Tampilkan postingan dengan label Untitled Tragedy. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Untitled Tragedy. Tampilkan semua postingan

Untitled Tragedy, The 4th, The Last

Title : UT The 4th
Author : @NVRstepback


img from gde-on.com

Olivia menatap nanar foto keluarga ukuran besar yang terpampang di depannya. Matanya tak henti-henti memandang dan menyapu setiap detil dari foto itu. Rambut bergelombang dan senyum yang memamerkan barisan gigi putih terawat ibunya, kacamata dengan frame coklat gelap di atas hidung mancung ayahnya, wajah datar yang terpaksa tersenyum milik Sam, dan dirinya sendiri yang berdiri dengan balutan kebaya batik serupa dengan yang lainnya. Dan semakin dia menatap foto itu, pelupuk matanya semakin panas.
Ponsel Olivia berbunyi. Ada pesan masuk.
From: Ellena
Text: Kak, jgn lupa acara hari ini ya. :)
To: Ellena
Text: Iya, El. Kita ketemu di sana ya. ;)
From: Ellena
Text: Okee
Olivia meletakkan ponselnya lalu menjatuhkan punggungnya ke sandaran sofa. Senyum tersungging di wajahnya. Dia pun bergegas bangkit lalu berjalan menuju kamarnya.

***

Manusia memiliki kemampuan untuk merencana dan mungkin mengubah sebuah alur cerita. Tapi semua itu tak menjamin jika apa yang mereka rencanakan dapat berhasil. Alur yang berubah akan memberikan efek lain yang berlipat, entah itu kebahagiaan yang berlipat ataupun kesedihan yang berlipat. Dan ada beberapa orang yang akan menerima 2 hal itu bersamaan.
"Inilah yang dikehendaki oleh Sam. Dia sepenuhnya menerima keadaan dirinya dan akhirnya memutuskan untuk melakukan hal itu." Kata dokter.
Suara datar namun dengan sedikit penekanan terasa menyakitkan di telinga Olivia. Air matanya satu-satu mulai jatuh. Tangan kanannya meraih kepalanya yang masih dibalut perban. Denyut rasa sakit kembali terasa tapi kali ini diikuti bias-bias ingatan yang semakin menambah sakit yang dia rasakan. Dengan menggunakan meja di sampingnya, Olivia berusaha berdiri. Dia menolak uluran tangan dokter, lalu dia melangkah keluar.

***

"Tapi.. dok, apakah tidak ada cara lain? Apakah penyakit Dira benar-benar tidak bisa disembuhkan?" Olivia masih belum bisa menerima kenyataan bahwa sahabatnya akan pergi.
"Maaf. Kami sudah berusaha sebaik mungkin. Tapi kondisi pasien sudah terlalu parah. Mungkin dengan melakukan terapi dan juga konsumsi obat, pasien bisa melakukan aktivitas sehari-hari. Tapi hal itu tidak bisa benar-benar menyembuhkannya." Terang dokter.
Olivia terduduk. Dia tak tahu lagi apa yang harus dia katakan dan lakukan. Matanya sudah lelah menangis, tapi air matanya masih terus mengalir. Dia menjatuhkan punggungnya ke sandaran kursi. Koridor ruang dahlia nampak lengang. Olivia pun memutuskan untuk kembali masuk dan menemani Dira lagi.
"Vi, kamu kenapa? Habis menangis?" Tanya Dira. Suara terdengar ringan. Jauh dari kesan seseorang yang tak memiliki waktu hidup lebih lama. Hal ini membuat Olivia semakin kesulitan. Di satu sisi, dia ingin menghibur Dira. Tapi di sisi lain, justru Dira lah yang saat ini menghiburnya.
"Ayolah, Vi. Jangan menangis. Bukankah sebentar lagi kamu dan Brian akan menikah?" Dira mencoba membuka obrolan.
"Ya. Dan aku ingin, kamu segera sembuh supaya bisa hadir." Jawab Olivia sambil tersenyum. Senyum palsu.
"Aku turut bahagia untukmu, Vi. Pada akhirnya kisah yang sudah kalian lalui selama 5 tahun sebentar lagi menuju babak baru." Kata Dira sambil menatap langit yang mengambang di balik jendela.
"Terima kasih, Dira." Ucap Olivia tulus lalu memeluk Dira. Air matanya kembali menetes. Air mata yang mengekspresikan rasa senang dan rasa sakit. Dia tak ingin sampai Dira tahu apa yang sebenarnya sudah terjadi di antara dia dan Brian. Sementara dia tak menyadari, ada air mata yang bersembunyi dari matanya. Air mata bahagia Dira.

***

Olivia berjalan pelan menuju kamar Sam. Dia masih berusaha menerka apa yang membuat Sam pada akhirnya memilih untuk meletakkan satu-satunya harapan yang dia miliki untuk orang lain. Keputusan yang cukup gila... dan bodoh.
Setelah berbelok di persimpangan di depan ruang perawat, Olivia lantas masuk ke dalam ruangan di balik pintu warna putih dengan papan berukir yang di tengahnya tertulis angka lima yang tertempel di depannya. Olivia mendapati Sam sedang menatap kertas di pangkuannya. Tangan kanannya memegang pulpen. Dia nampak begitu bersungguh-sungguh menuliskan sesuatu. Dan diakhiri sebuah senyuman, Sam meletakkan pulpennya.
"Sam? Sedang apa?" Tanya Olivia penasaran.
"Ah, kak Oliv. Aku... hanya sedang menulis sesuatu." Jawab Sam. Suaranya terdengar senang. Dada Olivia sedikit sesak mendengarnya.
"Sesuatu?" Selidik Olivia. Sam tak menjawabnya. Dia melipat kertas itu sedemikian rupa lalu mengulurkannya kepada Olivia.
"Apa ini?" Tanya Olivia lagi.
"Bisakah aku meminta satu hal kepada kakak?" Sam balik bertanya. Olivia mengernyitkan dahinya. Lalu mengangguk tanda setuju.
"Kakak pasti sudah tahu dari dokter kan apa keputusanku?" Sam kembali bertanya. Olivia kembali tercekat dan hanya bisa mengangguk. Sam pun tersenyum lalu melanjutkan kalimatnya. "Aku sadar dengan kondisiku setelah aku pingsan di kampus beberapa bulan lalu. Ada yang tidak beres dengan tubuhku, dan setelah dirawat di sini, aku semakin tahu seperti apa kondisiku dan bagaimana kesempatanku untuk bertahan.
"Awalnya aku tertekan kak dengan semua kenyataan itu. Tapi pada akhirnya aku sadar. Tidak ada hal lain yang bisa kulakukan selain memikirkan apa yang bisa aku lakukan dalam waktu yang tidak lama. Sesuatu yang bermakna dan tetap terjaga." Sam memandang awan berarak di balik jendela bening di sebelah kanannya.
"Sam..." ucap Olivia lirih. Dia menahan suaranya sekuat mungkin, karena dia tahu jika tak ditahan, air matanya akan tumpah dan Sam pasti tidak menyukai hal itu.

***

Mobil Honda Civic warna putih dengan highlight hitam nampak membelah jalan sepi tepian kota. Di dalam mobil itu, alunan musik grup akustik Depapepe memenuhi setiap sudutnya. Tak ada kata yang keluar dari 3 orang yang ada di dalamnya. Hanya berbagai ekspresi yang saling tatap, lalu berpaling satu sama lain dan kemudian hanyut dalam musik dan imajinasi di pantulan kaca.
"Tak terasa sudah 1 tahun." Celetuk Ellena yang duduk sendirian di jok belakang. Wajahnya menempel di kaca mobil.
"Dan ada banyak hal tak terduga yang terjadi selama itu." Timpal Olivia. Dia tersenyum ke arah Ellena dan lelaki yang saat ini sedang memegang kemudi di sebelah kanannya.
"Tapi..." Ellena menyandarkan tubuhnya dan menutup matanya, "semua ini berkat dia..."
Hening kembali hadir. Hanya alunan gitar dari lagu START! milik Depapepe yang masih riang memenuhi ruang di dalam mobil itu.

***

Jam menunjukkan pukul 7 pagi. Beberapa perawat nampak mulai melakukan aktivitas mereka. Di salah satu ruangan, nampak beberapa orang berkumpul. Seorang dokter ditemani seorang suster sedang membuka lilitan perban di kepala seorang pasien. Perlahan namun pasti, perban mulai terlepas. Hingga tinggal kapas berbentuk kotak yang menutupi mata pasien itu. Dokter segera mengangkat kapas itu lalu meletakkannya di wadah logam yang ada di atas rak dorong pendek di sebelahnya.
"Masih butuh waktu beberapa hari dan juga sedikit terapi agar Ellena bisa terbiasa dengan penglihatannya. Sungguh sebuah anugerah dia dapat menerimanya." Ujar dokter.
"Kalau begitu, permisi." Dokter diikuti suster keluar dari ruangan itu.
"Ellena..." panggil Olivia.
"Kak... Oliv..." Ellena menoleh ke arah Olivia. Matanya belum sepenuhnya terbuka dan pandangannya juga masih samar.
"Sabar ya, penglihatanmu pasti sebentar lagi pulih." Kata Olivia menghibur. Dia menatap lekat wajah Ellena dan menangkap bayang adiknya di situ. Sam.
"Sam... dia di mana kak? Aku ingin bertemu dengannya." Tanya Ellena. Mendengarnya, jantung Olivia serasa ditusuk. Dia sedikit menahan nafasnya.
"Dia..."
"Ah, lebih baik aku bersabar sedikit lagi sambil menunggu kesembuhanku." Kata Ellena lalu merebahkan dirinya.
"Ya." Olivia kebingungan dengan keadaannya saat ini. Tak ada yang benar-benar bisa dia lakukan selain hanya berusaha menerima kenyataan yang ada di depannya. Kenyataan yang tentu belum sanggup dia ceritakan kepada Ellena, kepada siapapun. Kenyataan yang harus dia pendam hingga batas waktu yang dia sendiri tak tahu.

***

Mobil Honda Civic putih nampak terparkir di tepian sebuah pemakaman. Di jalan setapak yang membelah areal itu, nampak 3 orang, 2 perempuan dan 1 laki-laki, yang berjalan beriringan. 2 di antaranya memegang keranjang berisi bunga. Pembicaraan ringan dan tawa kecil kadang terdengar di antara ketiganya. Namun berubah senyap ketika mereka tiba-tiba di depan sebuah makam dengan nisan berwarna kelabu.
Ellena memdahului dua orang yang bersamanya lalu berjongkok di depan nisan itu. Tangan kanannya menggapai lalu menyentuh lembut tepian nisan itu.
"Kamu masih saja dingin seperti dulu, Sam." Bisik Ellena.
Olivia beserta lelaki yang merangkulnya hanya bisa menatap iba Ellena. Mereka pun mendekat dan jongkok di kanan kiri Ellena. Tanpa aba-aba, mereka memejamkan mata lalu memanjatkan doa. Sebuah doa kepada Tuhan untuk sosok yang terdiam di dalam makam di depan mereka. Sam.
"El... kakak masih ingin menyampaikan hal yang sama kepadamu. Tetaplah jalani hidupmu dengan penuh bahagia. Biarkan Sam tetap hidup di dalam hati kita, dan menatap hal-hal indah bersamamu. Di situ." Ujar Olivia. Ellena pun mengangguk.
"Aku masih sedikit menyesal dengan bagaimana perjumpaan terakhirku dengan Sam. Tapi entah kenapa ada rasa lega di hatiku setelah membaca surat terakhirnya. Kenyataan bahwa dia masih tetap menjagaku dengan caranya sendiri. Cara yang tidak pernah bisa aku mengerti." Air mata pun akhirnya tumpah dari mata Ellena.
"Ah, air mata ini begitu hangat. Apakah kau sedang mencoba menenangkanku, Sam?" Ujar lirih Ellena. Di depannya, muncul bayang Sam yang duduk sambil mengulurkan tangannya. Tangan itu mengusap lembut air mata Ellena lalu mengusap pipi Ellena. Wajah bayang Sam kian mendekati wajah Ellena, dan saat itu Ellena mendengar bisik lembut yang semakin membuat air matanya semakin deras.
"Hiduplah dengan penuh bahagia. Aku akan tetap hidup di hatimu. Dan melihat banyak hal indah di matamu. Bersamamu."

~fin
Share:

Untitled Tragedy, The 3rd



“Sam, aku pulang duluan ya. Ayahku sudah datang.” Ujar Tristan sambil melambaikan tangannya. Kemudian berlari menuju mobil ayahnya.
“Ya, hati-hati.” Kata Sam membalas lambaian tangan Tristan. Kini tinggal Sam sendiri di depan gerbang kampus. Diliriknya jam di pergelangan tangannya, ternyata sudah jam 6 dan bus kota yang dia tunggu tak kunjung datang.
Karena sudah tak tahan hanya berdiri menunggu, Sam memutuskan untuk berjalan kaki menuju rumahnya. Tapi saat akan pergi meninggalkan tempatnya, ada suara yang memanggil-manggil dari belakang.
“Hey! Tunggu!” panggil suara itu.
Sam pun menghentikan langkahnya. Dan terlihat seorang gadis bertubuh sedang, berambut sebahu berlari ke arahnya sambil membawa sebuah buku tebal. Sam pun mengernyitkan dahinya.
“Siapa kau? Apa yang kau lakukan sampai malam di kampus?” Tanya Sam.
“Aku mahasiswi baru. Aku dari perpustakaan tapi aku tersesat saat ingin keluar dari lingkungan kampus.” Jawab gadis itu sambil terengah-engah.
“Hahaha. Ada-ada saja kau, bisa tersesat di dalam kampus.” Ujar Sam.
“Sudah, jangan menertawakanku.” Kata gadis itu mendengus kesal.
“Hahaha. Ya, baiklah aku tidak akan menertawakanmu. Oiya, kau bilang tadi, kau mahasiswa baru?” Tanya Sam. Gadis itu hanya mengangguk.
“Sebagai permintaan maafku, ikutlah denganku. Aku traktir kau makan.” Ajak Sam.
“Baiklah.” Kata gadis itu.
Sam pun berjalan berdua dengan gadis itu menuju sebuah rumah makan tak jauh dari kampus. Setelah memilih menu, mereka pun segera duduk dan menunggu pesanan mereka datang. Nampak gadis tersebut mulai membuka lembar demi lembar halaman buku tebal di depannya. Sam pun memperhatikannya dengan seksama.
“Hey, buku apa yang sendang kau baca?” Tanya Sam penasaran.
“Ini.” Jawab gadis itu sambil mengubah posisi buku itu menjadi berdiri sehingga Sam dapat membaca judul buku tersebut.
“Oh, ‘Bias Cinta Di Ujung Senja’. Buku yang bagus.” Ujar Sam kemudian menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. Gadis itu mengernyitkan dahinya.
“Bagus? Jangan sok tahu.” Kata gadis itu. Sam hanya tersenyum.
“Tentu saja aku tahu. Aku sudah berkali-kali membacanya dan kesimpulanku, bagus. Tidak sia-sia kau tersesat untuk buku itu.” Kata Sam sambil sedikit tertawa.
“Ah, kau memang menyebalkan.” Gadis itu mendengus kesal kemudian mulai membaca prolog di awal buku tersebut.
“Dan aku pun tetap bertahan demi ilusi itu meskipun ku tau, semuanya akan sia-sia pada akhirnya. Karena cintaku terlanjur menghempaskan sakitku. Ya, karena ilusi itu telah merenggut mataku dari melihat yang nyata.. Kepergianmu.” Kata-kata Sam mengalir begitu saja. Sejurus kemudian, Sam mulai memakan French Fries di hadapannya.
“Kau benar-benar sudah membaca buku ini.” Ujar gadis itu kagum setelah mendengar kata-kata Sam barusan. Matanya takjub mengamati wajah Sam yang tanpa ekspresi mengunyah French Fries.
“Aku memiliki beberapa buku seperti itu jika kau berminat. Oiya, siapa namamu?” Tanya Sam sambil mengulurkan tangannya. Gadis itu kemudian menyambut uluran tangan Sam.
“Ellena.” Jawab gadis itu singkat. Sam tersenyum.
“Ya, setidaknya namamu cukup cantik untuk gadis segalak dirimu.” Ujar Sam sambil tertawa kecil.
“Hey! Apa maksudmu?!” Tanya Ellena sambil bersungut-sungut. Sam hanya tertawa melihatnya.
***
Di tempat tidurnya, Sam masih terbaring lemah. Matanya sayu memandangi seisi ruangan tempatnya berada. Kekosongan dan kesunyian memadati setiap sudut ruangan itu. Sam pun hanya tersenyum. Sejenak, dia dapat menikmati keberadaannya di dunia.. Kesendiriannya.. Meski dia tahu, masih ada Olivia yang selalu ada untuknya semenjak kematian orang tuanya.
Papa dan Mama adalah orang sangat Sam kagumi karena keteguhan mereka dalam menghadapi hidup. Banyak pelajaran yang Sam peroleh dari cerita yang selalu disampaikan Papa dan Mamanya. Begitu pula ikatan cinta yang selalu dia lihat ketika mereka dulu sedang duduk berdua menemani Sam dan Olivia belajar. Ikatan cinta yang kini membuat Sam iri karena tak bisa memiliki ikatan seperti itu.
“Ah, menyebalkan sekali kalau teringat bagaimana Papa dan Mama dulu selalu saja mengawasiku saat belajar.” Ucap Sam.
Dan setelah mereka berdua harus pergi dari dunia karena sebuah kecelakaan pesawat, Sam pun tinggal berdua bersama Olivia. Sampai kemudian ketika Sam mulai mengenyam bangku kuliah, dia memutuskan untuk tinggal sendiri, terpisah dari Olivia karena ingin belajar mandiri demi kehidupannya nanti.
“Kak Olivia, aku iri padamu. Kau bisa setegar itu setelah kak Brian dengan kejam mengkhianati pertunangan kalian dan menikah dengan wanita lain.” Sam tersenyum getir. Masih teringat di ingatannya bagaimana tangis Olivia yang memecah malam setelah mendengar kabar bahwa Brian sudah menikah.
“Ah. Sepertinya hidupku sangat menyedihkan. Dikelilingi oleh orang-orang yang mengagumkan, tapi aku tak bisa seperti mereka. Gagal memenuhi ekspektasi mereka terhadapku.” Ucap Sam kemudian mengalihkan pandangannya ke arah langit kelabu yang terhalang oleh bening kaca jendela.
Air mata mulai leleh dan menuruni pipi Sam dengan pelan. Dadanya kembali terasa tertusuk oleh sesuatu yang tak terlihat. Sesuatu yang dia sendiri tak mampu menjelaskannya. Rasa sakit itu semakin kuat terasa dan semakin memenuhi rongga dadanya. Tangan kanannya lemah mengusap dadanya yang semakin sesak. Dan tak berapa lama, Sam pun terlelap dalam tidur setelah sang sunyi menyanyikan melodi bisu pengantar tidur untuknya.
***
“Sam, aku baru selesai membaca buku yang minggu lalu kau berikan untukku. Dan memang benar, isinya sangat bagus.” Kata Ellena senang. Sam pun tersenyum kemudian mengacak rambut Ellena.
“Hey, apa yang kau lakukan.” Kata Ellena sambil merapikan rambutnya.
“Ellena, ayo ikut denganku.” Ujar Sam kemudian berjalan pergi.
“Sam! Mau ke mana?” panggil Ellena yang kemudian berlari mengejar Sam.
Deru motor Sam tenggelam dalam pekak suara deru kendaraan lainnya. Tanpa kata, mereka berdua menikmati sepi jalan yang mulai mendaki yang perlahan datang menggantikan keramaian kota yang bergemuruh sejak tadi. Sepanjang jalan Ellena tak henti-hentinya memperhatikan Sam yang terus saja melangkah dan tak mau berkata ke mana dia akan mengajaknya. Ada tanda tanya besar di dalam kepalanya, tapi dia berusaha menahannya.
“Kita sampai.” Kata Sam singkat kepada Ellena. Mereka berdua turun dari motor dan berjalan sebentar.
Sam kemudian duduk dan menghela nafas panjang. Ellena pun menghentikan langkahnya. Matanya pun takjub melihat deretan gedung dan bangunan yang tampak kecil di hadapannya tertata rapi. Pemandangan yang belum pernah dia lihat sebelumnya.
“Sam, bagus sekali. Aku belum pernah melihat pemandangan seperti ini.” Kata Ellena takjub. Matanya pun masih belum mau melepaskan pandangannya dari ‘diorama’ kota yang ada di hadapannya.
“Makanya, jangan terlalu sering tenggelam di balik tumpukan buku. Sesekali kau harus pergi keluar, melihat dan menikmati keindahan alam bukan hanya keindahan kata. Alam memiliki ribuan kata yang jauh lebih indah, yang tersimpan rapat di sekitar kita. Cermati dan kau akan menemukannya.” Ujar Sam yang kemudian merebahkan tubuhnya ke rerumputan hijau.
Ellena tak mampu berkata apa-apa setelah mendengar apa yang baru saja diucapkan oleh Sam. Dia takjub dengan keindahan alam yang selama ini tak terlihat oleh matanya. Tapi dia lebih takjub pada kata-kata Sam. Tak pernah terkira dia akan mendengarnya dari mulut seorang Sam. Dilihatnya sejenak Sam yang nampak mulai terlelap karena buaian angin. Dia pun ikut berbaring di samping Sam, matanya enggan terpejam dan masih asyik menikmati biru langit yang cerah. Nampak sebuah senyuman mengembang di bibirnya.

***

Setitik air mata menetes di pipi Ellena ketika dia teringat kenangannya bersama Sam. Rasa sakit di hatinya semakin bertambah. Rasa sakit akibat penyesalan karena pernah mencampakkan Sam. Rasa sakit yang akan terobati jika dia bisa kembali bersama Sam dan merajut kembali kisah bersamanya.
“Sebentar lagi kita sampai Ellena. Tenanglah.” Kata Olivia membesarkan hati Ellena.
“Terima kasih kak.” Kata Ellena singkat.
“Ellena, ketahuilah. Meskipun Sam enggan bertemu denganmu, tapi aku bisa merasakan kalau dia masih mencintaimu.” Ujar Olivia sambil tetap fokus mengendalikan mobilnya.
“Benarkah itu kak?” Ellena pun kaget mendengar kata-kata Olivia barusan.
“Tentu saja. Entah apa yang membuat dia enggan mengakuinya.” Lanjut Olivia.
Di sela-sela air matanya, Ellena bisa sedikit tersenyum. Ada sedikit harapan untuk bisa bersama Sam lagi memperbaiki apa yang pernah dia hancurkan. Mencintai orang yang juga mencintainya dengan cinta yang sebenarnya. Berjuang meraih sebuah mimpi dari dua jiwa yang memiliki satu tujuan.
Mobil Olivia melaju melewati kendaraan-kendaraan lain di jalanan kota yang hari ini cukup lengang. Seolah memberikan jalan bagi Ellena dan Sam agar segera bertemu kembali. Seperti dongeng yang kisahnya sedang ditulis.
Tapi tiba-tiba saja Olivia seperti kehilangan kendali. Laju mobil menjadi sedikit oleng padahal masih pada kecepatan yang cukup tinggi. Rem mobil pun beberapa kali seperti tak berfungsi. Beberapa kali dia hampir menabrak mobil lain. Sampai ketika tiba pada persimpangan menuju rumah sakit..
“BRAAAKKK!!!” sebuah suara hantaman yang begitu keras terdengar. Nampak dari sumber suara tersebut sebuah mobil sedan yang terguling dan sebuah truk bermuatan yang bagian depannya sudah setengah hancur mengepulkan asap putih membubung. Lalu lintas pun terhenti dan beberapa orang berusaha menolong orang-orang yang ada di mobil sedan maupun truk tersebut.
“El..Elle..na.... ba..ngu..n” kata-kata Olivia terbata-bata menahan sakit berusaha membangunkan Ellena yang tak sadarkan diri.
“M..ma...afkan.... a..ku....” kata-kata Olivia yang lirih pun hilang terbawa angin. Sejurus kemudian dia pun pingsan.


___ to be continued ____


Butuh komentar lho pembaca NVRstepback yang kece-kece & baik hati... Soalnya lagi kehabisan ide buat ngelanjutin ceritanya... Yuk diisi kotak komentarnya, biar rame.. :3
Share:

Untitled Tragedy, The 2nd



“Semua yang aku lakukan untukmu adalah nyata. Dan aku tak akan menyesalinya. Namun satu yang tak bisa kuterima. Kau pergi karena aku tak mampu penuhi mimpimu. Mimpimu tentang sosok sempurna yang tak ada di diriku…”

“Kondisinya belum stabil. Biarkan dia istirahat terlebih dahulu. Sekarang, tolong anda ikut ke ruangan saya.” Ujar dokter kepada seorang wanita muda berbusana layaknya seorang manager perusahaan.
“Baik dok.” Ujar wanita itu kemudian berjalan di belakang dokter. Sebelum menutup pintu kamar, dia memandang tubuh lemah yang kini sedang tak berdaya, terbaring di ranjang yang ada di dalam ruangan. Sebutir air mata menetes dari ujung matanya ketika dia menutup pintu itu.
“Maafkan kakak, Sam. Kakak gak bisa jaga kamu, seperti yang diwasiatkan papa dan mama.” Batin wanita yang ternyata kakak Sam, Olivia.
Di sepanjang jalan, Olivia sesenggukan sambil sesekali menyeka air matanya. Satu hal yang sangat menyita segenap pikiran dan perasaannya, tak lain dan tak bukan adalah kondisi Sam saat ini. Tak lama kemudian, Dokter dan Olivia sudah berada di ruang dokter untuk membicarakan kondisi Sam.
***
Meanwhile, di kamar tempat Sam dirawat…
Sam ternyata sudah siuman dan kini sedang mengedarkan matanya ke sekeliling ruangan tempatnya kini berada. Sebuah ruangan yang sangat bersih, dengan dominasi warna putih. Lalu pandangannya beralih ke lengan kirinya. Nampak sebuah selang kecil yang berisi cairan bening menembus punggung tangannya. Dia berusaha untuk bisa duduk, tapi gagal karena tubuhnya masih lemah.
“Sial.” Umpat Sam.
Tiba-tiba terdengar bunyi dering ponsel. Sam menoleh ke arah suara itu. Ternyata ponselnya yang berada di atas meja. Dengan kesulitan, Sam meraihnya. Namun belum sempat berhasil teraih, ponsel itu terjatuh dan mati karena menghantam lantai dan terpelanting. Lagi-lagi, Sam hanya bisa pasrah.
Matanya menatap nanar ke arah langit-langit ruangan. Tiba-tiba muncul bayangan Ellena yang seolah menangis meratapinya. Perasaan menyesalnya muncul, tapi ternyata tak cukup untuk memberi maaf atas sakit hati yang dia rasakan. Dan kini, tubuhnya juga ikut sakit.
“Ellena.. Kenapa kisah kita harus berakhir seperti ini.” Ratap Sam lirih. Diikuti air mata yang mengalir dengan malas dari sudut matanya.
Tiba-tiba saja pintu kamar terbuka. Ternyata Olivia yang masuk. Nampak dia berusaha mengusap sisa sisa air mata di wajahnya saat melihat Sam, adiknya, sudah terbangun.
“Sam… Ada apa?” Olivia mengusap lembut rambut cepak Sam. Namun Sam hanya terdiam dan berusaha menghapus tangisnya.
“Sam, tadi Ellena menelpon kakak dan menanyakan keadaanmu. Kalian masih pacaran kan?” Tanya Olivia. Nampak senyum getir tersungging di bibir Sam.
“Sudah berakhir kak…” kata Sam pelan sambil memaksakan seulas senyuman.
“Apa maksudmu? Kalian putus?” Tanya Olivia lagi berusaha mendapat kejelasan. Tanpa berkata apa-apa, Sam hanya mengangguk. Olivia pun terdiam. Dia sama sekali tak menyangka kalau Sam dan Ellena, yang dia tahu sangat mesra dan serasi bisa putus setelah hampir 3 tahun berpacaran. Sebuah pertanyaan pun menggantung di pikiran Olivia saat ini.. Bagaimana bisa?
“Dia memilih lelaki lain kak, dia tak mampu bersabar dengan keadaanku yang sederhana. Akhirnya dia pergi bersama seorang yang jauh lebih baik dariku.” Terang Sam seolah mengerti pikiran Olivia.
“Padahal aku berencana melamarnya setelah aku wisuda 2 bulan lagi. Menyedihkan ya kak.” Lanjut Sam.
“Kuatkan hatimu Sam. Mungkin Ellena bukan yang terbaik untukmu, sehingga Tuhan memisahkan kalian. Bersabarlah.” Hibur Olivia.
Sam tersenyum mendengar perkataan kakaknya. Dan kini ada sedikit pilu yang terhapus, ada sebilah sunyi yang pergi karena kehadiran kakak yang sangat dia sayangi, kakak yang sangat menyayanginya, kakak yang dulu sempat dia sakiti hatinya.
“Kak.” Panggil Sam. Olivia yang sedang menatap ke luar jendela pun menoleh.
“Ada apa Sam?”
“Maafin Sam kak, dulu pernah menyakiti hati kakak.” Ucap Sam lirih tanpa tenaga.
“Iya Sam. Yang berlalu biarlah berlalu. Sekarang cepatlah sembuh, dan segera bangkit.” Ujar Olivia sambil tersenyum.
Namun tak lama berselang Olivia harus segera kembali ke kantor karena ada rapat yang harus dia pimpin. Dengan agak berat hati, Olivia pergi meninggalkan Sam sendirian di dalam kamar.
“Kalau seandainya Ellena bertanya tentangku, tolong katakan padanya aku baik-baik saja kak.” Ujar Sam ketika Olivia akan keluar kamar. Olivia pun mengangguk dan tersenyum, kemudia menutup pintu kamar.
Dan sunyi kembali menghampirinya. Namun hati dan otak Sam justru menikmatinya. Indahnya kesunyian yang menenangkan. Merdunya kesepian yang bernyanyi memenuhi seisi ruang kamar, membuat Sam perlahan terlelap ke dalam dimensi ilusi mimpi. Semakin jauh memasuki alam bawah sadarnya, dan menampakkan sepotong ingatan yang terbalut kebahagiaan usang di hadapannya.
***
“Sam, apakah kau tak pernah merasa keberatan melakukan berbagai macam permintaanku?” Tanya Ellena sambil memandang iring-iringan awan di langit senja.
“Kalau kau bertanya seperti itu, berarti kau tidak mempercayai ketulusan hatiku.” Ujar Sam ringan. Ellena pun tersenyum lalu memeluk erat Sam.
“Aku sangat beruntung bisa bersamamu, Sam.” Kata Ellena.
“Dan aku berharap kita bisa bersama selamanya Ellena. Tak terpisahkan.” Kata Sam sambil menatap lekat mata Ellena.
“Tak terpisahkan..” sambung Ellena.
***
Ellena duduk sendirian di teras rumahnya. Pikirannya nampak kalut karena ucapan selamat tinggal Sam. Tangannya menggenggam sepucuk surat dari Sam. Ingin sekali dia membukanya, tapi ada perasaan yang menahannya. Perasaan yang masih percaya bahwa Sam tak akan pergi menghilang darinya. Berkali-kali Ellena menelpon Sam, tapi nomornya tak pernah aktif. Kekhawatirannya yang tak tertahan pun membawa hatinya memutuskan untuk datang menemui Olivia, kakak Sam.
Setelah membuat janji sebelumnya, Ellena pun dapat bertemu dengan Olivia di sebuah restoran di dekat kantor Olivia. Suasana ketika berhadapan dengan Olivia yang dirasakan Ellena pun seolah berubah canggung semenjak dia dan Sam tak bersama. Lidahnya seakan kelu ingin memulai pembicaraan dengan Olivia. Melihat sikap Ellena yang tidak biasa, dan apa yang telah diceritakan Sam tentang hubungan Sam dan Ellena, Olivia pun membuka obrolan.
“Ellena. Ada apa kau mengajakku bertemu? Apa ada hal penting?” Tanya Olivia bertingkah seolah tidak tahu tentang berakhirnya hubungan Ellena dan Sam.
“Eh, kak Oliv. Anu kak.” Ujar Ellena gugup.
“Ada apa?” Tanya Olivia lembut.
“Begini kak. Apakah Sam baik-baik saja? Aku berusaha menghubunginya tetapi ponselnya tidak pernah aktif. Dia baik-baik saja kan kak?” Tanya Ellena dengan raut wajah khawatir.
Olivia menghela nafas panjang dan tidak langsung menjawabnya. Di hatinya berkecamuk rasa iba untuk Sam dan rasa iba untuk Ellena. Dan Olivia pun tak sanggup melihat Ellena yang sangat khawatir pada keadaan Sam.
“Ellena, apa benar kau dan Sam sudah putus?” Tanya Olivia. Ellena kaget.
“Sam menceritakannya padaku, jadi kau tak perlu kaget.” Lanjut Olivia. Mendengarnya, Ellena pun menunduk.
“Benar kak. Aku sudah menyakitinya dengan memilih pria lain.” Jawab Ellena lirih.
“Lalu?” Tanya Olivia lagi.
“Lalu aku menyadari bahwa Sam adalah pria yang sempurna bagiku kak. Meskipun dia sederhana, tapi kesederhanaannya adalah kesempurnaan yang tidak dimilliki pria lain.” Ujar Ellena sambil menahan air mata. Olivia pun mulai mengerti, dan sedikit tersenyum mendengar jawaban Ellena.
“Apakah kau masih mencintai Sam, Ellena?” Tanya Olivia dengan nada tegas.
“Aku masih dan akan tetap mencintai Sam kak.” Jawab Ellena. Kali ini dia tak mampu menahan air matanya.
“Baiklah, sekarang ikutlah denganku.” Ujar Olivia sambil berdiri dari tempat duduknya diikuti Ellena.
***


to be continued....
Share:

Untitled Tragedy, The 1st

NVRstepback. Oy oy oy! Ada cerita baruu! Silakan dibaca ya, mumpung bisa nulis judul baru nih. Jarang-jarang bisa dapet inspirasi kayak gini. Eitss, tapi ini cerbung lho yah, jadi harus sabar karena lanjutannya bakal rada lama postingnya.. Udah ah ngemengnyah, selamat membacaaa... :D


Title : Untitled Tragedy, The 1st
Author : Nur Rochman | @NVRstepback
Genre : Sadness, Love




Sam masih duduk termenung sendiri di halaman belakang rumahnya. Di sampingnya terlihat sebuah boneka kucing warna putih. Mata Sam sesekali melirik boneka itu. Lalu dia pun meraih boneka itu, dipandangnya dalam-dalam. Sam kemudian memejamkan mata, diletakkannya kembali boneka kucing itu ke tempatnya. Tangan Sam mencoba meraih sesuatu di saku celananya, sebuah korek api. Diambilnya lagi boneka kucing putih itu, kemudian dia membakarnya.
Perlahan, api mulai memakan habis boneka kucing putih itu. Sam hanya duduk melihat aksi api itu. Seiring dengan api yang terus menyala, dari mata Sam mulai mengalir air mata. Diiringi senyuman getir, Sam meninggalkan boneka kucing putih itu.
***
Hari sudah petang. Lampu ruang tengah masih belum menyala. Satu-satunya cahaya yang ada di rumah itu adalah cahaya dari dalam kamar Sam. Cahaya redup dari sebuah lampu bohlam kecil. Cahaya yang tentu saja tak akan cukup untuk menerangi seisi kamar Sam sekalipun.
Tempat tidur tempat Sam berbaring pun hanya terlihat samar. Sam terbaring telentang, dengan pandangannya kosong menatap kehampaan yang ada di hadapannya saat ini. Air matanya sudah kering. Perlahan, Sam bangkit berdiri. Dia berjalan mendekati meja, lalu meraih ponselnya. 9 Missed Calls dan 14 Unread Messages tak membuat Sam berminat membuka ponselnya.
Dengan masih menggenggam ponselnya, Sam melangkah perlahan menuju jendela kamarnya. Tiba-tiba langkahnya terhenti karena ponselnya tiba-tiba bergetar. Ellena, begitu tertulis di layar ponsel. Tapi Sam tak menerima panggilan itu. Di samping jendela kamarnya, terlihat jelas langit malam yang muram, tanpa ada cahaya bulan dan kerlip bintang. Sam menarik nafas panjang, lalu kemudian…Prakk!!!! Dia membalikkan badan kemudian melempar ponselnya tepat ke tembok kamarnya.
Sam kembali tersenyum getir melihat hal itu. Dia perlahan melangkah kembali ke tempat tidurnya.
***
Jam di dinding menunjukkan pukul 08.00. Sam sudah bersiap untuk berangkat ke kampus. Namun, ada yang berbeda dari penampilan Sam hari ini. Rambutnya tak lagi disisir rapi, dibiarkan acak-acakan menutupi telinga dan matanya. Kemeja putih lengan pendeknya berubah menjadi kaus hitam dengan corak warna merah darah, dibalut jaket hitam polos. Celana skinny yang jarang sekali dia pakai, kini dipakainya. Sepatu keds hitam, selesai dipakainya. Dia pun melangkah keluar rumah menuju kampus.
Di kampus, Sam lebih banyak diam. Tak lagi aktif bertanya ketika di kelas, rajin berdiskusi membahas tugas, ataupun bercanda bersama teman-temannya ketika jam istirahat. Waktunya dihabiskan duduk menyendiri di dalam perpustakaan, mendengarkan lagu-lagu yang mengalun dari ponselnya lewat headphone yang terpasang di telinganya. Tak ada lagi buku-buku tentang materi kuliah yang dia baca.
***
Jam 12.00, kelas terakhir untuk hari ini selesai. Sam bangkit perlahan dan mulai melangkah meninggalkan kursinya menuju pintu keluar kelas. Baru saja dia melangkahkan kaki kelaur dari ruang kelas, ada tangan yang meraihnya. Sam menengok dan terkejut, ternyata Ellena.
“Sam.” Panggil Ellena. Namun Sam tak menjawab. Menatap Ellena pun tidak.
“Sam, tolong lihat aku. Sam!” kata Ellena agak keras. Sam akhirnya mau menoleh. Dengan tatapan kosong dia menatap wajah Ellena.
Dengan tidak bicara, Ellena kemudian menarik tangan Sam dan berjalan ke suatu tempat. Sam hanya mengikuti langkah Ellena. Sama sekali tak tersirat keinginan untuk menolak, juga keinginan untuk ingin tahu apa maksud Ellena.
***
Di sebuah koridor sepi di belakang laboratorium praktek kimia, Ellena menghentikan langkah kakinya. Sam ikut berhenti. Begitu lama mereka berdua tenggelam dalam diam. Tak satupun dari keduanya yang berbicara. Hanya tatapan mata yang terus beradu. Ellena melangkah mendekati Sam. Dengan perlahan memeluk tubuh Sam yang ada di depannya. Semakin erat dan semakin erat pelukan Ellena, tapi Sam hanya diam saja. Mata Sam terpejam kemudian tangannya mulai memeluk tubuh Ellena, begitu erat.
“Sayang, kau telah berhasil menghancurkan hatiku. Terima kasih.” Bisik Sam ke telinga Ellena, kemudian melepaskan pelukannya.
“Sam…” jawab Ellena kemudian menangis. Ellena tertunduk lemah. Tubuhnya tiba-tiba goyah, Ellena jatuh terduduk. Ada sesuatu yang sedang berkecamuk hebat di dalam hatinya. Ellena mulai mengangkat pandangannya mencoba memandang Sam yang masih berdiri di hadapannya, melihatnya terjatuh tanpa melakukan apapun.
“Sayang, bagaimana rasanya? Kau terjatuh, menangis kesakitan. Dan orang yang kau sayangi, yang ada di depanmu tak membantumu berdiri. Sakit bukan?” kata Sam yang perlahan mendekati Ellena.
“Kau pasti ingat apa yang sudah kau lakukan padaku. Sesuatu yang jauh lebih menyakitkan dari ini. Sesuatu yang telah menghancurkan rasa sayangku yang begitu besar padamu.” Lanjut Sam.
Ellena tertunduk, dengan air mata yang masih terus mengalir, ingatannya perlahan kembali ke peristiwa beberapa minggu yang lalu.
***
3 Minggu yang Lalu
“Jangan pergi…” pinta Sam kepada Ellena yang terus melangkah pergi.
“Maaf Sam, aku harus pergi dari sisimu. Aku memang menyayangimu. Tapi aku tak bisa bertahan bila terus seperti ini. Sampai jumpa, Sam.” Jawab Ellena sembari melangkah Sam yang berdiri termangu.
Dari kejauhan, terlihat sosok pria yang mengendari motor menjemput Ellena. Sam pun segera berlari mengejar Ellena. Namun, malang bagi Sam dia tak mampu mengejar Ellena yang sudah pergi bersama pria itu. Sam terus berlari sambil menangis, sampai akhirnya dia terjatuh dan hanya bisa melihat Ellena perlahan menghilang dari pandangannya. Sam menangis.
***
“Sam, maafkan aku…” pinta Ellena kepada Sam.
“Maaf? Kau meminta maaf padaku? Aku sudah terlalu sering memberikannya. Tapi kau tak pernah bisa menjaga kata maaf yang kuberikan. Sebaliknya, kau tak mau memberikan sedikit maafmu ketika aku melakukan sedikit kesalahan.” Jawab Sam.
“Tolong Sam, maafkan kesalahanku tempo hari. Aku sekarang sepenuhnya sadar kalau yang telah aku lakukan adalah kesalahan yang besar. Tolong, beri aku kesempatan untuk memperbaikinya.” Pinta Ellena sambil masih menangis.
Sam menarik nafas panjang, lalu mulai berbicara,” ketahuilah Ellena, sampai saat ini aku masih menyayangimu. Tapi aku sudah kehilangan hasrat untuk kembali bersamamu. Hasrat itu sudah ikut pergi bersama dengan kepergianmu dulu. Jadi sekarang, kau tak perlu mengharapkanku. Kau sudah bebas.”
Ellena tercekat mendengar perkataan Sam. Dia tak menyangka betapa Sam masih menyimpan rasa sayangnya, tapi dia sedih mendengar penuturan Sam yang menyuruhnya pergi. Perlahan, Ellena mulai bangkit berdiri. Dia berjalan perlahan mendekati Sam, lalu kembali memeluknya. Tanpa disangka, Sam langsung menyambut pelukan Ellena.
“Sam, aku menyayangimu.” Kata Ellena.
“Aku juga menyayangimu, Ellena.” Jawab Sam.
“Ellena, mungkin ini adalah pelukan terakhir kita. Aku akan pergi.” Kata Sam sambil melepaskan pelukannya. Ellena belum mengerti maksud perkataan Sam, tiba-tiba Sam menyerahkan sepucuk surat kepada Ellena.
“Apa ini, Sam?” tanya Ellena.
“Jangan kau buka. Bukalah saat aku benar-benar telah menghilang, dan kau tak mampu lagi menemukanku di manapun. Tapi aku ingin, kau jangan menangis saat membaca surat ini. Selamat tinggal… Sayang.” Jawab Sam sambil berlalu pergi.
Sam pun melangkah pergi, meninggalkan Ellena yang masih berdiri dengan beribu tanya di kepalanya. Tanya tentang surat pemberian Sam, ucapan perpisahan Sam, dan masih banyak lagi semua tentang Sam. Namun di balik itu semua, hati Ellena sedikit tenang karena tahu bahwa Sam masih menyayanginya. Matanya masih dengan setia melihat dan memperhatikan tubuh Sam yang secara perlahan menghilang di balik kaki langit.
Sam melangkah tanpa arah. Di wajahnya tersirat secuil senyuman. Bukan lagi senyuman getir, tapi sebuah senyuman bahagia yang muncul dari dalam harinya. Secara perlahan, langkahnya mulai melambat. Pandangannya mulai kabur. Telinganya tak mampu lagi mendengar hiruk pikuk yang ada di sekelilingnya. Peluh dingin mulai mengalir dari tubuhnya. Sejenak kemudian, tubuhnya tumbang. Sam tak sadarkan diri.

To be continued…

Silakan kasih komentarnya di kotak komentar. Bebas tapi sopan. Gak bakal kena tabok kok.. XD
Share: