Tampilkan postingan dengan label Cerita. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerita. Tampilkan semua postingan

Dilema | AndraxNindi Story

"Dilema"

Jalanan pagi ini masih nampak lengang. Sepertinya kebanyakan orang masih terlelap dalam tidur setelah menikmati long weekend kemarin. Hanya sesekali ada satu dua mobil atau sepeda motor yang lewat dengan kecepatan cukup tinggi. Sepertinya, bagi beberapa orang, seolah menjadi berkah tersendiri ketika jalan yang termasuk salah satu jalur utama kota ini berubah sepi. Tapi tidak bagi Andra yang tak pernah menggunakan kendaraan, hanya berjalan kaki ke manapun dia pergi.

Langkah kakinya secara perlahan berubah sedikit lebih cepat. Matanya yang biasa menyorotkan rasa malas yang penuh kegelapan saat ini sedang memancarkan sesuatu yang tak biasa. Dia sedikit gelisah. Apalagi ini menyangkut seorang Nindi. Ditambah karena Nindi salah paham. Dan Andra paham betul bagaimana seorang Nindi jika sedang salah paham.

Pernah suatu waktu Nindi tanpa sengaja melihatnya keluar dari rumah salah seorang teman mahasiswa Nindi. Kebetulan, Nindi dan orang itu sedang tidak akur. Nindi yang sudah kepalang kesal menuduhnya ini-itu. Dan karena hal itu, Nindi sama sekali tak mau bicara dengannya selama satu minggu. Bukan ketika Nindi tidak mau bicara yang membuat Andra gelisah, tapi suasana yang terasa ketika mereka berjalan berdua tetapi tanpa ada suara. Dia benar-benar tidak menyukainya. Dan kali ini dia harus segera berbuat sesuatu.

Setelah berjalan sekitar 15 menit, Andra menghentikan langkahnya. Bukan karena dia sudah sampai di rumah Nindi, tapi karena ekor matanya menangkap sosok Nindi yang sedang berada di taman. Andra membuang napas, lalu kembali menggerakkan kakinya untuk ke arah Nindi.

"Nih, Nin." Seorang pemuda seumuran Nindi tiba-tiba datang sambil mengulurkan tangannya yang menggenggam sebotol minuman dingin.
"Thank, Man," ucap Nindi menerimanya sambil tersenyum. Andra mengurungkan niatnya untuk mendekat.

Dia tahu siapa pemuda itu. Arman, ketua BEM di kampus Nindi. Meskipun tidak satu kampus dan juga tak terlalu kenal, Andra cukup tahu seperti apa sepak terjang Arman karena dia termasuk salah satu sosok yang cukup terkenal. Dan tak jarang, Nindi sesekali bercerita tentangnya. Tak ada sama sekali tanda ketika bercerita kalau Nindi mengenal Arman cukup dekat. Tapi saat ini Andra mulai khawatir. Dari balik sebuah pohon, Andra menyimak apa yang sedang dibicarakan oleh mereka berdua.

"Kamu tadi darimana, Nin?" tanya Arman.
"Dari pujasera," jawab Nindi singkat tanpa menoleh.
"Ngapain? Habis beli apa?" tanya Arman lagi. Pertanyaan Arman membuat Nindi teringat sesuatu. Dia lupa kalau sedang memesan makanan dan tiba-tiba saja lari.
"Ah, aduh. Aku lupa makananku." Nindi menghela napas.
"Jadi kamu belum makan? Gimana kalau makan bareng aku? Hitung-hitung kencan, hehehe," ajak Arman. Andra tersekat.
"Kencan?" tanya Nindi. Dia masih belum mengerti arah pembicaraan Arman.
"Ups." Arman terdiam sejenak, lalu tiba-tiba berdiri di depan Nindi. Dia menarik napas dalam-dalam lalu membuangnya.
"Nin, aku udah lama suka sama kamu. Mau nggak kamu jadi pacarku?" Kalimat itu mengalir mulus tanpa ada kegugupan sedikit pun. Nindi, yang sedang dalam keadaan tidak baik, justru merasa gugup dan aneh.

Jadi selama ini Arman, salah satu mahasiswa populer di kampus, jatuh cinta kepadanya? Sungguh sesuatu yang tidak disangk-sangka. Sama seperti Andra yang saat ini tak bisa bergerak dari tempatnya. Dadanya tiba-tiba terasa panas. Ada sesuatu yang terasa mengancamnya. Mengiris tipis-tipis jantungnya.

Belum sempat Nindi menyampaikan jawaban, tiba-tiba terdengar suara ranting patah dari arah belakang. Nindi dan Arman menoleh. Ekspresi terkejut di wajah Nindi tak bisa disembunyikan. Matanya tidak menatap ke sebuah ranting kering yang seolah sengaja berada di bawah sepatu Andra, tetapi ke arah Andra yang juga memasang ekspresi terkejut.

"Ndra ak-- Andra!" Andra sudah berlari menjauh sebelum suara Nindi dapat menjangkaunya. Dia berusaha bangkit dan ingin mengejarnya, tetapi lengannya ditahan oleh Arman.
"Nindi. Dia siapa? Pacar kamu?" tanya Arman.
"Maaf, Man. Aku harus ngejar dia." Nindi segera berlari meninggalkan Arman yang hanya bisa diam menyusun satu demi satu rangkaian kejadian yang berlangsung baru saja.

Sepertinya Nindi masih tidak bisa mengalahkan Andra untuk urusan berlari. Dia sudah hampir kehabisan napas dan memutuskan untuk mengistirahatkan tubuhnya ke sebuah bangku. Tanpa sepengetahuannya, seorang wanita mendekat. Dengan ramah mengulurkan tangannya.

"Hai. Benar kamu yang namanya Nindi?" Suara itu sontak mengagetkan Nindi.
"Eh, i-iya. Benar." Nindi mencoba menerka siapa wanita yang ada di hadapannya saat ini, tapi tidak mendapatkan petunjuk apapun.
"Kenalin, aku Nayla. Sepupu Andra," ucap Nayla memperkenalkan diri.
"Nindi," balas Nindi singkat.

Perkenalan singkat itu awalnya hanya membawa aura canggung karena masing-masing dari mereka lebih memilih bertanya tentang hal-hal yang tergolong 'aman' untuk ditanyakan. Tapi berkat kelihaian Nayla, suasana itu berangsur cair hingga mulai terdengar canda dan tawa di sela-sela pembicaraan mereka. Terlebih setelah Nayla menjelaskan kalau apa yang Nindi lihat di warung beberapa waktu yang lalu adalah dirinya.

"Ah, jadi aku yang salah sangka. Duh, maaf ya Nay."
"Nin, aku mau minta tolong sama kamu," pinta Nayla tiba-tiba.
"Minta tolong apa, Nay?" Nindi mengernyitkan dahinya yang masih sedikit berkeringat.
"Tolong bujuk Andra supaya mau nerima tawaran kerja di Inggris." Nindi tidak bisa langsung merespon kalimat itu. Kepalanya tiba-tiba berusaha mengeja ulang kalimat tersebut dari awal. Dan di beberapa kata, ada sesuatu yang seperti menghantamnya. Andra, kerja di Inggris.
"Maksud kamu apa, Nay? Andra ke Inggris?"
"Iya, Nin. Papaku, om-nya Andra punya sahabat di sana yang butuh banget tenaga IT. Dan papaku langsung keinget sama Andra. Aku datang ke sini buat ngebujuk Andra, tapi dia bersikukuh nolak tawaran itu." Nayla menjelaskan panjang lebar.
"Lalu, kenapa kamu minta tolong ke aku, Nay?" tanya Nindi lagi. Nayla tak langsung menjawab. Dia seolah berusaha mencari kata-kata yang tepat.
"Alasan Andra menolak tawaran itu, dia bilang kalau di sini, dia punya seseorang yang sangat dia cintai. Dan nggak mungkin dia tinggal pergi, Nin. Dan setelah melihat kalian tadi, aku jadi tahu kalau seseorang yang dimaksud Andra itu kamu."

Dada Nindi terasa sesak. Dia sudah tahu kalau Andra memiliki perasaan kepadanya. Tapi kenyataan kalau dia belum benar-benar jujur pada perasaannya sendiri di saat Andra akan pergi sangat memukulnya. Terlebih kali ini, dia harus bisa meyakinkan Andra agar mau pergi. Apakah dia mampu?

Hampir setiap hari dia selalu bersama Andra. Dan sebentar lagi, akan ada waktu ketika kebersamaan itu berlalu. Nindi sepenuhnya sadar, kalau dia bisa saja dengan egois menolak permintaan Nayla agar Andra tidak pergi. Agar dia bisa selalu berada di sampingnya. Tapi di sudut kecil di dalam dirinya, dia sangat menginginkan yang terbaik bagi Andra. Dan Inggris sepertinya menjanjikan hal itu. Dilema dalam pilihan yang tidak pernah dia alami sebelumnya.

"Oke, Nay. Aku akan bujuk Andra," ujar Nindi sambil menahan air mata yang sudah menggantung di ujung matanya. 

~ to be continued
Share:

Index Cerita : AndraxNindi

Oke, berhubung cerpen maupun flashfic dari AndraxNindi udah lumayan meskipun nggak banyak, saya memutuskan untuk membuat index post kumpulan cerita AndraxNindi. FYI, cerpen pertama dari kumpulan cerita ini ditulis secara absurd karena alur dan ending-nya sendiri sama sekali nggak saya rencanakan. Tiba-tiba mengalir gitu aja menjadi sebuah cerita. Dan karena saya sendiri jatuh hati pada pasangan ini, maka jadilah beberapa cerita tentang karakter Andra dengan sikap pura-pura nggak pekanya dan Nindi yang cenderung manja, agak temperamen tapi sensitif.

Ps. Cerita AndraxNindi sebenarnya ditulis tanpa urutan waktu yang sengaja diatur, jadi ada beberapa cerita yang memang nggak nyambung, atau punya alur sendiri. Tapi ada beberapa cerita atau bagian cerita yang terpakai di cerita lain.

Enjoy!

Index :
#6 : Seseorang
#7 : Coming soon~
Share:

Panggilan Telepon (with Extra) | AndraxNindi Story

bakuman from burninglizardstudios.blogspot.com


Panggilan Telepon

Andra berkali-kali mengusap layar ponselnya. Sebuah nama tertera di situ dengan tombol hijau menyala yang membuat Andra sakit kepala. Lewat 30 detik, layar ponselnya masuk ke mode screenlock, lalu jarinya membuka pola kunci dan dia kembali memandangi tampilan itu lagi. Berkali-kali hingga dia lupa kalau sudah hampir waktunya dia berangkat ke tempat salah satu kliennya.
Setelah membulatkan tekad, jempolnya yang kapalan mengetuk tombol hijau menyala itu. Layar ponselnya berganti ke tampilan mode panggilan. Secepat kilat Andra menempelkan ponsel itu ke telinga kanannya.

Nada sambung terdengar. Ritme-nya yang stagnan benar-benar tak seimbang dengan detak jantung Andra yang justru semakin cepat. Seolah secara otomatis memasuki mode akselerasi.

"Halo," ucap suara dari balik telepon tersebut. Andra menghirup napas terlalu dalam hingga dia terbatuk.
"Ndra, kamu nggak apa-apa?" Tersirat kekhawatiran dari nada suara lawan bicara Andra. Nindi.
"Nin, aku mau ngomong sesuatu sama kamu," kata Andra tegas.
"Iya, Ndra. Ada apa? Ngomong aja, nggak perlu izin," balas Nindi.
"Aku ...." Keraguan kembali menguasai Andra. Twit Nindi tempo hari tiba-tiba muncul di dalam kepalanya. Meski sempat merasa melayang, nyatanya Andra masih belum mampu menafsirkan makna dari kalimat yang tak lebih dari bentuk spontanitas dari Nindi. Begitu pikir Andra. Bentuk spontanitas.
"Aku suka sama kamu, Nin. Lebih dari sekedar teman. Kamu--" Andra berhenti sebelum kalimat yang sudah dia susun selesai diucapkan. Telinganya mendengar suara tak enak dari speaker ponselnya.

Andra memosisikan ponsel tersebut di depan mukanya. Terputus. Tekadnya yang tadi menggebu-gebu mendadak lenyap. Tepat sebelum tangannya memasukkan ponsel tersebut ke dalam saku celana, nada dering terdengar. Membuat Andra membatalkan niatnya lalu mengecek siapa yang menelpon. Nindi.

"Halo."
"Ndra, kamu tadi mau ngomong apa? Kok tiba-tiba putus? Kamu nggak apa-apa kan?" Nindi memberondong Andra dengan 3 pertanyaan langsung.
"Ek. Eh, enggak. Nggak jadi. Aku cuma mau nanya, buku catatanku ada di tempatku atau enggak, eh ternyata nyelip di tumpukan. Udah ketemu kok, sorry ya," jawab Andra sambil mengelus sampul sebuah buku di tepian meja.
"Oh, ya udah deh. Aku khawatir tau nggak. Udah dulu ya, aku mau berangkat ke kampus. Daa." Panggilan berakhir.

Tangan Andra lunglai. Dengan sisa tenaganya, dia menekan sebaris angka di layar ponselnya. Setelah sebuah bar warna biru selesai terisi, sebuah kotak dialog muncul. Membuat Andra terkekeh sendiri.

"Sial. Ternyata pulsaku habis."

***
#Extra
Di sebuah jalan beberapa kilometer dari tempat Andra berdiri dan masih meratapi pulsanya yang habis, seorang gadis berkacamata tak henti-hentinya menyunggingkan senyum. Sebuah earphone berwarna putih yang terhubung ke sebuah ponsel  nampak terpasang di kedua telinganya. Rupanya, sumber senyum itu berasal dari musik yang dia dengar dari ponsel itu.

Setibanya di depan zebra cross sebuah perempatan jalan, gadis bertubuh mungil itu berdiri menunggu isyarat lampu lalu lintas untuk memperbolehkan dia dan beberapa orang di sekitarnya untuk menyeberang. Saat itulah dia mengeluarkan ponsel yang dari tadi bersembunyi di dalam saku jaketnya. Dia kembali tersenyum melihat layar ponsel yang menampilkan sebuah media player yang sedang memainkan lagu yang sama dan berulang-ulang sejak si gadis keluar dari kamarnya. Lagu?

"Aku suka sama kamu, Nin. Lebih dari sekedar teman. Kamu--" Rangkaian kalimat tak lengkap yang tersimpan dalam sebuah file dengan nama recording001.wav yang sudah dia dengarkan berulang-ulang ini benar-benar menjadi moodbooster bagi Nindi hari ini.

"Untung aku sempat merekamnya," bisik Nindi.


~ fin
Share:

Belum Saatnya | Flash Fiction

from alicekat.com


Belum Saatnya

 Mata gadis itu menatap tajam sosok yang ada di hadapannya. Seolah sebuah pisau bedah, tatapan itu menusuk jauh dan membelah dalam setiap senti rasa takut milik orang yang saat ini dipandangnya.

"Ini. Kukembalikan." Tangan gadis itu terulur ke depan. Menyerahkan sesuatu yang ada di telapak tangannya yang terbuka di depan dada pemuda itu.

"Kenapa? Bukankah aku sudah katakan padamu kalau kau bisa membuangnya jika tak mau?" Dari suara tegasnya, si pemuda nampak berusaha melawan ketakutan akibat tatapan tajam gadis yang berdiri 2 meter di depannya.

Gadis itu meraih tangan si pemuda. Lalu memberikan benda yang ada di tangannya kepada si pemuda itu. "Aku tak tega jika membuangnya. Benda ini terlalu indah jika harus dibuang. Lagi pula, kau lebih membutuhkannya daripada aku."

Pemuda itu terdiam. Matanya beralih ke benda yang memancarkan kilatan warna merah di tangannya. Matanya sembab.

"Maaf."

"Kau tidak salah, kak. Apa yang terjadi padaku adalah akibat dari tindakanku sendiri. Jika kau terlibat di dalamnya, aku tahu, itu karena kau sangat peduli padaku. Semua yang sudah kaulakukan bagiku sudah cukup untuk membuatku yakin. Sekarang, aku ingin membalasnya." Gadis itu menggenggam tangan si pemuda. Membimbingnya ke dada pemuda yang kini tak bisa lagi menahan panas di matanya.

Pandangan mereka saling beradu. Kali ini tatapan tajam itu mulai meredup, beralih menjadi tatapan teduh. Dalam satu kedipan, tangan si gadis bergerak menusuk dada si pemuda yang kemudian mengerang kesakitan. Perlahan kemudian, pemuda itu tumbang.

"Belum saatnya kau ada di sini, kak," ujar lirih gadis itu setelah melempar tubuh si pemuda ke dalam pusaran hitam. "Kau harus tetap hidup."


~ fin
Share:

Selepas Hujan | AndraxNindi Story

https://lamifidel.files.wordpress.com/2011/09/sun-rays-after-rain.jpg
pic from lamfidel.wordpress.com
 
"Selepas Hujan"


"Yuk pulang," ajakku kepada Nindi yang masih berkutat dengan ponselnya. Dia bergeming.

"Cantiiik~" Kali ini jari-jariku memerangkap hidung mancung Nindi. Memaksanya menengadah. Mengalihkan pandangannya kepadaku.

Tangan kanannya langsung menampik udara. Gagal mengenai tanganku yang sudah duluan menghindar. "Aku udah cantik dari lahir, Ndra." Nindi menjulurkan lidahnya.

Aku tersenyum. Tanpa bicara apa pun, aku bangkit dan mulai melangkah meninggalkan halte. Setelah melangkah sejauh 5 meter, dari ekor mataku, aku melihat Nindi yang berlari mengejarku.

"Andra! Kok aku ditinggal." Nindi cemberut.

"Kamu dari tadi sibuk sendiri, sih," balasku sambil menunjuk ponsel dengan softcase warna biru di genggamannya. Nindi tersenyum.

Hujan baru saja reda beberapa menit yang lalu. Jalan aspal dan trotoar yang kami lewati masih basah menyisakan jejak air yang tadi sempat bergemuruh. Namun hawa dingin yang sejak tadi menyergap masih tertinggal. Beberapa kali kulirik Nindi yang nampak menggigil. Jaketnya terlalu tipis untuk menangkis dingin.

"Nin."

"Hm?" Matanya masih terpaku di layar ponselnya. Lalu memasukkan ponsel tersebut ke dalam tas.

"Dingin nggak?" tanyaku.

"Iya, nih. Mana jaketku tipis lagi." Nindi menyilangkan tangannya. Mendekap tubuhnya sendiri. Ah, ingin rasanya aku menggantikan kedua tangannya yang kurus itu.

"Nih." Kupakaikan jaketku yang cukup tebal ke tubuhnya yang mungil. Kedua tangannya reflek menerimanya. Dia hanya diam.

"Udah nggak dingin, kan?" tanyaku memastikan. Nindi hanya menjawabnya dengan anggukan. Tangannya yang sudah masuk ke dalam lengan jaket tebalku kembali meraih ponsel lagi. Jemarinya dengan lincah menari di atas layar.

Kami berjalan dalam diam. Karena kehabisan bahan ngobrol, aku ikut-ikutan mengeluarkan ponsel hitam yang sudah baret-baret di sana sini. Dengan beberapa kali ketukan, layar selebar 4 inchi di genggamanku sudah menampilkan sebuah halaman berisi baris-baris kalimat dengan sebuah logo burung berwarna biru. Twitter.

Jariku berhenti men-scroll layar ketika mataku menangkap sebuah tweet di halaman tersebut.

"Aku menyukai hujan, seperti aku menyukaimu. Memang seringkali terasa dingin, tapi selalu ada kejutan yang bisa menghangatkanku."

Tweet dari sebuah akun dengan avatar sebuah kacamata ber-frame hitam dengan username yang sangat kukenal.

Jantungku seolah tersengat listrik. Tersentak, hampir membuatku pingsan. Mataku beralih dari ponselku. Melirik pemilik akun yang saat ini sedang senyum-senyum sendiri di sebelahku. Apa-apaan ini?

 ~ fin
Share:

Heartbeat Memory #4 - Daybreak

daybreak cerbung
daybreak from wikinut.com

Daybreak

Bersamaan dengan itu, cahaya yang sedari tadi menyelubungi Saga dan Emilia mulai memudar dan perlahan lenyap. Meninggalkan Emilia yang kemudian jatuh terduduk. Tangannya tergenggam erat di depan dadanya.

“Emi!” Rika dan Ren bergegas mendekati Emilia.


“Rika … aku berhasil mengungkapkan perasaanku kepada Saga,” diikuti sebuah senyum.

Tangis Rika meledak. Dia menghambur memeluk Emilia yang pada akhirnya tak dapat menahan tangisnya. Ren memandang jauh ke langit. Ke titik terang yang memancarkan sinar perak. Lalu tersenyum dan berjalan menjauh. Memberikan waktu bagi dua wanita yang saat ini sedang saling menguatkan satu sama lain.


***


“Terima kasih, kau sudah membebaskanku.” Saga mengusap pucuk rambut Emilia. “Sudah saatnya aku pergi.”


“Apa maksudmu? Kau akan pergi ke mana?” tanya Emilia.


“Emmm … aku harus pergi ke tempat seharusnya aku berada. Tempat yang cukup jauh,” kata Saga yang akan berbalik.


“Apakah kau akan kembali?” Tangan Emilia menarik ujung sweater Saga.


“Entahlah. Tapi jika kau merindukanku, kau bisa menunggu Venus muncul. Aku akan datang menemuimu.” Tangannya meraih tangan Emilia.


Saga berbalik. Dia berjalan menuju selubung cahaya yang menyilaukan mata Emilia. Semakin jauh, punggung itu dari pandangan mata. Rambut perak berkilau itu pun perlahan seolah memaksa Emilia untuk tak melihatnya untuk terakhir kalinya. Membuat Emilia ingin menjerit sekuatnya memanggil pemilik nama Saga itu agar kembali.


***


Emilia mengerjapkan matanya. Mimpi itu datang lagi. Sebenarnya bukan sekadar mimpi, tapi ingatan tentang kenangan terakhirnya bersama Saga. Jika dia pikir-pikir lagi, semua kejadian yang dia alami hari-hari sebelumnya memang benar-benar terasa seperti mimpi. Sebuah mimpi yang sangat nyata baginya.


“Pembohong,” gumam Emilia sambil memandang rona merah langit timur tanda matahari mulai naik melewati horizon. Dia berbalik, meninggalkan balkon rumahnya lalu bersiap untuk berangkat ke kampus.


“Emi, apa kau sudah menyelesaikan tugas essay dari Pak Darwin?” tanya Rika yang duduk di hadapannya.


“Ah, ya. Sudah selesai, ada apa? Kau ingin menconteknya?” tanya Emilia waspada.


“Ya ampun, aku hanya bertanya, Emi. Kau jahat sekali.” Rika cemberut. Pipinya memerah. Emilia yang melihatnya tertawa terbahak. Mendengar tawa itu, Rika mau tak mau harus merasa terharu. Sudah lama tawa itu tak dia dengar. Dan kini, setelah mencubit kedua pipinya sendiri dan merasa sakit, dia merasa lega kalau dia tidak bermimpi.


“Rika, kau tahu? Setiap pagi aku selalu menunggu Venus muncul. Tapi sampai langit cerah, aku tidak bisa bertemu dengan Saga. Ah, aku merindukannya.” Mata Emilia menerawang melewati kaca jendela kantin.


“Emilia,” panggil Rika, dengan lengkap. Ada kekhawatiran di suaranya.


“Hehehe, tenanglah Rika. Aku tahu kalau aku mungkin tidak bisa bertemu lagi dengan Saga, meskipun aku sangat merindukannya. Lagipula …” Emilia menggantung kalimatnya.


“Lagipula?”


“Apa yang akan kau lakukan dengan lelaki yang dari tadi duduk di sampingmu ini?” tanya Emilia sambil mengarahkan pandangannya ke sebelah Rika. Membuat Rika menoleh.


“Ren?!” Rika kaget dan sedikit bergeser dari duduknya semula.


“Hai, Rika. Emilia,” sapa Ren. Tiba-tiba saja atmosfer berubah kikuk.


“Ah, aku lupa. Aku ada janji untuk menjaga perpustakaan siang ini. Aku duluan, ya.” Emilia beranjak dari duduknya. Sebenarnya janji yang dia sebutkan bohong. Dia hanya ingin memberikan waktu kepada Ren dan Rika untuk berdua, karena dia tahu, sudah lama Rika menyukai Ren. Dan baru kemarin, Ren curhat kepadanya kalau dia jatuh cinta kepada Rika, setelah dia ditampar oleh Rika sewaktu di atap tempo hari. Masokis.

Dan sepertinya atmosfer kikuk justru semakin kuat seperginya Emilia.


“Ya ampun, mereka pandai menguatkan dan memberi semangat orang lain, tapi payah ketika menguatkan diri mereka sendiri,” gumam Emilia.

Kelas berikutnya masih sekitar 45 menit lagi. Karena tak ada yang bisa dia kerjakan, Emilia memutuskan untuk pergi ke ruang klub astronomi. Ada beberapa buku yang ingin dia baca di sana. Langkah ringannya membuat Emilia sudah hampir tiba di ruang klub, ketika tiba-tiba dia menabrak seseorang saat berbelok di sebuah koridor hingga terjatuh.


“Oh. Apa kau terluka?” Terdengar suara diikuti sebuah uluran tangan.


Emilia mendongak. Matanya terbelalak melihat wajah yang diliputi kecemasan itu. Bukan, bukan karena gurat kecemasan itu, tapi Emilia terkejut karena sosok yang tiba-tiba muncul di hadapannya saat ini memiliki wajah yang sangat mirip dengan seseorang yang sangat dia kenal. Terlebih rambut berwarna perak yang memikat itu.

~ END(?)
Share:

Seandainya | AndraxNindi Story

http://vignette1.wikia.nocookie.net/devil-survivor-2-the-animation/images/8/8d/Airi_punches_Jungo.png/revision/latest?cb=20130519082317
ilustrasi dari anime Devil Survivor 2 The Animation

'Seandainya'


"Nin, nanya boleh?" tanya Andra.

"Boleh, tapi bayar," jawab Nindi sambil menahan tawa.

"Ya udah, nggak jadi. Dasar matre." Andra mendengus kesal.

Kalimat itu dibalas dengan jitakan tepat di ubun-ubun Andra. Dia mengusap kepalanya sambil meringis kesakitan. Sementara Nindi nampak memasang tampang cemberut andalan. Pipi yang menggembung dan bibir manyun. Pose yang selalu muncul tiap kali Andra membuatnya kesal. Dia tidak menyadari kalau ada mata yang menikmatinya. Ya, siapa lagi kalau bukan Andra.

"Aku rela deh Nin, kamu jitakin sampe botak asal bisa lihat tampang cemberut kamu yang menawan itu," ucap Andra sambil membalik halaman buku di hadapannya.

"Bodo!" bentak Nindi. Wajahnya memerah. "Kamu mau tanya apa, tadi?"

"Gini. Andai suatu saat nanti, kamu dinyatakan punya penyakit yang nggak bisa sembuh lalu divonis bakal mati nggak lama lagi, apa yang akan kamu lakukan?" Pertanyaan itu terlontar tanpa Andra sedikit pun berpaling dari bukunya. Entah kenapa Nindi tiba-tiba merasa khawatir.

"Ndra, kenapa kamu--"

"Udah, jawab aja," potong Andra. Nindi menelan ludah.

"Aku ... bakal ... menghabiskan sisa waktuku sama keluarga dan melakukan hal-hal yang menyenangkan bareng orang yang kucintai." Pipi Nindi kembali memerah.

"Indahnya. Kalau aku apa ya?" Kali ini Andra menutup bukunya. Dari ekor matanya, Nindi melihat Andra yang mendongak dengan tatapan menerawang jauh.

"Kamu ... nggak papa kan, Ndra?" Kali ini kekhawatiran Nindi tak bisa disembunyikan. Dari balik kacamata ber-frame hitamnya, Nindi menatap lekat Andra.

"Hiii! Nin, kenapa?" Andra kaget melihat cara Nindi menatapnya.

"Eh, nggak." Nindi berusaha menyembunyikan sikap kikuknya yang, sayangnya, sudah terbaca Andra.

"Kalo aku ... mungkin bakalan nraktir kamu bakso sampe warungnya tutup," kata Andra diirungi senyuman yang memamerkan barisan gigi yang putih menawan. Kali ini, Nindi yang diam-diam menikmati senyuman itu.

"Ndra."

"Apaan?"

"Kapan kamu mau kena penyakit yang parah terus nggak bisa sembuh?" tanya Nindi. Membuat Andra merinding. Dia bingung kemana pergi kekhawatiran Nindi tadi. Ah, pasti karena bakso.

"Dasar penggila bakso. Tega amat mentingin bakso daripada nyawa teman sendiri. Lagi pula ...." Kalimat Andra tertahan di ujung lidah.

"Lagi pula?"

"Kalau emang suatu saat nanti tiba-tiba waktuku diperpendek Tuhan, yang bakal aku lakukan adalah ngungkapin perasaanku ke kamu. Dan aku nggak bakal mati sebelum melakukannya," ucap Andra. Di dalam hatinya. Membuat Nindi merinding melihat Andra senyum-senyum sendiri.

"Ndra?"

"Aku lapar. Ke tempatnya pak Aji, yuk. Aku yang traktir," kata Andra sambil berdiri merapikan barang-barangnya.

"Sampe warungnya tutup?" tanya Nindi dengan tampang polos. Andra bereaksi dengan menjulurkan tangannya ke wajah Nindi lalu mencubit kuat-kuat hidung mancungnya hingga memerah. Membuat pemiliknya meronta kesakitan.

"Kamu beneran mau aku mati?!"
 
~ fin
 
Yay! Cerita AndraxNindi baru nih. Review-nya ^^ 
Share:

Heartbeat Memory #3 - Iblis Karma

http://img00.deviantart.net/8fd9/i/2008/214/8/c/if_i_was_a_heartless_by_launite.jpg
heartless by launite@deviantart

Sebelumnya,

"Tak perlu khawatir," kata seseorang yang sudah berdiri di samping Rika, "mereka akan baik-baik saja."
Rika menoleh dan kaget melihat siapa yang ada di sampingnya saat ini, "Ren?!"

3 – Iblis Karma
"Tapi, apa yang sebenarnya terjadi? Bukankah Saga seharusnya sudah meninggal? Lalu, bagaimana kau bisa ada di sini?" Pertanyaan Rika meluncur begitu saja. Rasa ingin tahunya lebih unggul dari kecemasan dan kepanikannya. Dasar Rika.
Ren tak langsung menjawabnya. Dia mengarahkan pandangannya ke ujung cahaya yang menyelubungi Saga dan Emilia. Rika memandanginya dengan penuh rasa takjub dan heran. Jujur saja, jika dia lebih memilih untuk menjadi egois, mungkin dia sudah dengan penuh semangat mengejar Ren dari dulu. Dia jatuh cinta padanya, tepat setelah mereka berebut sebatang coklat edisi khusus di sebuah toko. Tapi, dia rela meredamnya demi menolong seseorang yang sudah dia anggap sebagai saudaranya sendiri. Dia merelakan apa yang orang-orang sebut "cinta" demi sesuatu yang menurutnya berharga. Ah, betapa indahnya.
"Saga memang sudah mati, tapi dia tidak benar-benar mati." Kalimat yang diucapkan oleh Ren entah kenapa terasa tak enak didengar oleh Rika. Terutama kata "mati" yang dua kali dia dengar. Rika tak menyukainya.
"Eh, maaf," kata Ren ketika melihat ekspresi Rika, "Saga sedikit berbeda dari kita. Dia-- awas!"
Rika yang sedang fokus mendengarkan kalimat Ren tiba-tiba dikagetkan oleh tangan yang menarik tubuhnya. Membuatnya tenggelam ke dalam dada busung Ren yang kemudian berguling di atas lantai. Rika baru tersadar dan kembali mengontrol dirinya ketika dia melihat Ren tepat berada di bawahnya.
"Kau ... lumayan berat, ya." Wajah Rika memerah, lalu langsung menampar Ren dan berusaha menghindar.
"Apa kau tidak paham kalau mengomentari berat badan perempuan itu tidak sopan?!" bentak Rika. Pipinya masih semerah tomat. Ren melongo.
"Hahaha, maaf. Aku memang payah kalau berurusan dengan perempuan," canda Ren sambil menepuk-nepuk pakaiannya yang kotor.
"Lalu, apa-apaan yang tiba-tiba kau lakukan tadi?" Ren menjawab pertanyaan Rika dengan satu acungan jari ke arahnya berdiri tadi. Rika menoleh, lalu menutupi mulutnya ketika melihat bekas hitam terbakar di situ.
"Apa ini?" tanya Rika gugup.
"Percikan api."
"Api? Aaah, aku benar-benar tidak mengerti!" ujar Rika kesal.
"Rika. Apa kau pernah mendengar cerita tentang 'Iblis Karma'?"

***
Ini adalah kisah yang terjadi sekitar delapan puluh tahun yang lalu. Ada seorang anak laki-laki yang tinggal di sebuah desa. Dia adalah seorang anak yang sangat cerdas dengan masa depan yang sangat terang dan menjanjikan. Tapi meskipun dia terlihat begitu sempurna, dia tetap memiliki sebuah cacat. Saat ia mulai tumbuh, cacat ini semakin nampak dan semakin jelas terlihat. Ia sangat bangga pada kecerdasan dan melihat segala sesuatu yang lain dengan pandangan jijik dan meremehkan.
Dia berpura-pura untuk menerima pelajaran di sekolah dan dari orang dewasa di sekitarnya, tetapi nyatanya pelajaran penting yang seharusnya dia terima tak pernah benar-benar bisa mencapai hatinya. Dia mulai mencemooh kebodohan orang dewasa dan menertawakan hukum dunia.
Arogansi mulai menabur benih-benih karma.
Anak itu secara bertahap mulai menjauh dari lingkaran pertemanan. Menghindar dari keramaian dan mengurung diri dalam kesendirian. Kesepianlah satu-satunya yang menjadi pendamping dan kepercayaannya.
Kesepian adalah tempat persemaian sempurna untuk karma.
Dalam kesendiriannya, anak itu menghabiskan banyak waktu untuk berpikir. Dia berpikir tentang hal-hal yang seharusnya dilarang untuk dipikirkan dan mempertanyakan hal-hal yang lebih baik dibiarkan saja.
Pikiran yang tak jernih menyebabkan karma tumbuh tak terkendali.
Anak itu tidak sadar kalau dia sedang menciptakan lebih dan lebih banyak karma, hingga dia berubah menjadi sesuatu yang tidak manusiawi – Iblis Karma. Sebelum ada yang tahu, desa itu sudah kosong. Semua orang telah melarikan diri dalam ketakutan bayang-bayang Iblis Karma.
Anak itu, Sang Iblis Karma, memutuskan pergi untuk hidup di hutan, tapi semua binatang di hutan pun juga menghilang. Ketika Iblis Karma berjalan, tanaman di sekitarnya tiba-tiba bergerak dan berubah menjadi berbagai bentuk yang tak terbayangkan lalu membusuk dan pada akhirnya mati. Semua makanan yang tersentuh olehnya berubah menjadi racun yang mematikan. Iblis Karma berkeliaran tanpa tujuan melalui bangkai-bangkai hewan, hutan yang termutasi. Akhirnya, ia memperoleh satu kesimpulan.
Dia tak seharusnya hidup di dunia ini.
Iblis Karma meninggalkan kegelapan hutan. Di tepi hutan, di sebuah puncak bukit, ia melihat hal itu. Dihujani oleh cahaya berkilauan, sebuah danau yang dalam terletak di pegunungan. Iblis Karma perlahan berjalan ke danau, berpikir bahwa air yang murni seperti ini pasti akan membersihkan dirinya dari karmanya. Tetapi satu detik setelah dia melangkah masuk ke dalam dalau, air di sekitarnya langsung menjadi gelap dan keruh, dan mulai berubah menjadi racun.
Dia ingin menangis, namun tak ada satu tetes air matapun yang keluar dari matanya. Di dalam dirinya mulai muncul rasa dingin. Menyakitkan. Tak tertahankan. Lolongannya yang tak terdengar membelah malam. Penyesalan akan kebanggaan.
Bagaimana rasanya kehilangan sesuatu yang sangat kau banggakan?
Hingga seseorang muncul di depan matanya yang telah memerah. Seorang yang menjanjikannya sebuah pembebasan.
***
“Penyesalannya berbuah pada sebuah keputusan. Dia tidak bersikap seperti manusia. Tidak menggunakan hati untuk berinteraksi. Iblis Karma tahu, hidupnya benar-benar tak lagi perlu. Lalu … dia pun membelah dadanya sendiri lalu mencabut jantungnya. Berharap dia akan mati. Tapi karmanya melebihi apa yang dia kira. Iblis Karma tetap hidup bahkan setelah jantungnya berhenti berdetak, tepat di hadapannya.”
“Sa—“
“Aku adalah Iblis Karma itu,” tutup Saga. Emilia masih tak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. Tiba-tiba tangan Saga meraih tangan Emilia lalu menuntunnya ke dadanya.
“Apakah kau bisa merasakannya?” tanya Saga. Dada Emilia terasa sesak. Air matanya mulai mengalir membasahi pipinya. Dia tak merasakan apapun di telapak tangannya. Dia tak merasakan denyut jantung Saga!
“Karena itulah,” lanjut Saga, “aku tidak mungkin bisa bersama denganmu, Emilia. Meskipun aku merasakan hal yang sama denganmu.”
“Tapi … aku tidak apa-apa. Aku bisa menerimanya. Aku—“
“Kau juga akan mati jika terlalu lama dekat denganku! Apa kau lupa dengan semua rasa sakit dan berapa kali kau pingsan setiap bersamaku?” potong Saga.
Tangan mungil Emilia mengusap wajah Saga. Ada senyuman yang terlukis di wajah yang masih menitikkan air mata. Perlahan, merangkul tubuh kurus Saga ke dalam pelukannya. Membuat Saga hendak memberontak, tetapi kemudian diam ketika perlahan merasakan kehangatan untuk pertama kalinya. Di dalam pelukan Emilia, dia menutup matanya, merasakan sesuatu yang selama ini dia cari. Air mata yang selama ini seolah mongering, perlahan cair dan mengaliri pipi tirusnya.
***
“Lalu, apa maksudnya pembebasan itu, Ren?” tanya Rika.
“Dia akan terbebas dari karma ketika ada orang yang dapat memberikannya cinta. Dan kupikir, Emilia adalah orang yang dimaksud,” kata Ren. Tapi dari sudut matanya, Rika dapat melihat raut tak bahagia di wajah Ren.
“Apa kau cemburu? Kenapa wajahmu seperti itu?”
“Ah, tidak. Hanya saja.” Ren memberikan jeda yang cukup lama, hingga dia melanjutkan kalimatnya, “Iblis Karma adalah makhluk yang hidup karena karma yang ada di tubuhnya. Jika karma itu terangkat, maka ….”
“Dia akan mati.” Rika membungkam mulutnya.

===

~ bersambung
Share:

Heartbeat Memory #2 - Rooftop

http://cache.desktopnexus.com/thumbseg/1800/1800209-bigthumbnail.jpg

Heartbeat Memory

#2 - Rooftop

Malam semakin gelap. Suasana pun terasa semakin senyap, hanya suara hewan malam yang terdengar seolah sedang melantunkan nada rindu entah ke mana. Bagi Emilia, perburuan malam ini terasa menyenangkan. Bukan karena ini pertama kalinya pergi bersama klub astronomi. Toh, dia malah "menghilang" dan justru pergi bersama Saga. Namun karena bersama Saga lah, dia benar-benar merasa senang. Meski sebenarnya hampir tiap saat dia akan menemui Saga ketika malam tiba.

"Sudah larut. Sebaiknya kau kembali ke kamp," kata Saga memecah sepi.

"Tidak! Aku ingin tetap bersamamu, setidaknya sampai venus muncul." Emilia berkeras. Kali ini, Saga mau tak mau harus menyerah kepada sifat keras kepala Emilia.

"Kalau begitu, kita ke vila saja. Dinginnya mulai terasa," ajak Saga sambil merapikan peralatan.

Mereka berjalan ke sebelah timur bukit. Ke arah sebuah vila yang letaknya agak jauh dari pemukiman. Selama perjalanan, sesekali mereka membicarakan hal-hal astronomi, atau sekadar saling melempar candaan kemudian tertawa satu sama lain. Tak ada satupun dari mereka yang benar-benar mencoba membicarakan hal yang paling dalam yang mereka pendam satu sama lain.

"Jadi, alasan apa yang nanti akan kau katakan kepada teman-temanmu setelah menghilang semalaman?" tanya Saga setelah meletakkan 2 gelas berisi teh di atas meja.

"Uh, em ... cukup bilang kalau aku tersesat lalu diselamatkan oleh pemuda tampan dan menginap di tempatnya," kata Emilia yang disambut dengan sebuah nampan yang mendarat di atas kepalanya. Emilia meringis.

"Kau pikir kita ada di dalam cerita dongeng?" tanya Saga. Emilia tersipu.

"Tapi, aku benar-benar berpikir kalau saat ini aku sedang berada di dalam dongeng." Seulas senyum terlukis di wajah Emilia. Membuat wajah Saga memerah dan aliran darahnya serasa berbalik. Tapi sejurus kemudian, dia tenggelam dalam kecamuk pikirannya sendiri. Dia berdiri di samping jendela menatap langit malam, tidak menyadari Emilia yang berdiri di dekatnya.

"Saga, aku ingin menyampaikan sesuatu padamu." Saga kaget melihat Emilia yang sudah berdiri sangat dekat dengannya.

"Ap-" Saga kaget sampai tak bisa berkata.

"Sebenarnya, aku ... sejak pertama kali bertemu denganmu ... ak-" Sebuah kilatan cahaya yang muncul tiba-tiba membuat Emilia mendadak merasa lemas. Dia mengangkat kepalanya, mendapati wajah Saga yang tertunduk tertutup oleh rambut perak yang seperti memantulkan cahaya-cahaya malam. Perlahan, dia merasakan tubuhnya diangkat lalu diletakkan di sofa. Kesadarannya perlahan memudar. Dalam kondisinya tersebut, matanya samar-samar melihat sosok Saga yang nampak mulai menjauh.

***
Emilia dan Rika duduk di sebuah sofa yang kainnya mereka singkap. Sebuah sofa berwarna merah marun. Tangan kanan Emilia menyusuri pegangan samping sofa tersebut. Dia meletakkan kepalanya di situ tanpa menghiraukan tatapan aneh Rika.

"Ini aroma parfum Saga, Ka," kata Emilia. Matanya terpejam.

"Emi. Apakah kau benar-benar sudah ingat tentang Saga?" tanya Rika sedikit khawatir. Emilia bangkit.

"Ya, tentu saja aku ingat. Pendiri dan mantan ketua klub astronomi, mahasiswa semester 4 jurusan bahasa. Dan-"

"Dia sudah meninggal 6 bulan yang lalu, Emilia!" potong Rika. Tangannya memegang pundak Emilia. Ada sedikit kekagetan di raut wajah Emilia.

"Aku tahu, Rika. Aku juga di sana saat kebakaran melahap rumah Saga," ujar Emilia tenang. Begitu tenang hingga membuat Rika kebingungan.

"Tapi kenyataannya, aku masih sering bertemu dengannya. Saat malam di acara kamp klub astronomi, aku kembali bertemu dengannya. Bahkan saat itu, di sini, aku mencoba mengutarakan perasaanku. Tapi ..." Emilia memegangi kepalanya. Denyutan itu kembali terasa.

"Emi, ada apa?" Rika membantu Emilia bersandar.

"Aku tidak apa-apa. Hanya sedikit pusing."

"Um ... vila ini terawat bukan? Mungkin ada minuman di dapur. Biar kucarikan sesuatu untukmu," kata Rika. Dia bangkit lalu berjalan ke arah yang ditunjuk Emilia. Meski berkata seperti itu, sebenarnya Rika sendiri tak yakin bisa menemukan sesuatu di sini.

"Mana mungkin ada makanan dan minuman di tempat ini?" desah Rika pelan. Tangannya membuka pintu lemari es. Matanya terbelalak mendapati bagian dalam lemari es yang setengah terisi penuh. "Delusi Emi sedikit berlebihan."

Setelah mengambil sebotol air dari dalam lemari es, Rika mengambil dua buah gelas dari rak. Matanya menangkap dua gelas kotor di tempat cucian. Lagi-lagi dia bergumam, "Ya ampun, Emi."

Rika berjalan kembali sambil menenteng sebotol air mineral dan dua buah gelas. Dia masih terus memutar otak bagaimana menarik Emilia dari delusinya, terlebih kini ada sosok Ren yang kapan saja akan siap berada di samping Emilia. Tapi sepertinya tidak untuk malam ini.

"Ren, ya? Orang yang baik, tapi tuan putri yang satu ini sepertinya cukup sulit untuknya."

Setelah meminum segelas air yang dibawa Rika, rona wajah Emilia terlihat lebih cerah. Sepertinya pusing yang dia rasakan sudah sedikit reda. Mereka mulai kembali mengobrol setelah Rika membukanya dengan topik yang ringan. Sebenarnya, bukan tanpa maksud Rika mengajak Emilia mengobrol. Dia hanya sedang mencari timing yang pas untuk membicarakan Ren. Bukan berarti Rika tak peduli dengan perasaan Emilia. Justru karena dia tahu betul tentang seberapa penting seorang Saga dan bagaimana insiden beberapa bulan lalu telah merenggut sahabat terbaiknya. Dan dia hanya ingin Emilia kembali dari khayalannya.

"Rika, ayo kita ke atap." Emilia sudah berdiri sebelum Rika menyadarinya.

"He? Ini sudah malam, Emi," kata Rika beralasan.

"Sudahlah, ikut saja. Ayo." Emilia meraih tangan Rika yang belum sempat menyampaikan keberatan. Lalu menariknya, memaksa Rika berlari mengikuti Emilia menaiki tangga. Sekilas, Rika dapat melihat senyum di wajah Emilia. Senyum yang membuat Rika berpikir keras untuk memaknainya. Dia tak tahu harus merasa sedih atau bahagia. Dia tak tahu harus berbuat apa.

***

Angin malam berhembus pelan. Menyibak rambut perak Saga yang nampak berkilau di bawah paparan cahaya bulan. Sweater dan syal yang melingkari lehernya sudah cukup untuk menghangatkan sekujur tubuh kurusnya. Tapi jauh di dalam dirinya, ada rasa dingin menyakitkan yang terus merongrong dirinya. Setiap usaha yang dia lakukan untuk menghapus rasa dingin tersebut selalu berujung ke titik beku. Dia benar-benar tersiksa.

"Kenapa harus aku?" tanya Saga. Sebuah pertanyaan yang selalu dia lontarkan, entah kepada siapa. Hingga dia merasa lelah lalu kembali menjatuhkan dirinya ke permukaan beton yang keras.

Mata Saga masih terbuai oleh kedipan manja bintang, ketika ada suara tak asing yang memanggil namanya.

"Saga!"

"Emi?!"

***

Kedua pasang mata itu saling menatap. Begitu dalam, menembus khayalan mereka sendiri. Ada pusaran harapan dan keputusasaan yang berputar saling menguasai. Senyuman Emilia nampak berkilau di mata Saga. Terlalu menyilaukan hingga membuatnya enggan menatap dan memilih memalingkan muka. Meredupkan senyuman secerah matahari itu. Sementara Rika tak mampu bergerak, hanya nafasnya yang agak tertahan melihat pemandangan di depannya. Saga masih hidup.

"Saga, waktu itu aku belum sempat menyelesaikannya. Kalimatku. Jadi--"

"Apakah kau masih belum mengerti juga, Emi. Kita berbeda!" Saga mengatakannya tanpa menatap Emilia. Persis seperti terakhir kali mereka terpisah. Setidaknya, itu yang Emilia ingat.

"Aku sama sekali tidak keberatan dengan apa yang terjadi padamu. Aku hanya ingin bersamamu lebih lama!"

"Kau sama sekali tidak mengerti, Emi."

"Kalau begitu ... kalau begitu, tolong beritahu aku. Agar aku mengerti." Emilia melangkahkan kakinya satu demi satu mendekati punggung yang terbungkus sweater warna merah itu.

Saga berbalik. Dia dapat melihat dengan jelas mata beriris biru yang berkaca-kaca milik Emilia yang berada satu langkah di hadapannya. Dadanya kembali terasa sakit. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Saga sedikit membungkuk. Menyejajarkan matanya dengan mata Emilia. Ada semu merah di pipi Emilia. Tangan Saga perlahan meraih pipi Emilia yang memerah, lalu yang selanjutnya terjadi, muncul berkas cahaya yang menyelubungi mereka. Lagi-lagi meninggalkan Rika dalam kebingungannya sendiri.

"Tak perlu khawatir," kata seseorang yang sudah berdiri di samping Rika, "mereka akan baik-baik saja."

Rika menoleh dan kaget melihat siapa yang ada di sampingnya saat ini, "Ren?!"

===

~ bersambung
Share: