Untitled Tragedy, The 4th, The Last

Title : UT The 4th
Author : @NVRstepback


img from gde-on.com

Olivia menatap nanar foto keluarga ukuran besar yang terpampang di depannya. Matanya tak henti-henti memandang dan menyapu setiap detil dari foto itu. Rambut bergelombang dan senyum yang memamerkan barisan gigi putih terawat ibunya, kacamata dengan frame coklat gelap di atas hidung mancung ayahnya, wajah datar yang terpaksa tersenyum milik Sam, dan dirinya sendiri yang berdiri dengan balutan kebaya batik serupa dengan yang lainnya. Dan semakin dia menatap foto itu, pelupuk matanya semakin panas.
Ponsel Olivia berbunyi. Ada pesan masuk.
From: Ellena
Text: Kak, jgn lupa acara hari ini ya. :)
To: Ellena
Text: Iya, El. Kita ketemu di sana ya. ;)
From: Ellena
Text: Okee
Olivia meletakkan ponselnya lalu menjatuhkan punggungnya ke sandaran sofa. Senyum tersungging di wajahnya. Dia pun bergegas bangkit lalu berjalan menuju kamarnya.

***

Manusia memiliki kemampuan untuk merencana dan mungkin mengubah sebuah alur cerita. Tapi semua itu tak menjamin jika apa yang mereka rencanakan dapat berhasil. Alur yang berubah akan memberikan efek lain yang berlipat, entah itu kebahagiaan yang berlipat ataupun kesedihan yang berlipat. Dan ada beberapa orang yang akan menerima 2 hal itu bersamaan.
"Inilah yang dikehendaki oleh Sam. Dia sepenuhnya menerima keadaan dirinya dan akhirnya memutuskan untuk melakukan hal itu." Kata dokter.
Suara datar namun dengan sedikit penekanan terasa menyakitkan di telinga Olivia. Air matanya satu-satu mulai jatuh. Tangan kanannya meraih kepalanya yang masih dibalut perban. Denyut rasa sakit kembali terasa tapi kali ini diikuti bias-bias ingatan yang semakin menambah sakit yang dia rasakan. Dengan menggunakan meja di sampingnya, Olivia berusaha berdiri. Dia menolak uluran tangan dokter, lalu dia melangkah keluar.

***

"Tapi.. dok, apakah tidak ada cara lain? Apakah penyakit Dira benar-benar tidak bisa disembuhkan?" Olivia masih belum bisa menerima kenyataan bahwa sahabatnya akan pergi.
"Maaf. Kami sudah berusaha sebaik mungkin. Tapi kondisi pasien sudah terlalu parah. Mungkin dengan melakukan terapi dan juga konsumsi obat, pasien bisa melakukan aktivitas sehari-hari. Tapi hal itu tidak bisa benar-benar menyembuhkannya." Terang dokter.
Olivia terduduk. Dia tak tahu lagi apa yang harus dia katakan dan lakukan. Matanya sudah lelah menangis, tapi air matanya masih terus mengalir. Dia menjatuhkan punggungnya ke sandaran kursi. Koridor ruang dahlia nampak lengang. Olivia pun memutuskan untuk kembali masuk dan menemani Dira lagi.
"Vi, kamu kenapa? Habis menangis?" Tanya Dira. Suara terdengar ringan. Jauh dari kesan seseorang yang tak memiliki waktu hidup lebih lama. Hal ini membuat Olivia semakin kesulitan. Di satu sisi, dia ingin menghibur Dira. Tapi di sisi lain, justru Dira lah yang saat ini menghiburnya.
"Ayolah, Vi. Jangan menangis. Bukankah sebentar lagi kamu dan Brian akan menikah?" Dira mencoba membuka obrolan.
"Ya. Dan aku ingin, kamu segera sembuh supaya bisa hadir." Jawab Olivia sambil tersenyum. Senyum palsu.
"Aku turut bahagia untukmu, Vi. Pada akhirnya kisah yang sudah kalian lalui selama 5 tahun sebentar lagi menuju babak baru." Kata Dira sambil menatap langit yang mengambang di balik jendela.
"Terima kasih, Dira." Ucap Olivia tulus lalu memeluk Dira. Air matanya kembali menetes. Air mata yang mengekspresikan rasa senang dan rasa sakit. Dia tak ingin sampai Dira tahu apa yang sebenarnya sudah terjadi di antara dia dan Brian. Sementara dia tak menyadari, ada air mata yang bersembunyi dari matanya. Air mata bahagia Dira.

***

Olivia berjalan pelan menuju kamar Sam. Dia masih berusaha menerka apa yang membuat Sam pada akhirnya memilih untuk meletakkan satu-satunya harapan yang dia miliki untuk orang lain. Keputusan yang cukup gila... dan bodoh.
Setelah berbelok di persimpangan di depan ruang perawat, Olivia lantas masuk ke dalam ruangan di balik pintu warna putih dengan papan berukir yang di tengahnya tertulis angka lima yang tertempel di depannya. Olivia mendapati Sam sedang menatap kertas di pangkuannya. Tangan kanannya memegang pulpen. Dia nampak begitu bersungguh-sungguh menuliskan sesuatu. Dan diakhiri sebuah senyuman, Sam meletakkan pulpennya.
"Sam? Sedang apa?" Tanya Olivia penasaran.
"Ah, kak Oliv. Aku... hanya sedang menulis sesuatu." Jawab Sam. Suaranya terdengar senang. Dada Olivia sedikit sesak mendengarnya.
"Sesuatu?" Selidik Olivia. Sam tak menjawabnya. Dia melipat kertas itu sedemikian rupa lalu mengulurkannya kepada Olivia.
"Apa ini?" Tanya Olivia lagi.
"Bisakah aku meminta satu hal kepada kakak?" Sam balik bertanya. Olivia mengernyitkan dahinya. Lalu mengangguk tanda setuju.
"Kakak pasti sudah tahu dari dokter kan apa keputusanku?" Sam kembali bertanya. Olivia kembali tercekat dan hanya bisa mengangguk. Sam pun tersenyum lalu melanjutkan kalimatnya. "Aku sadar dengan kondisiku setelah aku pingsan di kampus beberapa bulan lalu. Ada yang tidak beres dengan tubuhku, dan setelah dirawat di sini, aku semakin tahu seperti apa kondisiku dan bagaimana kesempatanku untuk bertahan.
"Awalnya aku tertekan kak dengan semua kenyataan itu. Tapi pada akhirnya aku sadar. Tidak ada hal lain yang bisa kulakukan selain memikirkan apa yang bisa aku lakukan dalam waktu yang tidak lama. Sesuatu yang bermakna dan tetap terjaga." Sam memandang awan berarak di balik jendela bening di sebelah kanannya.
"Sam..." ucap Olivia lirih. Dia menahan suaranya sekuat mungkin, karena dia tahu jika tak ditahan, air matanya akan tumpah dan Sam pasti tidak menyukai hal itu.

***

Mobil Honda Civic warna putih dengan highlight hitam nampak membelah jalan sepi tepian kota. Di dalam mobil itu, alunan musik grup akustik Depapepe memenuhi setiap sudutnya. Tak ada kata yang keluar dari 3 orang yang ada di dalamnya. Hanya berbagai ekspresi yang saling tatap, lalu berpaling satu sama lain dan kemudian hanyut dalam musik dan imajinasi di pantulan kaca.
"Tak terasa sudah 1 tahun." Celetuk Ellena yang duduk sendirian di jok belakang. Wajahnya menempel di kaca mobil.
"Dan ada banyak hal tak terduga yang terjadi selama itu." Timpal Olivia. Dia tersenyum ke arah Ellena dan lelaki yang saat ini sedang memegang kemudi di sebelah kanannya.
"Tapi..." Ellena menyandarkan tubuhnya dan menutup matanya, "semua ini berkat dia..."
Hening kembali hadir. Hanya alunan gitar dari lagu START! milik Depapepe yang masih riang memenuhi ruang di dalam mobil itu.

***

Jam menunjukkan pukul 7 pagi. Beberapa perawat nampak mulai melakukan aktivitas mereka. Di salah satu ruangan, nampak beberapa orang berkumpul. Seorang dokter ditemani seorang suster sedang membuka lilitan perban di kepala seorang pasien. Perlahan namun pasti, perban mulai terlepas. Hingga tinggal kapas berbentuk kotak yang menutupi mata pasien itu. Dokter segera mengangkat kapas itu lalu meletakkannya di wadah logam yang ada di atas rak dorong pendek di sebelahnya.
"Masih butuh waktu beberapa hari dan juga sedikit terapi agar Ellena bisa terbiasa dengan penglihatannya. Sungguh sebuah anugerah dia dapat menerimanya." Ujar dokter.
"Kalau begitu, permisi." Dokter diikuti suster keluar dari ruangan itu.
"Ellena..." panggil Olivia.
"Kak... Oliv..." Ellena menoleh ke arah Olivia. Matanya belum sepenuhnya terbuka dan pandangannya juga masih samar.
"Sabar ya, penglihatanmu pasti sebentar lagi pulih." Kata Olivia menghibur. Dia menatap lekat wajah Ellena dan menangkap bayang adiknya di situ. Sam.
"Sam... dia di mana kak? Aku ingin bertemu dengannya." Tanya Ellena. Mendengarnya, jantung Olivia serasa ditusuk. Dia sedikit menahan nafasnya.
"Dia..."
"Ah, lebih baik aku bersabar sedikit lagi sambil menunggu kesembuhanku." Kata Ellena lalu merebahkan dirinya.
"Ya." Olivia kebingungan dengan keadaannya saat ini. Tak ada yang benar-benar bisa dia lakukan selain hanya berusaha menerima kenyataan yang ada di depannya. Kenyataan yang tentu belum sanggup dia ceritakan kepada Ellena, kepada siapapun. Kenyataan yang harus dia pendam hingga batas waktu yang dia sendiri tak tahu.

***

Mobil Honda Civic putih nampak terparkir di tepian sebuah pemakaman. Di jalan setapak yang membelah areal itu, nampak 3 orang, 2 perempuan dan 1 laki-laki, yang berjalan beriringan. 2 di antaranya memegang keranjang berisi bunga. Pembicaraan ringan dan tawa kecil kadang terdengar di antara ketiganya. Namun berubah senyap ketika mereka tiba-tiba di depan sebuah makam dengan nisan berwarna kelabu.
Ellena memdahului dua orang yang bersamanya lalu berjongkok di depan nisan itu. Tangan kanannya menggapai lalu menyentuh lembut tepian nisan itu.
"Kamu masih saja dingin seperti dulu, Sam." Bisik Ellena.
Olivia beserta lelaki yang merangkulnya hanya bisa menatap iba Ellena. Mereka pun mendekat dan jongkok di kanan kiri Ellena. Tanpa aba-aba, mereka memejamkan mata lalu memanjatkan doa. Sebuah doa kepada Tuhan untuk sosok yang terdiam di dalam makam di depan mereka. Sam.
"El... kakak masih ingin menyampaikan hal yang sama kepadamu. Tetaplah jalani hidupmu dengan penuh bahagia. Biarkan Sam tetap hidup di dalam hati kita, dan menatap hal-hal indah bersamamu. Di situ." Ujar Olivia. Ellena pun mengangguk.
"Aku masih sedikit menyesal dengan bagaimana perjumpaan terakhirku dengan Sam. Tapi entah kenapa ada rasa lega di hatiku setelah membaca surat terakhirnya. Kenyataan bahwa dia masih tetap menjagaku dengan caranya sendiri. Cara yang tidak pernah bisa aku mengerti." Air mata pun akhirnya tumpah dari mata Ellena.
"Ah, air mata ini begitu hangat. Apakah kau sedang mencoba menenangkanku, Sam?" Ujar lirih Ellena. Di depannya, muncul bayang Sam yang duduk sambil mengulurkan tangannya. Tangan itu mengusap lembut air mata Ellena lalu mengusap pipi Ellena. Wajah bayang Sam kian mendekati wajah Ellena, dan saat itu Ellena mendengar bisik lembut yang semakin membuat air matanya semakin deras.
"Hiduplah dengan penuh bahagia. Aku akan tetap hidup di hatimu. Dan melihat banyak hal indah di matamu. Bersamamu."

~fin
Share: