Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan

Gloomy Spring | A Hyouka FanFiction

Gloomy Spring

“Ini teh anda, o hime-sama,” ucap seorang pemuda berpakaian pelayan sambil meletakkan sebuah nampan dengan secangkir teh di atasnya.
“Oreki, kita hanya berdua. Apa kau lupa dengan permintaanku waktu itu?” Seorang gadis dengan rambut panjang yang hitam berkilau nampak merajuk. Memasang wajah yang ditekuk.
Oreki Houtarou, pemuda itu, hanya bisa menghela napas mendengarnya. “Baik-baik. Maafkan aku, Chintanda.” Chintanda Eru, tersenyum. Dia meraih cangkir itu lalu meminumnya hingga tersisa setengah, lalu meletakkannya lagi.
“Jadi, bagaimana perkembangan terakhir dari novel yang kau tulis? Aku dengar sudah memasuki bab terakhir?” Oreki sudah bisa menduganya. Sebuah pertanyaan pembuka yang akan menarik lebih banyak pertanyaan baru jika dia tidak pandai-pandai mencari jawaban yang ‘tepat’.
“Hampir selesai. Tinggal memasukkan unsur kejutan sebagai pukulan terakhir lalu membuat ending yang sesuai agar tidak menghancurkan keseluruhan cerita.” Oreki menjatuhkan dirinya di teras kayu di depan pintu kamar Chitanda. Matanya menatap kosong halaman belakang yang luasnya hampir setara dengan rumahnya.
“Unsur kejutan? Pukulan terakhir?” Chitanda tak henti-hentinya menggumamkan kata-kata itu. Sesuatu yang asing bagi orang sepertinya. Tanpa disadari Oreki yang masih menikmati kekosongan dalam lamunan, Chitanda merangsek mendekati pintu. Mendekatinya.

Oreki menoleh, mendapati Chitanda yang kepayahan bergerak dengan selimut yang masih membungkus tubuhnya. Reflek, dia bangkit kemudian meraih tubuh lemah itu ke dalam pelukannya. Menuntunnya kembali ke futon yang masih hangat karena baru saja ditinggalkan beberapa menit saja.

“Jangan sembrono, Chitanda! Lain kali panggil saja aku! Kau tidak perlu susah payah bergerak seperti ini!” Nampak kegusaran di wajah Oreki yang biasanya hanya menampilkan ekspresi datar seperti kayu dengan mata seperti milik ikan mati. Dan semua itu tertangkap jelas oleh iris ungu Chitanda yang pelupuknya mulai terasa panas. Sementara Oreki, dengan lembut membantu Chitanda rebah lalu menyelimutinya.

Hening memasuki kamar luas itu. Mengubah musim semi yang seharusnya terasa hangat menjadi dingin dan menusuk. Setidaknya di antara Oreki dan Chitanda. Membawa mereka ke dalam lamunan masing-masing. Namun, apa yang mereka pikirkan kurang lebih sama

Mereka bertemu di awal musim dingin ketika keluarga Chitanda sedang mencari pelayan pribadi untuk merawat Chitanda yang memiliki kondisi tubuh yang lemah. Di saat itulah Irisu Fuyumi, putri dari salah satu kenalan keluarga Chitanda mengenalkan sosok Oreki Houtarou kepada mereka.

Awalnya, keluarga Chitanda kurang menerima karena mereka menghendaki pelayan wanita. Tapi setelah diyakinkan oleh Irisu, mereka pun luluh. Akhirnya, Oreki pun bekerja sebagai pelayan pribadi sekaligus penjaga Chitanda Eru, sang tuan putri. Dan ketika mereka hanya berdua saja, Oreki akan berubah menjadi sosok yang lain. Seorang teman. Seorang yang selalu menceritakan hal-hal menarik. Seorang yang tak pernah jemu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dia tanyakan sekalipun itu membosankan. Dan, yang tidak diketahui oleh banyak orang, bahkan oleh Oreki, Chitanda sudah menganggapnya sebagai sosok yang sangat dia kagumi. Yang dia cintai.

Yang belum lama ini terjadi, adalah ketika pohon sakura di halaman belakang mekar. Mata ungu Chitanda tiba-tiba bersinar dan sama sekali tidak menyiratkan sorot mata seseorang dengan keadaan yang sangat lemah. Dan dengan rasa keingintahuannya yang sangat besar, Chitanda memberondongnya dengan berbagai pertanyaan tentang sakura.

“Oreki, kenapa pohon itu baru mekar di musim semi?”
“Oreki, apakah dia bisa mekar di musim lain?”
“Oreki, kenapa warnanya bisa seindah itu?”
“Oreki, bagaimana rasanya duduk di bawah sana?”
“Oreki, maukah kau duduk di sana denganku?”

Ah, pertanyaan terakhir itu sepertinya hanya ada di dalam ruang imaji Oreki yang saat ini tiba-tiba terkekeh. Dia sudah kembali dari lamunannya. Dari ekor mata, dia dapat melihat wajah Chitanda yang nampak sedang tertidur. Dia menghela napas. Memerintahkan kepanikan yang tadi sempat merayapinya agar segera pergi dan menghilang. Lalu dia teringat sesi penutup tanya jawab saat itu. Perubahan peran. Oreki menjadi bagian penanya.
***
“Chitanda. Apakah kau merasa bahagia menjalani hidup seperti ini?” Sebuah pertanyaan yang langsung mengenai sasaran. Chitanda seperti tertohok. Ada rasa menyesal yang muncul di hati Oreki. Ingin sekali dia meralat pertanyaan itu, tapi buru-buru dia batalkan ketika Chitanda sudah mulai bicara.
“Aku tidak bahagia.” Oreki tercekat.
“Chitanda, maaf. Kau tidak harus-“
“Hanya bisa terbaring di sini menunggu belas kasihan orang lain. Tidak bisa menjalani hidup layaknya orang normal. Aku sama sekali tidak bahagia, Oreki. Terkadang, aku benar-benar ingin mati.” Chitanda tersenyum. Sebuah senyum penuh kegetiran.
“Tapi … baru-baru ini aku mulai merasa bahagia. Terlebih setelah kau hadir.” Kalimat terakhir diucapkan dengan suara yang amat lirih. Membuat Oreki harus memelengkan kepalanya untuk berusaha menangkap suara itu.
“Ha?”
“Oreki. Aku ingin menjadi seperti sakura. Meskipun hanya mekar di musim semi dan lenyap bahkan sebelum musim semi berakhir, sakura selalu bisa terlihat indah. Begitu hidup. Dan saat ini, aku merasa benar-benar hidup, Oreki. Terima kasih.” Chitanda menutup kalimatnya dengan sebuah senyuman yang nampak begitu bersinar di mata Oreki.
“Terima kasih?” Oreki tidak mengerti. Chitanda seolah enggan menjawab ketidakmengertian Oreki dan hanya tertawa kecil.

***

“Kau belum menghabiskan tehmu,” ucap Oreki lirih sambil menarik nampan dengan secangkir teh di atasnya. Yang sudah dingin.

Tepat sebelum dia bangkit dan beranjak dari sisi Chitanda, Oreki merasakan sesuatu yang menarik ujung lengan panjang bajunya. Tangan mungil Chitanda. Sebuah tarikan yang sangat lemah, yang meskipun dapat dengan mudah dilepas, Oreki memilih untuk kembali duduk. Meraih tangan itu lalu menggenggamnya. Erat.

“Maafkan aku, hime. Mungkin ini adalah pertemuan terakhir kita.” Oreki mengangkat tangan itu ke depan wajahnya lalu menciumnya. Lembut. Membuat Chitanda terbangun tanpa disadari.
“Oreki?” ucap Chitanda lirih. Oreki menyambut wajah yang masih dikuasai kantuk itu dengan sebuah senyuman. Berusaha menyamarkan air mata yang tadi sempat jatuh.
“Maaf sudah membangunkanmu.”
“Oreki, bolehkah aku meminta kau melakukan sesuatu?” tanya Chitanda. Ada keraguan yang tersirat di dalam suara itu. Juga kelemahan.
“Kenapa kau harus bertanya? Apapun akan kulakukan untukmu hime- Chitanda. Apa itu?” Oreki membantu Chitanda untuk duduk.
“Tolong bawa aku keluar. Ke bawah pohon sakura itu.” Sebuah permintaan sederhana yang terlontar dengan suara yang seolah sedang meminta kehidupan. Oreki merasakan ada yang tidak beres. Tapi dengan segenap tenaga, dia berusaha mengabaikannya.

Tanpa mengucapkan sepatah katapun, Oreki mengangkat tubuh Chitanda dari futon. Membawanya dengan perlahan keluar dari ruangan luas yang terasa sunyi itu. Tubuh lemah itu terasa begitu ringan dan juga rapuh. Dengan mantap, Oreki terus berjalan melewati pintu, menuju jalan setapak di halaman belakang itu, lalu berhenti di bawah kelopak-kelopak sakura.

“Kita sudah sampai.” Dengan perlahan, Oreki menurunkan Chitanda. Membiarkannya duduk bersandar di batang kokoh sakura. Lalu dia jongkok bertumpu satu lutut di hadapannya.
“Oreki, maukah kau mendengarkan permintaanku?”
“Tentu, akan kudengarkan.”
“Tapi … tolong dengarkan permintaan ini sebagai sebuah permintaan dari seorang Chitanda Eru, seorang gadis biasa bukan seorang tuan putri. Dan aku meminta jawaban dari seorang Oreki, bukan seorang pelayan tuan putri. Bisa?”

Napas Oreki tertahan. Sebuah permintaan bersifat personal!

“Y-Ya.” Oreki tidak bisa menyembunyikan kegugupannya.
“Oreki Houtarou. Aku …”
Sesak mulai memenuhi seisi dada Oreki. Terlebih ketika tubuh Chitanda mulai condong ke arahnya. Tak lagi bersandar.
“… selama ini …”
Detak jantungnya mulai berakselerasi.
“… aku men-“

Chitanda ambruk di pelukannya. Tepat sebelum kalimat itu selesai diucapkan. Jantung Oreki seperti hendak melompat keluar. Dengan sigap dia meraih bahu Chitanda dan memeriksa raut mukanya. Sangat pucat dengan napas yang tersengal. Denyut nadinya juga sangat lemah. Dan semakin lemah.

“Chitanda! Bertahanlah! Chitanda!!”

***

Oreki yang masih dibalut setelan hitam-hitam duduk sendirian di teras kayu di depan kamar Chitanda. Matanya menatap kosong halaman luas yang kini terasa jauh lebih kosong. Hanya pohon sakura yang saat ini sedang mekar, satu-satunya entitas tersisa yang bisa dia nikmati. Meskipun, tidak dapat dipungkir, warna sakura yang mekar musim semi kali ini jauh berbeda. Terlihat kusam. Abu-abu. Itulah yang ditangkap oleh mata sembab Oreki.

Di tangan kanannya, sebuah buku berukuran sedang dengan halaman yang tak terlalu tebal terbuka tepat di bagian tengahnya. Mata Oreki sudah beralih dari sakura kusam di hadapannya ke sebuah kertas kecil berisi pesan singkat yang ada di halaman itu.

Terima kasih atas peran yang kau mainkan.
Dengan ini, kau dan keluargamu bebas dari semua hutang dan hukuman.
Kau boleh pergi sekarang.

Oreki menggigit bibirnya. Mengambil kertas kecil itu lalu meremasnya. Dengan langkah gontai, dia berjalan mendekati pohon sakura yang masih mekar. “Novel” yang dia tulis benar-benar selesai. Dengan kematian sang putri sebagai puncak cerita, kisah roman itu benar-benar akan menjadi sebuah kisah yang menyentuh. Tidak hanya menyentuh, tetapi juga mencabik-cabik dan membuat hati setiap pembacanya hancur. Dan kini, Oreki sedang mempersiapkan ending-nya.

Dengan tatapan mata yang kosong, Oreki mengeluarkan sebuah pisau dari saku jaketnya. Kepalanya mendongak. Mengizinkan matanya menatap kelopak-kelopak sakura itu terakhir kali dengan bulir-bulir air mata yang menetes. Dengan satu gerakan, dia menghujamkan pisau itu ke dada kirinya. Tepat mengenai jantungnya. Beberapa detik kemudian, tubuhnya terhempas ke tanah. Sebuah kelopak sakura jatuh di atas wajahnya yang tersenyum bahagia.


Maafkan aku, cinta
Seharusnya aku meminum teh beracun yang tersisa saat itu juga
Agar aku bisa menghadapi kematian bersamamu
Bukan menghadapinya sendirian seperti ini
Semoga di kehidupan berikutnya nanti, aku bisa kembali bertemu denganmu
Bukan sebagai sosok yang berperan sebagai pencabut nyawa
Tapi menjadi seseorang yang mencintaimu
Tanpa kebohongan
Tanpa motif
Tanpa kepura-puraan
Murni sebuah kejujuran
Mencintaimu karena … aku mencintaimu

~ fin ~
Share:

You Can [Not] Forget

You Can [Not] Forget


Aku masih dapat mengingatnya. Punggung milik gadis yang apabila marah bisa membuatku berdarah-darah. Punggung milik gadis yang satu senyumnya mampu membuat sekujur hatiku leleh tak berdaya. Punggung rapuh yang jika kudekap terlalu erat dapat membuatnya pecah berserak. Aku masih dapat mengingatnya dengan jelas.

Di bawah langit malam, tepat beberapa menit sebelum kalender di dinding kamarku habis masa pakainya, gadis berkacamata itu memalingkan tubuhnya dariku. Membiarkanku tenggelam dalam tanya, apa yang sebenarnya dia inginkan sampai harus menarikku ke sini? Aku menyelam mencari jawabannya sendiri. Gadis yang selalu mengagumkanku. Gadis yang tak lain adalah dirimu.

Jika kau tidak menarik tanganku, mungkin aku sudah kehabisan napas dan benar-benar tenggelam. Jemari lentik yang menyentuh punggung tanganku, ditambah senyum simpul yang diapit dua lesung pipi itu benar-benar menarik kesadaranku. Membawanya ke ujung imaji yang lain.

Lalu, tepat setelah kembang api pertama memecah sunyi udara, aku mendengarmu bersuara. Tak terlalu merdu. Tapi napasmu yang hangat bisa kurasa di setiap bisikanmu yang mengalun syahdu di telinga kiriku. Apa kau tahu? Jika bukan karena kelas drama yang pernah aku ikuti semasa sekolah dulu, mungkin saat itu kau akan melihat betapa merah wajah dan salah tingkahnya diriku. Beruntung, ketenangan luarku tetap terjaga hingga kau menyelesaikan kalimat demi kalimat dalam bisikanmu.

Aku memahami setiap kalimatnya. Setiap kata yang menyusunnya. Tapi, ada satu kata yang tiba-tiba aku lupa artinya. Namun ketika aku bertanya, kau hanya memberikan juluran lidah sebagai jawabannya. Aku sedikit kesal, tapi wajah menggemaskanmu itu memupusnya. Ya, aku pun menyerah dan urung kembali bertanya.. Sebagai balasan, aku meraih pucuk rambutmu lalu mengacaknya. Membuatmu memamerkan muka masam yang sangat kusuka.

Apa kau masih mengingatnya? Aku tahu pasti kau masih, karena senyummu selalu terkembang setiap kali aku menceritakannya kepadamu. Meski harus kuceritakan berulang-ulang, aku tidak akan pernah bosan. Meski semua orang menganggapnya percuma, aku dan seluruh kisah kenangan tentang kita akan selalu ada. Sekalipun karena Alzheimer kau akan kembali terlupa, hingga aku tak mampu berkata, aku akan selalu bercerita. Membuatmu untuk kembali mengingatnya. Atau, setidaknya, membuat dirimu selalu mengetahuinya. Bahwa kau pernah dan akan selalu menjadi kenangan yang tak akan tersisih di sudut terindah ceritaku.

Aku masih dapat mengingat punggungmu yang selalu kudekap dari belakang itu. Meski kini tak lagi bisa kudekap apalagi kulihat, tapi ketahuilah, aku masih dapat mengingatnya.

~ stratosfer, 070116 
Share:

Dilema | AndraxNindi Story

"Dilema"

Jalanan pagi ini masih nampak lengang. Sepertinya kebanyakan orang masih terlelap dalam tidur setelah menikmati long weekend kemarin. Hanya sesekali ada satu dua mobil atau sepeda motor yang lewat dengan kecepatan cukup tinggi. Sepertinya, bagi beberapa orang, seolah menjadi berkah tersendiri ketika jalan yang termasuk salah satu jalur utama kota ini berubah sepi. Tapi tidak bagi Andra yang tak pernah menggunakan kendaraan, hanya berjalan kaki ke manapun dia pergi.

Langkah kakinya secara perlahan berubah sedikit lebih cepat. Matanya yang biasa menyorotkan rasa malas yang penuh kegelapan saat ini sedang memancarkan sesuatu yang tak biasa. Dia sedikit gelisah. Apalagi ini menyangkut seorang Nindi. Ditambah karena Nindi salah paham. Dan Andra paham betul bagaimana seorang Nindi jika sedang salah paham.

Pernah suatu waktu Nindi tanpa sengaja melihatnya keluar dari rumah salah seorang teman mahasiswa Nindi. Kebetulan, Nindi dan orang itu sedang tidak akur. Nindi yang sudah kepalang kesal menuduhnya ini-itu. Dan karena hal itu, Nindi sama sekali tak mau bicara dengannya selama satu minggu. Bukan ketika Nindi tidak mau bicara yang membuat Andra gelisah, tapi suasana yang terasa ketika mereka berjalan berdua tetapi tanpa ada suara. Dia benar-benar tidak menyukainya. Dan kali ini dia harus segera berbuat sesuatu.

Setelah berjalan sekitar 15 menit, Andra menghentikan langkahnya. Bukan karena dia sudah sampai di rumah Nindi, tapi karena ekor matanya menangkap sosok Nindi yang sedang berada di taman. Andra membuang napas, lalu kembali menggerakkan kakinya untuk ke arah Nindi.

"Nih, Nin." Seorang pemuda seumuran Nindi tiba-tiba datang sambil mengulurkan tangannya yang menggenggam sebotol minuman dingin.
"Thank, Man," ucap Nindi menerimanya sambil tersenyum. Andra mengurungkan niatnya untuk mendekat.

Dia tahu siapa pemuda itu. Arman, ketua BEM di kampus Nindi. Meskipun tidak satu kampus dan juga tak terlalu kenal, Andra cukup tahu seperti apa sepak terjang Arman karena dia termasuk salah satu sosok yang cukup terkenal. Dan tak jarang, Nindi sesekali bercerita tentangnya. Tak ada sama sekali tanda ketika bercerita kalau Nindi mengenal Arman cukup dekat. Tapi saat ini Andra mulai khawatir. Dari balik sebuah pohon, Andra menyimak apa yang sedang dibicarakan oleh mereka berdua.

"Kamu tadi darimana, Nin?" tanya Arman.
"Dari pujasera," jawab Nindi singkat tanpa menoleh.
"Ngapain? Habis beli apa?" tanya Arman lagi. Pertanyaan Arman membuat Nindi teringat sesuatu. Dia lupa kalau sedang memesan makanan dan tiba-tiba saja lari.
"Ah, aduh. Aku lupa makananku." Nindi menghela napas.
"Jadi kamu belum makan? Gimana kalau makan bareng aku? Hitung-hitung kencan, hehehe," ajak Arman. Andra tersekat.
"Kencan?" tanya Nindi. Dia masih belum mengerti arah pembicaraan Arman.
"Ups." Arman terdiam sejenak, lalu tiba-tiba berdiri di depan Nindi. Dia menarik napas dalam-dalam lalu membuangnya.
"Nin, aku udah lama suka sama kamu. Mau nggak kamu jadi pacarku?" Kalimat itu mengalir mulus tanpa ada kegugupan sedikit pun. Nindi, yang sedang dalam keadaan tidak baik, justru merasa gugup dan aneh.

Jadi selama ini Arman, salah satu mahasiswa populer di kampus, jatuh cinta kepadanya? Sungguh sesuatu yang tidak disangk-sangka. Sama seperti Andra yang saat ini tak bisa bergerak dari tempatnya. Dadanya tiba-tiba terasa panas. Ada sesuatu yang terasa mengancamnya. Mengiris tipis-tipis jantungnya.

Belum sempat Nindi menyampaikan jawaban, tiba-tiba terdengar suara ranting patah dari arah belakang. Nindi dan Arman menoleh. Ekspresi terkejut di wajah Nindi tak bisa disembunyikan. Matanya tidak menatap ke sebuah ranting kering yang seolah sengaja berada di bawah sepatu Andra, tetapi ke arah Andra yang juga memasang ekspresi terkejut.

"Ndra ak-- Andra!" Andra sudah berlari menjauh sebelum suara Nindi dapat menjangkaunya. Dia berusaha bangkit dan ingin mengejarnya, tetapi lengannya ditahan oleh Arman.
"Nindi. Dia siapa? Pacar kamu?" tanya Arman.
"Maaf, Man. Aku harus ngejar dia." Nindi segera berlari meninggalkan Arman yang hanya bisa diam menyusun satu demi satu rangkaian kejadian yang berlangsung baru saja.

Sepertinya Nindi masih tidak bisa mengalahkan Andra untuk urusan berlari. Dia sudah hampir kehabisan napas dan memutuskan untuk mengistirahatkan tubuhnya ke sebuah bangku. Tanpa sepengetahuannya, seorang wanita mendekat. Dengan ramah mengulurkan tangannya.

"Hai. Benar kamu yang namanya Nindi?" Suara itu sontak mengagetkan Nindi.
"Eh, i-iya. Benar." Nindi mencoba menerka siapa wanita yang ada di hadapannya saat ini, tapi tidak mendapatkan petunjuk apapun.
"Kenalin, aku Nayla. Sepupu Andra," ucap Nayla memperkenalkan diri.
"Nindi," balas Nindi singkat.

Perkenalan singkat itu awalnya hanya membawa aura canggung karena masing-masing dari mereka lebih memilih bertanya tentang hal-hal yang tergolong 'aman' untuk ditanyakan. Tapi berkat kelihaian Nayla, suasana itu berangsur cair hingga mulai terdengar canda dan tawa di sela-sela pembicaraan mereka. Terlebih setelah Nayla menjelaskan kalau apa yang Nindi lihat di warung beberapa waktu yang lalu adalah dirinya.

"Ah, jadi aku yang salah sangka. Duh, maaf ya Nay."
"Nin, aku mau minta tolong sama kamu," pinta Nayla tiba-tiba.
"Minta tolong apa, Nay?" Nindi mengernyitkan dahinya yang masih sedikit berkeringat.
"Tolong bujuk Andra supaya mau nerima tawaran kerja di Inggris." Nindi tidak bisa langsung merespon kalimat itu. Kepalanya tiba-tiba berusaha mengeja ulang kalimat tersebut dari awal. Dan di beberapa kata, ada sesuatu yang seperti menghantamnya. Andra, kerja di Inggris.
"Maksud kamu apa, Nay? Andra ke Inggris?"
"Iya, Nin. Papaku, om-nya Andra punya sahabat di sana yang butuh banget tenaga IT. Dan papaku langsung keinget sama Andra. Aku datang ke sini buat ngebujuk Andra, tapi dia bersikukuh nolak tawaran itu." Nayla menjelaskan panjang lebar.
"Lalu, kenapa kamu minta tolong ke aku, Nay?" tanya Nindi lagi. Nayla tak langsung menjawab. Dia seolah berusaha mencari kata-kata yang tepat.
"Alasan Andra menolak tawaran itu, dia bilang kalau di sini, dia punya seseorang yang sangat dia cintai. Dan nggak mungkin dia tinggal pergi, Nin. Dan setelah melihat kalian tadi, aku jadi tahu kalau seseorang yang dimaksud Andra itu kamu."

Dada Nindi terasa sesak. Dia sudah tahu kalau Andra memiliki perasaan kepadanya. Tapi kenyataan kalau dia belum benar-benar jujur pada perasaannya sendiri di saat Andra akan pergi sangat memukulnya. Terlebih kali ini, dia harus bisa meyakinkan Andra agar mau pergi. Apakah dia mampu?

Hampir setiap hari dia selalu bersama Andra. Dan sebentar lagi, akan ada waktu ketika kebersamaan itu berlalu. Nindi sepenuhnya sadar, kalau dia bisa saja dengan egois menolak permintaan Nayla agar Andra tidak pergi. Agar dia bisa selalu berada di sampingnya. Tapi di sudut kecil di dalam dirinya, dia sangat menginginkan yang terbaik bagi Andra. Dan Inggris sepertinya menjanjikan hal itu. Dilema dalam pilihan yang tidak pernah dia alami sebelumnya.

"Oke, Nay. Aku akan bujuk Andra," ujar Nindi sambil menahan air mata yang sudah menggantung di ujung matanya. 

~ to be continued
Share:

Seseorang | AndraxNindi Story

"Seseorang"

Sabtu pagi ini, langit terlihat cerah. Tak ada satu pun awan kelabu yang beberapa hari kemarin bertengger menghalangi sinar matahari. Bulir-bulir embun bening berkumpul di ujung-ujung daun. Hawa dingin seolah menahan mereka untuk jatuh, seperti halnya Andra yang masih bersembunyi di balik selimut tebal. Padahal alarm yang berada 1 hasta darinya sudah meraung-raung sejak 1 jam yang lalu. Gravitasi kasurnya begitu kuat, sebelum semuanya buyar oleh dering ponsel. Terutama karena sebaris nama di layarnya.

"Ee ... halo?" Andra masih tak beranjak.
"Kamu udah nyampe mana?" tanya lawan bicara Andra.
"Aku masih di jalan nih. Tahu sendiri, kan aku nggak ada kendaraan, jadi agak lama," balas Andra. Kali ini dia sudah duduk.
"Kamu tahu, kan ini udah jam berapa? Kamu tuh ya, suka banget bikin orang nunggu."
"Iya iya. Tunggu bentar lagi." Andra menutup teleponnya lalu bergegas bersiap-siap.

***

"Nin, kamu mau ke mana? Jam segini kok udah rapi banget?" tanya Mama ketika melihat Nindi, putri kesayangannya sudah rapi dan wangi.
Nindi tersenyum. "Ada deh, Ma. Cuma mau main, kok."
"Sama Andra? Ciyee ... kapan kalian jadian? Papa cocok banget lho kalo kamu sama dia." Mendengar kalimat Papanya, Nindi tersipu. Dia yakin kalau beberapa hari ini, selepas 'insiden' telepon Andra, Papa dan Mama menyadari suasana hatinya yang sedang berbunga-bunga.
"Kami belum jadian kok, Pa. Hehehe."
"Lha? Buruan tembak aja. Dia kan orangnya baik. Sopan pula." Kali ini mama yang bersuara. Sementara papa dengan lahap menikmati semangkuk sup di hadapannya.
"Doain aja deh ya, Pa Ma. Soalnya Andra tuh orangnya kurang peka. Kalo enggak dipojokin dulu pasti nggak mau ngaku," terang Nindi.
"Ya udah, sarapan dulu sini," ajak mama.
"Enggak deh, Ma. Aku mau sarapan di luar."
"Sama Andra?" selidik papa.
"Papa apaan sih." Nindi pun berlalu di balik pintu.

Kaki-kaki Nindi menuntun pemiliknya ke sebuah area pertokoan. Karena masih cukup pagi, beberapa kios nampak belum buka. Hanya beberapa kios yang menjual kebutuhan sehari-hari serta satu dua kios yang menjual makanan yang sudah stand by menunggu kedatangan pelanggan. Nindi berjalan ke arah sebuah kios yang terletak di paling ujung barisan. Warung nasi soto, tempat sarapan favorit Andra. Sebenarnya niat Nindi bukan ingin sarapan, tapi ingin bertemu Andra. Bibirnya melengkung melukiskan senyum.

"Eh, pagi Mbak Nindi. Mau pesen apa?" sapa seorang ibu paruh baya dengan nada ramah.
"Pagi, Bu Anti. Kayak biasanya deh." Nindi hendak berjalan mencari tempat duduk ketika matanya melihat pemandangan tak biasa di salah satu dari sekian meja yang ada.

Dari balik lensa kacamatanya, Nindi melihat Andra sedang duduk berdua dengan seorang perempuan. Hanya berdua. Lebih dari itu, atmosfer di antara mereka terasa hangat dengan kalimat-kalimat dan tawa yang terdengar. Bahkan dia tidak pernah melihat Andra bisa tersenyum dan tertawa seperti itu ketika bersamanya.

Nindi menggigit bibir bawahnya. Ada yang tak beres di sini. Bukan Andra, tapi sesuatu di dalam dirinya sendiri. Dadanya perlahan terasa sakit. Ada sesuatu yang memanas di dalamnya. Seolah lupa pada makanan yang tadi dia pesan, Nindi berlari keluar dari situ.

"Mbak! Ini sotonya udah jadi!" Bu Anti berteriak berusaha memanggil Nindi yang sudah pergi cukup jauh.

Andra yang mendengar Bu Anti berteriak pun mendekat. "Ada apa, Bu kok teriak-teriak?"

Belum sempat Bu Anti menjawab, Andra sudah tahu jawabannya. Semangkuk soto yang tak terlalu banyak, tanpa taburan bawang goreng dengan telur rebus yang diiris menjadi 4 bagian. Kesukaan Nindi. Andra menoleh ke tempatnya duduk tadi, berpikir sejenak, lalu menghela napas.

"Bu, soto ini tolong bungkusin, ya. Biar saya antar ke rumah Nindi," kata Andra.
"Lho, beneran, Mas?" tanya Bu Anti. Andra mengacungkan jempol.

Andra berjalan kembali ke mejanya lalu duduk di kursinya dan meminum teh hangatnya yang tinggal setengah hingga habis. Gadis di depan Andra yang dari tadi sibuk mengutak-atik ponsel itu nampak heran.

"Ndra, buru-buru amat. Mau ke mana?" tanya gadis berambut sebahu itu.
"Ke rumah Nindi," jawab Andra singkat.
"Pacar kamu?"
"Calon. Eh--"
"Hahaha. Ya udah, sana. Lagian urusanku sama kamu juga udah selesai. Makanannya biar aku yang bayarin."
"Iya. Makasih ya, Kak."

Setelah menerima bungkusan plastik hitam dari Bu Anti, Andra segera berlari menuju ke rumah Nindi. Kali ini dia hanya bisa memikirkan 1 hal, Nindi pasti cemburu melihatnya duduk berdua bersama gadis tadi. "Aku harus pinter-pinter pilih kalimat buat jelasin ke Nindi, nih," batin Andra. Dia tak menyadari gadis yang tadi makan bersamanya, diam-diam membuntutinya.


===

~ bersambung
Share:

Rindu yang Kusimpan Untukmu


https://45.media.tumblr.com/4a369230a50af62235571628ab23ebc3/tumblr_nclvp8RfUK1tfluxko2_500.gif

Rindu yang Kusimpan Untukmu

Hujan baru saja reda seiring langkah ringan milik seorang gadis yang membawa tubuh ramping itu melewati sebuah gerbang masuk yang terbuat dari kayu. Di balik gerbang setinggi 3 meter itu terhampar sebuah pekarangan dengan bangunan rumah megah di ujungnya. Payung putih yang masih basah sudah terlipat dan tergenggam erat di tangan kiri. Setelah berjalan beberapa meter dari gerbang, melewati taman dengan kolam di sebelah kiri dan barisan pepohonan di sebelah kanan, gadis yang masih memakai seragam sekolah itu berhenti tepat di depan beranda. Selepas berganti alas kaki dari sepasang sepatu hitam menjadi sandal dalam ruangan, dengan kaos kaki yang masih terpakai, dia berjalan menyusuri koridor yang mengarah ke bagian sebelah kiri rumah besar tersebut. Menuju ke sebuah ruangan berukuran 4x5 meter yang terletak di ujung koridor.
“Ah, hari ini sungguh melelahkan,” gumam gadis itu sambil merebahkan diri. Rambutnya yang panjang sudah terurai setelah tangannya dengan cekatan melepaskan ikat rambut yang dari tadi pagi mengubah rambut hitam berkilau itu menjadi gaya ekor kuda.
Setelah beberapa menit tak bergeser dari atas kasur, tangannya meraih sesuatu dari atas meja. Sebuah ponsel berwarna hitam yang langsung dia serang dengan hentakan kedua jempolnya. Sebuah pesan baru saja terkirim ke salah satu ID yang ada di daftar kontaknya.

To : Rka
Text : Apakah kau sudah sampai rumah?
Tak butuh waktu lama, ponsel itu bergetar. Sebuah pesan baru telah masuk.
From : Rka
Text : Ya, baru saja. Masih rebahan di atas tempat tidur. Bagaimana denganmu?
To : Rka
Text : Aku juga. Sedikit malas untuk beraktivitas. Hari ini aku benar-benar lelah.
From : Rka
Text : Dasar, hari ini kau terlalu bersemangat. Beristirahatlah. =]
To : Rka
Text : Ah, soalnya tadi benar-benar menyenangkan. Ya, terima kasih. ^_^

“Dasar,” ucap gadis itu lirih. Ada senyum ditambah rona merah di wajahnya.

Sesi obrolan singkat itu berakhir. Ponsel hitam itu tak lagi bergetar tanda tak ada lagi pesan masuk, sementara pemiliknya nampak mulai kehilangan kesadaran. Rasa kantuk mulai menyergap gadis itu dan perlahan menariknya ke alam mimpi.

Airin yang nampak begitu tenang dalam tidurnya tak menyadari kehadiran seseorang yang dari tadi memperhatikannya sejak memasuki pekarangan. Sosok yang tak lebih tinggi dari Airin itu berjalan mendekat ke tempat tidur Airin. Mengusap pucuk rambut Airin sambil tersenyum. Dengan lembut, sebuah kecupan menyentuh dahi Airin yang tak tertutup poni. Membuat Airin terbangun.

“Hah?” Airin mengucek kedua matanya. Perlahan, tangan kanannya bergerak mengusap dahi yang kini tertutup poni panjangnya yang menjulur turun. Ada sesuatu yang tiba-tiba mengganggu perasaannya. Dia tersenyum. “Mungkin hanya perasaanku saja.”

***
“Selamat siang,” sapa seseorang dari arah pintu. Seorang pemuda yang dari tadi duduk sendirian di dalam ruangan itu menoleh sembari menutup buku di hadapannya.
“Siang, Airin. Kau sendirian?”
“Hai, Raka. Andi mendapatkan tugas piket perpustakaan hari ini, jadi dia akan terlambat.” Airin mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan sambil duduk tepat di hadapan Raka yang perlahan mulai membuka kembali buku bersampul hijau di hadapannya.
“Kau sudah cukup beristirahat bukan?”
“Ah, iya. Praktek olahraga kemarin benar-benar melelahkan. Tapi menyenangkan.” Airin menunduk berusaha menyembunyikan rona merah di wajahnya.
Mata Raka melirik ke arah Airin yang tiba-tiba terlihat gelisah sambil sesekali mencuri pandang ke arahnya. Seolah mengerti jalan pikiran Airin, pemuda itu mengeluarkan sesuatu dari tas ransel yang bersandar di kaki kursinya. Sebuah kotak berwarna merah dengan plastik bening yang masih membungkusnya dengan rapi. Dengan cekatan, dia merobek plastik itu lalu membuka kotak tersebut. Memamerkan bagian bersekat yang masing-masing terisi oleh bentuk-bentuk menarik.
“Camilan. Kau mau?” Raka menggesernya sedikit ke hadapan Airin.
“Coklat!” pekik Airin.

Raka tersenyum melihat mata Airin yang berbinar ditambah senyum yang terlukis di wajahnya. Jika sudah seperti ini, dia bisa dengan tenang membaca karena Airin tidak akan merespon pembicaraan apapun ketika sudah berhadapan dengan coklat. Kecuali jika dia sendiri yang mengajak bicara. Tapi sepertinya, kali ini perkiraan Raka meleset. Senyum Airin yang tadi mengembang tiba-tiba surut berubah menjadi raut murung. Raka kembali menutup bukunya.

“Ada apa? Tumben sekali tidak bersemangat di hadapan sekotak coklat?” Raka dapat melihat kesedihan yang sedang Airin coba sembunyikan.
“Ah, tidak. Coklat ini enak sekali, seperti yang selalu kau bawa ke sini. Hanya saja ….” Kalimat Airin menggantung. Dia menghela napas lalu melanjutkan, “aku rindu ibuku.”

Suasana berubah hening. Terdengar helaan napas Raka selepas mendengar pernyataan Airin. Raka teringat, sebentar lagi adalah hari ulang tahun ibu Airin, sekaligus hari di mana 5 tahun yang lalu beliau, ibunda Airin, meninggal dalam sebuah kecelakaan lalu lintas. Jantung Raka serasa diperas ketika melihat mata Airin yang mulai sembab. Terlebih ketika dia ingat bagaimana perubahan sikap Airin yang cukup kontras selepas kehilangan ibunya. Raka harus meluangkan waktu sepulang sekolah menunggu Airin duduk diam di depan nisan ibunya tanpa berbuat apa pun lalu mengajaknya untuk pulang. Begitu seterusnya hingga keluarga besar Airin memutuskan untuk membuatnya tinggal di tempat kakeknya.

“Kau ingin mengunjungi makam beliau?” tanya Raka. Mata Airin melebar.
“Ya! Aku ingin ke sana! Tapi ….”
“Tenang saja, aku yang akan bicara kepada kakekmu,” ujar Raka menenangkan.
“Terima kasih, Raka,” kata Airin senang. Raka tersenyum.
“Apa coklatnya enak?” tanya Raka sambil mengambil sebuah coklat berbentuk hati. Airin yang sibuk mengunyah coklat di mulutnya hanya memberikan anggukan sebagai jawaban.

***
Sudah sejak pagi Raka dan Airin duduk di ruang tunggu stasiun kota. Sesuai dengan rencana, hari ini mereka akan pergi ke tempat ibu Airin dimakamkan. Sudah 3 tahun sejak Airin pindah dan dia belum pernah kembali untuk mengunjungi makam ibundanya. Meski sudah berkali-kali berusaha meyakinkan kakeknya yang kolot agar mengizinkannya pergi, berkali-kali pula kakeknya dengan tegas melarang Airin untuk pergi. Dan hari ini, berkat Raka, dia dapat pergi berkunjung.

Raka dan Airin berjalan bersisihan menuju ke sebuah kereta yang baru saja datang. Mereka kemudian masuk ke dalam gerbong yang nampak tidak terlalu sesak. Raka segera mencari tempat duduk yang kosong untuk mereka berdua. Perlahan, kereta tersebut mulai berjalan. Kaki-kaki kokohnya mulai berderap di atas lintasan baja dengan mantap.

Raka dan Airin yang duduk berhadapan lebih banyak menghabiskan waktu dengan memandang ke luar jendela. Ada banyak hal yang saat ini berkelebat di dalam kepala mereka masing-masing. Sesekali mereka mengobrol, tapi kemudian kembali dalam hening. Airin terlihat senang, tapi juga terlihat tak tenang. Sementara Raka yang sesekali melirik ke arah Airin juga memikirkan sesuatu yang mengganggunya sejak pagi tadi.

“Rin, kau mau?” Raka menyodorkan sebuah kotak bekal berisi bermacam-macam kue kering kepada Airin.
“Ah, ya. Terima kasih.” Tangan Airin segera mengambil sebuah kue lalu memakannya.
“Sebentar lagi sampai.”
“Iya.”

***
Setelah berganti kendaraan dengan naik sebuah bus kemudian berjalan beberapa ratus meter dari sebuah halte, Raka dan Airin tiba di depan sebuah komplek pemakaman umum. Sebuah gapura besi yang berdiri angkuh terasa menyambut kedua tamunya dengan tatapan dingin. Setelah memantapkan hati, Airin melangkah melewati gapura itu diikuti Raka yang segera menyesuaikan langkah dan berjalan di sebelahnya.

Langkah Raka dan Airin terhenti di depan sebuah nisan yang terbuat dari marmer putih. Sebuah nama dan tanggal terukir di atasnya. Dengan perlahan, Airin membungkuk lalu duduk di hadapan nisan tersebut. Diikuti Raka yang sudah duduk di sebelahnya, Airin memejamkan kedua mata lalu mulai memanjatkan doa. Kemudian menaburkan bunga yang sudah dia siapkan sebelumnya.

Setelah merasa cukup, Airin berdiri dan berniat berjalan pergi sebelum pergelangan tangannya terasa ditarik. Raka menahannya.

“Airin. Sudah 3 tahun sejak terakhir kali kau ke sini. Apakah kau tidak ingin berada di sini sedikit lebih lama?” tanya Raka sambil menatap punggung kecil Airin.
“Aku hanya tidak ingin lagi larut dalam kesedihan, Ka. Itu saja.”
“Kau yakin ingin begitu?” tanya Raka lagi. Dia sudah melepaskan tangan Airin dari genggamannya.
“Ya. Bukankah akan merepotkan jika kau harus menunggu dan merayuku agar mau pulang seperti dulu?” Lagi-lagi ada sesuatu yang terasa menekan dari dalam dada Raka. Terlebih ketika dia melihat air mata Airin yang sudah jatuh saat Airin menoleh ke arahnya.
“Jangan bohong! Hanya dengan sekali lihat pun aku bisa tahu kalau kau sangat ingin berada di sini lebih lama!” Raka tak dapat menahan dirinya untuk tidak meluapkan perasaannya. Membuat Airin tersentak kaget.
“Kenapa kau memarahiku? Apakah salah jika aku tidak ingin merepotkanmu? Aku sudah dewasa! Aku berhak melakukan apa yang ingin kulakukan!kata Airin tak mau kalah. Kali ini dia sepenuhnya berdiri menghadap Raka. Kesedihan, kemarahan, keraguan, kepedihan, semua tergerus menjadi satu di suara paraunya.

“Lalu, apakah salah jika aku mempedulikanmu? Hanya ini yang bisa kulakukan untukmu,” ucap Raka lirih. Dia tertunduk. Airin terdiam.
“Aku … hanya merasa … kesepian,” ucap Airin terbata-bata.
“Aku ada di sini, Airin. Apa kau juga ingin membuangku?” Mendengar pertanyaan Raka, Airin tercekat. Kali ini dia yang merasakan jantungnya ditekan kuat-kuat.
“Tidak! Aku hanya … aku ….” Airin mendekat satu langkah ke arah Raka. Suasana berubah hening.
“Bolehkah aku … memanggilmu seperti dulu?”
“Aku tidak keberatan.”

Seolah adegan lambat dalam sebuah film, tangan Airin menyentuh dada bidang Raka lalu membenamkan wajahnya di situ. Isak tangisnya perlahan terdengar jelas. Seiring bisikan lirih yang juga berubah menjadi suara penuh kepedihan.

“Aku … aku merindukan ibu, kak! Aku merindukan ibu. Kak Raka, aku ingin bertemu lagi dengan Ibu!” Suara penuh kerinduan yang putus asa itu memecah kesunyian.

Tanpa kata, Raka meraih tubuh mungil Airin lalu mendekapnya dengan erat. Tak ada yang bisa dia lakukan selain mencurahkan seluruh waktu yang dia punya untuk adik yang paling dia sayangi. Apalagi setelah seluruh keluarganya menyalahkan dirinya akibat kecelakaan yang menghilangkan nyawa ibu Airin, yang juga ibunya. Seluang apa pun waktu, dia akan habiskan untuk berada di dekat Airin.

“Maafkan kakak, Rin. Seharusnya kakak yang terbaring di sini, bukan ibu. Maafkan kakak,” ucap Raka sambil memeluk erat Airin.
“Kak, kau tidak salah. Ini sudah takdir yang tidak bisa dihindari. Terima kasih karena selama ini sudah dengan tulus menjagaku.” Airin menyeka air mata Raka.
“Terima kasih, Rin. Kau benar-benar tumbuh menjadi gadis yang baik,” ucap Raka sambil tersenyum. Pipi Airin memerah mendengar pujian Raka.

Dengan mata yang masih merah dan wajah yang masih basah dengan air mata, dua orang yang selama ini menyembunyikan kenyataan bahwa mereka adalah kakak beradik tersebut saling tersenyum satu sama lain. Tapi senyum di wajah salah satu dari mereka tiba-tiba lenyap.

“Maafkan Ibu yang tiba-tiba pergi meninggalkanmu, Raka. Terima kasih kau sudah menjaga Airin dengan seluruh waktumu. Kau menepati janji yang pernah kau buat, Nak. Kau benar-benar anak lelaki kebanggaan Ibu.”

Dari sudut matanya, tepat di belakang Airin, Raka tercekat tak percaya dengan apa yang dia lihat. Sosok yang sangat dia cintai dan rindukan lebih dari siapapun kini muncul di hadapannya. Ibu yang sudah pergi dari sisinya beserta kenangan yang selama ini dia buang jauh-jauh tiba-tiba menampakkan diri di depan mata kepalanya.

Raka kecil berlarian di dalam rumah sambil membawa pesawat mainannya. Tanpa dia sengaja, dia menabrak lego berbentuk rumah yang sedang disusun oleh seorang gadis kecil. Airin kecil yang melihat rumah yang tadi dia susun rusak menangis sejadi-jadinya. Hal itu mengundang ibu mereka segera berlari mendekat.
“Raka, kenapa Airin menangis? Apa yang sudah kau lakukan?” selidik Ibu kepada Raka. Meski nampak sedang memarahi putranya, tapi nada suara wanita berpakaian sederhana itu sangatlah lembut. Terdengar begitu bersahaja.
“Aku … aku. Aku merusak rumah yang dibuat Airin! Maafkan aku, Bu,” jawab Raka kecil sambil sesenggukan.
Dengan tatapan teduh, Ibu dengan lembut menarik kedua buah hatinya yang masih menangis ke dalam pelukannya lalu mengusap dengan penuh kasih sayang kepala mereka. “Raka, berjanjilah kepada Ibu jika nanti Ibu tidak bisa lagi menjaga kalian, kau harus menjaga Airin. Kau menyayangi Airin, bukan?”
“Tentu saja, Bu! Aku berjanji, aku akan menjaga Airin dengan seluruh kekuatanku!” kata Raka kecil sambil menepuk dadanya dengan kepalan tangan kecilnya. Hal itu mengundang tawa Ibu. Juga Airin yang nampak kagum dengan suara lantang dan mantap kakaknya, Raka.
“Kau adalah anak lelaki kebanggaan Ibu, Raka.”

Senyum menenangkan dari wajah yang sangat dia rindukan itu membuat Raka tak kuasa menahan air matanya. Dia menangis hingga jatuh bertumpu lutut. Beban yang selama ini menumpuk di dalam dadanya perlahan luruh bersama isak tangis dan air matanya yang jatuh berderai.

Airin yang terkejut menoleh ke arah Raka memandang. Di sana, meski tak terlalu ingat, Airin dapat mengenali wajah itu. Dia tersenyum. Sambil mengusap dahinya, Airin berkata, “Jadi, waktu itu Ibu yang mengecup dahiku?”

Anggukan kecil cukup memberikan Airin jawaban. Dia berbalik kemudian memeluk erat kakaknya yang masih menangis. “Terima kasih, kak. Sekarang, menangislah untuk dirimu sendiri. Lepaskanlah semua beban yang selama ini kau simpan sendiri.”

Bersamaan dengan Raka yang mulai menegakkan kepalanya, sosok wanita paruh baya yang tersenyum penuh kedamaian itu perlahan mulai memudar menjadi bayang. Dengan tangan saling menggenggam erat, Raka dan Airin melepas kepergian itu dengan air mata yang masih mengambang, tapi juga dengan senyum penuh keikhlasan.

Menanggung beban seorang diri untuk waktu yang lama bukanlah hal yang mudah, tapi demi seseorang yang berarti, hal tanpa terasa akan begitu saja terlewati. Sementara memendam kesedihan akibat ditinggal pergi seseorang yang dicintai akan membuat seseorang kehilangan dirinya sendiri. Hanya dengan keikhlasan, beban dan kesedihan yang terpendam akan menghilang. Jadi, sudahkah kau mengikhlaskan kehilangan yang kau dapatkan?

~ fin

Share: