Tampilkan postingan dengan label Love. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Love. Tampilkan semua postingan

Rindu yang Kusimpan Untukmu


https://45.media.tumblr.com/4a369230a50af62235571628ab23ebc3/tumblr_nclvp8RfUK1tfluxko2_500.gif

Rindu yang Kusimpan Untukmu

Hujan baru saja reda seiring langkah ringan milik seorang gadis yang membawa tubuh ramping itu melewati sebuah gerbang masuk yang terbuat dari kayu. Di balik gerbang setinggi 3 meter itu terhampar sebuah pekarangan dengan bangunan rumah megah di ujungnya. Payung putih yang masih basah sudah terlipat dan tergenggam erat di tangan kiri. Setelah berjalan beberapa meter dari gerbang, melewati taman dengan kolam di sebelah kiri dan barisan pepohonan di sebelah kanan, gadis yang masih memakai seragam sekolah itu berhenti tepat di depan beranda. Selepas berganti alas kaki dari sepasang sepatu hitam menjadi sandal dalam ruangan, dengan kaos kaki yang masih terpakai, dia berjalan menyusuri koridor yang mengarah ke bagian sebelah kiri rumah besar tersebut. Menuju ke sebuah ruangan berukuran 4x5 meter yang terletak di ujung koridor.
“Ah, hari ini sungguh melelahkan,” gumam gadis itu sambil merebahkan diri. Rambutnya yang panjang sudah terurai setelah tangannya dengan cekatan melepaskan ikat rambut yang dari tadi pagi mengubah rambut hitam berkilau itu menjadi gaya ekor kuda.
Setelah beberapa menit tak bergeser dari atas kasur, tangannya meraih sesuatu dari atas meja. Sebuah ponsel berwarna hitam yang langsung dia serang dengan hentakan kedua jempolnya. Sebuah pesan baru saja terkirim ke salah satu ID yang ada di daftar kontaknya.

To : Rka
Text : Apakah kau sudah sampai rumah?
Tak butuh waktu lama, ponsel itu bergetar. Sebuah pesan baru telah masuk.
From : Rka
Text : Ya, baru saja. Masih rebahan di atas tempat tidur. Bagaimana denganmu?
To : Rka
Text : Aku juga. Sedikit malas untuk beraktivitas. Hari ini aku benar-benar lelah.
From : Rka
Text : Dasar, hari ini kau terlalu bersemangat. Beristirahatlah. =]
To : Rka
Text : Ah, soalnya tadi benar-benar menyenangkan. Ya, terima kasih. ^_^

“Dasar,” ucap gadis itu lirih. Ada senyum ditambah rona merah di wajahnya.

Sesi obrolan singkat itu berakhir. Ponsel hitam itu tak lagi bergetar tanda tak ada lagi pesan masuk, sementara pemiliknya nampak mulai kehilangan kesadaran. Rasa kantuk mulai menyergap gadis itu dan perlahan menariknya ke alam mimpi.

Airin yang nampak begitu tenang dalam tidurnya tak menyadari kehadiran seseorang yang dari tadi memperhatikannya sejak memasuki pekarangan. Sosok yang tak lebih tinggi dari Airin itu berjalan mendekat ke tempat tidur Airin. Mengusap pucuk rambut Airin sambil tersenyum. Dengan lembut, sebuah kecupan menyentuh dahi Airin yang tak tertutup poni. Membuat Airin terbangun.

“Hah?” Airin mengucek kedua matanya. Perlahan, tangan kanannya bergerak mengusap dahi yang kini tertutup poni panjangnya yang menjulur turun. Ada sesuatu yang tiba-tiba mengganggu perasaannya. Dia tersenyum. “Mungkin hanya perasaanku saja.”

***
“Selamat siang,” sapa seseorang dari arah pintu. Seorang pemuda yang dari tadi duduk sendirian di dalam ruangan itu menoleh sembari menutup buku di hadapannya.
“Siang, Airin. Kau sendirian?”
“Hai, Raka. Andi mendapatkan tugas piket perpustakaan hari ini, jadi dia akan terlambat.” Airin mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan sambil duduk tepat di hadapan Raka yang perlahan mulai membuka kembali buku bersampul hijau di hadapannya.
“Kau sudah cukup beristirahat bukan?”
“Ah, iya. Praktek olahraga kemarin benar-benar melelahkan. Tapi menyenangkan.” Airin menunduk berusaha menyembunyikan rona merah di wajahnya.
Mata Raka melirik ke arah Airin yang tiba-tiba terlihat gelisah sambil sesekali mencuri pandang ke arahnya. Seolah mengerti jalan pikiran Airin, pemuda itu mengeluarkan sesuatu dari tas ransel yang bersandar di kaki kursinya. Sebuah kotak berwarna merah dengan plastik bening yang masih membungkusnya dengan rapi. Dengan cekatan, dia merobek plastik itu lalu membuka kotak tersebut. Memamerkan bagian bersekat yang masing-masing terisi oleh bentuk-bentuk menarik.
“Camilan. Kau mau?” Raka menggesernya sedikit ke hadapan Airin.
“Coklat!” pekik Airin.

Raka tersenyum melihat mata Airin yang berbinar ditambah senyum yang terlukis di wajahnya. Jika sudah seperti ini, dia bisa dengan tenang membaca karena Airin tidak akan merespon pembicaraan apapun ketika sudah berhadapan dengan coklat. Kecuali jika dia sendiri yang mengajak bicara. Tapi sepertinya, kali ini perkiraan Raka meleset. Senyum Airin yang tadi mengembang tiba-tiba surut berubah menjadi raut murung. Raka kembali menutup bukunya.

“Ada apa? Tumben sekali tidak bersemangat di hadapan sekotak coklat?” Raka dapat melihat kesedihan yang sedang Airin coba sembunyikan.
“Ah, tidak. Coklat ini enak sekali, seperti yang selalu kau bawa ke sini. Hanya saja ….” Kalimat Airin menggantung. Dia menghela napas lalu melanjutkan, “aku rindu ibuku.”

Suasana berubah hening. Terdengar helaan napas Raka selepas mendengar pernyataan Airin. Raka teringat, sebentar lagi adalah hari ulang tahun ibu Airin, sekaligus hari di mana 5 tahun yang lalu beliau, ibunda Airin, meninggal dalam sebuah kecelakaan lalu lintas. Jantung Raka serasa diperas ketika melihat mata Airin yang mulai sembab. Terlebih ketika dia ingat bagaimana perubahan sikap Airin yang cukup kontras selepas kehilangan ibunya. Raka harus meluangkan waktu sepulang sekolah menunggu Airin duduk diam di depan nisan ibunya tanpa berbuat apa pun lalu mengajaknya untuk pulang. Begitu seterusnya hingga keluarga besar Airin memutuskan untuk membuatnya tinggal di tempat kakeknya.

“Kau ingin mengunjungi makam beliau?” tanya Raka. Mata Airin melebar.
“Ya! Aku ingin ke sana! Tapi ….”
“Tenang saja, aku yang akan bicara kepada kakekmu,” ujar Raka menenangkan.
“Terima kasih, Raka,” kata Airin senang. Raka tersenyum.
“Apa coklatnya enak?” tanya Raka sambil mengambil sebuah coklat berbentuk hati. Airin yang sibuk mengunyah coklat di mulutnya hanya memberikan anggukan sebagai jawaban.

***
Sudah sejak pagi Raka dan Airin duduk di ruang tunggu stasiun kota. Sesuai dengan rencana, hari ini mereka akan pergi ke tempat ibu Airin dimakamkan. Sudah 3 tahun sejak Airin pindah dan dia belum pernah kembali untuk mengunjungi makam ibundanya. Meski sudah berkali-kali berusaha meyakinkan kakeknya yang kolot agar mengizinkannya pergi, berkali-kali pula kakeknya dengan tegas melarang Airin untuk pergi. Dan hari ini, berkat Raka, dia dapat pergi berkunjung.

Raka dan Airin berjalan bersisihan menuju ke sebuah kereta yang baru saja datang. Mereka kemudian masuk ke dalam gerbong yang nampak tidak terlalu sesak. Raka segera mencari tempat duduk yang kosong untuk mereka berdua. Perlahan, kereta tersebut mulai berjalan. Kaki-kaki kokohnya mulai berderap di atas lintasan baja dengan mantap.

Raka dan Airin yang duduk berhadapan lebih banyak menghabiskan waktu dengan memandang ke luar jendela. Ada banyak hal yang saat ini berkelebat di dalam kepala mereka masing-masing. Sesekali mereka mengobrol, tapi kemudian kembali dalam hening. Airin terlihat senang, tapi juga terlihat tak tenang. Sementara Raka yang sesekali melirik ke arah Airin juga memikirkan sesuatu yang mengganggunya sejak pagi tadi.

“Rin, kau mau?” Raka menyodorkan sebuah kotak bekal berisi bermacam-macam kue kering kepada Airin.
“Ah, ya. Terima kasih.” Tangan Airin segera mengambil sebuah kue lalu memakannya.
“Sebentar lagi sampai.”
“Iya.”

***
Setelah berganti kendaraan dengan naik sebuah bus kemudian berjalan beberapa ratus meter dari sebuah halte, Raka dan Airin tiba di depan sebuah komplek pemakaman umum. Sebuah gapura besi yang berdiri angkuh terasa menyambut kedua tamunya dengan tatapan dingin. Setelah memantapkan hati, Airin melangkah melewati gapura itu diikuti Raka yang segera menyesuaikan langkah dan berjalan di sebelahnya.

Langkah Raka dan Airin terhenti di depan sebuah nisan yang terbuat dari marmer putih. Sebuah nama dan tanggal terukir di atasnya. Dengan perlahan, Airin membungkuk lalu duduk di hadapan nisan tersebut. Diikuti Raka yang sudah duduk di sebelahnya, Airin memejamkan kedua mata lalu mulai memanjatkan doa. Kemudian menaburkan bunga yang sudah dia siapkan sebelumnya.

Setelah merasa cukup, Airin berdiri dan berniat berjalan pergi sebelum pergelangan tangannya terasa ditarik. Raka menahannya.

“Airin. Sudah 3 tahun sejak terakhir kali kau ke sini. Apakah kau tidak ingin berada di sini sedikit lebih lama?” tanya Raka sambil menatap punggung kecil Airin.
“Aku hanya tidak ingin lagi larut dalam kesedihan, Ka. Itu saja.”
“Kau yakin ingin begitu?” tanya Raka lagi. Dia sudah melepaskan tangan Airin dari genggamannya.
“Ya. Bukankah akan merepotkan jika kau harus menunggu dan merayuku agar mau pulang seperti dulu?” Lagi-lagi ada sesuatu yang terasa menekan dari dalam dada Raka. Terlebih ketika dia melihat air mata Airin yang sudah jatuh saat Airin menoleh ke arahnya.
“Jangan bohong! Hanya dengan sekali lihat pun aku bisa tahu kalau kau sangat ingin berada di sini lebih lama!” Raka tak dapat menahan dirinya untuk tidak meluapkan perasaannya. Membuat Airin tersentak kaget.
“Kenapa kau memarahiku? Apakah salah jika aku tidak ingin merepotkanmu? Aku sudah dewasa! Aku berhak melakukan apa yang ingin kulakukan!kata Airin tak mau kalah. Kali ini dia sepenuhnya berdiri menghadap Raka. Kesedihan, kemarahan, keraguan, kepedihan, semua tergerus menjadi satu di suara paraunya.

“Lalu, apakah salah jika aku mempedulikanmu? Hanya ini yang bisa kulakukan untukmu,” ucap Raka lirih. Dia tertunduk. Airin terdiam.
“Aku … hanya merasa … kesepian,” ucap Airin terbata-bata.
“Aku ada di sini, Airin. Apa kau juga ingin membuangku?” Mendengar pertanyaan Raka, Airin tercekat. Kali ini dia yang merasakan jantungnya ditekan kuat-kuat.
“Tidak! Aku hanya … aku ….” Airin mendekat satu langkah ke arah Raka. Suasana berubah hening.
“Bolehkah aku … memanggilmu seperti dulu?”
“Aku tidak keberatan.”

Seolah adegan lambat dalam sebuah film, tangan Airin menyentuh dada bidang Raka lalu membenamkan wajahnya di situ. Isak tangisnya perlahan terdengar jelas. Seiring bisikan lirih yang juga berubah menjadi suara penuh kepedihan.

“Aku … aku merindukan ibu, kak! Aku merindukan ibu. Kak Raka, aku ingin bertemu lagi dengan Ibu!” Suara penuh kerinduan yang putus asa itu memecah kesunyian.

Tanpa kata, Raka meraih tubuh mungil Airin lalu mendekapnya dengan erat. Tak ada yang bisa dia lakukan selain mencurahkan seluruh waktu yang dia punya untuk adik yang paling dia sayangi. Apalagi setelah seluruh keluarganya menyalahkan dirinya akibat kecelakaan yang menghilangkan nyawa ibu Airin, yang juga ibunya. Seluang apa pun waktu, dia akan habiskan untuk berada di dekat Airin.

“Maafkan kakak, Rin. Seharusnya kakak yang terbaring di sini, bukan ibu. Maafkan kakak,” ucap Raka sambil memeluk erat Airin.
“Kak, kau tidak salah. Ini sudah takdir yang tidak bisa dihindari. Terima kasih karena selama ini sudah dengan tulus menjagaku.” Airin menyeka air mata Raka.
“Terima kasih, Rin. Kau benar-benar tumbuh menjadi gadis yang baik,” ucap Raka sambil tersenyum. Pipi Airin memerah mendengar pujian Raka.

Dengan mata yang masih merah dan wajah yang masih basah dengan air mata, dua orang yang selama ini menyembunyikan kenyataan bahwa mereka adalah kakak beradik tersebut saling tersenyum satu sama lain. Tapi senyum di wajah salah satu dari mereka tiba-tiba lenyap.

“Maafkan Ibu yang tiba-tiba pergi meninggalkanmu, Raka. Terima kasih kau sudah menjaga Airin dengan seluruh waktumu. Kau menepati janji yang pernah kau buat, Nak. Kau benar-benar anak lelaki kebanggaan Ibu.”

Dari sudut matanya, tepat di belakang Airin, Raka tercekat tak percaya dengan apa yang dia lihat. Sosok yang sangat dia cintai dan rindukan lebih dari siapapun kini muncul di hadapannya. Ibu yang sudah pergi dari sisinya beserta kenangan yang selama ini dia buang jauh-jauh tiba-tiba menampakkan diri di depan mata kepalanya.

Raka kecil berlarian di dalam rumah sambil membawa pesawat mainannya. Tanpa dia sengaja, dia menabrak lego berbentuk rumah yang sedang disusun oleh seorang gadis kecil. Airin kecil yang melihat rumah yang tadi dia susun rusak menangis sejadi-jadinya. Hal itu mengundang ibu mereka segera berlari mendekat.
“Raka, kenapa Airin menangis? Apa yang sudah kau lakukan?” selidik Ibu kepada Raka. Meski nampak sedang memarahi putranya, tapi nada suara wanita berpakaian sederhana itu sangatlah lembut. Terdengar begitu bersahaja.
“Aku … aku. Aku merusak rumah yang dibuat Airin! Maafkan aku, Bu,” jawab Raka kecil sambil sesenggukan.
Dengan tatapan teduh, Ibu dengan lembut menarik kedua buah hatinya yang masih menangis ke dalam pelukannya lalu mengusap dengan penuh kasih sayang kepala mereka. “Raka, berjanjilah kepada Ibu jika nanti Ibu tidak bisa lagi menjaga kalian, kau harus menjaga Airin. Kau menyayangi Airin, bukan?”
“Tentu saja, Bu! Aku berjanji, aku akan menjaga Airin dengan seluruh kekuatanku!” kata Raka kecil sambil menepuk dadanya dengan kepalan tangan kecilnya. Hal itu mengundang tawa Ibu. Juga Airin yang nampak kagum dengan suara lantang dan mantap kakaknya, Raka.
“Kau adalah anak lelaki kebanggaan Ibu, Raka.”

Senyum menenangkan dari wajah yang sangat dia rindukan itu membuat Raka tak kuasa menahan air matanya. Dia menangis hingga jatuh bertumpu lutut. Beban yang selama ini menumpuk di dalam dadanya perlahan luruh bersama isak tangis dan air matanya yang jatuh berderai.

Airin yang terkejut menoleh ke arah Raka memandang. Di sana, meski tak terlalu ingat, Airin dapat mengenali wajah itu. Dia tersenyum. Sambil mengusap dahinya, Airin berkata, “Jadi, waktu itu Ibu yang mengecup dahiku?”

Anggukan kecil cukup memberikan Airin jawaban. Dia berbalik kemudian memeluk erat kakaknya yang masih menangis. “Terima kasih, kak. Sekarang, menangislah untuk dirimu sendiri. Lepaskanlah semua beban yang selama ini kau simpan sendiri.”

Bersamaan dengan Raka yang mulai menegakkan kepalanya, sosok wanita paruh baya yang tersenyum penuh kedamaian itu perlahan mulai memudar menjadi bayang. Dengan tangan saling menggenggam erat, Raka dan Airin melepas kepergian itu dengan air mata yang masih mengambang, tapi juga dengan senyum penuh keikhlasan.

Menanggung beban seorang diri untuk waktu yang lama bukanlah hal yang mudah, tapi demi seseorang yang berarti, hal tanpa terasa akan begitu saja terlewati. Sementara memendam kesedihan akibat ditinggal pergi seseorang yang dicintai akan membuat seseorang kehilangan dirinya sendiri. Hanya dengan keikhlasan, beban dan kesedihan yang terpendam akan menghilang. Jadi, sudahkah kau mengikhlaskan kehilangan yang kau dapatkan?

~ fin

Share:

Untitled Tragedy, The 4th, The Last

Title : UT The 4th
Author : @NVRstepback


img from gde-on.com

Olivia menatap nanar foto keluarga ukuran besar yang terpampang di depannya. Matanya tak henti-henti memandang dan menyapu setiap detil dari foto itu. Rambut bergelombang dan senyum yang memamerkan barisan gigi putih terawat ibunya, kacamata dengan frame coklat gelap di atas hidung mancung ayahnya, wajah datar yang terpaksa tersenyum milik Sam, dan dirinya sendiri yang berdiri dengan balutan kebaya batik serupa dengan yang lainnya. Dan semakin dia menatap foto itu, pelupuk matanya semakin panas.
Ponsel Olivia berbunyi. Ada pesan masuk.
From: Ellena
Text: Kak, jgn lupa acara hari ini ya. :)
To: Ellena
Text: Iya, El. Kita ketemu di sana ya. ;)
From: Ellena
Text: Okee
Olivia meletakkan ponselnya lalu menjatuhkan punggungnya ke sandaran sofa. Senyum tersungging di wajahnya. Dia pun bergegas bangkit lalu berjalan menuju kamarnya.

***

Manusia memiliki kemampuan untuk merencana dan mungkin mengubah sebuah alur cerita. Tapi semua itu tak menjamin jika apa yang mereka rencanakan dapat berhasil. Alur yang berubah akan memberikan efek lain yang berlipat, entah itu kebahagiaan yang berlipat ataupun kesedihan yang berlipat. Dan ada beberapa orang yang akan menerima 2 hal itu bersamaan.
"Inilah yang dikehendaki oleh Sam. Dia sepenuhnya menerima keadaan dirinya dan akhirnya memutuskan untuk melakukan hal itu." Kata dokter.
Suara datar namun dengan sedikit penekanan terasa menyakitkan di telinga Olivia. Air matanya satu-satu mulai jatuh. Tangan kanannya meraih kepalanya yang masih dibalut perban. Denyut rasa sakit kembali terasa tapi kali ini diikuti bias-bias ingatan yang semakin menambah sakit yang dia rasakan. Dengan menggunakan meja di sampingnya, Olivia berusaha berdiri. Dia menolak uluran tangan dokter, lalu dia melangkah keluar.

***

"Tapi.. dok, apakah tidak ada cara lain? Apakah penyakit Dira benar-benar tidak bisa disembuhkan?" Olivia masih belum bisa menerima kenyataan bahwa sahabatnya akan pergi.
"Maaf. Kami sudah berusaha sebaik mungkin. Tapi kondisi pasien sudah terlalu parah. Mungkin dengan melakukan terapi dan juga konsumsi obat, pasien bisa melakukan aktivitas sehari-hari. Tapi hal itu tidak bisa benar-benar menyembuhkannya." Terang dokter.
Olivia terduduk. Dia tak tahu lagi apa yang harus dia katakan dan lakukan. Matanya sudah lelah menangis, tapi air matanya masih terus mengalir. Dia menjatuhkan punggungnya ke sandaran kursi. Koridor ruang dahlia nampak lengang. Olivia pun memutuskan untuk kembali masuk dan menemani Dira lagi.
"Vi, kamu kenapa? Habis menangis?" Tanya Dira. Suara terdengar ringan. Jauh dari kesan seseorang yang tak memiliki waktu hidup lebih lama. Hal ini membuat Olivia semakin kesulitan. Di satu sisi, dia ingin menghibur Dira. Tapi di sisi lain, justru Dira lah yang saat ini menghiburnya.
"Ayolah, Vi. Jangan menangis. Bukankah sebentar lagi kamu dan Brian akan menikah?" Dira mencoba membuka obrolan.
"Ya. Dan aku ingin, kamu segera sembuh supaya bisa hadir." Jawab Olivia sambil tersenyum. Senyum palsu.
"Aku turut bahagia untukmu, Vi. Pada akhirnya kisah yang sudah kalian lalui selama 5 tahun sebentar lagi menuju babak baru." Kata Dira sambil menatap langit yang mengambang di balik jendela.
"Terima kasih, Dira." Ucap Olivia tulus lalu memeluk Dira. Air matanya kembali menetes. Air mata yang mengekspresikan rasa senang dan rasa sakit. Dia tak ingin sampai Dira tahu apa yang sebenarnya sudah terjadi di antara dia dan Brian. Sementara dia tak menyadari, ada air mata yang bersembunyi dari matanya. Air mata bahagia Dira.

***

Olivia berjalan pelan menuju kamar Sam. Dia masih berusaha menerka apa yang membuat Sam pada akhirnya memilih untuk meletakkan satu-satunya harapan yang dia miliki untuk orang lain. Keputusan yang cukup gila... dan bodoh.
Setelah berbelok di persimpangan di depan ruang perawat, Olivia lantas masuk ke dalam ruangan di balik pintu warna putih dengan papan berukir yang di tengahnya tertulis angka lima yang tertempel di depannya. Olivia mendapati Sam sedang menatap kertas di pangkuannya. Tangan kanannya memegang pulpen. Dia nampak begitu bersungguh-sungguh menuliskan sesuatu. Dan diakhiri sebuah senyuman, Sam meletakkan pulpennya.
"Sam? Sedang apa?" Tanya Olivia penasaran.
"Ah, kak Oliv. Aku... hanya sedang menulis sesuatu." Jawab Sam. Suaranya terdengar senang. Dada Olivia sedikit sesak mendengarnya.
"Sesuatu?" Selidik Olivia. Sam tak menjawabnya. Dia melipat kertas itu sedemikian rupa lalu mengulurkannya kepada Olivia.
"Apa ini?" Tanya Olivia lagi.
"Bisakah aku meminta satu hal kepada kakak?" Sam balik bertanya. Olivia mengernyitkan dahinya. Lalu mengangguk tanda setuju.
"Kakak pasti sudah tahu dari dokter kan apa keputusanku?" Sam kembali bertanya. Olivia kembali tercekat dan hanya bisa mengangguk. Sam pun tersenyum lalu melanjutkan kalimatnya. "Aku sadar dengan kondisiku setelah aku pingsan di kampus beberapa bulan lalu. Ada yang tidak beres dengan tubuhku, dan setelah dirawat di sini, aku semakin tahu seperti apa kondisiku dan bagaimana kesempatanku untuk bertahan.
"Awalnya aku tertekan kak dengan semua kenyataan itu. Tapi pada akhirnya aku sadar. Tidak ada hal lain yang bisa kulakukan selain memikirkan apa yang bisa aku lakukan dalam waktu yang tidak lama. Sesuatu yang bermakna dan tetap terjaga." Sam memandang awan berarak di balik jendela bening di sebelah kanannya.
"Sam..." ucap Olivia lirih. Dia menahan suaranya sekuat mungkin, karena dia tahu jika tak ditahan, air matanya akan tumpah dan Sam pasti tidak menyukai hal itu.

***

Mobil Honda Civic warna putih dengan highlight hitam nampak membelah jalan sepi tepian kota. Di dalam mobil itu, alunan musik grup akustik Depapepe memenuhi setiap sudutnya. Tak ada kata yang keluar dari 3 orang yang ada di dalamnya. Hanya berbagai ekspresi yang saling tatap, lalu berpaling satu sama lain dan kemudian hanyut dalam musik dan imajinasi di pantulan kaca.
"Tak terasa sudah 1 tahun." Celetuk Ellena yang duduk sendirian di jok belakang. Wajahnya menempel di kaca mobil.
"Dan ada banyak hal tak terduga yang terjadi selama itu." Timpal Olivia. Dia tersenyum ke arah Ellena dan lelaki yang saat ini sedang memegang kemudi di sebelah kanannya.
"Tapi..." Ellena menyandarkan tubuhnya dan menutup matanya, "semua ini berkat dia..."
Hening kembali hadir. Hanya alunan gitar dari lagu START! milik Depapepe yang masih riang memenuhi ruang di dalam mobil itu.

***

Jam menunjukkan pukul 7 pagi. Beberapa perawat nampak mulai melakukan aktivitas mereka. Di salah satu ruangan, nampak beberapa orang berkumpul. Seorang dokter ditemani seorang suster sedang membuka lilitan perban di kepala seorang pasien. Perlahan namun pasti, perban mulai terlepas. Hingga tinggal kapas berbentuk kotak yang menutupi mata pasien itu. Dokter segera mengangkat kapas itu lalu meletakkannya di wadah logam yang ada di atas rak dorong pendek di sebelahnya.
"Masih butuh waktu beberapa hari dan juga sedikit terapi agar Ellena bisa terbiasa dengan penglihatannya. Sungguh sebuah anugerah dia dapat menerimanya." Ujar dokter.
"Kalau begitu, permisi." Dokter diikuti suster keluar dari ruangan itu.
"Ellena..." panggil Olivia.
"Kak... Oliv..." Ellena menoleh ke arah Olivia. Matanya belum sepenuhnya terbuka dan pandangannya juga masih samar.
"Sabar ya, penglihatanmu pasti sebentar lagi pulih." Kata Olivia menghibur. Dia menatap lekat wajah Ellena dan menangkap bayang adiknya di situ. Sam.
"Sam... dia di mana kak? Aku ingin bertemu dengannya." Tanya Ellena. Mendengarnya, jantung Olivia serasa ditusuk. Dia sedikit menahan nafasnya.
"Dia..."
"Ah, lebih baik aku bersabar sedikit lagi sambil menunggu kesembuhanku." Kata Ellena lalu merebahkan dirinya.
"Ya." Olivia kebingungan dengan keadaannya saat ini. Tak ada yang benar-benar bisa dia lakukan selain hanya berusaha menerima kenyataan yang ada di depannya. Kenyataan yang tentu belum sanggup dia ceritakan kepada Ellena, kepada siapapun. Kenyataan yang harus dia pendam hingga batas waktu yang dia sendiri tak tahu.

***

Mobil Honda Civic putih nampak terparkir di tepian sebuah pemakaman. Di jalan setapak yang membelah areal itu, nampak 3 orang, 2 perempuan dan 1 laki-laki, yang berjalan beriringan. 2 di antaranya memegang keranjang berisi bunga. Pembicaraan ringan dan tawa kecil kadang terdengar di antara ketiganya. Namun berubah senyap ketika mereka tiba-tiba di depan sebuah makam dengan nisan berwarna kelabu.
Ellena memdahului dua orang yang bersamanya lalu berjongkok di depan nisan itu. Tangan kanannya menggapai lalu menyentuh lembut tepian nisan itu.
"Kamu masih saja dingin seperti dulu, Sam." Bisik Ellena.
Olivia beserta lelaki yang merangkulnya hanya bisa menatap iba Ellena. Mereka pun mendekat dan jongkok di kanan kiri Ellena. Tanpa aba-aba, mereka memejamkan mata lalu memanjatkan doa. Sebuah doa kepada Tuhan untuk sosok yang terdiam di dalam makam di depan mereka. Sam.
"El... kakak masih ingin menyampaikan hal yang sama kepadamu. Tetaplah jalani hidupmu dengan penuh bahagia. Biarkan Sam tetap hidup di dalam hati kita, dan menatap hal-hal indah bersamamu. Di situ." Ujar Olivia. Ellena pun mengangguk.
"Aku masih sedikit menyesal dengan bagaimana perjumpaan terakhirku dengan Sam. Tapi entah kenapa ada rasa lega di hatiku setelah membaca surat terakhirnya. Kenyataan bahwa dia masih tetap menjagaku dengan caranya sendiri. Cara yang tidak pernah bisa aku mengerti." Air mata pun akhirnya tumpah dari mata Ellena.
"Ah, air mata ini begitu hangat. Apakah kau sedang mencoba menenangkanku, Sam?" Ujar lirih Ellena. Di depannya, muncul bayang Sam yang duduk sambil mengulurkan tangannya. Tangan itu mengusap lembut air mata Ellena lalu mengusap pipi Ellena. Wajah bayang Sam kian mendekati wajah Ellena, dan saat itu Ellena mendengar bisik lembut yang semakin membuat air matanya semakin deras.
"Hiduplah dengan penuh bahagia. Aku akan tetap hidup di hatimu. Dan melihat banyak hal indah di matamu. Bersamamu."

~fin
Share:

Still.. Crying for You! -- Part - IV

Part yang udah ngadat berbulan-bulan. Sebagai catatan, di Part ini POV yang dipake adalah POV-nya si cewek (Anna).
Yang belum baca dari awal, bisa cek link2 ini ~> Still I >> Still II >> Still III



"how do you feel, so fine... you're the world to me, and dream on... you stole my heart so long ago..."

Rama Iman Oktara. Aku mengenalnya sejak sebelum aku bisa mengingat bagaimana cara menulis namaku. Anak laki-laki yang kurus namun kuat. Selalu memiliki hal aneh yang dilakukannya ketika sedang sendirian. Dan yang paling sering adalah berbicara dengan hujan. Hih. Dasar aneh. Memang bukan sesuatu yang baru bagiku, karena hal itu sudah dilakukannya sejak kecil. Ketika rintik hujan mulai berderap, dia langsung berlari ke teras kemudian jongkok dan dengan nanar menatap setiap rintik hujan yang turun. Ya, meskipun dia aneh, tetap saja dia punya tempat khusus di hatiku.
Rama Iman Oktara. Itulah namanya. Tapi entah kenapa dia tak suka dipanggil Rama, Iman, Okta, bahkan Tara. Dia lebih suka dipanggil dengan singkatan namanya RIO. Mungkin karena alasan itu pula, sejak kecil dia tak terlalu dikenal dan tidak punya banyak teman. Ada beberapa orang saja ketika sekolah dasar namun ketika sampai di bangku SMA tinggal aku yang masih mengenalnya sebagai seorang RIO.
Tak tahu kenapa baru-baru ini aku bisa jujur kepada Rio dan juga kepada diriku sendiri. Jujur mengenai perasaanku kepada Rio. Sejak lama, atau lebih tepatnya semenjak masuk SMP, aku mulai merasa tidak bisa jauh dari Rio. Takut kehilangan dia dan ingin selalu bisa melihatnya. Tapi gengsi dan maluku memaksaku untuk menyangkalnya. Pelampiasannya adalah berpacaran dengan anak laki-laki lain untuk membuang perasaanku kepada Rio.
Entah sudah berapa kali aku berusaha menyangkalnya. Sekuat apapun aku berusaha, tetap saja aku idak bisa membuang perasaanku kepada Rio. Semakin aku berusaha menyangkal, semakin kuat pula desakan perasaan itu. Dan sampai akhirnya aku berusaha menerimanya dengan perlahan. Hal itu berdampak pada hubunganku dengan Denis. Gelagatku yang perlahan berubah tapi pasti direspon oleh Denis dengan cepat. Dia memutuskan hubungan kami. Memang ada rasa sakit di hatiku. Tapi setelahnya aku justru merasa lega dan bebas.
Hari di mana Denis memutuskan hubungan kami, hari di mana pertama kali aku menangis karena sesuatu yang tak terlihat bernama cinta. Bukan karena diputuskan oleh Denis, tapi karena ada Rio di hadapanku. Aku menangis karena rasa sakitku sudah memuncak. Rasa sakit yang kubuat sendiri dengan terus berbohong kepada Rio dan diriku sendiri. Dan obat dari rasa sakit itu adalah Rio. Ya, Rio. Pelukannya yang meski sejenak bisa sedikit membalut lukaku dan membuatnya tidak terlalu sakit.
Hari itu begitu rumit namun begitu bermakna. Meski aku sendiri belum tahu bagaimana perasaan Rio kepadaku. Memang selama ini Rio tak pernah berpacaran. Aku berpikir, dia memang tidak ingin berpacaran sampai nanti dia sudah lulus. Tak tega rasanya kalau berprasangka kalau Rio suka pada laki-laki. Hiii. (Writer-nya minta dipukul.)
Tapi tabir itu tersingkap ketika dengan sendirinya Rio mengakui perasaannya padaku. Rasa bahagia yang tak kudapat sejak dulu. Sedikit kusesalkan, namun akhirnya aku nikmati saja keterlambatan itu. Rio dan aku. Bersama. Paling tidak hingga aku berangkat ke Inggris untuk melanjutkan studi. Ah, betapa waktu di dunia ini begitu mencekik. Kebersamaan yang baru saja kami jalin harus dibatasi oleh waktu.
Hari hari yang kujalani berjalan begitu menyenangkan. Rio tak berubah sama sekali. Masih tetap saja aneh, lucu, dan menyebalkan. Tapi aku tetap tak bisa jauh darinya. Justru makin hari rasa sayangku padanya makin besar dan aku makin enggan untuk pergi ke Inggris setelah lulus nanti. Sungguh jika bisa memilih, aku akan memilih untuk tetap berada di sini. Tapi aku tak bisa menolak permintaan ayah yang beliau lakukan demi kebaikanku.
Aku sempat diam tak bicara kepada Rio karena masalah itu. Tapi untung ada Ira yang tiba-tiba saja datang dan membuat Rio dan aku berbaikan. Lega rasanya meskipun awalnya aku cemburu melihat Rio dan Ira berduaan.
Hari ketika semua kebahagiaan bersama Rio dimulai, hari itu pula hatiku tersayat oleh suatu kejadian yang menyesakkan. Kejadian yang membuat Rio kembali tumbang.
***
“Anna, udah tenang ya. Rio pasti baik-baik aja kok.” Ujar Ira menenangkan aku yang masih menangis di pelukannya.
“Tapi Ra.. aku takut...”
“Udah...”
Aku dan Ira masih duduk di depan ruang ICU tempat Rio kini sedang mendapat penanganan intensif dari dokter. Sedih rasanya melihat apa yang harus terjadi pada Rio sekarang. Terlebih lagi, yang kudengar dari beberapa teman Rio di sekolah, selama SMA Rio hanya tinggal sendiri karena kedua orang tuanya sedang berada di luar negeri. Ingin rasanya aku menghubungi mereka.
“Emang kamu tahu cara menghubungi mereka?” tanya Ira setelah mendengar keinginanku.
“Iya juga ya.” Kataku lesu kemudian menyandarkan tubuhku di kursi tempatku duduk.
Beberapa saat kemudian dokter yang menangani Rio keluar dari ruang ICU. Tanpa aba-aba, aku langsung berdiri dan bertanya ke dokter mengenai Rio.
“Rio, gimana dok?” tanyaku agak cemas.
“Tenang, Rio tidak mengalami luka serius. Kepalanya memang mengalami benturan cukup keras tapi tidak ada masalah. Kita tunggu saja sampai Rio siuman.” Kata dokter menjelaskan. Aku dan Ira pun bernafas lega mendengar penjelasan dokter. Setelah itu Rio dipindahkan ke kamar biasa untuk mendapatkan perawatan lebih lanjut.
Aku masih betah duduk berlama-lama di samping Rio terbaring. Memandangi wajahnya yang kini tampak sangat lemah. Mimik mukanya datar tanpa ekspresi. Dan entah kenapa tiba-tiba saja aku merasa rindu pada senyum aneh dan tawa jahil dari Rio. Senyum yang sering membuatku bingung dan tawa yang selalu membuatku marah dan kesal. Aku benar-benar merindukannya.
“Anna.” Panggil Ira tiba-tiba.
“Oh. Eng, Ira. Kenapa?”
“Kamu nangis?” tanya Ira.
“Ha?” segera aku menggerakkan tanganku untuk mengusap bagian bawah mataku lalu kusadari ternyata air mata begitu saja mengalir.
“Aku kangen Rio, Ra. Kangen senyumnya, kangen ketawanya, kangen jahilnya. Aku kangen sama Rio.” Ucapku. Dan air mata kembali mengalir.
“Tenang. Rio pasti segera sadar kok. Kita doain yang terbaik buat Rio, ya.” Kata Ira menenangkanku.
***
Bel tanda pulang sekolah berbunyi. Setelah mengepak buku dan alat tulis, aku bergegas ke rumah sakit. Untung saja ayahku dapat mengerti dan mengizinkanku untuk menunggu Rio di rumah sakit dengan syarat tidak lupa dengan sekolahku. Dan seperti biasa, aku mampir sebentar ke kafe di samping sekolah untuk sekedar makan siang sebelum berangkat ke rumah sakit.
Saat sedang asyik menikmati makanan, tiba-tiba ponselku berbunyi. Saat ku tengok ternyata ada SMS dari dokter Budi, dokter yang merawat Rio.
[from: dr. Budi]
Anna, Rio sudah sadar. Kondisinya juga sudah cukup stabil.

Sejenak aku lupa dengan makanan di hadapanku ketika membaca SMS tersebut. Tanpa menghiraukan lagi makanan itu, aku bergegas ke rumah sakit untuk bisa menemui Rio. Tak lupa aku mengabari Ira tentang keadaan Rio yang sudah membaik.
Saat sedang berjalan, terbersit ide untuk membeli sesuatu untuk Rio. Dan kemudian kuputuskan untuk membeli kue coklat, kue kesukaan Rio. Setelah mendapatkan kue tersebut, aku pun segera melanjutkan perjalanan menuju rumah sakit.
Tak butuh waktu lama, aku pun sudah sampai di rumah sakit. Setelah melewati beberapa koridor, aku pun sampai di kamar tempat Rio dirawat. Dengan perlahan, aku membuka pintu. Sepi seperti biasanya. Sepertinya Ira belum datang. Dengan langkah pelan, aku memasuki ruangan itu. Dan langkahku terhenti ketika melihat Rio yang sedang bersandar, memandang ke arah jendela dengan tatapan mata teduh. Sebuah pemandangan langka, seorang Rio menampakkan wajah yang begitu mempesona.
Aku masih terpana, belum mampu bergerak dan bersuara. Dan ketika tiba-tiba Rio menoleh, kami pun saling berpandangan. Aku yang belum siap bertatapan dengan Rio pun kaget setengah mati. Ingin rasanya menyapa Rio, tapi kata-kataku tertahan di tenggorokan.
“Anna. Muka kamu aneh banget.” Kata Rio tiba-tiba kemudian tertawa terbahak. Tawa jahil seperti biasa. Tapi aku merasa aneh. Biasanya jika mendengar tawa jahil tersebut, aku akan langsung marah dan kesal. Sedangkan kini, aku justru merasa senang.
“Anna.” Panggil Rio.
“Iya Rio. Kenapa?” tanyaku sambil berjalan ke arahnya lalu duduk di sampingnya.
“Kamu sekarang kok jadi cengeng sih. Suka banget nangis.” Kata Rio sambil menyeka air mataku. Tanpa berkata apa-apa, aku langsung memeluk Rio. Menyembunyikan derai air mataku yang terus mengalir dari hadapan Rio. Mencurahkan rasa rindu dan khawatir yang ada di dalam dadaku.
“An... Anna. Sakit An.” Kata Rio. Tapi aku tak menghiraukannya dan terus memeluk Rio. Tiba-tiba saja kurasakan Rio pun dengan pelan memelukku dan mengusap lembut rambutku.
Beberapa saat kemudian kubiarkan Rio beristirahat agar dia segera pulih dan bisa kembali sekolah, serta bisa bersamaku lagi. Saat Rio sudah terlelap, aku memutuskan untuk pergi keluar sebentar membeli makanan.
***
Rintik hujan mulai turun ketika aku keluar dari mini market. Langkah kecilku perlahan menjadi langkah berlari seiring semakin derasnya hujan. Untung saja tak butuh waktu lama untukku sampai kembali di rumah sakit. Dengan langkah ringan aku berjalan menuju kamar Rio. Dan langkahku terhenti sesaat ketika kudengar dokter sedang berbincang mengenai kondisi Rio.
“Dok, pasien di ruang 17 tadi...” terdengar suara wanita yang sepertinya suster.
“Iya, kondisi Rio memang cukup mengkhawatirkan. Tapi semangatnya begitu luar biasa. Meskipun dia tahu kalau penyakitnya sudah tak bisa disembuhkan lagi, dia tetap tegar dan berusaha untuk terus tersenyum.” Kata suara milik dr. Budi.
“Lalu, bagaimana dengan gadis yang selalu menemaninya dok? Apa kita harus beritahu dia?”
“Lebih baik jangan dulu. Kamu masih ingat kan apa permintaan Rio?”
“Eh, baik dok.”

Nafasku tertahan. Jantungku berdegup tak menentu. Aku ingin berlari tapi kakiku enggan untuk bergerak. Badanku gemetar. Cemas, itulah yang aku rasakan. Cemas dan takut yang tak bisa aku jelaskan. Dan sebuah tanya, apa yang sebenarnya terjadi pada Rio?


--- continue to the next part ---
Share:

Udah Jujur Aja... | CERPEN


Hey Ho! Selamat siang semuanyaa~ nih ada cerpen baru. Cerpen yang gagal kesaring di sayembara cerpen beberapa hari yang lalu *sedih*. Udah ah, yuk mari dibacaa~

Title : Udah Jujur Aja...
Author : Nur Rochman / @NVRstepback

Udah Jujur Aja...
Hujan masih setia mengalunkan nada sumbang yang seolah sedang mencoba meresonansi masa lalu . Di sebuah kafe, tampak 3 orang sedang duduk berbincang. Dika, Vina, dan Rara. Dan sepertinya di situ hanya ada mereka bertiga serta segelintir pengunjung yang duduk cukup jauh dari mereka. Sudah cukup lama mereka tidak beranjak karena hujan yang masih mengguyur ditambah Andra yang tak kunjung datang.
“Aduh ini si Andra kebiasaan banget ya, bikin orang nunggu.” Ujar Dika kesal.
“Sabar, Ka. Mungkin si Andra lagi kejebak macet.” Kata Rara berusaha menenangkan Dika yang uring-uringan.
“Sabar dong Dika, nih dia sms katanya jalanan macet.” Timpal Vina, pacar Andra, sambil menunjukkan ponselnya. Dika pun melongo dan membaca sms tersebut.
“Aduh, terus kita mau ngapain coba di sini? Mana sepi lagi.” Kata Dika sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi.
“Gimana kalo main Truth or Dare?” kata Vina menyampaikan idenya. Dika pun mengernyitkan dahi mendengar ide Vina.
“Seriusan mau main Truth or Dare di sini?” tanya Dika.
“Iya dong. Mumpung sepi, jadinya kan asyik.” Ujar Vina sambil tersenyum.
“Eng.. OK deh gue mau. Loe ikut nggak Ra?” tanya Dika kepada Rara yang tampak sedang melamun.
“Rara!” kata Vina setengah berteriak. Rara pun tersentak.
“Eh, anu. I.. Iya, gue ikut.” Kata Rara agak tergagap.
“Ada apa Ra? Kok dari tadi ngelamun mulu sih?” tanya Dika.
“Eh, masa sih dari tadi ngelamun? Nggak kok.. Hehe.“ Rara berusaha menjawab sekenanya.
“Udah udah. Karena udah pada setuju, kita mulai.” Kata Vina kemudian mengambil botol minuman kosong dari dalam tasnya.
“Putaran pertama, nentuin siapa yang bakal ngasih pertanyaan atau tantangan. Putaran kedua, nentuin siapa yang kena sial. Dia harus milih Truth atau Dare. Truth, berarti dia harus jawab jujur pertanyaan apapun yang dia dapet. Dare, berarti dia harus ngejalanin tantangan apapun yang dikasihin.” Terang Vina. Dika dan Rara mengangguk tanda mengerti.
Dika, Vina, dan Rara memajukan kursi mereka. Vina pun memutar botol yang dari tadi dia pegang. Botol berputar dengan lancar, kemudian perlahan melambat, melambat, dan akhirnya berhenti. Ujung botol itu menunjuk ke arah Rara.
“Yes!” ucap Rara sambil mengepalkan tangannya. Dika dan Vina mengeluh.
“Lanjut nentuin siapa yang kena sial.” Kata Vina lesu, kemudian memutar botol.
Botol nasib kembali berputar. Tak terlalu cepat, tapi cukup lama rasanya menunggu botol tersebut untuk berhenti. Vina dan Dika menahan nafas melihat kecepatan botol itu menurun, dan akhirnya.. Ujung botol itu mengarah kepada Vina. Dika menghela nafas lega.
“Aaahhh..” ucap Vina tidak terima.
“Yang sabar ya Na.. Hahaha.” Kata Dika sambil tertawa mengejek.
“Aduh, gue duluan. Sial banget sih gue..” Gerutu Vina.
 “Nah sekarang, loe pilih apa Na. Truth, or Dare?” tanya Rara sambil tersenyum. Dika pun memperhatikan Vina yang sedang berpikir.
“Gue pilih... Truth aja deh. Nanti kalo Dare pasti disuruh aneh-aneh.” Kata Vina setelah berpikir cukup lama. Rara berpikir sejenak, kemudian menemukan pertanyaan yang cocok.
“Vina.. Eng.. Pernah nggak loe selingkuh? Atau paling nggak berpikir buat selingkuh di belakang Andra?” tanya Rara. Vina mendelik mendengar pertanyaan Rara.
“Nggak ada pertanyaan lain Ra?” tanya Vina mencoba menawar. Raut wajahnya berubah sedikit memelas.
“Nggak ada Vina. Jawab gih.” Jawab Rara dengan senyuman jahil yang terpasang di wajahnya.
Vina sendiri tak langsung menjawabnya. Cukup lama dia terdiam. Menunduk, lalu menghela nafas panjang. Dika dan Rara ikut diam menunggu jawaban dari Vina. Dan perlahan, Vina pun mengangkat pandangannya dan mulai berbicara.
“Gue.. Pernah Ra. Bukan cuma berpikir, tapi gue pernah jalan sama cowok lain tanpa sepengetahuan Andra.” Terang Vina. Sejurus kemudian Vina kembali menunduk dan menutup wajahnya.
Dika dan Rara tentu saja kaget mendengar pernyataan Vina. Terlebih Rara yang merupakan sahabat dekat Vina, karena baru mengetahui rahasia ini. Ada sedikit penyesalan dalam hati Rara karena menanyakan hal tersebut. Dika sendiri juga tak habis pikir, karena selama ini dia melihat Andra dan Vina begitu mesra dan kompak ketika bersama.
“Vina...” ucap Rara lirih. Tangannya sedikit gemetar mencoba memegang pundak Vina.
“Tapi loe udah nggak jalan sama cowok itu kan, Na?” tanya Dika tiba-tiba. Rara menoleh kaget ke arah Dika. Vina sendiri tak lagi tertunduk. Dia berusaha mengangkat pandangannya untuk menjawab pertanyaan Dika.
“Udah enggak, Ka. Gue nyesel karena ngelakuin hal yang jahat banget sama Andra. Gue...” Kata-kata Vina terpotong oleh isak tangisnya.
“Dan gue janji, hal itu nggak bakal terulang lagi.” Lanjut Vina.
Rara langsung memeluk Vina yang tangisnya kini semakin terdengar. Dika hanya tersenyum melihat adegan cukup dramatis di hadapannya. Perlahan tapi pasti, senyum mulai nampak di wajah Vina. Entah apa yang dibisikkan oleh Rara. Mungkin kata-kata ajaib.
“Ladies... Dilanjut nggak nih game-nya?” terdengar suara Dika yang memecah keheningan. Rara langsung kembali ke tempat duduknya.
“Yuk dilanjut. Ok, Na?” tanya Rara. Vina tersenyum kemudian mengangguk tanda setuju.
Botol pun kembali berputar. Tinggal Dika dan Rara yang masih menahan nafas menanti giliran siapa yang akan mendapatkan tantangan. Vina, yang sebenarnya sudah mendapatkan giliran, ikut tegang karena dialah yang bertugas menyampaikan pertanyaan atau tantangan untuk si pesakitan.
Melambat dan semakin melambat. Ujung botol kosong itu menunjuk tepat ke arah Rara. Dika menghela nafas lega. Ternyata bukan dia yang mendapat giliran jadi pesakitan. Sedangkan Rara, dia hanya bisa pasrah menerima nasibnya saat ini.
“Nah.. Rara kena. Vina, waktunya balas dendam. Hahaha.” Kelakar Dika yang disambut dengan dengusan kesal Rara dan tawa Vina.
“Rara, loe pilih Truth atau Dare?” Vina bertanya.
“Gue pilih Dare aja deh. Ngeri kalo harus buka-bukaaan rahasia.” Kata Rara sambil bergidig.
Dika terbengong mendengar pilihan Rara. Sedangkan Vina langsung mengedarkan pandangannya ke seisi kafe sambil berpikir tantangan apa yang akan dia berikan kepada Rara. Dan tak terlalu lama, mata Vina langsung tertuju ke arah sepasang cowok dan cewek yang sedang duduk berbincang, agak jauh dari mereka.
“Karena loe milih Dare, sekarang loe harus... Nyamperin cowok sama cewek itu.” Ujar Vina sambil menunjuk ke pasangan yang dia maksud.
“Gitu doang? Itu sih gampang, Na.” Kata Rara sambil menjentikkan jarinya.
“Eitss, loe juga harus ngerayu si cowok sampe mereka berdua berantem.” Lanjut Vina sambil menyeringai. Rara terbelalak, begitu juga Dika.
“Gila, loe keren banget Na, bisa nemu ide gituan?” tanya Dika takjub.
“Gue gitu loh, Dika.” Vina pun tertawa.
“Vina, ada yang tantangan yang lebih gampang? Terlalu beresiko, Na.” Kata Rara memelas.
“Ra.. Loe takut? Setahu gue, Rara itu cewek yang nggak punya rasa takut lho. Masa iya sih, tantangan kayak gitu bikin seorang Rara takut.” Ujar Vina.
“Hmm.. Jangan ngeremehin keberanian gue ya Vina sayang. Nih, gue  buktiin kalo gue bukan penakut.” Kata Rara sambil berdiri kemudian berjalan diikuti tepuk tangan Vina dan Dika.
Awalnya, Rara melangkah dengan mantap dari tempat duduknya. Tapi semakin jauh, dia semakin sadar kalau dia sudah termakan oleh kata-kata Vina tadi. Langkahnya pun semakin lemah dan sempat terhenti. Tapi karena tidak mau kalah oleh kata-katanya sendiri, dengan bermodal nekat serta membuang rasa malu, dia berjalan semakin dekat dengan pasangan yang ditunjukkan oleh Vina tadi.
Sesampainya di depan kedua pasangan tersebut, Rara langsung mengalihkan matanya kepada si cowok yang perlahan menatapnya. Pandangan Rara dan cowok itu bertemu. Seketika, mulut Rara terkunci. Jantungnya yang dari tadi berdegup karena merasa sungkan, ragu, dan takut kini berubah menjadi perasaan sedih, marah, dan benci yang berbaur menjadi satu.
“Reza.. K..kamu..” ucap Rara terbata-bata sambil menatap Reza, orang yang sangat dia cintai atau lebih tepatnya, kekasihnya.
“Ra.. Aku.. Ng..ngapain kamu di sini?” tanya Reza terbata-bata melihat Rara kini ada di hadapannya.
“A..aku nggak nyangka Za. Udah dari tadi pagi aku hubungin kamu, tapi sama sekali nggak ada balesan. Ternyata.. I..ini..” Air mata Rara mulai menetes.
“Rara, tenang dulu.. Dia itu.. Dia..” kata Reza mencoba menjelaskan.
“Sayang, dia siapa? Kamu kenal?” cewek berwajah oriental itu tiba-tiba bertanya sambil berdiri.
Sayang?” batin Rara sambil menatap kaget cewek itu. Hatinya tertusuk seiring kata itu terdengar oleh telinganya. Pandangan Rara kembali beralih ke Reza. Pandangan penuh rasa kecewa dan rasa sakit.
“Rara.. Aku bisa jelasin Ra.” Kata Reza mencoba menenangkan Rara.
PLAKK!! Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Reza. Tanpa kata, Rara langsung pergi. Reza dan cewek itu pun terlibat pertengkaran. Sedangkan Dika dan Vina masih tampak shock melihat pemandangan tadi. Mereka bingung karena  hanya bisa melihat, tak bisa mendengar apa pembicaraan antara Rara, cowok, dan cewek itu.
“Na. Itu tadi kenapa? Kok heboh banget?” tanya Dika kepada Vina.
“Kayaknya gue tahu tuh cowok deh Ka.” Kata Vina sambil memicingkan matanya.
“Ah, itu kan Reza.” Kata Vina kemudian.
“Reza? Cowoknya Rara? Loe bilang dia lagi keluar kota sama keluarganya?” tanya Dika.
“Iya Ka. Rara sendiri yang cerita ke gue. Makanya kan dia sering ngelamun karena nggak ada Reza. Tapi... Gue nggak nyangka kok bisa jadi gini sih.” Kata Vina sambil meletakkan sikunya ke meja dan menutup wajahnya dengan kedua tangannya.
Dika terdiam. Dari tempat duduknya dia masih melihat bagaimana Reza dan cewek itu adu mulut. Karena tak tahan, Dika langsung bangkit dan berjalan ke tempat Reza dan cewek itu. Vina sendiri masih menutupi wajahnya, syok karena permainan yang dia tawarkan untuk sekedar mengisi waktu menunggu Andra justru membuat keadaan menjadi buruk. Tiba-tiba saja ada yang duduk di samping Vina kemudian langsung mengacak-acak rambut Vina.
“Sayaang..” ujar Vina manja begitu melihat Andra sudah ada di sampingnya.
“Ada apa? Lho, Dika sama Rara mana? Kok kamu sendirian?” tanya Andra.
“Truth or Dare’nya kacau..” kata Vina.
“Ha? Oh.. Kalian main Truth or Dare. Kacau gimana?” tanya Andra lagi.
“Gini sayang.. Tadi kan Rara yang dapet giliran. Terus dia pilih Dare. Trus aku kasih aja tantangan buat bikin pasangan yang ada di sebelah situ.. Dika!” cerita Vina terputus melihat Dika yang sedang adu mulut dengan Reza.
Tanpa komando, Andra langsung menuju tempat Dika.
“Dika! Lho.. Reza? Kata Rara loe lagi liburan sama keluarga loe?” ujar Andra. Wajah Reza langsung berubah kebingungan melihat kedatangan Andra.
“Liat tuh Ndra! Dia nggak sama keluarganya!” Kata Dika dengan penuh amarah.
“Aduuuhh! Ini ada apa sih?! Reza, mereka siapa? Terus Rara itu siapa? Cewek yang nampar kamu tadi? Dia siapa kamu? Pacar kamu?” pertanyaan beruntun ke arah Reza terlontar dari mulut cewek itu.
“Intan.. bukan gitu. Sebenernya..” kata-kata Reza terucap terbata-bata.
“Jadi bener? Yaudah, aku mau pulang! Dasar cowok buaya!” kata Intan kemudian menyiramkan lemon tea yang ada di atas meja ke muka Reza. Sejurus kemudian Intan pergi.
“Gue nggak nyangka Za. Loe tega banget ngebohongin Rara yang jelas-jelas selalu percaya sama loe. Mending loe sekarang pergi! Nggak usah deket-deket Rara lagi!” hardik Andra kemudian menarik Dika dari situ.
Tanpa banyak bicara, Reza nampak bergegas pergi meninggalkan tempat itu dengan rasa malu yang luar biasa besar.
Andra dan Dika sudah duduk di kursi mereka. Tak ada suara yang keluar, baik itu dari mulut Andra, Dika, ataupun Vina. Semuanya terdiam setelah kejadian itu. Dan tak lama kemudian, Rara datang dan duduk di kursi kosong di hadapan Dika.
“Rara.” Kata Andra kaget melihat Rara sudah ada di sebelahnya.
“Hi, Ndra. Udah lama ya.” Kata Rara mencoba berbasa basi kepada Andra.
“I.. Iya.” Kata Andra singkat.
“Loe nggak papa, Ra?” tanya Dika cemas. Rara hanya menjawabnya dengan sebuah senyuman. Senyum yang dipaksakan.
“Ra, maafin gue. Gue nggak bermaksud..” kata-kata Vina terpotong karena oleh kata-kata yang diucapkan oleh Rara.
“Vina.. Gue tahu kok, semua ini kan sekedar permainan. Jadi kejadian tadi adalah resiko permainan yang harus gue terima. Dan justru, gue berterima kasih sama loe Na. Karena gue jadi tahu gimana sebenernya sifat asli Reza. Dan gue bisa tahu, apa yang harus gue lakuin.” Terang Rara.
Vina tertegun dan tak bisa berkata apa-apa mendengar kata-kata Rara. Dika melongo melihat bagaimana Rara begitu cepat dapat mengendalikan hatinya setelah kejadian tadi. Sedangkan Andra pun tersenyum lega karena Rara tetap menjadi Rara yang selalu kuat dan tegar ketika menghadapi cobaan dan masalah seberapa pun besarnya. Suasana pun berubah hening sesaat setelah itu.
“Oiya, tadi kata Vina tinggal Dika nih yang belum dapet jatah Truth or Dare?” tanya Andra yang memecah keheningan.
“Ah, iya tuh. Si Dika belum.” Kata Vina mengiyakan pertanyaan Andra.
“Laaah, masih mau dilanjutin? Suasananya kan lagi nggak kondusif Ndra.” Kata Dika protes.
“Yang sportif dong Ka. Masa loe kalah sih sama para Ladies yang ada di sini.” Ejek Andra.
“Iya deh iya. Dasar loe Ndra.. Dateng telat, ngejek gue, sekarang ikut-ikutan ngasih Truth or Dare.” Gerutu Dika. Andra pun tertawa. Diikuti Vina juga Rara yang ikut tertawa.
“Jadi, Dika.. Loe pilih Truth atau Dare?” pertanyaan langsung terlontar dari mulut Andra. Dika langsung diam, begitu juga Vina dan Rara. Nampak Dika berpikir sejenak.
“Gue pilih... Dare!” ucap Dika mantap.
Andra pun terdiam sejenak. Dilihatnya Dika yang masih menunggu tantangan darinya. Pandangan Andra beralih kepada Rara yang sedang melamun, kemudian berpindah ke arah Vina. Pandangan mereka bertemu dan nampak Vina memberikan sebuah “kode” kepada Andra dengan mengerjapkan matanya ke arah Rara. Andra pun paham maksud dari “kode” yang diberikan oleh Vina.
“Oke, Dika. Karena loe pilih Dare, sekarang loe harus ngejalanin tantangan yang bakal gue kasih ke loe. Loe siap?” Andra bertanya.
“Iya Andra gue siap. Buruan kenapa sih. Lama banget.” Jawab Dika kesal.
“Sekarang, loe harus jujur sama perasaan loe tentang siapa orang yang selama ini loe sukai dan nyatain perasaan loe ke orang itu.” Kata Andra. Sesaat kemudian dia dan Vina melakukan tos. Dika sendiri mengernyitkan dahi mendengar tantangan yang baru saja disampaikan oleh Andra.
“Lho, gue kan pilih Dare Ndra. Kenapa gue harus jujur? Itu kan kalo gue milih Truth.” Protes Dika yang tidak terima.
“Lah, itu kan tantangan buat loe Ka. Tantangannya, loe harus jujur.” Terang Andra.
“Andra kan ngasih tantangannya gitu Dika. Buruan gih.” Kata Vina sambil cekikikan.
Dika pun tak bisa lagi membantah kata-kata Andra dan Vina. Dia melotot ke arah Andra yang dibalas dengan senyum dan acungan dua jari simbol “peace” ke arahnya. Setelah menarik nafas panjang dan menghela nafas, Dika pun mulai berbicara.
“Gue tahu, maksud tantangan loe Ndra. Tapi...” kata-kata Dika terhenti.
“Tapi kenapa Ka?” tanya Andra.
“Tapi gue rasa waktunya kurang tepat gara-gara kejadian tadi.” Lanjut Dika. Andra dan Vina sedikit kecewa mendengar ucapan Dika.
“Kejadian apa Ka?” Rara yang tidak mengerti maksud kata-kata Dika pun bertanya.
Dika tak langsung menjawabnya. Dia menghela nafas panjang sedang mengatur kata-kata yang akan diucapkannya. Ada beberapa bagian dari kata-kata tersebut yang masih dia ragukan untuk diucapkan. Tapi setelah memantapkan hatinya, dia pun kembali berbicara.
“Sebenernya, selama ini.. Atau lebih tepatnya semenjak awal masuk SMA dan sampai detik ini, sampai kita bakalan lulus, gue.. Gue suka sama loe.. Rara.” Kata-kata itu dengan sedikit tersendat meluncur dari mulut Dika.
Rara kaget bukan main mendengar penuturan Dika itu. Sedangkan Andra dan Vina tak terlalu kaget karena mereka memang mengetahui hal itu sudah sejak lama. Tapi karena Rara adalah salah satu siswi populer di sekolah, Dika yang sebenarnya sudah didorong oleh Andra dan Vina tak pernah berani menyatakan perasaannya kepada Rara.
“Jadi, selama ini Ka? Selama hampir 3 tahun?” tanya Rara tak percaya.
“Iya Ra. Gue sendiri bingung. Gue nggak tahu kenapa gue bisa kayak gini. Bertahan selama hampir 3 tahun dan memendam perasaan yang mungkin bagi orang lain udah basi. Tapi bagi gue, nggak.” Jawab Dika.
“Dika...” kata Rara.
“Tapi setelah kejadian tadi, gue pun sadar. Seberapa pun gue berusaha ngeyakinin loe tentang perasaan gue, gue nggak bakal bisa dapet jawaban ‘ya’ dari loe. Meskipun loe terlihat kuat, gue tahu loe masih ngrasain sakit karena kejadian tadi. Jadi nggak jadi masalah kalo loe nolak gue sekarang juga. Karena dengan nyatain perasaan gue aja, itu udah lebih dari cukup buat gue. Dan gue nggak bakal pergi setelah ini. Gue bakal tetep ada, meskipun hanya sebagai sahabat loe aja, Ra.” Ujar Dika panjang lebar.
Rara terkesima mendengar kata-kata Dika. Tak hanya Rara, Andra dan Vina juga takjub mendengar kata-kata Dika tadi. Rara, tak menyangka kalau Dika yang selama ini dia kenal sebagai seorang yang sangat cuek dan tak kenal kompromi dalam berbicara ternyata sekian lama memendam perasaan terhadapnya. Andra dan Vina pun takjub mendengar bagaimana kukuhnya keinginan Dika untuk tetap di samping Rara, apapun yang terjadi nanti.
Hening kembali hadir di tengah-tengah empat anak manusia ini. Kembali tak ada kata terucap, hanya suara nafas yang agak tertahan karena beradunya konflik dan perasaan yang seolah menemukan jalan. Keyakinan Vina kepada Andra untuk tetap mencintainya tanpa kembali berpaling. Dan ungkapan perasaan Dika yang tak disangka oleh Rara, serta jawaban yang harus Rara sampaikan demi kebaikan ikatan persahabatan.
“Dika..” ucap Rara agak lirih, namun masih terdengar oleh Dika, Andra, dan Vina.
“Ya, Ra..” jawab Dika berusaha tenang, padahal saat ini jantungnya sedang berdegup kencang. Hatinya tak karuan serta pikirannya tak lagi bisa berlogika mengira apa yang selanjutnya harus dia lakukan.
“Tau nggak? Gue udah lama berharap loe nyatain perasaan loe ke gue, Ka. Tapi kenapa baru sekarang? Setelah berulang kali gue mencari pelampiasan perasaan gue ke loe, yang selalu berakhir dengan rasa sakit?” kata-kata Rara yang mengandung retorika berhasil membungkam otak Dika untuk berusaha menjawabnya.
“Ra..” ucap Dika bingung.
“Berulang kali Dika.. Dan yang terakhir, baru aja loe liat sendiri, Reza.. Gue harus ngerasain sakit hati lagi Ka.” Kali ini kata-kata Rara diikuti oleh tetesan air mata.
Andra dan Vina terkejut mendengar penuturan Rara. Terlebih lagi Dika yang sangat terkejut mendengar pernyataan Rara. Ternyata sudah sejak lama pula Rara memendam rasa kepada Dika. Tapi, karena ego dan rasa takut itu lebih besar, Rara dan juga Dika harus rela menikmati rasa sakit yang sebenarnya tak ingin mereka rasakan.
“Rara.. Maafin gue.” Kata Dika kemudian bangkit berdiri dan berjalan tempat Rara duduk.
“Sekarang, loe boleh hukum gue, Ra. Karena udah begitu tega menutupi perasaan gue ke loe dengan jiwa pengecut gue.” Kata Dika sambil menarik tubuh Rara dan membawanya ke hadapannya. Andra dan Vina sedari tadi tak bisa berucap apa-apa kecuali hanya berharap yang terbaik bagi kedua sahabat mereka ini.
PLAKK! Suara tamparan terdengar dari pertemuan telapak tangan Rara dan pipi Dika. Dan selang beberapa detik kemudian, Rara langsung memeluk Dika. Begitu erat, hingga Dika sedikit merasa sesak, namun entah kenapa begitu nyaman baginya.
“Jangan jadi pengecut lagi Dika. Demi aku, demi kita. Supaya kita nggak perlu lagi berpura-pura dan berjumpa dengan rasa sakit. Jadilah orang yang berarti buatku. Aku pengen kita bisa sama-sama ngerasain bahagia Dika..” Kata Rara yang masih memeluk Dika.
“Ra, aku sayang kamu.. Aku bakal jadi yang terbaik buat kamu. Bahagia bersamamu.” bisik Dika ke telinga Rara. Rara mengangguk pelan. Tangan Dika pun memeluk erat tubuh Rara.
“Kacang.. Kacaaanggg.. Sebungkus tiga ribuuu..” teriak Andra dan Vina yang dari tadi merasa tidak diperhatikan. Dika dan Rara pun segera melepas pelukan mereka.
“Untung aja nih kafe sepi ya sayang, coba kalo rame..” kata Vina kepada Andra.
“Iya nih, yang lagi jatuh cinta. Serasa kafe punya mereka berdua, yang lain cuma numpang jajan..” sahut Andra.
“Iya, jajan kacaangg..” timpal Vina.
Dika dan Rara pun tertawa terbahak mendengar Andra dan Vina berceloteh.
“Udah udah, karena Andra udah dateng, yuk pulang. Udah malem nih.” Kata Rara menenangkan keadaan.
“Yaelah, nasib.. Baru aja dateng, udah diajak pergi lagi. Mana nonton drama cuma dapet ending-nya.” Gerutu Andra.
“Makanya jangan telat.” Kata Dika.
“Udah dong, Ka. Andra kan tadi kena macet.” Kata Vina membela Andra.
“Hahaha... Nanti tanya sama Vina aja Ndra, gimana cerita lengkapnya.” Kata Rara kemudian mengedipkan mata ke arah Vina. Sebuah senyuman tersungging di wajah Vina yang kemudian mendekap lengan Andra erat.
Dan mereka berempat bergegas meninggalkan kafe tersebut. Kafe dengan suasana berkelas yang cukup sepi pengunjung, namun sarat makna bagi mereka. Khususnya bagi Dika, Rara, dan Vina. Kisah baru yang akan ditulis oleh Dika dan Rara atas dasar cinta, serta rasa cinta yang makin bertumbuh di hati Vina untuk Andra. Bagaimana dengan Andra? Ah, biarkan dia tetap mencintai Vina dengan kekonyolannya dan tetap menjadi yang pertama di hati Vina.
Hey, bagaimana denganmu? Apa kau juga perlu sesuatu untuk memberikan setitik makna bagi hidupmu? Jika ya, siapkan hal-hal ini. Secangkir kejujuran, sepiring keberanian, dan beberapa putaran keajaiban. Tapi jangan lupakan satu hal... Sebuah botol nasib.
====


Komentar, kritik, & sarannya ya... =]
Share: