arya.
“Eh, Ri. Ngapain loe dari kamar mandi cewek? Hayo, abis ngintip ya?” goda Arya.
“Ih, apaan sih. Ya nggak lah.” Jawab Ari yang sudah mengepalkan tinjunya bersiap memukul Arya.
“Hahaha dasar anak aneh. Masak cowok make kamar mandi cewek.”
“Air di kamar mandi cowok mati. Jadi aku pake kamar mandi cewek. Lagian nggak ada orang,” balas Ari memberi alasan.”Oiya, ngapain loe nyariin gue? Tumben – tumbenan.”
“Hehe. Gini Ri, gue mau minta tolong. Anterin gue ke tukang tambal ban yang tadi ya. Gue mau ambil motor nih.” Kata Arya agak memelas.
“Huuu dasar. Ternyata ada maunya. Ya udah, ntar gue anterin tapi tunggu gue selesein tugas dulu. Bentaran. Paling 15 menit kelar. Gimana?” jawab Ari.
“Eng. Iya deh. Aku tunggu di depan gerbang ya.” Kata Arya sambil berlalu. Melihat Arya pergi, Ari hanya tersenyum sambil kembali ke bengkel praktek.
Arya sudah ada di gerbang menunggu Ari datang. Selama di situ, dia merasa agak jenuh. Sampai dia melihat sosok cantik yang berjalan melewatinya. Devi, teman sekelasnya. Memang Arya jatuh cinta kepada Devi, tapi dia tidak berani mengungkapkannya karena Devi adalah salah satu cewek paling popular di kampus. Selain cantik, dia juga kaya. Sehingga Arya hanya mampu mengaguminya.
“Tiiinn!” tiba – tiba lamunan Arya buyar ketika suara keras klakson motor Ari terdengar.
“Eh, loe Ri. Ngganggu orang aja.”
“Alah kerjaan loe Cuma ngliatin Devi aja. Kalo berani, tembak langsung.” Tantang Ari.
“Ah, gila loe. Gue sama dia kan beda Ri.” Kata Arya lemah.
“Haha. Ntar gue samber duluan baru nyesel. Galau.” Ejek Ari.
“Ya ambil aja sono kalo loe emang mau." Kata Arya dengan nada emosi.
"Alah, gitu aja ngambek." Goda Ari.
"Ah, udah lah. Yuk buruan anterin ke tukang tambal ban tadi.” Kata Arya mengalihkan pembicaraan.
Ari pun segera mengantarkan Arya ke tukang tambal ban. Setelah mengambil motornya, Arya mengajak Ari makan sebagai ucapan terima kasih. Di warung makan, Arya mulai membicarakan tentang Devi.
“Ri, loe pasti tahu kalo gue suka banget sama Devi. Apalagi, Devi sekarang lagi jomblo. Tapi gue nggak berani ngungkapin perasaan gue. Gimana ya, Ri?” kata Arya setengah melamun. Ari tak langsung menjawab. Terlihat, wajah Ari menampakkan rasa sedih. Dia menunduk menyembunyikan kesedihannya.
“Eh, Ri. Jawab dong. Malah nunduk.” Kata Arya sambil menepuk pundak Ari.
“Loe kasih dia lukisan bikinan loe aja.” Jawab Ari singkat. Tanpa melihat ke arah Arya.
“Wah, ide brilian tuh. Makasih, Ri.”
Selesai makan, Arya langsung pulang menuju ke belakang rumah. Tempat dia biasa melukis. Dengan foto Devi yang dia miliki, dia mulai mengayunkan kuasnya ke kanvas putih di hadapannya. Setelah berapa lama, sebuah lukisan wajah Devi selesai dibuatnya. Dalam hati, dia akan menyatakan perasaannya ke Devi sambil memberikan lukisan ini. Sebenarnya, sudah ada beberapa lukisan Devi di tempat itu. Tapi, Arya merasa kalau lukisannya yang baru saja selesai lebih mewakili perasaannya ke Devi.
Keesokan harinya di kampus, Arya sudah sampai di kampus sambil membawa sesuatu yang tertutup kain putih. Dia duduk di kelas menunggu kedatangan Devi. Tak berapa lama, Devi yang dia tunggu datang. Dengan agak gugup, dia mendekati Devi. Devi yang sadar ada seseorang di belakangnya langsung berbalik.
“Eh, kamu Arya. Ada apa?” Tanya Devi.
“Dev, aku mau ngomong sesuatu sama kamu. Sesuatu yang penting.” Arya langsung mengutarakan maksudnya.
“Aku suka sama kamu Dev. Mau nggak kamu jadi pacar aku? Tolong terima lukisan ini sebagai lambang perasaanku ke kamu. Kalo kamu terima aku, simpen lukisan ini. Kalo kamu tolak aku, kamu boleh buang atau bakar sekalian lukisan ini.”
Mendengar pernyataan Arya, Devi agak kaget. Kemudian dibukanya kain penutup lukisan itu. Saat melihat lukisan itu, Devi tersenyum dan kemudian berkata,”lukisan ini aku terima. Begitu juga perasaan kamu ke aku. Aku mau jadi pacar kamu.”
Mendengar jawaban Devi, Arya langsung tersenyum puas. Dia merasa senang karena ternyata perasaannya diterima oleh Devi. Saking senangnya, Arya tak tahu kalau ada sosok lain yang melihat kebahagiaannya. Sosok itu adalah Ari. Dari tadi, Ari sudah memperhatikan Arya dan Devi. Dan melihat Devi menerima pernyataan cinta Arya, hati Ari serasa tertusuk pedang tajam. Terasa sakit. Dia pun bergegas pergi dari situ.
Arya yang sedang bahagia langsung mencari sahabatnya, Ari untuk membagi rasa bahagianya itu. Dengan mudah, Arya menemukan Ari yang sedang menikmati semangkuk bakso di kantin kampus.
“Ari.” Sapa Arya dengan nada ceria.
“Eh, loe Ar. Ada apa? Seneng banget.” Jawab Ari datar sambil menghabiskan bakso yang ada di hadapannya.
“Devi nerima gue, Ri. Hahahaha.” Terang Arya sambil tersenyum dan tertawa girang. Ari hanya menanggapinya dengan senyuman kecil.
“Selamat deh buat loe. Semoga hubungan kalian bisa lancar.” Ucap Ari dengan nada datar.
Selanjutnya, hari – hari Arya dihabiskan untuk berdua bersama Devi. Melukis Devi, dan hal – hal lainnya. Sampai pada suatu hari, beberapa jam sebelum pesta ulang tahun Devi. Arya di rumahnya ditemani Ari membuat lukisan sebagai hadiah ulang tahun Devi. Arya dengan serius mengerjakan lukisan itu. Ari yang duduk di samping Arya memandangi Arya yang sedang serius mengayunkan kuas ke kanvas gores demi gores.
“Selesai.” Kata Arya ketika pekerjaannya telah selesai.
“Yuk, Ri kita ke tempat pestanya Devi.” Ajak Arya ke Ari sambil merapikan lukisannya.
“Yuk.” Jawab Ari singkat.
Mereka berdua segera pergi menuju rumah Devi. Sesampainya di sana, suasana sangat ramai. Arya sempat bimbang ingin masuk. Tapi, saat melihat Devi yang ada di luar, dia langsung bergegas masuk. Ari tidak ikut masuk. Dia hanya memperhatikan Arya yang perlahan mendekati Devi sambil membawa lukisan hadiah ulang tahun untuk Devi. Setelah dekat dengan Devi, Arya melihat Devi sedang dikerumuni beberapa cowok yang memberikan hadiah kepada Devi. Pada saat itu, Arya memanggil Devi.
“Dev, aku ada hadiah buat kamu.” Kata Arya sambil berjalan perlahan agak mendekat.
“Eh, kamu Arya. Taruh di situ aja.” Jawab Devi sambil sibuk ngobrol dengan beberapa cowok di sekelilingnya. Mendengar jawaban Devi, Arya langsung shock. Dia tak menyangka Devi tidak menghiraukan kedatangannya. Dengan penuh kesedihan, Arya menyandarkan lukisannya yang masih tertutup kain putih di dinding. Tak terasa air mata menetes dari matanya. Dia bergegas meninggalkan Devi yang masih asik dengan teman – temannya.
Perlahan, hujan mulai turun. Dari kejauhan, Ari melihat apa yang terjadi. Dilihatnya Arya yang tak dihiraukan oleh Devi tertekan perasaannya, perlahan mendekat. Semakin dekat, Ari dapat melihat air mata Arya yang makin deras terjatuh.
“Loe nggak papa, Ar?” Tanya Ari.
“Gue pulang duluan, Ri.” Jawab Arya sambil berlalu. Mendengar jawaban Arya, Ari bergegas mendekati Devi yang masih tak melirik hadiah pemberian Arya.
“Dev, cewek macem apa loe. Nggak nge-hargain sama sekali hadiah dari cowok loe sendiri, malah asik ngobrol sama orang – orang nggak jelas kayak mereka!” ucap Ari dengan nada tinggi dan keras. Hal ini membuat Devi dan teman – temannya terdiam.
“Loe nggak pantes dapetin cowok macem Arya!” kata Ari sambil pergi meninggalkan Devi yang perlahan berjalan mengambil hadiah dari Arya yang dari tadi. Dibukanya kain putih yang menutupi bingkisan itu. Setelah membukanya, air mata Devi terjatuh.
“Indah sekali.” Kata Devi penuh penyesalan. Penyesalan karena tak menghiraukan Arya. Arya yang telah menghilang di balik hujan yang semakin deras terjatuh.
***
Dengan badan yang masih basah kuyup, Arya duduk terdiam di depan kanvas putih di rumahnya. Dari belakang, muncul Ari yang juga basah kuyup karena kehujanan. Seolah menyadari keberadaan Ari, Arya langsung berbicara.
“Untuk apa lagi gue ngelukis. Gue udah kehilangan hal yang bikin gue terus ngelukis.”
“Arya, kenapa loe ngomong gitu?” Tanya Ari.
“Devi udah nggak ngegubris gue. Selama ini, Devi yang selalu bikin gue ngelukis. Devi yang selalu ada di setiap kanvas yang gue lukis. Sekarang, dia udah nggak ada buat gue. Terus, apa yang harus gue lukis?” Tanya Arya kepada entah Ari, atau pada dirinya sendiri. Ari tak mampu menjawab pertanyaan Arya itu. Namun, perlahan dia mendekati Arya.
“Gimana kalo loe ngelukis gue.” Kata Ari. Arya sontak kaget mendengar perkataan Ari.
“Loe kan cowok? Masa …” belum selesai Arya berbicara, Ari sudah membuka topi yang selama ini menutupi kepalanya. Dari situ, terurai rambut hitam panjang. Dibukanya pula kemeja yang menutupi tubuhnya. Tinggal kaos tanpa lengan yang tampak. Melihat hal itu, Arya semakin kaget. Kaget melihat sosok Ari yang ada di depannya. Ari yang dikenalnya sebagai seorang cowok, kini seolah terhapus karena yang ada di hadapannya sekarang adalah sosok seorang cewek.
“Ari, jadi… selama ini… loe… Ri…” kalimat dari mulut Arya terputus – putus karena masih belum bisa menerima apa yang sedang dilihatnya.
“Arya, gue sebenarnya cewek. Tapi, gue tutupin dari loe karena gue selalu pengen deket sama loe. Gue nggak mau jauh – jauh dari loe. Dan mungkin, sekarang saatnya loe tahu semua tentang gue. Dan satu lagi…” Ari menghentikan kata – katanya.
“Gue udah lama banget suka sama loe. Gue sayang sama loe, Arya.” Kalimat itu meluncur dari Ari, bukan sebagai sosok sahabat bagi Arya. Tapi, sebagai pernyataan cinta seorang cewek ke seorang cowok.
“Ta..tapi, n..nama loe kan A..ari.”
“Nama lengkap gue Eviana Arisanti. Dan selama ini gue ngenalin diri gue ke loe sebagai Ari.” Terang Ari.
“Evi…” kata Arya yang mulai bisa menguasai diri.
“Seandainya gue tahu dari awal.” Lanjut Arya sambil berjalan mendekati Ari yang tertunduk.
“Gue akan milih loe daripada Devi.” Kata Arya sambil memeluk tubuh Ari. Ari tak berkata apa – apa. Dia masih terdiam, bingung dengan perasaan sedih, senang, dan galau yang kini sedang bercampur di dalam hatinya. Sedih karena tak mampu menahan perasaannya lebih lama. Senang karena mendengar jawaban dari Arya. Galau karena telah membuka rahasianya selama ini. Rahasia yang telah dia pendam bertahun – tahun, kini telah dia buka di hadapan cowok yang telah ada di hatinya selama bertahun – tahun pula.
***
Setelah kejadian malam itu, sosok cowok bernama Ari yang pernah Arya kenal telah berganti rupa menjadi seorang cewek bernama Evi. Kini, mereka berdua telah menjadi sepasang kekasih yang saling melengkapi satu sama lain. Ya, dua jiwa yang telah bertaut menjadi satu setelah selama ini terpisah oleh tabir bernama Ari..


- ENDED -


Seperti biasa, minta komentarnya dooong~
Share:

The Second Life For Emily




The Second Life For Emily

“Aku balik dulu ya Em, sampai jumpa.” Ucap Randy sambil mengecup kening Emily. Randy pun menghidupkan motor dan mengendarainya keluar pekarangan rumah Emily. Saat Emily berjalan masuk ke rumah, tiba – tiba terdengar suara hantaman cukup keras. Mendengar hal itu, Emily segera berlari ke arah suara hantaman itu. Dan saat dia tahu apa yang ada di depan matanya, tubuhnya mendadak lemas, air mata langsung mengalir deras dari matanya. Tubuh Randy terbujur di aspal hitam, dengan tubuh yang bersimbah darah.
“Randy!!!!!!” jerit Emily. Ternyata hanya mimpi. Tiba – tiba Emily menangis. Sudah kesekian kalinya dia memimpikan hal itu. Meskipun sudah berusaha keras melupakan Randy yang telah pergi meninggalkannya, tapi mimpi itu seolah tak mau berlalu dari dalam kepalanya. Mama Emily yang tadi mendengar putri kesayangannya menjerit langsung bergegas menuju kamar Emily. Sesampainya di kamar Emily,
beliau langsung memeluk Emily yang sedang menangis.
“Emily, udah ya. Kamu harus berusaha lupain Randy, biar dia bisa tenang di sana.” Hibur Mama kepada Emily.
“Emily udah berusaha buat lupain dia, Ma. Tapi mimpi itu nggak mau pergi dari tidur Emily.” Ujar Emily dengan masih menangis.
Mama Emily pun ikut menangis melihat putri kesayangannya menanggung beban kesedihan yang sangat mendalam. Dengan penuh kasih sayang, beliau pun membaringkan tubuh Emily dan menyelimutinya.
“Udah, kamu tidur lagi gih. Besok kan kamu ada kuliah pagi.”
“Iya. Makasih ya, Ma.” Setelah mengecup kening Emily, Mama pun pergi.
Keesokan harinya, Emily yang memang tak bisa tidur setelah semalam terbangun masih tampak sedih. Dengan langkah lesu, dia bersiap – siap untuk pergi ke kampus. Memang, setelah kepergian Randy, Emily banyak berubah. Dia semula adalah gadis yang murah senyum dan sangat periang. Namun, semenjak kepergian Randy yang terjadi di depan matanya, dia berubah menjadi gadis yang pendiam. Tak pernah lagi terlihat senyuman dari paras cantiknya. Dia menjadi jarang bicara. Hal ini menimbulkan kekhawatiran tersendiri bagi Mama Emily. Beliau takut kalau Emily melakukan hal bodoh bila belum bisa melupakan kepergian Randy.
***
Di kampus, Emily jarang sekali bicara. Dia bicara hanya saat ditanyai oleh dosen. Dengan teman – temannya, dia semakin jarang berkumpul. Chika, sahabat dekat Emily pun semakin khawatir dengan kondisi Emily yang makin hari makin tak stabil. Pada suatu kesempatan, dia mencoba berbicara dengan Emily.
“Em, kamu nggak papa?” Tanya Chika dengan lembut. Tapi Emily tak mengucapkan apa – apa, dia hanya menggeleng lemah. Melihat hal ini, Chika semakin sedih.
“Kamu masih mikirin Randy, ya? Udah dong, Em. Kalo kamu gini terus, Randy di atas sana bakal sedih. Kamu pengen Randy sedih?” mendengar hal ini, air mata Emily tiba – tiba mengalir. Dia langsung memeluk Chika.
“Aku nggak bisa dan nggak bakal bisa nglupain Randy, Chika. Kejadian itu selalu datang di mimpi aku. Aku takut, Ka.” Jawab Emily sambil masih menangis.
“Iya, aku tahu. Mungkin kamu harus coba mencari buka hati kamu buat cowok lain. Supaya kamu bisa lupain Randy.” Saran Chika.
“Tapi… aku nggak bisa... Gimana aku bisa buka hati aku kalau hati aku udah dibawa Randy pergi…”
Chika terdiam. Dia tak mampu mengatakan apa – apa mendengar apa yang barusan dikatakan Emily. Chika tahu kalau Emily sangat menyayangi Randy, begitu juga sebaliknya. Tapi, melihat kondisi Emily sekarang, dia hanya bisa bersedih. Dia tak bisa melakukan hal berarti untuk membantu sahabat terbaiknya ini.
“Em, kamu masih ada kuliah nggak?” Tanya Chika kepada Emily yang masih mengusap matanya.
“Nggak ada.” Jawab Emily singkat.
“Aku anterin kamu balik ya.” Ajak Chika. Dia sangat khawatir pada kondisi Emily saat ini. Jadi dia berpikir untuk mengajak Emily pulang. Tanpa berkata apa – apa, Emily beranjak dari tempat duduknya dan berjalan mengikuti Chika.
Di sepanjang perjalanan, tak ada satu kata pun yang terucap dari mulut Chika dan Emily. Sesampainya di rumah Emily, Chika langsung mengantar Emily masuk.
“Siang tante.” Sapa Chika kepada Mama Emily.
“Eh, Chika. Makasih ya, udah mau nganterin Emily pulang. Sini duduk dulu.” Balas Mama Emily.
“Eng, makasih banget tante. Tapi, Chika ada acara di rumah. Harus buru – buru pulang.”
“Ya udah deh. Sekali lagi makasih ya.”
“Iya tante. Emily, aku balik dulu ya. Sampai ketemu besok. Mari tante.” Chika pun pamit.
Setelah itu, tak ada lagi kata terucap dari bibir Mama Emily ataupun Emily. Emily pun bergegas menuju kamarnya. Mama Emily tidak berusaha menahan karena khawatir keadaan Emily akan tambah buruk. Beliau pun ke dapur untuk membuatkan makan siang untuk Emily.
Di dalam kamar, Emily hanya termenung memandangi fotonya dan Randy yang masih terpajang di dinding kamarnya. Tanpa terasa, air mata kembali jatuh dari mata indah Emily. Tiba – tiba muncul sebuah ide bodoh di pikiran Emily. Dia berjalan ke meja belajarnya, di situ dia mengacak – acak meja dan meraih sebuah benda kecil. Silet! Emily ternyata berniat mengakhiri hidupnya.
“Randy, aku nggak bisa hidup tanpa kamu. Aku akan nyusul kamu.”
Itulah kalimat terakhir yang diucapkan Emily, sebelum akhirnya menggoreskan silet itu ke pergelangan tangannya sambil tersenyum, sebuah senyuman getir. Perlahan, darah merah segar mengucur deras dari pergelangan tangan Emily. Kepala Emily mendadak pusing. Pandangannya gelap. Dia pun tak sadarkan diri.
***
“Emily, ngapain kamu kemari?” sebuah suara mengagetkan Emily. Ternyata pemilik suara itu adalah Randy!
“Randy, aku pengen nyusul kamu. Aku nggak bisa hidup tanpa kamu.” Jawab Emily sambil menangis. Sosok Randy itu hanya diam, lalu berkata
“Em, hidup kamu terlalu berharga buat kamu sia – sia’in. Aku nggak akan ninggalin kamu. Aku akan selalu ada di dekat kamu. Sekarang, lebih baik kamu balik. Kasihan mama kamu.” Bujuk sosok Randy itu.
“Tapi, Randy…”
Sosok Randy hanya tersenyum kemudian lenyap dari pandangan mata Emily. Tiba – tiba muncul cahaya putih dari depan Emily yang semakin mendekat.
“Aaaaa!!!” teriak Emily. Saat dia membuka matanya, semua yang ada di hadapannya mendadak berubah. Mama Emily yang dari kemarin gelisah menanti kesadaran putrinya langsung menangis bahagia. Kening Emily pun dikecup dengan penuh kasih sayang.
“Ma, Emily di mana?” Tanya Emily yang masih belum stabil kondisi pikirannya.
“Kamu ada di rumah sakit sayang. Kamu udah koma selama beberapa hari. Mama takut kehilangan kamu.” Jawab Mama Emily.
Emily melihat sekeliling ruangan itu. Ternyata di situ ada juga Chika yang ikut menangis melihat sahabatnya sudah sadar.
“Chika…”
“Emily, lain kali kamu nggak boleh ngelakuin hal – hal bodoh lagi. Ya?” ucap Chika sambil menangis. Emily hanya mengangguk sambil tersenyum lemah.
Air mata pun mengalir di pipi Emily. Dia pun akhirnya sadar, apa yang telah dia lakukan adalah tindakan bodoh. Dia pun berjanji dalam hatinya untuk tegar menerima kepergian Randy. Tiba – tiba, pandangan mata Emily terhenti saat dia melihat ada satu sosok yang sangat dikenalnya sedang berdiri di depan pintu kamar tempatnya dirawat. Randy! Sosok itu tersenyum kepada Emily, kemudian menghilang.
“Randy, kamu akan selalu ada di dalam hatiku. Meskipun kamu udah nggak bisa menemani aku seperti dulu.” Kata Emily dalam hati.
Kondisi Emily pun makin membaik. Kesedihan yang sempat menghantui kehidupannya perlahan sirna. Hatinya kini lebih kuat berkat Mamanya dan Chika, sahabatnya. Emily pun menjalani “kehidupan kedua”nya dengan langkah pasti. Namun, satu hal yang tidak akan pernah berubah, Randy akan selalu ada di dalam hati dan pikirannya, selamanya…
- Ended -

Gimanaa? Abis baca, kasih komentar yaa~ :D
Share:

GOODBYE, Cheryl...





Ini cerpen repost dari blog lama. Dulu pernah juga nongol di note FB. Buat ngisi blog aja sih biar gak sepi. Yuk, cusss...



“Cheryl.”
“Ya?” Cheryl menoleh. Ternyata Kenzo yang memanggilnya.
“Kenzo? Ada apa?” Tanya Cheryl.
“Eng, kamu sibuk nggak siang ini?”
“Siang ini sebenernya ada janji sama temen, tapi dia kayaknya nggak bisa dateng deh. Emang ada apa?”
“Aku pengen ngajak kamu jalan. Kamu mau nggak?” Tanya Kenzo ke Cheryl.
“Boleh, jam 1 ya. Aku tunggu di rumah. Sampai ketemu.” Jawab Cheryl sambil berlalu.
Kenzo hanya melambaikan tangan sambil melempar senyum melihat Cheryl melangkah pergi. Dalam hatinya, dia merasa senang karena akhirnya dia bisa pergi berdua dengan Cheryl, gadis yang selama ini dia sukai.
Dengan perasaan berbunga – bunga, Kenzo melangkah pulang menuju rumahnya. Sepanjang jalan, hanya senyum yang selalu terlihat di wajahnya. Dia sudah tak sabar untuk bertemu dengan Cheryl.
***
Jam yang menggantung di dinding menunjukkan pukul 12.30. Kenzo sudah selesai bersiap untuk menjemput Cheryl. Dengan langkah pasti, Kenzo segera pergi menuju rumah Cheryl yang memang tidak jauh dari rumahnya.
Share:

Untitled Tragedy, The 3rd



“Sam, aku pulang duluan ya. Ayahku sudah datang.” Ujar Tristan sambil melambaikan tangannya. Kemudian berlari menuju mobil ayahnya.
“Ya, hati-hati.” Kata Sam membalas lambaian tangan Tristan. Kini tinggal Sam sendiri di depan gerbang kampus. Diliriknya jam di pergelangan tangannya, ternyata sudah jam 6 dan bus kota yang dia tunggu tak kunjung datang.
Karena sudah tak tahan hanya berdiri menunggu, Sam memutuskan untuk berjalan kaki menuju rumahnya. Tapi saat akan pergi meninggalkan tempatnya, ada suara yang memanggil-manggil dari belakang.
“Hey! Tunggu!” panggil suara itu.
Sam pun menghentikan langkahnya. Dan terlihat seorang gadis bertubuh sedang, berambut sebahu berlari ke arahnya sambil membawa sebuah buku tebal. Sam pun mengernyitkan dahinya.
“Siapa kau? Apa yang kau lakukan sampai malam di kampus?” Tanya Sam.
“Aku mahasiswi baru. Aku dari perpustakaan tapi aku tersesat saat ingin keluar dari lingkungan kampus.” Jawab gadis itu sambil terengah-engah.
“Hahaha. Ada-ada saja kau, bisa tersesat di dalam kampus.” Ujar Sam.
“Sudah, jangan menertawakanku.” Kata gadis itu mendengus kesal.
“Hahaha. Ya, baiklah aku tidak akan menertawakanmu. Oiya, kau bilang tadi, kau mahasiswa baru?” Tanya Sam. Gadis itu hanya mengangguk.
“Sebagai permintaan maafku, ikutlah denganku. Aku traktir kau makan.” Ajak Sam.
“Baiklah.” Kata gadis itu.
Sam pun berjalan berdua dengan gadis itu menuju sebuah rumah makan tak jauh dari kampus. Setelah memilih menu, mereka pun segera duduk dan menunggu pesanan mereka datang. Nampak gadis tersebut mulai membuka lembar demi lembar halaman buku tebal di depannya. Sam pun memperhatikannya dengan seksama.
“Hey, buku apa yang sendang kau baca?” Tanya Sam penasaran.
“Ini.” Jawab gadis itu sambil mengubah posisi buku itu menjadi berdiri sehingga Sam dapat membaca judul buku tersebut.
“Oh, ‘Bias Cinta Di Ujung Senja’. Buku yang bagus.” Ujar Sam kemudian menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. Gadis itu mengernyitkan dahinya.
“Bagus? Jangan sok tahu.” Kata gadis itu. Sam hanya tersenyum.
“Tentu saja aku tahu. Aku sudah berkali-kali membacanya dan kesimpulanku, bagus. Tidak sia-sia kau tersesat untuk buku itu.” Kata Sam sambil sedikit tertawa.
“Ah, kau memang menyebalkan.” Gadis itu mendengus kesal kemudian mulai membaca prolog di awal buku tersebut.
“Dan aku pun tetap bertahan demi ilusi itu meskipun ku tau, semuanya akan sia-sia pada akhirnya. Karena cintaku terlanjur menghempaskan sakitku. Ya, karena ilusi itu telah merenggut mataku dari melihat yang nyata.. Kepergianmu.” Kata-kata Sam mengalir begitu saja. Sejurus kemudian, Sam mulai memakan French Fries di hadapannya.
“Kau benar-benar sudah membaca buku ini.” Ujar gadis itu kagum setelah mendengar kata-kata Sam barusan. Matanya takjub mengamati wajah Sam yang tanpa ekspresi mengunyah French Fries.
“Aku memiliki beberapa buku seperti itu jika kau berminat. Oiya, siapa namamu?” Tanya Sam sambil mengulurkan tangannya. Gadis itu kemudian menyambut uluran tangan Sam.
“Ellena.” Jawab gadis itu singkat. Sam tersenyum.
“Ya, setidaknya namamu cukup cantik untuk gadis segalak dirimu.” Ujar Sam sambil tertawa kecil.
“Hey! Apa maksudmu?!” Tanya Ellena sambil bersungut-sungut. Sam hanya tertawa melihatnya.
***
Di tempat tidurnya, Sam masih terbaring lemah. Matanya sayu memandangi seisi ruangan tempatnya berada. Kekosongan dan kesunyian memadati setiap sudut ruangan itu. Sam pun hanya tersenyum. Sejenak, dia dapat menikmati keberadaannya di dunia.. Kesendiriannya.. Meski dia tahu, masih ada Olivia yang selalu ada untuknya semenjak kematian orang tuanya.
Papa dan Mama adalah orang sangat Sam kagumi karena keteguhan mereka dalam menghadapi hidup. Banyak pelajaran yang Sam peroleh dari cerita yang selalu disampaikan Papa dan Mamanya. Begitu pula ikatan cinta yang selalu dia lihat ketika mereka dulu sedang duduk berdua menemani Sam dan Olivia belajar. Ikatan cinta yang kini membuat Sam iri karena tak bisa memiliki ikatan seperti itu.
“Ah, menyebalkan sekali kalau teringat bagaimana Papa dan Mama dulu selalu saja mengawasiku saat belajar.” Ucap Sam.
Dan setelah mereka berdua harus pergi dari dunia karena sebuah kecelakaan pesawat, Sam pun tinggal berdua bersama Olivia. Sampai kemudian ketika Sam mulai mengenyam bangku kuliah, dia memutuskan untuk tinggal sendiri, terpisah dari Olivia karena ingin belajar mandiri demi kehidupannya nanti.
“Kak Olivia, aku iri padamu. Kau bisa setegar itu setelah kak Brian dengan kejam mengkhianati pertunangan kalian dan menikah dengan wanita lain.” Sam tersenyum getir. Masih teringat di ingatannya bagaimana tangis Olivia yang memecah malam setelah mendengar kabar bahwa Brian sudah menikah.
“Ah. Sepertinya hidupku sangat menyedihkan. Dikelilingi oleh orang-orang yang mengagumkan, tapi aku tak bisa seperti mereka. Gagal memenuhi ekspektasi mereka terhadapku.” Ucap Sam kemudian mengalihkan pandangannya ke arah langit kelabu yang terhalang oleh bening kaca jendela.
Air mata mulai leleh dan menuruni pipi Sam dengan pelan. Dadanya kembali terasa tertusuk oleh sesuatu yang tak terlihat. Sesuatu yang dia sendiri tak mampu menjelaskannya. Rasa sakit itu semakin kuat terasa dan semakin memenuhi rongga dadanya. Tangan kanannya lemah mengusap dadanya yang semakin sesak. Dan tak berapa lama, Sam pun terlelap dalam tidur setelah sang sunyi menyanyikan melodi bisu pengantar tidur untuknya.
***
“Sam, aku baru selesai membaca buku yang minggu lalu kau berikan untukku. Dan memang benar, isinya sangat bagus.” Kata Ellena senang. Sam pun tersenyum kemudian mengacak rambut Ellena.
“Hey, apa yang kau lakukan.” Kata Ellena sambil merapikan rambutnya.
“Ellena, ayo ikut denganku.” Ujar Sam kemudian berjalan pergi.
“Sam! Mau ke mana?” panggil Ellena yang kemudian berlari mengejar Sam.
Deru motor Sam tenggelam dalam pekak suara deru kendaraan lainnya. Tanpa kata, mereka berdua menikmati sepi jalan yang mulai mendaki yang perlahan datang menggantikan keramaian kota yang bergemuruh sejak tadi. Sepanjang jalan Ellena tak henti-hentinya memperhatikan Sam yang terus saja melangkah dan tak mau berkata ke mana dia akan mengajaknya. Ada tanda tanya besar di dalam kepalanya, tapi dia berusaha menahannya.
“Kita sampai.” Kata Sam singkat kepada Ellena. Mereka berdua turun dari motor dan berjalan sebentar.
Sam kemudian duduk dan menghela nafas panjang. Ellena pun menghentikan langkahnya. Matanya pun takjub melihat deretan gedung dan bangunan yang tampak kecil di hadapannya tertata rapi. Pemandangan yang belum pernah dia lihat sebelumnya.
“Sam, bagus sekali. Aku belum pernah melihat pemandangan seperti ini.” Kata Ellena takjub. Matanya pun masih belum mau melepaskan pandangannya dari ‘diorama’ kota yang ada di hadapannya.
“Makanya, jangan terlalu sering tenggelam di balik tumpukan buku. Sesekali kau harus pergi keluar, melihat dan menikmati keindahan alam bukan hanya keindahan kata. Alam memiliki ribuan kata yang jauh lebih indah, yang tersimpan rapat di sekitar kita. Cermati dan kau akan menemukannya.” Ujar Sam yang kemudian merebahkan tubuhnya ke rerumputan hijau.
Ellena tak mampu berkata apa-apa setelah mendengar apa yang baru saja diucapkan oleh Sam. Dia takjub dengan keindahan alam yang selama ini tak terlihat oleh matanya. Tapi dia lebih takjub pada kata-kata Sam. Tak pernah terkira dia akan mendengarnya dari mulut seorang Sam. Dilihatnya sejenak Sam yang nampak mulai terlelap karena buaian angin. Dia pun ikut berbaring di samping Sam, matanya enggan terpejam dan masih asyik menikmati biru langit yang cerah. Nampak sebuah senyuman mengembang di bibirnya.

***

Setitik air mata menetes di pipi Ellena ketika dia teringat kenangannya bersama Sam. Rasa sakit di hatinya semakin bertambah. Rasa sakit akibat penyesalan karena pernah mencampakkan Sam. Rasa sakit yang akan terobati jika dia bisa kembali bersama Sam dan merajut kembali kisah bersamanya.
“Sebentar lagi kita sampai Ellena. Tenanglah.” Kata Olivia membesarkan hati Ellena.
“Terima kasih kak.” Kata Ellena singkat.
“Ellena, ketahuilah. Meskipun Sam enggan bertemu denganmu, tapi aku bisa merasakan kalau dia masih mencintaimu.” Ujar Olivia sambil tetap fokus mengendalikan mobilnya.
“Benarkah itu kak?” Ellena pun kaget mendengar kata-kata Olivia barusan.
“Tentu saja. Entah apa yang membuat dia enggan mengakuinya.” Lanjut Olivia.
Di sela-sela air matanya, Ellena bisa sedikit tersenyum. Ada sedikit harapan untuk bisa bersama Sam lagi memperbaiki apa yang pernah dia hancurkan. Mencintai orang yang juga mencintainya dengan cinta yang sebenarnya. Berjuang meraih sebuah mimpi dari dua jiwa yang memiliki satu tujuan.
Mobil Olivia melaju melewati kendaraan-kendaraan lain di jalanan kota yang hari ini cukup lengang. Seolah memberikan jalan bagi Ellena dan Sam agar segera bertemu kembali. Seperti dongeng yang kisahnya sedang ditulis.
Tapi tiba-tiba saja Olivia seperti kehilangan kendali. Laju mobil menjadi sedikit oleng padahal masih pada kecepatan yang cukup tinggi. Rem mobil pun beberapa kali seperti tak berfungsi. Beberapa kali dia hampir menabrak mobil lain. Sampai ketika tiba pada persimpangan menuju rumah sakit..
“BRAAAKKK!!!” sebuah suara hantaman yang begitu keras terdengar. Nampak dari sumber suara tersebut sebuah mobil sedan yang terguling dan sebuah truk bermuatan yang bagian depannya sudah setengah hancur mengepulkan asap putih membubung. Lalu lintas pun terhenti dan beberapa orang berusaha menolong orang-orang yang ada di mobil sedan maupun truk tersebut.
“El..Elle..na.... ba..ngu..n” kata-kata Olivia terbata-bata menahan sakit berusaha membangunkan Ellena yang tak sadarkan diri.
“M..ma...afkan.... a..ku....” kata-kata Olivia yang lirih pun hilang terbawa angin. Sejurus kemudian dia pun pingsan.


___ to be continued ____


Butuh komentar lho pembaca NVRstepback yang kece-kece & baik hati... Soalnya lagi kehabisan ide buat ngelanjutin ceritanya... Yuk diisi kotak komentarnya, biar rame.. :3
Share:

Still.. With You! -- Part - II



“An! Anna!” panggilku, tapi Anna sama sekali tak berhenti.
“Aneh.” Pikirku melihat sikap Anna. Tanpa pikir panjang, aku segera berlari berusaha mengejarnya ke kelas.
Tak lama kemudian aku sudah sampai di kelas. Ku lihat Anna sedang duduk diam di bangkunya sendirian. Dengan langkah perlahan, aku berjalan mendekatinya kemudian duduk di sampingnya. Dia nampak menyadari kehadiranku dan hendak menghindariku. Tapi segera kuraih pergelangan tangannya. Anna pun kembali duduk, meskipun dengan gestur ‘menolak’ keberadaanku.
“Anna. Dari tadi pagi sikapmu aneh banget loh. Ada apa sih? Kamu ada masalah?” tanyaku. Kulihat Anna masih terdiam.
“An…” panggilku lirih. Dan sepertinya dia memang sama sekali tak ingin bicara.
“Ya udah. Oiya, aku tadi ketemu Ira. Dia pindah ke sini.” Aku bergegas bangkit kemudian pindah ke tempat dudukku yang letaknya di belakang Anna.
Aku masih mengamati Anna, ya lebih tepatnya mengamatinya dari belakang. Meski tak dapat terlihat olehu raut wajahnya, aku bisa tahu kalau dia menyembunyikan sesuatu dariku. Tapi, apakah hanya karena dia akan pergi setelah lulus nanti? Itu terlalu berlebihan kalau Anna harus bersikap seperti ini padaku. Sial…
***
Ulangan kali ini terasa begitu lama. Entah karena aku sedang tidak konsentrasi atau memang ada yang salah dengan waktu hari ini. Tapi yang jelas terasa begitu cepat aku selesai mengerjakan soal di hadapanku ketika kusadari masih ada 30 menit waktu yang tersisa sebelum bel istirahat berbunyi. Baiklah, lebih baik aku keluar duluan.
Aku berdiri, kemudian berjalan ke meja guru, tempat Bu Vera duduk dengan tampang nenek sihirnya. Tampak ada senyum jahat yang terlempar dari mulutnya ketika aku menyerahkan lembar jawabku. Kemudian aku berlalu keluar kelas. Kusempatkan melirik Anna, tampak dia masih berkutat dengan soal di hadapannya. Sudahlah, lebih baik aku menunggunya di kantin.
“Rio!” teriak seseorang yang tiba-tiba saja sudah berada di sampingku. Ah, ternyata Ira.
“Hey, Ra. Lho, kok kamu di luar? Gak pelajaran?” tanyaku.
“Kosong Yo, daripada di kelas mending ke kantin.” Jawabnya sambil tersenyum. Aku ikut tersenyum, tapi tak menanggapinya. Huh! Seandainya yang tersenyum itu adalah Anna..
Sesampainya di kantin, aku dan Ira langsung memesan makanan dan duduk. Tak lama kemudian bakso dan es teh pesanan kami datang. Kami makan tanpa berbicara satu sama lain. Aku merasa tak enak hati pada Ira, tapi aku memang sedang malas berbicara. Dan sepertinya Ira menyadarinya.
“Yo, lagi ada masalah ya? Cerita dong.” Ujar Ira.
Aku menghela nafas, kemudian mulai bercerita, “Anna dari tadi pagi aneh banget Ra. Dia gak mau ngomong sama aku. Pas jemput dia tadi sih, pembantunya bilang kalo Anna bakal pindah ke luar negeri buat ngelanjutin kuliah di sana. Aku pura-pura diem dan berharap dia bakal cerita. Tapi sampai sekarang dia sama sekali gak cerita. Padahal biasanya kalau dia punya masalah, atau ada sesuatu, dia pasti cerita.”
Ya, dan tanpa sadar aku nyerocos panjang lebar kepada Ira. Dan Ira pun tersenyum mendengar ceritaku.
“Kamu khawatir kehilangan Anna ya, Yo?” Tanya Ira kepadaku. Hampir aku tersedak mendengar pertanyaan itu. Kehilangan Anna?
“Ah.. Eng.. Itu, bukan gitu Ra.. Tapi…” aku tergagap menjawab pertanyaan Ira tadi.
“Kamu suka kan sama Anna?” Tanya Ira lagi. Tapi kali ini mimik mukanya berubah, seperti menyimpan kesedihan yang dalam.
“Ya, mungkin.” Jawabku singkat.
“Perjuangkan perasaanmu Yo, jangan sampai kamu nyesel karena memendamnya kelamaan.” Kata Ira sambil memegang tanganku. Aku mengangguk sebagai jawaban.
“Rio..” terdengar suara lirih di sebelahku. Aku menoleh, dan ternyata…
“Anna…” ujarku. Aku segera melepaskan genggaman tangan Ira ketika Anna melihatnya. Tapi Anna lagi-lagi berlari menghindariku. Ah, sial! Tanpa permisi pada Ira aku langsung berlari mengejar Anna. Kali ini aku tak boleh memendam perasaanku terlalu lama lagi padanya, pikirku.
Aku masih berlari, tapi setelah berbelok di koridor yang mengarah ke laboratorium, aku kehilangan Anna. Ke mana dia? Aku berjalan perlahan, ketika langkahku kaki terhenti dan kakiku seolah terpasak di tempatku berdiri ketika aku melihat Anna sedang menangis tersedu di pelukan Denis. Hey! Bukankah Denis sudah memutuskan hubungan dengan Anna? Kenapa malah seperti ini? Aku tak sanggup melihatnya lebih lama, tapi tubuhku enggan beranjak. Wajahku terasa panas, entah karena rasa marah atau apalah aku sendiri tak tahu.
Tak lama kemudian Denis melepaskan pelukan Anna kemudian berjalan.. Ke arahku! Tanpa mampu berbuat apa-apa, aku melihat Denis merangkul Anna berjalan melewatiku. Ada seringai kemenangan di wajah Denis yang menyebalkan. Tatapanku sempat bertemu dengan tatapan mata Anna, tapi hanya sekilas dan kemudian bersama Denis melewatiku yang masih berdiri mematung. Tak mampu bergerak.

***
Mataku terbatas memandang batas. Terikat kuat oleh goresan luka menyayat. Hening suasana pilu yang tak bergeming. Terluka oleh ilusi yang melintas begitu saja.
***

Jam-jam pelajaran berikutnya, aku menghabiskan waktuku mengotori buku tulisku dengan gambar-gambar abstrak tak bermakna sebagai pelampiasan rasa marah, sedih, dan gundahku. Sama sekali tak ada materi pelajaran yang bisa kuserap. Mataku enggan melihat ke depan, karena tentu saja ada Anna yang ada tepat di depan mataku. ARRGHHH!!!
Dan setelah bel pulang sekolah berbunyi, aku bergegas pergi keluar kelas. Tak sanggup rasanya berlama-lama di dalam sana. Kuputuskan untuk pergi ke taman belakang sekolah. Sesampainya di sana, aku langsung duduk di bangku yang kosong. Memasang headset dan memutar music dari ponselku dengan volume yang kuat sehingga aku tak mendengar apapun kecuali music dari ponselku.
Mataku menatap kosong ke arah langit yang sedikit berawan. Gerak lambat segerombol besar awan putih menghipnotisku untuk mengamatinya. Pelan.. Lamban.. Dilengkapi dengan alunan music bertempo rendah dari headset-ku, tanpa sadar aku mengantuk dan tertidur.
“Yo. Rio, bangun! Hey!” sayup-sayup terdengar suara yang makin lama makin keras diiringi sentuhan di wajahku. Saat kubuka mataku, aku terkejut karena ada Ira yang sudah duduk di sampingku. Dan lagi, wajahnya begitu dekat dengan wajahku.
“Eh, Ira.” Ujarku kemudian bergerak agak menjauhinya. Nampak Ira tertawa kecil melihat tingkahku.
“Gak pulang Yo?” Tanya Ira.
“Bentar lagi deh Ra. Oiya, kamu sendiri kenapa belum pulang?”
“Aku tadi habis ketemu sama Bu Sinta gara-gara aku membolos waktu jam-nya.”
“Ha? Hahahah, berani banget Ra bolos pas jam-nya Bu Sinta. Ati-ati lho.”
“Hehe, iya iya Rio.”
“Eh, pulang yuk Ra. Udah mau jam 6.” Ajakku. Ira pun mengangguk tanda setuju.
Kami berdua berjalan keluar sekolah berdampingan. Ada keanehan yang kurasakan saat ini. Ya, seharusnya aku berjalan bersama Anna! Bukan Ira. Tapi, tak apalah karena sudah terlanjur begini. Mungkin besok aku masih punya kesempatan untuk meluruskan permasalahanku dengan Anna agar tak berlarut-larut, pikirku.
“Eh, Yo temenin aku makan yuk. Laper nih.” Kata Ira tiba-tiba sambil tersenyum ke arahku.
“Hah? Jam segini? Makan di mana?” tanyaku sambil mengernyitkan dahi.
“Tuh.” Tunjuk Ira ke sebuah kafe di sudut jalan. Aku hanya mengangguk.
Segera aku berjalan mengikuti Ira masuk ke dalam kafe. Suasananya cukup nyaman. Tempatnya tidak terlalu luas. Dengan desain interior yang minimalis namun rapi dan bersih. Terdengar pula alunan music klasik memenuhi seisi kafe tersebut. Yah, lumayanlah, pikirku. Setelah memesan makanan, kami segera duduk dan menikmatinya.
“Rio, itu Anna kan?” ujar Ira tiba-tiba sehingga membuatku menghentikan makanku tiba-tiba. Aku segera melihat ke arah Ira menunjuk. Setelah kulihat, ternyata benar Anna. Tapi apa yang dia lakukan di sini.
“Aku ajak gabung ke sini ya Yo, biar kita bisa kumpul lagi kayak dulu.” Kata Ira. Aku hampir tersedak mendengarnya. Tapi aku tak bisa menahan Ira karena Ira keburu berlari ke arah Anna. Aku pun segera mengalihkan fokusku ke makanan di hadapanku yang belum habis. Tak berapa lama, Ira sudah kembali duduk ke tempatnya tadi. Dan Anna duduk, tepat di hadapanku.
“Nah, sekarang kita udah ngumpul lagi.” Kata Ira dengan nada senang. Aku tak menanggapinya dan masih terus mengunyah kentang goreng dan memainkan gelas minumku. Kulihat, Anna masih tertunduk diam. Sedangkan Ira terlihat kebingungan melihat sikapku dan Anna.
“Aku permisi ke kamar kecil ya.” Ujarku kemudian pergi meninggalkan Ira dan Anna berdua.
Sesampainya di kamar kecil, segera kubasuh tanganku dengan air. Namun aku sengaja berlama-lama karena memang alasanku memang ingin menghindari Anna setelah aku melihatnya ada di pelukan Denis tadi. Setelah kupikir cukup lama, segera aku kembali ke meja. Kulihat Ira sudah sendirian. Itu berarti Anna sudah pergi.
“Lama banget sih Yo, Anna keburu pergi.” Kata Ira mendengus kesal ke arahku.
“Iya iya maaf, perutku sakit banget tadi. Jadinya ya lama.” Kataku beralasan sambil memasang senyum polos.
“Rio..” panggil Ira, kali ini dengan nada serius.
“Ada apa Ra?” tanyaku.
“Anna tadi udah cerita sama aku.” Jawab Ira.
“Cerita apa Ra?” tanyaku semakin penasaran. Aku bertanya-tanya apa yang sudah Anna ceritakan kepada Ira.
“Anna udah cerita kalau dia mau nglanjutin kuliahnya ke luar negeri. Dia juga bilang, kalo dia pengen minta maaf ke kamu karena udah diemin kamu seharian tadi.” Lanjut Ira.
“Itu aja?” tanyaku sambil memajukan badanku.
“Dia juga berharap kamu gak salah paham pas dia nangis di pelukan.. Eng.. Denis, ya Denis. Dia gak sengaja ketemu Denis dan gak bisa menghindar ketika Denis berusaha nenangin dia karena Anna bilang kepalanya tiba-tiba sakit.” Ujar Ira kemudian.
Aku menghempaskan punggungku ke sandaran kursi. Aku menunduk lesu tak mampu berkata apa-apa mendengar semua kata-kata Ira, bukan. Kata-kata Anna yang disampaikan Ira. Menyebalkan rasanya tersangkut di dalam perangkap perasaan yang rumit ini.
“Udahlah Yo, besok kan masih ketemu di sekolah. Pulang yuk, udah kenyang nih.” Kata Ira. Aku hanya mengangguk kemudian keluar bersama Ira.
***
Di dalam kamar, aku hanya rebahan sambil sesekali memeriksa ponselku. Berharap ada pesan atau telepon dari Anna. Tapi sama sekali tak ada. Dan untuk pertama kalinya, aku merindukan sosok Anna yang selalu marah-marah dan meneriakiku ‘cungkring’ ketika aku memanggilnya ‘sipit’. Momen sederhana yang sekarang sangat kurindukan. Padahal belum tentu dia merindukanku. Lagi pula aku hanya sahabatnya. Ah, benar-benar menyebalkan. Dan karena sudah tak tahan, aku pun mengirim sebuah pesan singkat ke nomor Anna..
[to: ~sipit]
Sipit.. Marahin aku dong :D
Dengan sedikit candaan, aku berharap dia membalasnya. Tapi sampai hampir tengah malam kutunggu, tak ada balasan darinya. Ya sudahlah, aku akhirnya tidur.
Keesokan harinya, aku mengecek ponsel dan tetap tak ada balasan dari Anna. Setelah mempersiapkan diri, aku bergegas berangkat dan tempat pertama yang kutuju adalah.. Rumah kediaman keluarga Anna.
Setelah sampai di sana, aku segera masuk setelah pak satpam membukakan pintu gerbang. Dan seperti biasa, ada bi Inah yang menyambutku dengan senyuman ramahnya.
“Eh, mas Rio. Mau jemput non Anna ya?” tanyanya sambil menyirami tanaman.
“Iya bi. Anna-nya udah berangkat belom?” tanyaku.
“Kayaknya belom mas. Tunggu aja, mungkin bentar lagi keluar.” Jawab bi Inah.
Tak berapa lama, kulihat Anna berjalan keluar dari pintu rumahnya. Jantung berdegup tak keruan menunggu dia mendekat dan semakin mendekat ke arahku dan bi Inah. Dan, ya! Dia sudah berada di hadapanku. Aku mendadak tak bisa bergerak.
“Berangkat dulu ya bi Inah.” Kata Anna kemudian ngeloyor keluar. Dan setelah kudapatkan kembali kesadaranku, segera aku berlari mengejar Anna.
“Anna.” Panggilku setelah aku dapat menyusul langkahnya.
Ya, ada apa Rio?” tanyanya ringan seolah tak terjadi apa-apa. Hah, ada apa ini? Kenapa seperti ini tanggapannya? Begitu ringan. Seharusnya aku senang, tapi justru aku merasa aneh dan canggung.
“Aku khawatir sama kamu An.” Kataku sambil berdiri di hadapannya. Anna pun menghentikan langkah kakinya. Dia terdiam tak menjawab kata-kataku.
“Tolong Anna, cerita sama aku. Kamu kenapa?” tanyaku sambil memegang pundaknya. Tiba-tiba saja Anna memelukku.
“Aku gak mau jauh dari kamu Rio.” Kata Anna lirih. Ya, meskipun sangat lirih, aku masih dapat mendengarnya. Reflek, tanganku langsung memeluk tubuh Anna.
“Aku juga gak mau jauh dari kamu Anna. Aku sayang kamu.” Kata-kataku begitu saja meluncur tanpa bisa kukendalikan karena aku sudah terbawa suasana. Dan yang kurasakan, tangan Anna makin erat memelukku.
“Anna.” Kataku pelan.
“Iya, Rio.”
“Kita mau pelukan sampe kapan? Ini udah jam berapa? Nanti kita telat nyampe sekolah lho.”
“Eh, eng.. Iya iya Yo, maaf.” Katanya kemudian melepaskan pelukannya. Pipinya memerah.
“Yuk, cepetan. Nanti kita bisa telat lho, jam pertama jam-nya Bu Sinta.” Kataku sambil menarik tangan Anna mengajaknya berlari.
“Yuk.” Ujar Anna pelan kemudian mengikutiku berlari.
Entah kenapa pagi ini begitu berbeda dari kemarin. Ada beban berat yang sepertinya sudah terlepas dari punggungku sehingga aku bisa bergerak bebas. Tertawa lepas dan tersenyum puas melihat Anna yang juga tampak tertawa riang.
***
“Teeett!!” Bel istirahat baru saja berbunyi. Suasana kelas yang tadinya senyap mendadak berubah riuh oleh suara siswa yang mulai mengobrol dan juga melangkah keluar menuju ke kantin. Sedangkan aku masih tetap duduk di kursiku dan mengutak-atik rumus matematika yang entah mengapa seolah menantangku dengan variable mematikannya.
“Rio, ke kantin yuk.” Ajak Anna tiba-tiba.
“Wesssss!! Annaaa…” ujarku kaget. Nampak Anna terkekeh melihat tingkahku.
“Hahaha. Serius banget sih Yo. Udah deh, itunya nanti aja. Sekarang ke kantin dulu yuk, laper nih.” Kata Anna sambil mengelus-elus perutnya.
“Iya iya. Yuk.” Aku bangkit berdiri.
Kami berjalan berdua menuju ke kantin sambil sesekali membahas materi pelajaran. Sesekali ada candaan diikuti tawa dari mulut kami. Sesampainya di kantin, kami langsung memesan makanan dan mencari tempat duduk.
“Selamat makaaan.” Ujar Anna ketika bakso dan es sirup pesanan kami datang. Tanpa menunggu aba-aba, Anna langsung melahap bakso di hadapannya. Aku hanya bisa melongo melihatnya.
“An, kamu laper ya?” tanyaku masih tak mengalihkan pandangan dari Anna.
“Banget Yo, tadi pagi gak sempet sarapan. Bangun kesiangan soalnya.” Kata Anna sambil nyengir.
“Makanya jangan begadang terus dong Anna. Jaga kesehatan, jangan sampe gak sarapan. Sarapan itu penting lho. Biar gak lemes kalo pagi-pagi ada aktivitas yang banyak.” Ujarku panjang lebar tanpa sadar.
“Rio.” Kata Anna pelan.
“Iya Anna.” Jawabku. Kulihat raut mukanya berubah serius.
“Aku gak pengen jauh dari kamu Yo. Cuma kamu yang selalu perhatian dan selalu ada buatku bagaimana pun kondisiku.” Dan tangan Anna menggenggam tanganku.
“Aku gak bakal jauh dari kamu An.” Ujarku sambil tersenyum. Namun sejujurnya aku ragu apakah bisa tetap berada di dekat Anna. Karena aku tahu, dia akan pergi jauh selepas lulus nanti. Ah! Semakin tak menentu saja.
“Anna, bisa ngomong sebentar gak?” Tanya seseorang yang tiba-tiba ada di samping Anna.
“Ngomong apa Denis?” Anna bertanya balik.
“Udah, ikut aku dulu yuk.” Ujar Denis kemudian menarik tangan Anna.
“Enggak ah, aku mau makan dulu.” Kata Anna menolak. Tapi Denis sama sekali tak melepaskan tangan Anna.
“Ayolah An.” Kata Denis lagi. Anna tak menjawabnya, hanya berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Denis, tapi tak mampu.
“Eh, jangan gitu dong. Kalo Anna gak mau, ya jangan dipaksa.” Ujarku.
“Jangan ikut campur. Ini urusan gue sama Anna.” Kata Denis tanpa menatapku. Anna masih berusaha menarik tangannya walaupun itu tak mungkin karena tenaga Denis lebih besar.
“Denis. Lepasin Anna!” teriakku karena tak tahan melihat sikap Denis. Sontak, aku menjadi perhatian semua orang yang ada di kantin.
Tanpa berkata apapun, tiba-tiba Denis melepaskan tangan Anna kemudian berjalan ke arahku kemudian.. BUGG!! Sebuah tinju yang cukup kuat melayang ke wajahku. Aku yang tak siap karena masih duduk di kursi pun terjatuh. Kepalaku membentur lantai cukup keras. Mendadak ada rasa sakit yang amat sangat menjalar memenuhi kepalaku dan pandanganku mulai kabur.
“Rio!” aku masih mendengar suara Anna dan melihatnya mendekatiku yang tak mampu bangun. Tapi semuanya semakin gelap dan aku pun tak sadarkan diri.


~ to be continued ~


Yang lagi gak buru-buru, bisa dong ya ninggalin komen di kotak komentar. Gratis kok, gak usah bayar. :p
Share: