BUNDA | I Love U Mom... :')

Cerpen baru lagi. Tapi cerpen repost lagi :P Maaf deh, soalnya lagi buntu ide. Eh, ini cerpen keren loh. Ceritanya cool abis. Tolong dibaca dengan penghayatan..

Title : BUNDA
Author : Dewi Wulandari | @Wulan_VBlues


https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiFALfKX9B_R-mt_62zI3TVGjJUO2dljom3mzndU1UIWzfI0_sdDiaHKqOyVUTe7lv6XiXBMEEJsGJJ0P-SJEmJtZiqjmuSboSn0uH3tQNTgnzUUwAoD4Ey-i9cfBa3D223_fh7cSgJDhI/s1600/bunda.jpeg

Sinar mentari belum begitu menyengat, wajar saja, jam baru menunjukkan pukul setengah lima pagi. Kebanyakan anak sekolah masih terlelap pada jam itu, tapi tidak dengan cowok ini. Selesai sholat, dia langsung mandi dan memakai seragam SMA-nya. Dia berhasil mauk SMA Persada, salah satu sekolah favorite dan elite di kotanya berkat beasiswa. Cowok itu melirik jam dinding sekilas, lalu memandang ke seluruh penjuru kamarnya. Pandangannya terhenti pada sebuah foto berbingkai yang di letakkan di meja belajarnya. Dihampirinya meja itu, cowok itu menatap nanar foto dia bersama kedua orangtuanya. Setelah menghela napas pelan, dia beranjak ke tempat tidurnya dan meraih gitar kesayangannya, pemberian sang ayah tercinta. Dia mulai melantunkan sebuah lagu diiringi dengan petikan gitarnya, menghasilkan suatu melodi yang indah serta membuat tersentuh orang yang mendengar lagunya.
Jreng… jreng…

Dimana akan kucari

Aku menangis seorang diri

Hatiku selalu ingin bertemu
Untukmu aku bernyanyi


Untuk ayah tercinta

Aku ingin bernyanyi
Walau air mata dipipiku
Ayah Dengarkanlah
Aku ingin berjumpa
Walau hanya dalam mimpi
Lihatlah hari berganti
Namun tiada seindah dulu
Datanglah aku ingin bertemu
Denganmu aku bernyanyi
Untuk ayah tercinta
Aku ingin bernyanyi
Walau air mata dipipiku
Ayah Dengarkanlah
Aku ingin berjumpa
Walau hanya dalam mimpi
Cowok itu mengakhiri permainan gitarnya, terlalu perih lagu itu untuknya.
“Prok.. Prok..Prok” terdengar suara tepuk tangan.
“Bunda…” cowok itu memanggil sang bunda yang sudah berada di depan pintu kamarnya.
“Suara Lintar bagus, kok udahan mainnya” Bunda mendekati lintar, anak semata wayangnya.
“Lintar kangen ayah ya?” tanya bunda, Lintar terus menundukkan kepalanya.
“Maaf ya Bun, Lintar malah bikin Bunda sedih” Bunda Lintar memeluk anaknya.
“Nggak sayang, Bunda nggak sedih kok. Kalau bunda sedih nanti ayah ikutan sedih, begitu juga kalo Lintar sedih, ayah sama bunda nggak pengen Lintar sedih” hibur sang Bunda.
“Lintar kangen Ayah Bun, udah 8 tahun ayah pergi, tapi rasa sedih itu masih tetep ada” lirih Lintar.
“Bunda juga kangen ayah, Lintar sayang Ayah nggak?” tanya Bunda.
“Tentu aja Bun, Lintar sayang banget sama Ayah, Lintar juga sayang banget sama Bunda” kata Lintar mempererat pelukannya.
“Kalo Lintar sayang Ayah dan Bunda. Lintar buktiin ke kita ya, Lintar bisa jadi seorang dokter, seperti cita-cita Lintar dan Ayah” kata Bunda.
“Lintar janji Bun. Lintar bakal berusaha, supaya mimpi Lintar tercapai, dan semua itu buat Bunda dan juga Ayah” kata Lintar.
“Makasih sayang, Bunda dan Ayah bangga sekali punya Lintar” Lintar tersenyum.
“Lintar berangkat sekarang ya Bun” Bunda melihat jam dinding.
“Masih jam segini mau berangkat?” tanya Bunda.
“Kan Lintar mesti jualan koran dulu Bun, kuenya sekalian Lintar bawa aja Bun” kata Lintar sambil mengambil tasnya.
“Ma’afin bunda ya sayang, harusnya kamu bisa main ama temen-temen kamu, tapi kamu malah sibuk cari uang buat bantu bunda” kata Bunda lagi.
“Nggak papa Bunda, itu udah jadi tugas Lintar. Lintar pamit dulu ya Bun, Assalamualaikum”
“Walaikumsalam”

####

            Beginilah hidup seorang Lintar Edi Morgen, setelah ditinggal ayahnya yang meninggal sejak dia berumur 8 tahun, Lintar selalu membantu ibunya mencari nafkah. Pagi hari sebelum berangkat sekolah, dia menjadi loper koran, setelah pulang sekolah dia menjadi guru privat anak SMP yang kaya, karna prestasi Lintar sangat bagus. Ibunya yang hanya seorang pedagang kue kecil, tidak mampu memberi fasilitas yang memadai untuk sang buah hati. Tapi Lintar tak pernah mengeluh, beruntung sejak SD dia mendapatkan beasiswa berkat prestasinya tersebut hingga sekarang dia kelas XII SMA.
“Koran… Koran.. korannya Pak.. Bu…” suara Lintar cukup lantang di tengah-tengah keramaian pengguna jalan. Sering Lintar mendekati para pejalan kaki untuk menjajakan korannya. Dengan senyum yang ramah, koran Lintar nyaris laku semua.
‘Tinggal beberapa koran lagi’ batin Lintar.
Lintar menghapus peluh yang membanjiri keningnya, dilihatnya jam tangan pemberian Acha-anak yang di private Lintar- saat Lintar ulang tahun. Masih tersisa sedikit waktu hingga dia sampai di sekolahnya. Lintar melihat lampu merah di depannya, dengan senyum mengembang di langkahkan kakinya mendekati pertempatan itu.
‘Peluang’ batin Lintar.
“Korannya,, Pak..” Lintar tersenyum ramah saat ia telah menghampiri sebuah mobil, saat seorang bapak-bapak ingin memberinya uang tiba-tiba ada seorang cowok yang menurunkan kaca mobilnya dan menatap sinis Lintar.
“Oh, jadi ini yang dilakuin seorang siswa terpandai di SMA Persada? Malu-maluin nama sekolah loe? Siswa berprestasi kok jadi loper koran” ejek Riko, seorang yang sejak dulu membenci Lintar. Riko Anggara adalah seorang anak tunggal dan pewaris utama dari Anggara groub.
“Ngapain malu? Kan halal” kata Lintar tenang.
“Cih, nggak tau malu loe. Nyadar donk, loe itu orang miskin, masih untung loe dapet sekolah di SMA elite. Loe harusnya bisa jaga sikap, bukannya mencemarkan nama baik. Dasar nggak tau diri! Katanya orang miskin yang dimiliki cuma harga diri, kok loe nggak punya harga diri sih?” kata Riko pedas.
Tangan Lintar sudah mengepal, tapi ditahannya sekuat tenaga emosi yang sudah menumpuk.
“Jalan Pak” kata Riko memerintahkan sopirnya.
“Tapi den”
“CEPET!” perintah Riko, membuat sopirnya menciut. Sebelum melajukan mobilnya, sopir itu melempar senyum pada Lintar. Lintar membalas senyum itu, dialihkannya pandangannya pada mobil yang berada tak jauh dari tempatnya saat ini.
Tok..Tok..Tok.. Lintar mengetuk kaca mobil.
“Koran Pak” Lintar tersenyum ramah.
“Boleh” bapak itu mengambil uang dari dashboard mobilnya.
“Lintar” Lintar menyipitkan matanya saat melihat seorang cewek dari dalam mobil itu menyapa dirinya.
“Nova” sapa Lintar.
“Kamu kenal dia sayang?” tanya bapak itu kepada Nova.
“Dia temen sekelas Nova, Pa. Lintar, bareng yuk” ajak Nova.
“Nggak usah deh Nov, jalan kaki aja” Lintar mencoba menolak.
“Nggak papa Nak Lintar, bareng aja. Ntar keburu telat” Lintar ragu-ragu, tapi melihat Nova yang sepertinya sangat berharap ia mau, dia mengangguk sopan.
“Baik, Pak” Lintar masuk ke mobil Nova.
“Kamu jualan koran sambil sekolah nak?” tanya Papa Nova.
“Iya Pak, buat bantu Bunda” kata Lintar.
“Memangnya ayah kamu nggak kerja?” tanya Papa Nova. Tiba-tiba pertanyaan itu membuat Lintar menunduk, Nova yang menyadari perubahan raut wajah Lintar menyikut papanya.
“Oh maaf, saya…”
“Nggak papa kok Pak..” potong Lintar.
“Ayah udah meninggal sejak saya umur 8 tahun Pak, jadi saya bantu Bunda yang hanya jadi pedagang kue kecil” lanjut Lintar lagi.
“Lintar nggak cuma jual koran aja lho pa, denger-denger Lintar itu juga jadi guru private anak SMP, Lintar kan pinter” kata Nova, Lintar diam-diam tersenyum.
“Wah, hebat banget ya nak Lintar ini. pantes aja anak gadis papa sering banget nyeritain tentang temen sekelasnya yang namanya Lintar” goda papa Nova.
“Iss… papa apaan sih” Lintar melihat pipi Nova sudah memerah.
“Sudah sana, belajar yang bener. Lintar, bapak titip Nova ya, tolong jagain dia” kata Papa Nova sambil melirik anaknya.
“Papa…” Nova menahan malu.
“Eh.. iya Pak” Lintar menggaruk-garukkan tengkuknya.
“Makasih Pak” Lintar tersenyum sopan, dan dibalas senyuman dari papanya Nova.
“Ke kelas yuk” ajak Nova setelah mobil papanya berlalu.
“Gue mesti nganter kue buatan Bunda ke kantin dulu” kata Lintar.
“Gue ikut” Nova langsung menarik tangan Lintar sebelum cowok yang diam-diam telah merebut hatinya ini protes.

####
            Sejak Lintar berangkat bareng dengan Nova, keduanya tampak semakin dekat. Nova selalu ada untuk Lintar, sekalipun Lintar sedang di bully dia selalu membela Lintar, seperti saat ini. Lintar sedang bersedau gurau bersama Nova di kelasnya, tapi ada orang yang mengacaukan kebersamaan mereka.
“HEH, Loe anak miskin! Ngapain loe disitu?” siapa lagi kalau bukan Riko.
“Nggak liat kalo gue duduk?” kata Lintar santai.
“Berani loe ama gue?” kata Riko geram.
“Emang kenapa gue mesti takut sama elo?” perkataan tenang Lintar membuat amarah Riko semakin naik. Ditariknya kasar kerah Lintar.
“Loe! Bakalan nyesel karna udah berani lawan gue” Riko mendorong Lintar hingga terjatuh.
“Lintar!” teriak Nova panik, dia langsung membantu Lintar berdiri.
“Loe apa-apaan sih Ko! Jahat banget loe ma Lintar” Nova menatap tajam pada Riko.
“So? Gue mesti jungkir balik sambil bilang WOW, gitu?” Riko tersenyum remeh.
“Cabut guys” komando Riko pada anak buahnya.
“Loe nggak papa, Ntar?” tanya Nova cemas.
“Gue nggak papa kok” Lintar tersenyum.
“Tapi sikap Riko itu udah keterlaluan Lintar, loe nggak bisa diem terus donk” kata Nova menggebu-gebu.
“Tapi gue nggak mesti bales dengan fikis juga kan Nov? pasti Riko bakal dapet balesannya sendiri kok” kata Lintar bijak.
Satu alasan lagi yang membuatnya semakin menyukai, bahkan mencintai sosok Lintar. Dia seorang yang tegar dan bijaksana.

            Saat ini Lintar tengah menatap gerbang rumah di depannya, kemudian dengan senyum khas nya, dia langsung masuk ke halaman yang luas itu. Di pencetnya bel rumah yang megah itu, hingga seseorang keluar membukakan pintu.
“Oh, Mas Lintar.. udah ditunggu non Acha dari tadi.. silahkan masuk mas” Lintar mengangguk dan tersenyum. Saat melihat Acha di ruang tengah, keningnya sedikit mengerut melihat ada seorang cowok yang kira-kira seumuran dengan Acha.
“Kak Lintar..” sapa Acha riang.
“Hai Cha…” Lintar mendekat ke arah Lintar dan temannya.
“Kak, kenalin ini Ozy, temen sekelas Acha. Dia mau belajar bareng.. boleh ya Kak” pinta Acha.
Lintar dan Ozy berkenalan terlebih dahulu.
“Tentu aja boleh” kini Lintar mengajari dua anak SMP tersebut dengan sabar.
“Kak Lintar sekolah dimana?” tanya Ozy.
“SMA Persada” jawab Lintar.
“Serius Kak? Kelas berapa?” tanya Ozy antusias.
“XII IPA 1” mata Ozy semakin berbinar, membuat Lintar sedikit heran.
“Wah sekelas sama Mbak Nova dong?” tanya Ozy lagi.
“Kenal ama Nova juga?” tanya Lintar.
“Iya, Mbak Nova kan kakak gue. Jadi elo Kak Lintar yang sering Mbak Nova certain itu?” Lintar melongo.
‘Nova? Nyeritain tentang gue ke keluarganya? Waktu itu papanya dan sekarang adeknya? Ada apa sih sebenernya?’ batin Lintar heran. Kemudian mereka bertiga membicarakan  banyak hal sampai Lintar pamit pulang.

####
            Lintar bersembunyi di balik pohon tak jauh dari rumahnya saat ia melihat dua orang berbadan besar dan berwajah seram menghampiri bundanya. Saat dirasa bundanya akan di pukul, Lintar langsung berlari dan melindung bundanya.
“Jangan ganggu bunda” kata Lintar tegas.
“Lintar, kamu masuk dulu sayang” kata Bunda.
“Heh bocah, bilang sama bunda loe ini suruh ngelunasin utangnya! Gue ngasih tempo dua bulan buat keluarga miskin kaya loe gini. Kalo loe nggak bisa ngelunasin, rumah ini bakal disita dan sesuatu akan terjadi pada bunda loe ini” kata orang itu dengan tatapan seperti iblis.
“Jangan ganggu bund ague!” kata Lintar.
“Berani loe ya?!” kata orang yang satunya lagi.
PLAAKK!!!
Lintar jatuh tersungkur di depan bundanya.
“Lintar” teriak Bunda sambil menangis.
“Itu akibatnya kalo loe berani ngelawan kita” kata orang itu dengan senyum mengejek. Bunda membaca Lintar ke dalam rumah dan mengobati lukanya.
“Aw…” Lintar meringis kesakitan.
“Sayang, kenapa kamu lakuin itu sih? Liat kamu jadi kaya gini kan” kata bunda lembut.
“Lintar cuma nggak mau, satu orang pun berani nyakitin bunda” kata Lintar lirih. Bunda langsung mendekap dan terisak pelan.
“Makasih sayang” Lintar menghapus air mata bunda nya.
“Jelasin ke Lintar kenapa Bunda bisa punya hutang ke anak buah rentenir seperti itu?” bunda terdiam.
“Apa.. ini buat pengobatan Lintar waktu itu?” tanya Lintar hati-hati.
“Maaf Lintar, kesehatan kamu lebih penting” dada Lintar serasa sesak saat mendengar penuturan bundanya.
“Lintar janji Bun, Lintar bakal nyari uang buat bayar utang kita. Bunda nggak perlu pikirin itu semua, selama ini Bunda udah kasih yang terbaik buat Lintar, sekarang giliran Lintar bun” kata Lintar tulus.

####
            Sejak saat itu, Lintar semakin giat mencari uang untuk melunasi hutangnya. Pagi sebelum sekolah dia menjadi loper koran, pulang sekolah langsung ke rumah Acha, malamnya dia bekerja sebagai pelayan disalah satu café, dia pulang sekitar jam 12 malam dan langsung tidur. Bangun sekitar jam tiga pagi untuk belajar mempersiapkan ujian nasional yang sudah di depan mata. Bunda walaupun kasihan, tapi dia tak bisa menolak keinginan anaknya untuk membantunya. Cobaan Lintar semakin berat saat ulah Riko semakin menjadi-jadi, seperti saat Riko menemukan dia di café,,,
“Oh ternyata si anak miskin nggak tau diri pindah profesi nih? Biar ngangkat derajat? Sayang banget ya, sekalipun elo jadi pelayan kaya gini, elo tetap aja miskin” kata Riko berbisa, Lintar terdiam, tapi dicobanya untuk meredam amarahnya.
“Maaf, anda mau pesan apa?” tanya Lintar ramah.
“Ciih, sok ramah. Gue pesen jus jeruk dua” cibir Riko, Lintar tersenyum dan tak berapa lama dia kembali dengan nampan berisi dua gelas jus pesanan Riko. Riko tersenyum licik kepada temannya.
“Mau kemana loe?” tanya Riko.
“Saya mesti ke belakang” kata Lintar sopan.
“Udah loe disini aja” kata teman Riko. Riko langsung meminum jus nya, tapi tiba-tiba…
Prottt…. Riko menyemburkan minumnye ke wajah Lintar.
“Cih! Minuman apa ini? loe mau ngeracunin gue? Dasar anak miskin!” kata Riko dengan gaya pongahnya.
“Rasain nih!” teman Riko menyiram jus itu ke kepala Lintar, membuat semua yang berada di café itu menatap prihatin ke arah Lintar.
“Yang sabar ya Ntar” kata Irsyad, salah satu temannya di café itu.
“Nggak papa kok, gue ke belakang dulu ya” pamit Lintar.

####

            Lintar saat ini sedang berjalan di koridor dengan Nova, bel pulang sudah terdengar sajak tadi.
BUGK..
Lintar terdorong tubuh seseorang hingga terjatuh.
“Ck.. hobi banget sih loe ngerecokin hidup gue?” decak Riko sebal.
“MATA LOE DITARUH MANA? HA? MAEN TABRAK AJA!” bentak Riko.
“Heh Ko, harusnya elo yang nyadar. Elo yang selalu ganggu hidup Lintar, elo yang nabrak Lintar” bela Nova.
“Ciih, loe cemen banget ya, sampe dibelain cewek” cibir Riko.
“Elo tuh ya!”
“Udah Nov, gue nggak papa kok” kata Lintar menenangkan Lintar.
“Nggak malu loe dibelain cewek kaya dia?” Riko menunjuk Nova dengan senyum meremehkan.
“Kenapa mesti malu? Nova baik, dia ngelakuin apa yang memang seharusnya dilakuin” kata Lintar tenang, membuat Nova menoleh tak percaya ke arahnya bahwa lelaki di sampingnya itu membelanya.
“Cih. Anak nggak tau diri, mestinya elo malu ama diri loe sendiri. Nova anak orang kaya? Sedangkan elo? Loe cuma anak pedagang kue yang kerja sambilan sebagai loper koran dan pelayan café” kata Riko mengejek.
“Lagian? Elo yakin Nova nggak bakal ninggalin elo? Elo tu miskin, Nova bisa kapan aja nendang elo dari kehidupannya” kata Riko sadis.
“Loe nggak pantes disebut cowok. BANCI, nggak punya harga diri. Cihh.. apa jangan-jangan ibu loe juga sama nggak punya harga dirinya kaya elo?” Riko tersenyum licik pada Lintar. Seketika darah Lintar terasa mendidih saat mendengar Riko menjelek-jelekkan bundanya.
BUGK!
Sebuah pukulan mendarat di tubuh Riko, cowok yang tak siap akan serangan mendadaknya itu langsung terjatuh. Membuat semua yang memandang itu semua tercengang, seorang Lintar yang biasanya diam saja, tiba-tiba melakukan pemukulan pada Riko.
“Lintar..” desis Nova tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
“Denger ya! Selama ini gue diem bukan berarti gue lemah! Gue cuma nggak mau capek ngeladenin loe! Tapi kali ini loe udah kelewatan. Loe boleh ganggu gue, loe boleh siksa gue, loe boleh nge-bully ataupun ngehina gue. Tapi perlu gue tegesin, JANGAN SEKALI-KALI LOE NGEHINA BUNDA GUE!!!” kata Lintar penuh penekanan.
“Loe sadar nggak gimana rasanya jadi gue? Gue ditinggal ayah gue sejak kecil, gue cuma punya bunda gue! Gue serba kekurangan, tapi gue beruntung punya bunda! Loe enak! Loe kaya! Masih punya orang tua lengkap! Kalo tiba-tiba elo nggak punya papa loe gimana? Kalo loe tiba-tiba yatim piatu gimana? Masih bisa loe hidup kaya gue? Masih bisa loe ngebully gue? Ha?! Jangan pernah bikin gue emosi karna loe udah ngejelekin bunda gue!” kata Lintar garang, meninggalkan Riko yang masih tercengang meresapi perkataan Lintar.
“Dan satu lagi” Lintar membalikkan tubuhnya.
“Jangan pernah anggep Nova sama kaya cewek lainnya, karna dia beda. Dan gue sayang dia. Ayo Va kita tinggalin dia” kata Lintar sambil menarik lengan Nova pergi. Sedangkan Nova? Mendadak jantungnya seperti tersengat listrik ribuan volt yang membuat jantungnya berdegup kencang.
####
            Sejak kejadian Lintar melawan Riko, Riko tak pernah lagi mengganggu Lintar dan Nova. Dan menurut kabar yang beredar Lintar dan Nova sudah resmi menjadi sepasang kekasih. Setelah ujian nasional lewat dan pengumuman ujian, kini saatnya acara perpisahan sekolah. Kini Lintar dan Nova telah memangku gitar mereka dan hendak menyumbangkan sebuah lagu untuk semua yang datang di acara tersebut.
“Lagu ini saya persembahkan untuk Bunda saya, bunda yang membesarkan saya seorang diri sejak saya berumur 8 tahun. Bunda yang selalu mendukung saya, bunda yang selalu ada untuk saya dan bunda yang terbaik untuk saya” kata Lintar. Lintar melirik Nova sekilas, setelah siap dia langsung melantunkan sebuah lagu.
Jreng… jreng….
Bunda cinta jangan menangis
doa mu menyinariku

ingat perjungan diriku

cerminan dari cintamu yang indah
kau sabar menyayangiku
kau peluk kemarahanku
Bunda sayang jadi senyumlah
demi bunda cintaku
kukejar impianku
 

**

atas nama cintamu
ku akan meraih semua impian aku
untuk bahagiakanmu huoooo… atas nama cintamu
ku akan menjadi yang terbaik untukmu
kucinta kamu Bunda huoooo…
Bunda cinta jangan menangis
doa mu menyinariku

aku tak kan pernah menyerah huoooo…

demi Bunda cintaku ku kejar impianku
oooo…
back to **
atas nama cintamu
ku akan meraih semua impian aku
untuk bahagiakanmu huoooo…
atas nama cintamu
ku akan menjadi yang terbaik untukmu

Bunda….
kucinta kamu Bunda
Atas nama cintamu ku akan jadi yang terbaik
Bunda…
Bunda..
 “Prok..prok.. prok” suara tepuk tangan menggema, Lintar tersenyum dan mengambil sebuket bunga dan di berikannya pada Bundanya.
“Untuk Bunda…” semua bertepuk tangan, bahkan ada juga yang menangis haru. Sedangkan Bunda Lintar langsung memeluk putranya.
####
            Lintar masih bersama bundanya hendak menyebrang jalan, saat Nova memanggilnya.
“Udah sana temuin Nova dulu, dia pasti mau ngucapin buat beasiswa kedokteran yang kamu dapet” suruh Bunda.
“Tapi Bun” kata Lintar sedikit ragu.
“Bunda tunggu disini ya” kata bunda halus, Lintar mengangguk dan berlari menuju Nova dan papanya.
Saat ini Bunda tengah mengedarkan pandangannya pada jalanan. Keningnya mengerut saat melihat seorang anak laki-laki yang memakai seragam seperti anaknya berdiri di tengah jalan sedang menunduk, matanya membelalak saat melihat dari arah kirinya sebuah truk melaju dengan kecepatan tinggi.
“Awas Nak!!” teriak bunda Lintar, cowok yang tak lain adalah Riko itu terkesiap saat mendengar teriakan seorang ibu, dan menyadari di depannya sudah ada truk yang melaju ke arahnya.
“ARRRGGGH….” Riko memejamkan matanya, kakinya seperti mati rasa. Tapi sebelum dia merasakan benturan, dia merasa di dorong sekuat tenaga oleh seseorang.
CIIIIT….. BRAAAAAKKK…
Terdengar bunyi decitan ban beradu dengan aspal, serta bunyi benturan keras.
“BUNDAAAAAA…..” teriak Lintar histeris. Semua langsung berkerumun ke arah seorang wanita paruh baya yang sudah bersimbah darah, dengan menggenggam sebuket bunga yang sudah hancur dan berserakan.
“Bunda,,, bunda tahan ya” Linta menangis dan memangku kepala bunda, Riko yang melihat kejadian di depannya tercengang dan mendekati bunda Lintar.
“Loe! Loe udah bikin bunda gue kaya gini!” kata Lintar sambil menunjuk-nunjuk muka Riko.
“Maaf” kata Riko sungguh menyesal.
“Lin..tar.. dia nggak sa..lah nak. Jaga diri baik-baik ya, jaga nova dan jadikan nak riko te..man kamu” kata Bunda dengan terengah-engah.
“Bunda jangan ngomong gitu” kata Lintar lagi.
“Pak titip lintar ya, nak Nova dan Nak riko, ibu titip lintar. Lintar, kamu harus jadi dokter ya” bunda tersenyum dan menutup matanya.
“Bundaaa,,,,,,,,,,,,,,,” Lintar mendekap bundanya, dan terisak.

####
5 tahun kemudian… 
Seorang lelaki dengan seragam putihnya tampak sedang menatap sebuah foto.
Tok..Tok..Tok..
“Masuk” dua orang muncul dari balik pintu itu, seorang laki-laki dan seorang wanita cantik.
“Hai dokter Lintar… gimana kabar loe?” tanya lelaki berbadan tegap itu.
“Riko my bro,, kapan loe pulang dari amrix?” tanya Lintar.
“Tadi, gue langsung ke sini. By the way gue udah denger rencana pernikahan kalian. Sekali lagi selamat sob”
“Thanks ya. Va,aku pengen ke makam bunda” kata Lintar pada wanita di sebelah Riko tadi.
“Ya udah ayo, kita bertiga ke makam Bunda. Bunda pasti seneng karna kamu sekarang udah jadi dokter” kata wanita yang dipanggil ‘Va’ tadi.
“Dan pastinya tambah seneng kalo beliau tau, dapet calon mantu yang tepat, iya nggak Nov?” Nova tersenyum malu-malu.

----------end---------


Gimana? Bagus kan? Kasih komentar di kotak komentar ya. :)
Yang pengen tau Author cerpen ini, bisa follow @Wulan_VBlues. Penulis, cerpen sama cerbungnya banyak loh.. :D
Share:

#getirkata -1 by @NVRstepback

Berharap dalam temaram & kegelapan. Karena cahaya hanya membawa sunyi & membutakan. #sajak #getirkata 

Sebuah keterpaksaan. Dan hanya akan ada kebohongan. Mengubur perasaanku, dalam-dalam. #getirkata

Terhimpit oleh rasa, terhina dalam hati, tersudut karena beda, tersisih karena aku.. Adalah Aku. #getirkata

Terkadang hal terbaik yg bisa dilakukan adalah Diam & Menunggu. #damn #getirkata  
Share:

Rangkaian Melodi Terakhir | Nada Angin

‘Cinta itu seperti angin. Dia tak akan pernah berhembus dua kali di tempat yang sama.’

Rangkaian Melodi Terakhir
 

Alunan melodi ini tiba-tiba terhenti. Aku sendiri terhenyak karena senar gitarku putus tepat di bait terakhir. Bait dan melodi yang belum mampu aku lanjutkan. Semangatku pun ikut terputus, dan hilang. Senja perlahan mulai berpaling dariku. Meninggalkanku sendiri termenung, menatap nanar ke arah langit yang semakin gelap dan gelap.
Bulan perlahan muncul. Sinarnya begitu terang tapi.. Aku tak lagi menemukan bayang wajahmu yang dulu sangat lekat dalam ingatanku. Kekasih, seseorang yang begitu penting untukku, seseorang yang mengenalkanku pada cinta, kamu, kini telah pergi. Pergi ke sisi lain dunia. Ke ujung lain dari kehidupan. Hanya kepingan ingatan yang tertinggal di sini. Dan sebuah melodi yang tak mampu ku selesaikan karena kau, inspirasiku, telah lebih dulu pergi karena kehendak Sang Maha Cinta.
“Sheila.. Kamu pergi terlalu cepat. Melodi ini gak akan selesai tanpa ada kamu. Karena melodi ini adalah kamu.”
Aku tak mampu menahan air mata yang mulai jatuh dan mengalir. Air mata yang kembali terjatuh setelah mataku kehilangan sosok terindah yang pernah dilihatnya. Hanya sebuah pesan yang masih terngiang. Sebuah pesan agar aku mencari seorang yang akan mampu menggantikannya. Tapi.. Mampukah aku?

***

Semester 6. Seharusnya adalah semester paling krusial dalam siklus akademikku. Karena pada semester ini, aku dituntut untuk menciptakan karya yang nanti akan menjadi bagian konser tahunan akademi music ini. Tapi entah kenapa aku tak lagi menemukan gairah untuk mengarunginya. Langkahku begitu berat dan terseok-seok. Otakku enggan berputar menemukan ide-ide cerdas untuk berkarya. Mungkin teman-teman tak akan terlalu khawatir setelah melihat senyum palsuku yang sepertinya berhasil memperdayai mereka. Mungkin hanya Satria yang tahu keadaanku saat ini.
“Vin, ke kantin yuk. Laper nih.” Satria perlahan mendekatiku selepas kelas selesai.
“Loe duluan aja deh Sat, gue masih pengen di sini.” Aku masih termenung di hadapan buku not yang masih begitu bersih tanpa coretan. Satria menatapku dengan tatapan sedih.
“Yaudah, gue duluan ya.”
“Ya.” Kataku. Satria pun akhirnya pergi.
Aku menatap kosong ke luar jendela kelas. Masih saja cuaca cerah di luar sana tak mampu ku lihat dengan perasaan ceria seperti dulu. Tiba-tiba ku rasakan semilir angin yang entah dari mana datangnya membelai lembut rambutku. Aku menoleh dan hampir saja pingsan karena kaget. Di depanku, sosok yang sangat familiar bagiku sedang berdiri dengan senyum termanisnya. Dengan tatapannya yang sangat teduh. Sheila!
Aku ingin menyapanya tapi.. Mulutku seolah terkunci rapat. Aku tak mampu berkata apa-apa. Badanku pun serasa lemas dan tak bisa kugerakkan. Aku seperti tersihir dan berubah menjadi batu di hadapan sosok Sheila.
“Alvin. Maaf, aku pergi darimu terlalu cepat. Aku juga telah mengingkari janji kita untuk menyelesaikan melodi itu. Tapi aku sama sekali tak pernah menginginkannya. Dan aku sangat berharap, kamu bisa selesaikan melodi itu. Untukku.”
“S..she..sheila..” Aku belum mampu bicara dengan lancar.
“Aku percaya kamu akan mampu menyelesaikannya Vin. Karena kamu akan segera menyelesaikannya. Ketika kamu menemukan potongan akhir melodi itu. Melodi yang sangat dekat dengan kita.” Sosok itu kembali tersenyum kepadaku. Kali ini sebuah senyuman yang menyiratkan kepedihan yang sangat dalam. Dan sosok Sheila perlahan lenyap dari hadapanku. Diiringi belaian lembut angin yang menyisir sela rambutku.
Nafasku masih tak beraturan. Tanganku, tubuhku masih bergetar. Air mataku kembali leleh. Aku begitu menyesal karena hanya bisa terdiam kaku dan tak mampu berbuat apa-apa di hadapan Sheila tadi. Hanya pesannya yang mampu kudengar. Menyelesaikan rangkaian bait melodi itu. Melodi yang begitu dekat denganku dan Sheila.
Kini kualihkan perhatianku ke arah lembaran-lembaran buku not di hadapanku. Aku mulai menerka-nerka bagaimana lanjutan melodi itu. Tapi tetap saja tanganku masih tak mampu mencoretkan satu coretanpun. Otakku serasa mati. Intuisiku sama sekali tak mau berkreasi. Aku berpikir, aku tak akan mampu menyelesaikan keinginan terakhir Sheila.

***


Seperti biasa, aku berangkat ke kampus dengan berjalan kaki. Suasana hari terasa begitu berbeda. Aku tak lagi merasakan angin yang biasa menemani langkahku. Hanya terdengar deru kendaraan bermotor yang lalu lalang. Aku berusaha tak menghiraukannya. Aku tetap melangkah, dengan langkah lemah memasuki kampus dan kemudian berjalan menuju kelas.

Sebelum memulai kuliahnya, dosen mengenalkan seorang mahasiswa pindahan yang akan masuk kelasku. Ku dengar dari teman-teman sekelasku, mahasiswa itu adalah seorang gadis cantik yang sangat berbakat dalam musik. Tapi hal itu sama sekali tak mampu mengusik perhatianku, sampai aku melihat dia berdiri di samping dosen kemudian memperkenalkan diri. Membuat jantung tersentak dan hampir melompat keluar.
“Anak-anak, hari ini akan ada mahasiswa baru yang masuk kelas ini. Silakan kamu perkenalkan diri.” Dosen itu kemudian mempersilakan mahasiswa baru itu memperkenalkan dirinya.
“Selamat pagi teman-teman. Namaku Brigitta Silvya. Biasa dipanggil Gitta. Salam kenal.” Dia tersenyum dengan manis. Senyum yang hampir mencekikku dan membuatku kehilangan nafas. Senyum yang dulu hanya kulihat di wajah Sheila. Dan tampak, dia menatapku kemudian tersenyum.
“Baik Gitta, silakan kamu duduk di samping Alvin. Kita akan segera mulai kuliah hari ini.” Gitta langsung berjalan dan kemudian duduk di sampingku. Aku hanya tertegun memandangnya. Perasaanku campur aduk.
“Hai. Kamu Alvin kan?” pertanyaannya membuatku semakin ingin pingsan. Bagaimana dia tahu namaku? Aku pun mulai berpikir kalau dia adalah penjelmaan dari Sheila. Tapi, sepertinya hal itu tak mungkin terjadi. Aku pun berusaha menenangkan diri dan bersikap biasa di hadapannya.
“Iya. Aku Alvin. Tapi, kamu tahu aku darimana?” tanyaku. Tapi gadis bernama Gitta ini hanya tersenyum kemudian mengalihkan pandangannya ke arah dosen yang mulai memaparkan materi kuliah.

***


Seperti biasanya, aku masih duduk di bangkuku ketika kelas berakhir dan satu persatu mahasiswa lain berjalan keluar. Dan seperti biasa, Satria mendekatiku. Mengajakku keluar. Aku sangat menghargai kepeduliannya kepadaku, tapi aku masih belum bisa menjadi aku yang dulu.

“Alvin.” Panggil Gitta. Aku kaget mendapati dia masih duduk di sampingku dan belum beranjak.
“Eh, eng. Gitta. Belum keluar?” tanyaku dengan suara agak terputus.
“Ajarin aku nulis lagu dong. Kata anak-anak, kamu paling jago nyiptain lagu.”
“Hah? Gue? Eng.”
“Iya. Aku pengen belajar. Aku bakal belajar.”
“Maaf Gitta. Aku gak bisa.”
“Tapi Vin.”
Aku bergegas pergi meninggalkannya. Ada pergulatan yang terjadi dalam hatiku. Permintaan Gitta dan hatiku sendiri yang belum mampu menemukan kembali semangat dan sentuhan mencipta. Sebelum keluar, aku melirik Gitta yang kulihat masih duduk dan melihat kosong ke arah jendela. Jantungku hampir berhenti ketika melihat sosok di belakang Gitta. Sosok Sheila yang tersenyum ke arahku.
Aku jatuh terduduk. Sepertinya Gitta mendengarnya dan dia pun berlari ke arahku yang masih belum bisa mengendalikan diri.
“Alvin. Kamu gakpapa?” dia berusaha menolongku.
Dengan susah payah, aku segera berdiri dan berlari meninggalkannya. Berlari dengan pikiran dan perasaan yang terus menggerogoti seluruh hatiku. Melahap habis seluruh logikaku. Menguras semua emosi yang tersisa dalam diriku. Berlari dengan membawa beribu tanya tentang apa yang harus aku lakukan untuk memenuhi permintaan terakhir Sheila.

***


“Gitta.”

“Ya Vin. Ada apa?”
“Kapan mau mulai kuajarin?”
“Ha? Serius mau ngajarin?”
“Iya.”
“Nanti sore aja gimana?”
“Oke. Nanti sore, di ruang musik ya.”
“Sip. Makasih ya Alvin.”
Ya, akhirnya kuputuskan untuk mau memenuhi permintaan Gitta untuk mengajarinya. Meskipun dengan berat hati. Aku berpikir, mungkin dengan mengajari Gitta aku bisa menemukan lagi semangat dan kreasiku yang kini hilang.
Sesuai janji kami sebelumnya, kami bertemu di ruang musik untuk mulai belajar. Sebelumnya, aku menerangkannya tentang nada. Aku mulai menyukai semangatnya dalam mendengarkan sepotong demi sepotong penjelasan yang kuberikan. Kemampuannya memahami pun tergolong cepat.
“Alvin. Kamu hebat lho. Berbakat jadi musisi.”
“Ah, kamu bisa aja Ta. Aku dulu kan juga belajar kayak kamu.”
“Belajar sama siapa Vin? Pasti orangnya jago ya?”
Pertanyaan terakhir Gitta membuat dadaku sesak. Aku tak mampu menjawab pertanyaannya. Satu nama yang sangat sulit aku sebut. Membuat seisi tubuhku lemah dan aku pun roboh. Gitta segera menolongku untuk duduk. Pandangan mataku kosong menatap liar tak menentu. Kesedihan kembali menggelayuti tubuhku. Aku pun kembali teringat bagaimana dulu Sheila mengenalkanku pada dunia musik yang mampu mencuri jiwaku. Dan bagaimana Sheila mampu mencuri hatiku. Tapi itu semua hanya jadi melodi usang yang tak akan mampu ku ingat lagi rangkaian nadanya.
Gitta mulai memberanikan diri bertanya padaku. Dan dengan perlahan pula, aku menceritakan kepada Gitta tentang aku dan tentu saja, kisah tentang melodi terindahku, Sheila. Dari awal sejak kami masih menjadi sahabat kecil, ketika kami saling membuka perasaan, hingga akhirnya takdir berkata lain. Maut lebih dulu menjemput Sheila sebelum kami mampu menyelesaikan rangkaian melodi pertama kami. Hanya sebuah pesan yang sama sekali tak ku mengerti artinya, yang selama ini membayangi hidupku.
“Vin, boleh aku lihat pesan itu?”
“Ini. Pesan terakhir Sheila. Dia nulis, kalo aku mampu memahaminya, melodi ini akan selesai.”
Aku melihat Gitta dengan serius membaca kata demi kata dari pesan itu. Beberapa kali dia mengernyitkan dahinya. Kemudian menggenggam erat kertas pesan itu.
“Vin, aku akan bantu kamu cari potongan terakhir melodi kamu.”
“Maksud kamu apa Ta?”
Ada raut penuh kepastian di wajahnya. Kembali, wajahnya mengingatkanku pada Sheila yang begitu menggebu-gebu ketika menulis lagu. Gitta beranjak pergi meninggalkanku sendiri. Aku hanya mampu melihat kelebatannya ketika berlari meninggalkan ruangan ini.
“Sheila.” Kataku lirih ketika kulihat Sheila yang berdiri di depan pintu sambil tersenyum memandangku. Dia hanya mengangguk pelan, kemudian lenyap.

***


Kuliah hari ini berakhir lebih cepat. Masih siang dan mentari tampak begitu bersemangat membakar udara kota. Tak seperti biasanya, Gitta menarik tanganku mengajakku segera keluar. Aku pun enggan mengikutinya.

“Alvin. Ayo ikut aku.”
“Ngapain sih Gitta?”
“Maksud pesan itu.”
Aku tercekat mendengarnya. Apa mungkin Gitta telah mengetahui arti pesan dari Sheila? Tapi apa? Akhirnya aku pun memutuskan untuk mengikuti Gitta.
Perjalanan yang cukup jauh dan melelahkan. Tapi sama sekali tak ada rasa lelah yang tampak di wajah Gitta. Hingga akhirnya Gitta menghentikan langkahnya di sebuah padang rumput yang cukup luas. Begitu sejuk meskipun sinar mentari sangat terik. Sunyi, namun sangat menenangkan hati.
“Gitta.”
“Alvin, sekarang coba tutup mata kamu dan dengerin alunan angin ini.”
Aku segera menuruti kata-kata Gitta. Aku berjalan pelan sambil menutup kedua mataku. Angin samar-samar mulai menelisik sela rambutku. Langkahku terhenti ketika kurasakan angin seolah membisikkan sesuatu ke telingaku. Aku mulai mempertajam telingaku. Merasakan apa yang ada di sekitarku saat ini.
Bisikan angin itu lambat laun berubah menjadi sebuah suara yang sangat jelas kudengar. Sebuah alunan musik yang begitu indah. Aku mulai menikmatinya. Aku serasa menemukan kembali jiwa dan semangatku yang lama hilang. Dan nada-nada angin itu pula yang akhirnya membuatku tersadar dari lamunan dan mulai menyadari kata-kata Sheila. Mengingat kembali masa lalu. Mendengarkan kembali nada usang yang kini menari-nari di telingaku.

**flashback**


“Alvin, kamu denger gak?”

“Apaan sih Sheila?”

“Musik yang dimainin sama angin.” Kata Sheila kecil sambil tersenyum.

“Ha? Angin?” Alvin kecil pun kebingungan.

Sheila kecil mulai mendendangkan nada demi nada yang didengarnya agar Alvin juga bisa mendengarnya. Alvin kecil pun terpesona dengan nada itu. Dan ikut berdendang bersama Sheila kecil.


***


Ingatan itu kemudian muncul dengan jelas. Aku tak mampu lagi menahan perasaanku. Aku terjatuh kemudian menangis. Gitta bergegas mendekatiku. Aku tak menghiraukan panggilannya kepadaku.

“Sheila! Kenapa kamu kasih aku teka teki yang terlalu sulit! Aku terlalu bodoh untuk bisa menemukan jawabannya!”
Aku menangis keras. Gitta yang melihatku hanya membiarkanku. Entah apa yang terjadi, tapi aku seolah berubah menjadi anak kecil yang kehilangan ibunya. Perasaan bahagia bercampur dengan rasa sedih yang dalam. Bercampur aduk menjadi satu.
Potongan melodi itu telah kutemukan. Dan melodi kami pun akhirnya lengkap oleh melodi angin yang pernah Sheila nyanyikan dulu. Sebuah melodi usang yang indah. Melodi yang muncul dari hembusan merdu angin.
Aku memainkan lagu itu bersama Gitta. Dan sepertinya Gitta dengan baik menyanyikannya. Aku senang meskipun ada rasa kehilangan karena bukan Sheila yang menyanyikannya. Saat kulihat Gitta yang sedang bernyanyi, tiba-tiba sosoknya berubah menjadi sosok Sheila. Aku menghentikan permainanku kemudian berlari ke arah Gitta yang kulihat sebagai Sheila dan memeluknya.
“Alvin. Kamu kenapa?” Gitta nampak gugup ketika kupeluk. Dan saat mendengar suara Gitta, aku tersadar kalau tadi hanya halusinasiku.
“Alvin, terima kasih kamu sudah berhasil menyelesaikannya. Aku akan pergi. Cintailah Gitta yang kini ada untukmu. Dialah sebenarnya potongan melodi terakhir itu. Biarkan melodi angin ini menjadi tanda perpisahan kita.” Suara itu mendadak terdengar di telingaku. Suara Sheila. Tepatnya salam perpisahan darinya.
Sebuah melodi yang tercipta dari angin. Sebuah melodi yang terdengar di masa lalu. Sebuah melodi yang akan menjadi kenangan bagiku. Sebuah melodi terindah dari sosok terindah yang pernah ada di sampingku. Sheila…

~


Udah ya, udah selesai tuh. Pengen nambah? Bentar ya, ane nulis yang baru lagi. Kapan? Kapan-kapan aja deh.

Gimana? Kasih komentar dong. Kalo jelek, bilang aja jelek. Gakpapa kok. Ane bakal trima. Eh, tapi harus komen lho yaa. Awas kalo enggak! *ngasahgolok*
Share: