Get Your Dream ON! - #NulisKilat

 


29 Desember 2013
Mendung yang sejak malam menggantung sama sekali belum berpaling dari atap langit. Hawa dingin pun semakin dan semakin menyeruak mengisi setiap inchi ruangan yang sedang ditempati oleh seorang pemuda bernama Kenzo. Tapi dia sama sekali tak menggubris keadaan di sekitarnya dan terus saja berkutat dengan game online MMORPG berjudul “Skyland Online” yang ada di hadapannya. Ya, sebuah Event spesial bertajuk “Xmas to NYE” yang diadakan oleh penyelenggara game online tersebut  sedang membius Kenzo untuk menyelesaikannya. Tapi sudah beberapa hari sejak memulainya, Kenzo mengalami kesulitan menyelesaikannya.
“AAAHH! Mana sih warp buat masuk ke ruangan boss-nya?!” teriak Kenzo saking frustasinya. Orang tua dan adiknya sedang pergi sehingga dia bebas melakukan apa yang ingin dia lakukan, termasuk berteriak-teriak.
Saat berniat kembali ke dalam game online, alunan musik ONE OK ROCK mengalun dari ponselnya tanda ada panggilan. Awalnya Kenzo malas menjawab panggilan itu, tapi akhirnya dia beralih dari hadapan komputer kemudian meraih ponselnya yang tergeletak di tempat tidur. Ternyata panggilan dengan nama kontak Yoga.
“Halo.” Jawab Kenzo jutek.
“Eh, Kenzo. Bisa gak sih kalo gak usah jutek gitu.” Kata suara Yoga di balik telepon yang terdengar tidak terima dengan sikap Kenzo tersebut.
“Iya, iya sorry. Ada apaan? Tumben telpon gue.” Kata Kenzo masih dengan nada jutek.
“Tanggal 31 ntar ngumpul bareng anak-anak SMK dulu yuk. Itung-itung reunian gitu. Dateng ya. Di lapangan pancasila kok. Deket sama rumah loe.” Kata Yoga.
“Males gue Ga. Event game gue belum kelar nih. Lagian juga Event puncaknya tanggal 31. Jadi gak bisa, sorry.” Ujar Kenzo yang sudah duduk lagi di depan komputer bersiap melanjutkan game-nya.
“Yaelah, Zo sekali-kali dateng lah. Game terus yang loe urusin. Eh, tau gak? Si Alyssa juga bakalan dateng lho. Gue denger dari Ira, kalo Alyssa udah balik dari Aussie.” Terang Yoga. Kenzo terdiam sejenak berusaha mengingat sosok pemilik nama tersebut, Alyssa.
“Oh, si sipit itu? Terus apa hubungannya dia balik dari Aussie sama gue?” tanya Kenzo.
“Kenzo, Kenzo. Gak usah malu lah. Anak-anak juga udah tau kalo loe tuh suka sama Alyssa. Dateng ya, kesempatan langka nih. Masa iya sih perasaan loe mau loe simpen selama 5 tahun tanpa mau loe ungkapin ke Alyssa?” Yoga  berusaha merayu Kenzo.
“Kalo gue bilang enggak ya gak.” Kata Kenzo lalu menutup telepon.
Kenzo pun segera masuk lagi ke dalam game dan melanjutkan Event. Pikirannya pun kembali masuk ke dalam avatar dalam game tersebut dan mulai berjalan menjelajah kembali. Tiba-tiba ada permintaan untuk party dari avatar milik pemain lain.
“Request party? Siapa nih?” Kenzo pun mengecek request tersebut dan menangkap sebuah username, ‘Black_Sakura’.
“Aduh, jam segini baru nongol.” Kenzo pun menerima request tersebut. Setelah party terbentuk, Kenzo pun mengirim sebuah pesan ke ‘Black_Sakura’ melalui kolom Chat.

Krosseuz         : lama banget, jam segini baru on.
Black_Sakura   : maaf maaf, tadi koneksi internetnya baru dibenerin.
Krosseuz       : yaudah, yuk lanjutin Event-nya. Gue udah sampe di area terakhir, tapi belom bisa nemuin warp buat masuk ke ruangan boss.
Black_Sakura   : sip. ^^

Avatar milik Kenzo, Krosseuz dan avatar orang tersebut, Black_Sakura pun mulai menjelajah dunia virtual tersebut. Tak seperti beberapa menit tadi, kini Kenzo bisa sedikit tersenyum karena beban mengalahkan monster terbagi dengan Black_Sakura. Dan setelah melewati berbagai dungeon dan monster, mereka sampai di area terakhir. Kenzo pun kembali mengirim pesan.

Krosseuz         : ini area terakhirnya, tapi warp buat masuk ruangan boss gak gue temuin.
Black_Sakura   : hahaha, yaiyalah gak ketemu. Bentar.

Kenzo tak membalas chat tersebut. Dia masih bingung dengan perkataan Black_Sakura. Tiba-tiba saja Black_Sakura mengirimkan sebuah item kepada Kenzo.

Black_Sakura   : harus pake item ini. Udah, pasang di equip.
Krosseuz         : aduuh, baru tau gue. Hahaha.
Black_Sakura   : makanya jangan asal ikut Event tanpa baca penjelasan.
Krosseuz         : iya iya, gue yg salah.

Krosseuz dan Black_Sakura pun mengaktifkan item tersebut dan warp untuk masuk ruangan boss pun akhirnya muncul. Mereka berdua segera masuk dan bersiap mengalahkan boss di yang ada di hadapan mereka.

Krosseuz         : yoss! Babat!
Black_Sakura   : yuk!

Dan begitulah aktivitas Kenzo, selalu saja game, game, dan game. Apalagi ketika liburan seperti saat ini. Waktunya akan habis hanya dengan bermain game. Hal itu pun mempengaruhi interaksi Kenzo dengan dunia luar. Kenzo lebih suka bergaul dengan “teman” dari dunia virtual tersebut. Berinteraksi menggunakan avatar game dengan avatar game milik pemain lain, bergabung dengan guild atau perkumpulan khusus di dalam game yang berisi para pemain. Dan salah satu pemain yang paling dia percaya adalah Black_Sakura. Avatar dengan job Blader berkostum hitam yang dia kenal sejak 2 tahun lalu ketika dia mulai bermain game “Skyland Online”. Akibat dari itu semua, dia pun kurang memiliki teman di dunia nyata. Satu-satunya teman yang dia miliki adalah Yoga.
***
30 Desember 2013
“Zo! Kenzo!” teriak seseorang. Kenzo pun menghentikan langkah kakinya lalu menoleh.
“Oh, loe Ga. Ada apaan?” tanya Kenzo.
“Huh...huh... bareng dong.” Jawab Yoga yang masih ngos-ngosan karena mengejar Kenzo.
“Iya.” Kata Kenzo singkat lalu kembali berjalan tanpa menghiraukan Yoga yang masih kelelahan.
“Tungguin lah. Eh, loe dari mana? Tumben keluar rumah.” Tanya Yoga.
“Dari minimart, beli makanan.” Jawab Kenzo singkat.
“Zo, loe yakin gak mau dateng ke acara besok?” tanya Yoga yang masih berharap agar Kenzo berubah pikiran dan mau datang.
“Yoga, gue kan udah bilang Event puncak game gue tuh tanggal 31, jadi gak mungkin gue bisa dateng.” Jawab Kenzo. Yoga menghentikan langkahnya.
“Kenzo, gue minta sebagai sahabat loe, tolong loe bisa dateng. Bukan bermaksud apa-apa, gue cuma pengen loe balik kayak dulu. Berinteraksi sama temen-temen di dunia nyata, bukan di dunia game. Loe hidup di dunia nyata, Zo bukan dunia game.” Kata Yoga. Mendengar kata-kata Yoga tersebut, Kenzo pun menghentikan langkahnya dan berbalik lalu menatap teduh Yoga sambil tersenyum. Yoga terkejut melihat Kenzo
“Makasih Ga, loe udah perhatian banget sama gue. Dan selalu anggap gue sebagai sahabat loe. Gue juga anggap loe sebagai sahabat gue, kok. Selama ini gue berharap semua orang di dunia ini kayak loe Ga, bisa ngertiin gue dan gak nge-judge gue seenaknya.” Kenzo menghentikan kata-katanya.
“Makanya, Zo. Gue yakin loe baik-baik aja nanti.” Ujar Yoga sambil berjalan mendekati Kenzo.
“Loe inget gak kejadian pas kelas 3 SMK? Waktu gue dijauhin gara-gara ngusulin projek pembuatan game pas mata diklat desain program? Loe inget gak gimana reaksi anak-anak yang menghina dan nge-judge projek dan rancangan game gue seenaknya?” pertanyaan demi pertanyaan retorik muncul dari mulut Kenzo yang membuat Yoga terdiam.
“Sakit banget, Ga. Gak masalah kalo cuma gue yang dihina, tapi kalo projek dan rancangan game gue, hal yang gue cintai sejak kecil, gue gak bisa terima. Mereka gak berhak atas itu semua.” Terang Kenzo kemudian berbalik dan berjalan meninggalkan Yoga.
“Terus kenapa sekarang loe cuma ngurung diri dan ngehabisin waktu buat main game, Zo! Kenapa projek itu gak loe lanjutin! Itu sama aja loe cuma seorang pengecut yang kalah sebelum berperang cuma karena hujatan orang! Kenzo yang gue kenal bukan orang yang kayak gitu!” teriak Yoga kemudian berlari ke arah yang berlawanan dengan Kenzo. Kenzo sendiri pun akhirnya berhenti dan terdiam setelah mendengar suara lantang Yoga.
Dia berjalan dengan menampung semua kata-kata yang diucapkan oleh Yoga. Dia mengaduk semua pengalaman pahit yang dia alami, kata dan hinaan yang pernah dia terima, dan kenyataan tentang dirinya yang sekarang. Senyuman getir tersungging di wajahnya. Senyum tanda bahwa semua yang dikatakan oleh Yoga benar adanya bahwa dia hanyalah seorang pengecut yang kalah bahkan sebelum perang dimulai.
“Loe selalu tau tentang gue, Ga.” Bisik Kenzo.
***
Seperti biasa, Kenzo sudah duduk di hadapan komputernya dan berkelana di dalam “Skyland Online” dengan avatar Krosseuz-nya. Tapi tak seperti biasanya, dia nampak tak bersemangat dan beberapa kali harus terkena serangan yang seharusnya tak perlu dari monster. Pikirannya masih dicengkeram oleh kata-kata Yoga beberapa jam lalu. Dan lamunannya pun buyar ketika nada notifikasi pesan di kolom chat terdengar. Ternyata pesan dari Black_Sakura.

Black_Sakura    : yo. AFK ya?
Krosseuz          : eh, sorry. Otak gue yg AFK. Hehe
Black_Sakura    : haha dasar. Ada apa?
Krosseuz          : lg galau nih gue.
Black_Sakura    : galau? Hmm... pasti masalah pacar.
Krosseuz          : heh! Bukan lah, ini masalah lain.
Black_Sakura    : trus?
Krosseuz      : menurut loe, apa yg hrus gue lakuin klo ada orang yg menghujat & menghina mimpi gue?
Black_Sakura    : lawan mereka lah. Mau ngapain lg?
Krosseuz          : caranya?
Black_Sakura  : ya tunjukin ke mereka klo mimpi yg loe punya itu bisa jadi nyata. Bungkam mereka dgn keberhasilan loe. Gampang kan?
Krosseuz             : ngomongnya gampang.
Black_Sakura     : iya, gue tau. Memperjuangkan mimpi emang susah, tapi bakalan lebih susah lagi klo loe akhirnya harus nyesel karena gak nglakuin sesuatu yg seharusnya bisa loe lakuin.
Black_Sakura     : waktu gak bisa diputar ulang.

Kenzo pun tercekat membaca kata demi kata yang disampaikan oleh Black_Sakura. Ada sedikit rasa sesal di dalam dadanya yang muncul karena dirinya begitu mudah menyerah dan berhenti memperjuangkan mimpinya bahkan sebelum mulai melangkah, mimpi tentang hal yang sangat dia cinta sejak dulu.

Krosseuz             : mksh ya, loe emg hebat. =]
Black_Sakura     : hahaha, gue gak sehebat itu. Gue cuma gak mau ada orang lain yg ngalamin hal yg sama kayak gue. Nyesel karena gak memperjuangkan hal yg seharusnya diperjuangkan.
Krosseuz             : mksd loe?
Black_Sakura     : aduh duh, gue malah gantian curhat. Gue pamit dlu ya mau off, ada urusan di dunia nyata. Bye.
Krosseuz             : yo.

Setelah avatar Black_Sakura menghilang pertanda dia sudah logout, Kenzo pun ikut logout dan mulai mengobrak-abrik isi tumpukan kardus yang ada di sudut kamarnya. Kardusnya cukup berdebu dan isinya yang berupa buku dan kertas juga sudah cukup kotor karena debu. Dan setelah beberapa saat mencari, akhirnya dia menemukan kumpulan kertas yang sudah terklip menjadi satu oleh klip kertas hitam.
“Ini dia.” Ujar Kenzo sambil tersenyum.
Kenzo mulai membuka lembaran-lembaran tersebut. Kadang dia tersenyum, kadang dia mengernyitkan dahi membaca tulisan dan grafik serta gambar yang dia gambar beberapa tahun yang lalu. Kertasnya sudah mulai berubah warna dan tinta bekas goresan penanya sudah agak hilang karena termakan waktu. Lembaran berisi rancangan game yang sempat dia buat namun akhirnya hanya teronggok begitu saja karena ketakutannya sendiri.
Setelah membersihkannya, dia membawa lembaran tersebut ke depan komputer dan mulai menyalinnya ke dalam sebuah soft file. Dengan sungguh-sungguh, dia mulai mengetik ulang kata demi kata serta menggambar ulang grafik dan gambar di lembaran tersebut. Selain itu, dia pun memeriksa apa yang pernah dia tulis tersebut dan membetulkan apa yang sekiranya salah.
Saat sedang mengetik, dia pun teringat pada ajakan Yoga untuk ikut ke acara tanggal 31. Awalnya dia ragu, tapi akhirnya dia pun meraih ponselnya dan mengirimkan pesan singkat berisi konfirmasi kehadirannya.
“Yoss! Tinggal dikit, lanjutin besok.” Ujar Kenzo kemudian melemparkan dirinya ke tempat tidurnya lalu memejamkan matanya. Tapi beberapa detik kemudan dia kembali membuka matanya. Dia teringat pada kata-kata Yoga tentang Alyssa yang akan hadir juga di acara tersebut. Perkataan Yoga memang benar kalau dia sebenarnya menyimpan rasa suka pada Alyssa, tapi dia tidak menyangka kalau akhirnya dia akan bisa bertemu lagi dengannya. Dia pun bingung dengan apa yang akan dia katakan. Dan karena terlalu lelah, akhirnya dia pun terlelap karena lelah.
***
31 Desember 2013, Day
Malam masih menyelimuti bumi yang terlelap. Semburat cahaya fajar yang harusnya sudah muncul justru tertelan oleh mendung yang akhirnya menjatuhkan hujan. Di sebuah tempat, terlihat seorang gadis cantik berambut panjang sedang sibuk menggerakkan jemarinya di atas keyboard. Huruf demi huruf tersambung menjadi kata. Kata demi kata itu tersusun menjadi kalimat. Dan dari kalimat-kalimat terbentuk sebuah puisi tentang kisah cintanya.
Alyssa, nama gadis itu. Dia sedang berusaha menuangkan semua rasa yang bercampur dalam hatinya ke dalam kalimat-kalimat di puisi itu. Tapi tak peduli seberapa keras dia mencari padanan kata maupun diksi, tetap saja dia sulit mendapatkan yang tepat yang mampu menggambarkan apa yang sedang dia rasakan. Karena dia sudah merasa lelah, dia pun beranjak.
Dia meraih gitar di sudut kamarnya kemudian mulai memainkannya sambil duduk di tepi tempat tidurnya. Suaranya merdu. Namun sayang tak ada satupun yang mampu mendengarnya. Perasaan bercampur aduk yang tersalurkan lewat lirik yang dia nyanyikan.
“Huh.” Ujarnya singkat lalu merebahkan dirinya ke tempat tidur dan terlelap beberapa saat kemudian.
***
Hujan masih mengguyur sejak pagi. Matahari pun sepertinya mengalah dan enggan mengusir mega mendung yang masih asyik berdendang bersama guntur. Hari ini, hari terakhir dari tahun 2013. Dan esok pagi akan dimulai tahun yang baru, 2014. Tahun yang untuk Kenzo ingin dia gunakan sebagai titik balik kehidupannya. Seperti saat ini, dia baru saja menyelesaikan rancangan gamenya setelah bertahun-tahun membiarkan semua itu terdiam.
Setelah mencetak draft yang baru dia selesaikan, dia pun bergegas keluar rumah untuk pergi ke minimart membeli beberapa makanan dan minuman. Jaket, dompet, dan ponsel dia raih dan setelah merapikan rambut sebentar dia bergegas keluar.
Kenzo berjalan menyusuri trotoar sambil memandang sekelilingnya. Tangan kanannya memegang payung sementara tangan kirinya bersembunyi di dalam kantong jaketnya. Ada senyum kecil karena sudah menyelesaikan rancangan projek game-nya. Dalam benaknya, dia berniat membuat demo awal game tersebut. Event game “Skyland Online” yang tadinya ingin dia selesaikan perlahan sirna dari dalam pikirannya.
Setelah mendapatkan apa yang dia inginkan, Kenzo pun keluar dari minimart dan mulai kembali berjalan. Tapi dia tidak segera pulang melainkan berjalan-jalan berkeliling kota Salatiga yang sudah lama tidak dia jamah karena terlalu sibuk mengurung diri di dalam kamarnya.
“Ternyata Salatiga itu bagus ya.” Gumamnya sambil terus berjalan.
Dia memilih pergi ke Ramayana Mall untuk sekedar cuci mata. Butuh sekitar 15 menit dia habiskan agar sampai ke Mall tersebut. Di dalam Mall, Kenzo hanya berjalan berkeliling melihat-lihat apa yang ditangkap oleh matanya.
“Kenzo.” Terdengar suara memanggil Kenzo.
“Hei, ternyata Loe Ra.” Kata Kenzo ketika melihat Ira yang ternyata menyapanya.
“Tumben keluar dari sarang. Hehe.” Canda Ira.
“Yah, sekali-sekali keluar liat keadaan.” Ujar Kenzo sambil bersandar memandang ramainya suasana Mall di akhir tahun.
“Kenzo, loe nanti malam dateng kan?” tanya Ira ragu-ragu.
“Iya.” Jawab Kenzo singkat. Ira tersenyum mendengar jawaban Kenzo.
“Kenapa, Ra? Cengar-cengir gitu.” Kata Kenzo tiba-tiba.
“Hehe. Gak papa. Yaudah, gue duluan ya. Daa.” Ira pun pergi dari situ.
Kenzo pun kembali berjalan-jalan. Karena sudah bosan, dia pun keluar dari situ dan memutuskan untuk pulang. Beruntung, ternyata hujan sudah reda sehingga dia tak lagi harus menggunakan payung.
Saat sedang berjalan, matanya menangkap brosur yang tertempel di sebuah papan pengumuman. Di situ tertulis tentang kompetisi membuat game yang diadakan dalam rangka menyambut tahun baru 2014. Kenzo pun berhenti dan dengan seksama membaca keterangan-keterangan di brosur itu.
“OK, gue bisa ikut.” Gumamnya kemudian kembali berjalan menuju ke rumahnya.
***
Alyssa baru saja keluar dari kafe. Dia akhirnya bisa pulang setelah seharian terjebak di kafe itu karena hujan yang mengguyur. Dengan senyum yang terus tersungging di wajahnya, dia melangkah riang untuk pulang. Di tangannya tergenggam goodie bag dengan gambar logo kafe tempat dia keluar tadi.
***
31 Desember 2013, Night
Kenzo baru saja mengunci pagar rumahnya lalu berjalan pergi. Malam ini dia nampak senang tapi tetap tenang. Bulan dan bintang pun sepertinya juga ikut senang melihat Kenzo. Tak butuh waktu lama, Kenzo sudah berada di trotoar seberang lapangan pancasila. Dia melihat sebuah tenda cukup besar di salah satu sudut lapangan dan langsung tau bahwa di situlah nanti acara yang dibicarakan Yoga akan diadakan karena dia melihat Yoga dan Ira sudah ada di situ.
Dengan langkah ragu-ragu, Kenzo melangkahkan kakinya ke tempat itu. Dia sempat berhenti sejenak, tapi setelah menghela nafas panjang dia pun memberanikan diri mendekat. Ke tempat di mana banyak orang berkumpul.
“Hei, loe udah dateng.” Sapa Yoga.
“Yo.” Balas Kenzo singkat. Dia masih bingung dengan apa yang harus dia lakukan di situ.
“Eh, Kenzo. Loe kapan dateng?” tiba-tiba saja muncul Ira.
“Eh, iya. Baru aja kok.” Jawab Kenzo. Matanya masih memandangi teman-teman masa sekolahnya yang sibuk dengan aktivitasnya masing-masing.
“Nih.” Kata Ira sambil menyerahkan sebotol air mineral kepada Kenzo.
“Oh makasih.” Ujar Kenzo seraya menerimanya.
Kenzo pun memilih duduk di kursi panjang di tepi tenda dan menghabiskan waktunya untuk mengutak-atik gadget yang ada di tangannya.
Yoga, Ira, dan yang lainnya nampak sedang menyiapkan meja, makanan, dan minuman. Sementara Kenzo masih sibuk dengan gadget-nya. Karena merasa bosan berada di situ, dia pun berjalan-jalan berkeliling. Dan di situ, nampak ramai dengan pemuda-pemudi yang berkumpul untuk menikmati malam terakhir 2013.
“Eh, ada game center.” Gumam Kenzo. Dia pun bergegas masuk ke situ.
Setelah mendapatkan tempat kosong, dia pun segera login ke Skyland Online. Tapi tiba-tiba saja dia merasa malas untuk bermain dan hanya menggerakkan avatarnya berputar-putar dari satu tempat ke tempat lain. Dia hampir akan logout ketika ada notifikasi pesan dari Black_Sakura.

Black_Sakura     : yo. Ikut Event utama?
Krosseuz           : kayaknya gue gak ikut.
Black_Sakura     : tumben gak ikut?
Krosseuz           : iya, gue ada acara bareng tmen2 gue. Loe mau ikut itu Event?
Black_Sakura     : kyknya gue jg gak ikut. Ada acara jg. Hehe.
Krosseuz           : oiya, gue mau kasih kabar baik nih.
Black_Sakura     : apa?
Krosseuz         : rancangan game gue udah jd & mau gue masukin ke kompetisi desain game. =D
Black_Sakura     : wah, keren tuh. Smoga aja loe bisa lolos. Eh, udah jam sgini. Gue off. Daa.

Beberapa saat kemudian Black_Sakura pun logout. Kenzo pun masih melanjutkan game-nya meskipun hanya berputar-putar. Setelah melihat jam di dinding menunjukkan pukul 22.00, Kenzo pun memutuskan untuk logout dan kembali ke tempat teman-temannya tadi.
Masih beberapa meter dari tempat tersebut, langkahnya terhenti mendengar suara petikan gitar dan nyanyian yang merdu. Matanya pun segera melihat teman-temannya sedang duduk sambil memperhatikan seorang gadis berambut hitam panjang dengan jaket warna hitam dengan strip abu serta celana skinny hitam memainkan gitar dan bernyanyi. Dia pun hanya berdiri di situ sambil masih takjub dengan gadis tersebut.
Jrenggg~ “Terima kasih.” Ujar gadis itu.
“Yeee.” Tepuk tangan dan riuh suara penonton terdengar.
“Selanjutnya, aku mau bacain puisi. Buat...” gadis itu menghentikan kalimatnya lalu mengedarkan matanya, “kalian semua.”
Gitar yang awalnya tadi dimainkan dengan irama menghentak kini berubah tempo menjadi lambat dan mengalun sendu. Hal itu mampu menarik perhatian tak hanya dari teman-temannya saja tetapi beberapa orang yang melewatinya. Tak terkecuali Kenzo yang masih berdiri diam di tempatnya kini takjub tak mampu berkata apa-apa.
Dia yang telah aku kagumi bahkan sebelum aku sadari
Dia yang telah aku rindu bahkan sebelum senja berlalu
Dia yang telah aku damba bahkan sebelum fajar mengangkasa
Dia yang telah aku harapkan bahkan sebelum aku mendung jatuhkan hujan
Namun aku terlalu takut
Bila dia akan terluka oleh cintaku
Dan aku terlalu pengecut
Untuk ungkapkan apa yang harusnya terungkap
Dia... aku mencintainya...
Dulu hingga kini... selamanya...
Tepuk tangan pun terdengar. Gadis itu pun meletakkan gitarnya lalu berdiri dan berbalik. Dan saat itulah Kenzo tau siapa gadis itu. Dengan perlahan, dia melangkahkan kakinya mendekati gadis itu. Nampak gadis itu tersenyum ke arahnya.
Kini mereka saling berhadapan. Gadis itu masih tersenyum, sementara Kenzo masih terpaku melihat sosok gadis tersebut.
“Kenzo, udah lama ya gak ketemu.” Sapa gadis itu.
“Eh, iya. Kamu apa kabar, Alyssa?” balas Kenzo sedikit gugup.
“Baik, tapi kurang baik juga sih.” Ujar gadis bernama Alyssa itu. Senyumnya mendadak hilang.
“Kenapa, Sa?” tanya Kenzo penasaran.
Tanpa berkata apapun, Alyssa berjalan ke sudut yang terdapat kursi. Kenzo pun mengikutinya dan ikut duduk ketika Alyssa juga duduk. Suasananya cukup canggung karena baru kali ini dia dapat berbicara dengan Alyssa secara langsung.
“Cerita aja, Sa. Gak bakal jadi gosip kok, tenang aja.” Ujar Kenzo sambil sedikit bergurau.
“Hahaha, ada-ada aja.” Alyssa tertawa mendengar ucapan Kenzo.
Tiba-tiba saja Alyssa mulai bersenandung. Kenzo pun menoleh ke arah Alyssa. Dia terpana memandang Alyssa yang sedang bersenandung sambil wajahnya diterpa cahaya lampu. Nampak bersinar dan indah. Matanya tak mampu berkedip sedikit pun.
“Alyssa, suara kamu, bagus banget.” Kata Kenzo spontan. Alyssa pun menghentikan senandungnya dan menoleh ke arah Kenzo sambil tersenyum.
“Kamu tadi denger puisi yang aku baca gak?” tanya Alyssa.
“Iya, bagus. Gak tau kenapa, tapi kayak mewakili perasaanku. Hehe.” Kata Kenzo lalu menengadah memandang bulan.
“Kenzo.” Panggil Alyssa.
“Iya, Sa.” Jawab Kenzo. Tiba-tiba saja Alyssa bangkit dari duduknya dan berdiri di hadapannya. Sontak saja Kenzo kaget dan merasa aneh melihat tingkah Alyssa.
“Sebenernya... aku...” belum sempat Alyssa menyelesaikan kata-katanya, ada suara Ira yang memanggil mereka berdua dari kejauhan.
“Alyssa! Kenzo! Buruan sini!” teriak Ira. Alyssa pun tampak kecewa.
“Yuk, Sa. Udah dipanggil tuh.” Kata Kenzo lalu menarik tangan Alyssa. Kaget sekaligus senang, itu yang dirasakan oleh Alyssa. Meskipun hanya dipegang tangannya, tapi dia senang karena dia akhirnya bisa bertemu lagi dengan Kenzo.
Sesampainya di tenda, semua yang berkumpul langsung bersama-sama menikmati makanan dan minuman yang sudah disediakan. Tak terkecuali Kenzo dan Alyssa.
“Kenzo, kesempatan gak dateng dua kali.” Bisik Yoga tiba-tiba kepada Kenzo. Saat menoleh kepada Yoga, dia hanya memperoleh acungan jempol dari Yoga.
“Dasar.” Gumam Kenzo.
Dia berusaha tidak peduli terhadap apa yang dikatakan oleh Yoga, tapi tetap saja dia tidak bisa tenang karena ada Alyssa. Beberapa kali dia mencuri-curi pandang pada Alyssa yang nampak senang dengan teman-temannya. Tiba-tiba dia teringat kata-kata Black_Sakura, “waktu gak bisa diputar.”
“OK teman-teman, dalam hitungan beberapa saat lagi kita bakal mulai hitung mundur menuju 2014. Siap-siap yaa.” Kata Yoga diikuti suara riuh teman-temannya.
“Sa, ikut aku yuk.” Ajak Kenzo kepada Alyssa. Tanpa bicara, Alyssa pun mengangguk tanda setuju. Kenzo pun langsung menarik tangan Alyssa dan mengajaknya ke tempat yang agak jauh dari tenda.
“10!”
“Alyssa... eng...” ujar Kenzo masih kesulitan menyampaikan kata-katanya.
“Aku... sebenernya...”
“9!”
“Iya, Kenzo?” kata Alyssa.
“8!”
Kenzo menghela nafas panjang. Sementara Alyssa menahan nafasnya karena gugup dengan apa yang akan dikatakan oleh Kenzo.
“7!”
“Aku suka sama kamu, Sa.” Alyssa kaget mendengarnya.
“6!”
“Aku sayang sama kamu, Sa.” Alyssa memegang kedua tangan Kenzo.
“5!”
“Aku cinta sama kamu, Sa.” Nafas Alyssa tertahan dan jantungnya berdetak dengan cepat.
“4!”
“Kamu mau gak jadi pacarku?” Kenzo pun menghela nafas lega setelah menyampaikan semua itu.
“3!”
“Iya, aku mau.” Kata Alyssa. Kenzo pun melongo mendengar jawaban.
“2!”
“Aku juga cinta sama kamu, Kenzo!!!” pekik Alyssa yang langsung melompat memeluk Kenzo.
“1!”
“Krosseuz, I Love You!!!” pekik Alyssa.
“Welcome 2014!!!”
“Alyssa, kok Krosseuz?” tanya Kenzo penasaran. Alyssa hanya tersenyum.
“Dari mana kamu tau?” tanya Kenzo lagi.
“Karena aku adalah Black_Sakura.” Bisik Alyssa di telinga Kenzo.
“Ha? Tapi, Black_Sakura itu kan cowok. Masak...” Kenzo masih tidak percaya.
“Namanya juga dunia game, kan kita gak tau player asli di balik avatar itu aslinya kayak gimana.” Terang Alyssa.
“Terus, maksud kamu waktu itu? Tentang penyesalan yang kamu alamin?” tanya Kenzo.
“Aku udah gak nyesel kok, Kenzo. Karena kamu udah ungkapin apa yang selama ini aku pengen dengar. Penyesalan itu udah hilang.” Jawab Alyssa. Kenzo pun hanya tersenyum mendengar jawaban Alyssa itu.
“Oiya, Kenzo. Desain dan rancangan game kamu. gimana kalo kamu masukin ke perusahaan papa aku. Kayaknya mereka lagi cari ide baru buat game mereka.” Kata Alyssa. Kenzo pun mengangguk setuju lalu memeluk erat Alyssa.
Malam masih tetap gelap, namun 2013 telah tertinggal di belakang dan kini berganti menjadi 2014 yang sedang berdiri kokoh menantang siapa saja untuk menaklukkan. Berkat dorongan Alyssa selama ini, Kenzo pun bisa keluar dari dalam penjaranya. Dan semua berakhir dengan bahagia. Tunggu dulu. Benarkah sudah berakhir? Tidak, semua ini justru baru akan dimulai. Perjalanan baru mengarungi petualangan baru.
Jangan menyerahkan mimpimu pada kata-kata orang lain. Tapi perjuangkanlah sehingga orang-orang yang telah menghujat mimpimu itu terdiam. Waktu tidak bisa kamu putar ulang, tapi kamu bisa berbuat sesuatu agar bisa bergerak maju mendekatkan mimpi itu kepada kenyataan. Jangan buat dirimu menyesal karena tidak melakukan hal yang seharusnya bisa kamu lakukan.

-------

Share:

Still.. Crying for You! -- Part - IV

Part yang udah ngadat berbulan-bulan. Sebagai catatan, di Part ini POV yang dipake adalah POV-nya si cewek (Anna).
Yang belum baca dari awal, bisa cek link2 ini ~> Still I >> Still II >> Still III



"how do you feel, so fine... you're the world to me, and dream on... you stole my heart so long ago..."

Rama Iman Oktara. Aku mengenalnya sejak sebelum aku bisa mengingat bagaimana cara menulis namaku. Anak laki-laki yang kurus namun kuat. Selalu memiliki hal aneh yang dilakukannya ketika sedang sendirian. Dan yang paling sering adalah berbicara dengan hujan. Hih. Dasar aneh. Memang bukan sesuatu yang baru bagiku, karena hal itu sudah dilakukannya sejak kecil. Ketika rintik hujan mulai berderap, dia langsung berlari ke teras kemudian jongkok dan dengan nanar menatap setiap rintik hujan yang turun. Ya, meskipun dia aneh, tetap saja dia punya tempat khusus di hatiku.
Rama Iman Oktara. Itulah namanya. Tapi entah kenapa dia tak suka dipanggil Rama, Iman, Okta, bahkan Tara. Dia lebih suka dipanggil dengan singkatan namanya RIO. Mungkin karena alasan itu pula, sejak kecil dia tak terlalu dikenal dan tidak punya banyak teman. Ada beberapa orang saja ketika sekolah dasar namun ketika sampai di bangku SMA tinggal aku yang masih mengenalnya sebagai seorang RIO.
Tak tahu kenapa baru-baru ini aku bisa jujur kepada Rio dan juga kepada diriku sendiri. Jujur mengenai perasaanku kepada Rio. Sejak lama, atau lebih tepatnya semenjak masuk SMP, aku mulai merasa tidak bisa jauh dari Rio. Takut kehilangan dia dan ingin selalu bisa melihatnya. Tapi gengsi dan maluku memaksaku untuk menyangkalnya. Pelampiasannya adalah berpacaran dengan anak laki-laki lain untuk membuang perasaanku kepada Rio.
Entah sudah berapa kali aku berusaha menyangkalnya. Sekuat apapun aku berusaha, tetap saja aku idak bisa membuang perasaanku kepada Rio. Semakin aku berusaha menyangkal, semakin kuat pula desakan perasaan itu. Dan sampai akhirnya aku berusaha menerimanya dengan perlahan. Hal itu berdampak pada hubunganku dengan Denis. Gelagatku yang perlahan berubah tapi pasti direspon oleh Denis dengan cepat. Dia memutuskan hubungan kami. Memang ada rasa sakit di hatiku. Tapi setelahnya aku justru merasa lega dan bebas.
Hari di mana Denis memutuskan hubungan kami, hari di mana pertama kali aku menangis karena sesuatu yang tak terlihat bernama cinta. Bukan karena diputuskan oleh Denis, tapi karena ada Rio di hadapanku. Aku menangis karena rasa sakitku sudah memuncak. Rasa sakit yang kubuat sendiri dengan terus berbohong kepada Rio dan diriku sendiri. Dan obat dari rasa sakit itu adalah Rio. Ya, Rio. Pelukannya yang meski sejenak bisa sedikit membalut lukaku dan membuatnya tidak terlalu sakit.
Hari itu begitu rumit namun begitu bermakna. Meski aku sendiri belum tahu bagaimana perasaan Rio kepadaku. Memang selama ini Rio tak pernah berpacaran. Aku berpikir, dia memang tidak ingin berpacaran sampai nanti dia sudah lulus. Tak tega rasanya kalau berprasangka kalau Rio suka pada laki-laki. Hiii. (Writer-nya minta dipukul.)
Tapi tabir itu tersingkap ketika dengan sendirinya Rio mengakui perasaannya padaku. Rasa bahagia yang tak kudapat sejak dulu. Sedikit kusesalkan, namun akhirnya aku nikmati saja keterlambatan itu. Rio dan aku. Bersama. Paling tidak hingga aku berangkat ke Inggris untuk melanjutkan studi. Ah, betapa waktu di dunia ini begitu mencekik. Kebersamaan yang baru saja kami jalin harus dibatasi oleh waktu.
Hari hari yang kujalani berjalan begitu menyenangkan. Rio tak berubah sama sekali. Masih tetap saja aneh, lucu, dan menyebalkan. Tapi aku tetap tak bisa jauh darinya. Justru makin hari rasa sayangku padanya makin besar dan aku makin enggan untuk pergi ke Inggris setelah lulus nanti. Sungguh jika bisa memilih, aku akan memilih untuk tetap berada di sini. Tapi aku tak bisa menolak permintaan ayah yang beliau lakukan demi kebaikanku.
Aku sempat diam tak bicara kepada Rio karena masalah itu. Tapi untung ada Ira yang tiba-tiba saja datang dan membuat Rio dan aku berbaikan. Lega rasanya meskipun awalnya aku cemburu melihat Rio dan Ira berduaan.
Hari ketika semua kebahagiaan bersama Rio dimulai, hari itu pula hatiku tersayat oleh suatu kejadian yang menyesakkan. Kejadian yang membuat Rio kembali tumbang.
***
“Anna, udah tenang ya. Rio pasti baik-baik aja kok.” Ujar Ira menenangkan aku yang masih menangis di pelukannya.
“Tapi Ra.. aku takut...”
“Udah...”
Aku dan Ira masih duduk di depan ruang ICU tempat Rio kini sedang mendapat penanganan intensif dari dokter. Sedih rasanya melihat apa yang harus terjadi pada Rio sekarang. Terlebih lagi, yang kudengar dari beberapa teman Rio di sekolah, selama SMA Rio hanya tinggal sendiri karena kedua orang tuanya sedang berada di luar negeri. Ingin rasanya aku menghubungi mereka.
“Emang kamu tahu cara menghubungi mereka?” tanya Ira setelah mendengar keinginanku.
“Iya juga ya.” Kataku lesu kemudian menyandarkan tubuhku di kursi tempatku duduk.
Beberapa saat kemudian dokter yang menangani Rio keluar dari ruang ICU. Tanpa aba-aba, aku langsung berdiri dan bertanya ke dokter mengenai Rio.
“Rio, gimana dok?” tanyaku agak cemas.
“Tenang, Rio tidak mengalami luka serius. Kepalanya memang mengalami benturan cukup keras tapi tidak ada masalah. Kita tunggu saja sampai Rio siuman.” Kata dokter menjelaskan. Aku dan Ira pun bernafas lega mendengar penjelasan dokter. Setelah itu Rio dipindahkan ke kamar biasa untuk mendapatkan perawatan lebih lanjut.
Aku masih betah duduk berlama-lama di samping Rio terbaring. Memandangi wajahnya yang kini tampak sangat lemah. Mimik mukanya datar tanpa ekspresi. Dan entah kenapa tiba-tiba saja aku merasa rindu pada senyum aneh dan tawa jahil dari Rio. Senyum yang sering membuatku bingung dan tawa yang selalu membuatku marah dan kesal. Aku benar-benar merindukannya.
“Anna.” Panggil Ira tiba-tiba.
“Oh. Eng, Ira. Kenapa?”
“Kamu nangis?” tanya Ira.
“Ha?” segera aku menggerakkan tanganku untuk mengusap bagian bawah mataku lalu kusadari ternyata air mata begitu saja mengalir.
“Aku kangen Rio, Ra. Kangen senyumnya, kangen ketawanya, kangen jahilnya. Aku kangen sama Rio.” Ucapku. Dan air mata kembali mengalir.
“Tenang. Rio pasti segera sadar kok. Kita doain yang terbaik buat Rio, ya.” Kata Ira menenangkanku.
***
Bel tanda pulang sekolah berbunyi. Setelah mengepak buku dan alat tulis, aku bergegas ke rumah sakit. Untung saja ayahku dapat mengerti dan mengizinkanku untuk menunggu Rio di rumah sakit dengan syarat tidak lupa dengan sekolahku. Dan seperti biasa, aku mampir sebentar ke kafe di samping sekolah untuk sekedar makan siang sebelum berangkat ke rumah sakit.
Saat sedang asyik menikmati makanan, tiba-tiba ponselku berbunyi. Saat ku tengok ternyata ada SMS dari dokter Budi, dokter yang merawat Rio.
[from: dr. Budi]
Anna, Rio sudah sadar. Kondisinya juga sudah cukup stabil.

Sejenak aku lupa dengan makanan di hadapanku ketika membaca SMS tersebut. Tanpa menghiraukan lagi makanan itu, aku bergegas ke rumah sakit untuk bisa menemui Rio. Tak lupa aku mengabari Ira tentang keadaan Rio yang sudah membaik.
Saat sedang berjalan, terbersit ide untuk membeli sesuatu untuk Rio. Dan kemudian kuputuskan untuk membeli kue coklat, kue kesukaan Rio. Setelah mendapatkan kue tersebut, aku pun segera melanjutkan perjalanan menuju rumah sakit.
Tak butuh waktu lama, aku pun sudah sampai di rumah sakit. Setelah melewati beberapa koridor, aku pun sampai di kamar tempat Rio dirawat. Dengan perlahan, aku membuka pintu. Sepi seperti biasanya. Sepertinya Ira belum datang. Dengan langkah pelan, aku memasuki ruangan itu. Dan langkahku terhenti ketika melihat Rio yang sedang bersandar, memandang ke arah jendela dengan tatapan mata teduh. Sebuah pemandangan langka, seorang Rio menampakkan wajah yang begitu mempesona.
Aku masih terpana, belum mampu bergerak dan bersuara. Dan ketika tiba-tiba Rio menoleh, kami pun saling berpandangan. Aku yang belum siap bertatapan dengan Rio pun kaget setengah mati. Ingin rasanya menyapa Rio, tapi kata-kataku tertahan di tenggorokan.
“Anna. Muka kamu aneh banget.” Kata Rio tiba-tiba kemudian tertawa terbahak. Tawa jahil seperti biasa. Tapi aku merasa aneh. Biasanya jika mendengar tawa jahil tersebut, aku akan langsung marah dan kesal. Sedangkan kini, aku justru merasa senang.
“Anna.” Panggil Rio.
“Iya Rio. Kenapa?” tanyaku sambil berjalan ke arahnya lalu duduk di sampingnya.
“Kamu sekarang kok jadi cengeng sih. Suka banget nangis.” Kata Rio sambil menyeka air mataku. Tanpa berkata apa-apa, aku langsung memeluk Rio. Menyembunyikan derai air mataku yang terus mengalir dari hadapan Rio. Mencurahkan rasa rindu dan khawatir yang ada di dalam dadaku.
“An... Anna. Sakit An.” Kata Rio. Tapi aku tak menghiraukannya dan terus memeluk Rio. Tiba-tiba saja kurasakan Rio pun dengan pelan memelukku dan mengusap lembut rambutku.
Beberapa saat kemudian kubiarkan Rio beristirahat agar dia segera pulih dan bisa kembali sekolah, serta bisa bersamaku lagi. Saat Rio sudah terlelap, aku memutuskan untuk pergi keluar sebentar membeli makanan.
***
Rintik hujan mulai turun ketika aku keluar dari mini market. Langkah kecilku perlahan menjadi langkah berlari seiring semakin derasnya hujan. Untung saja tak butuh waktu lama untukku sampai kembali di rumah sakit. Dengan langkah ringan aku berjalan menuju kamar Rio. Dan langkahku terhenti sesaat ketika kudengar dokter sedang berbincang mengenai kondisi Rio.
“Dok, pasien di ruang 17 tadi...” terdengar suara wanita yang sepertinya suster.
“Iya, kondisi Rio memang cukup mengkhawatirkan. Tapi semangatnya begitu luar biasa. Meskipun dia tahu kalau penyakitnya sudah tak bisa disembuhkan lagi, dia tetap tegar dan berusaha untuk terus tersenyum.” Kata suara milik dr. Budi.
“Lalu, bagaimana dengan gadis yang selalu menemaninya dok? Apa kita harus beritahu dia?”
“Lebih baik jangan dulu. Kamu masih ingat kan apa permintaan Rio?”
“Eh, baik dok.”

Nafasku tertahan. Jantungku berdegup tak menentu. Aku ingin berlari tapi kakiku enggan untuk bergerak. Badanku gemetar. Cemas, itulah yang aku rasakan. Cemas dan takut yang tak bisa aku jelaskan. Dan sebuah tanya, apa yang sebenarnya terjadi pada Rio?


--- continue to the next part ---
Share:

Another World - The Departure...

Tulisan ini nggak tahu harus nyebutnya kisah nyata atau karangan fiktif. Soalnya kejadiannya bener-bener terjadi, tapi di dunia mimpi. Jelas terlihat & teringat di kepala. Judulnya... err... sebut aja "Another World". Dah, gitu.

Minggu, 20 Oktober 2013

Sebuah kota dengan penataan yang cukup aneh. Kota dengan rumah-rumah 2 lantai di atas lahan yang cukup luas. Tepat di tengah kota itu terdapat sebuah istana dengan tembok yang tinggi. Bisa aku pastikan istana itu adalah milik dari penguasa kota. Jalan di kota itu juga sedikit membingungkan. Minimal ada dua jalan yg mengapit setiap rumah penduduk. Dan jalan itu selalu lebih tinggi dari bangunan rumahnya. Sehingga memungkinkan untuk saling melihat bagi 2 orang yang lewat di dua jalan tersebut. Dan yang cukup aneh lagi adalah tak ada tembok atau minimal pagar yang mengelilingi rumah penduduk. Sehingga dari jalan langsung dapat terlihat rumah dari titik terbawah.
Aku sampai di kota aneh itu tanpa kemauanku sendiri. Tiba-tiba saja aku terbangun dan sudah berada di antara orang-orang aneh yang duduk di tempatnya masing-masing. Ketika aku melongok pada kaca jendela, aku terbelalak karena yang kulihat adalah barisan awan dengan warna latar biru. Dan bisa dipastikan, aku sedang terbang dan berada di dalam pesawat. Tapi... aku sama sekali tak bisa mengingat kapan aku naik.
Pinggiran kota tempatku sedang berada memang cukup sepi. Tak banyak orang terlihat. Hanya beberapa yang berlalu lalang entah berjalan kaki ataupun menggunakan kendaraan roda dua. Tiba-tiba aku teringat dengan sebuah benda yang ada di dalam tas ranselku. Ah, sial lagi-lagi aku kebingungan dengan tas ransel aneh yang sekarang menggantung di punggungku. Setelah berhenti sejenak dan membuka ransel tersebut, aku pun mengeluarkan sebuah benda berbentuk bulat dengan ornamen hexagon berwarna abu-abu dipadu dengan highlight warna hitam pekat.
Mataku masih menatap benda bulat itu. Langkah kakiku pun masih terus menuntunku berusaha menemukan pusat kota yang pastinya ramai dengan orang dan akan memudahkanku untuk mencari tahu tempat apa ini. Tangan kananku masih sibuk bersembunyi di dalam kantong jaketku. Sedangkan tangan kiriku masih memegang benda bulat itu. Hingga tiba-tiba ibu jari tangan kiriku menekan sebuah tombol tak terlihat pada benda itu. Beberapa detik setelah tombol tertekan, benda itu seolah membuka diri. Ornamen hexagon benda itu meregang tepat pada highlight warna hitamnya. Nampak sinar merah di dalam benda itu memancar keluar pada satu titik dan tak berapa lama muncul hologram wajah orang tua tepat di hadapanku.
“Anak muda.” Ucap hologram wajah itu.
“Ha? Kau bicara padaku?” tanyaku bingung. Terang saja, karena mana mungkin aku bicara dengan hologram.
“Tentu saja bodoh! Kau pikir ada orang lain di sini selain kau dan aku?” bentak hologram wajah itu padaku.
“Kau yang bodoh. Kau kan hanya hologram. Jadi aku satu-satunya orang di sini.” Batinku sambil menatap hologram wajah itu dengan tatapan nyinyir.
“Jangan mencoba berpikir macam-macam tentangku anak muda. Aku bisa saja melakukan sesuatu yang buruk padamu.” Kata hologram wajah itu bersungut-sungut.
“Hmm... di mana tadi tombol yang tak sengaja ku tekan. Ah, mungkin di sekitar sini.” Ucapku tak menghiraukan kata-kata hologram aneh itu.
“Hey! Apa maumu?! Hentikan! Ada yang harus aku beritahukan kepadamu!” kata hologram itu dengan agak lantang namun dengan nada ketakutan.
“Apa?” tanyaku singkat.
“Cih, dasar sombong. Baiklah. Aku adalah pengasuhmu. Kau bisa memanggilku Zeta. Sekarang kau sedang berada di kota Heros. Kota dengan misteri aneh yang membuat penduduknya lebih memilih berdiam diri di rumah daripada keluar berinteraksi dengan orang lain.” Terang hologram wajah itu. Eh, Zeta maksudku.
“Lalu? Kenapa aku bisa berada di sini?” tanyaku. Zeta tak langsung menjawab.
“Hey, orang tua aneh. Jawab aku.” Bentakku.
“Uh, sopanlah sedikit kepadaku!” teriaknya.
“Baiklah, maafkan aku.” Kataku.
“Um. Alasanmu bisa berada di sini... maaf aku tak memiliki wewenang untuk memberitahukan alasannya. Yang bisa aku beritahukan padamu adalah kau berada di kota Heros dan memiliki tugas untuk menyelidiki kejadian yang ada di kota ini. Itu saja. Semoga berhasil.” Terang  Zeta kemudian menghilang. Ornamen hexagon di benda bulat itu kembali menyatu.
“Dasar orang tua aneh!” teriakku kemudian menghempaskan benda bulat tersebut ke jalan. Tapi tiba-tiba saja benda itu memantul dan mengarah padaku. Begitu keras menghantam wajahku hingga aku terjatuh. Mataku berkunang-kunang. Pandanganku semakin gelap dan aku kehilangan kesadaran.

***
Nah, abis itu kebangun dan kembali ke dunia nyata... =|
Share:

Udah Jujur Aja... | CERPEN


Hey Ho! Selamat siang semuanyaa~ nih ada cerpen baru. Cerpen yang gagal kesaring di sayembara cerpen beberapa hari yang lalu *sedih*. Udah ah, yuk mari dibacaa~

Title : Udah Jujur Aja...
Author : Nur Rochman / @NVRstepback

Udah Jujur Aja...
Hujan masih setia mengalunkan nada sumbang yang seolah sedang mencoba meresonansi masa lalu . Di sebuah kafe, tampak 3 orang sedang duduk berbincang. Dika, Vina, dan Rara. Dan sepertinya di situ hanya ada mereka bertiga serta segelintir pengunjung yang duduk cukup jauh dari mereka. Sudah cukup lama mereka tidak beranjak karena hujan yang masih mengguyur ditambah Andra yang tak kunjung datang.
“Aduh ini si Andra kebiasaan banget ya, bikin orang nunggu.” Ujar Dika kesal.
“Sabar, Ka. Mungkin si Andra lagi kejebak macet.” Kata Rara berusaha menenangkan Dika yang uring-uringan.
“Sabar dong Dika, nih dia sms katanya jalanan macet.” Timpal Vina, pacar Andra, sambil menunjukkan ponselnya. Dika pun melongo dan membaca sms tersebut.
“Aduh, terus kita mau ngapain coba di sini? Mana sepi lagi.” Kata Dika sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi.
“Gimana kalo main Truth or Dare?” kata Vina menyampaikan idenya. Dika pun mengernyitkan dahi mendengar ide Vina.
“Seriusan mau main Truth or Dare di sini?” tanya Dika.
“Iya dong. Mumpung sepi, jadinya kan asyik.” Ujar Vina sambil tersenyum.
“Eng.. OK deh gue mau. Loe ikut nggak Ra?” tanya Dika kepada Rara yang tampak sedang melamun.
“Rara!” kata Vina setengah berteriak. Rara pun tersentak.
“Eh, anu. I.. Iya, gue ikut.” Kata Rara agak tergagap.
“Ada apa Ra? Kok dari tadi ngelamun mulu sih?” tanya Dika.
“Eh, masa sih dari tadi ngelamun? Nggak kok.. Hehe.“ Rara berusaha menjawab sekenanya.
“Udah udah. Karena udah pada setuju, kita mulai.” Kata Vina kemudian mengambil botol minuman kosong dari dalam tasnya.
“Putaran pertama, nentuin siapa yang bakal ngasih pertanyaan atau tantangan. Putaran kedua, nentuin siapa yang kena sial. Dia harus milih Truth atau Dare. Truth, berarti dia harus jawab jujur pertanyaan apapun yang dia dapet. Dare, berarti dia harus ngejalanin tantangan apapun yang dikasihin.” Terang Vina. Dika dan Rara mengangguk tanda mengerti.
Dika, Vina, dan Rara memajukan kursi mereka. Vina pun memutar botol yang dari tadi dia pegang. Botol berputar dengan lancar, kemudian perlahan melambat, melambat, dan akhirnya berhenti. Ujung botol itu menunjuk ke arah Rara.
“Yes!” ucap Rara sambil mengepalkan tangannya. Dika dan Vina mengeluh.
“Lanjut nentuin siapa yang kena sial.” Kata Vina lesu, kemudian memutar botol.
Botol nasib kembali berputar. Tak terlalu cepat, tapi cukup lama rasanya menunggu botol tersebut untuk berhenti. Vina dan Dika menahan nafas melihat kecepatan botol itu menurun, dan akhirnya.. Ujung botol itu mengarah kepada Vina. Dika menghela nafas lega.
“Aaahhh..” ucap Vina tidak terima.
“Yang sabar ya Na.. Hahaha.” Kata Dika sambil tertawa mengejek.
“Aduh, gue duluan. Sial banget sih gue..” Gerutu Vina.
 “Nah sekarang, loe pilih apa Na. Truth, or Dare?” tanya Rara sambil tersenyum. Dika pun memperhatikan Vina yang sedang berpikir.
“Gue pilih... Truth aja deh. Nanti kalo Dare pasti disuruh aneh-aneh.” Kata Vina setelah berpikir cukup lama. Rara berpikir sejenak, kemudian menemukan pertanyaan yang cocok.
“Vina.. Eng.. Pernah nggak loe selingkuh? Atau paling nggak berpikir buat selingkuh di belakang Andra?” tanya Rara. Vina mendelik mendengar pertanyaan Rara.
“Nggak ada pertanyaan lain Ra?” tanya Vina mencoba menawar. Raut wajahnya berubah sedikit memelas.
“Nggak ada Vina. Jawab gih.” Jawab Rara dengan senyuman jahil yang terpasang di wajahnya.
Vina sendiri tak langsung menjawabnya. Cukup lama dia terdiam. Menunduk, lalu menghela nafas panjang. Dika dan Rara ikut diam menunggu jawaban dari Vina. Dan perlahan, Vina pun mengangkat pandangannya dan mulai berbicara.
“Gue.. Pernah Ra. Bukan cuma berpikir, tapi gue pernah jalan sama cowok lain tanpa sepengetahuan Andra.” Terang Vina. Sejurus kemudian Vina kembali menunduk dan menutup wajahnya.
Dika dan Rara tentu saja kaget mendengar pernyataan Vina. Terlebih Rara yang merupakan sahabat dekat Vina, karena baru mengetahui rahasia ini. Ada sedikit penyesalan dalam hati Rara karena menanyakan hal tersebut. Dika sendiri juga tak habis pikir, karena selama ini dia melihat Andra dan Vina begitu mesra dan kompak ketika bersama.
“Vina...” ucap Rara lirih. Tangannya sedikit gemetar mencoba memegang pundak Vina.
“Tapi loe udah nggak jalan sama cowok itu kan, Na?” tanya Dika tiba-tiba. Rara menoleh kaget ke arah Dika. Vina sendiri tak lagi tertunduk. Dia berusaha mengangkat pandangannya untuk menjawab pertanyaan Dika.
“Udah enggak, Ka. Gue nyesel karena ngelakuin hal yang jahat banget sama Andra. Gue...” Kata-kata Vina terpotong oleh isak tangisnya.
“Dan gue janji, hal itu nggak bakal terulang lagi.” Lanjut Vina.
Rara langsung memeluk Vina yang tangisnya kini semakin terdengar. Dika hanya tersenyum melihat adegan cukup dramatis di hadapannya. Perlahan tapi pasti, senyum mulai nampak di wajah Vina. Entah apa yang dibisikkan oleh Rara. Mungkin kata-kata ajaib.
“Ladies... Dilanjut nggak nih game-nya?” terdengar suara Dika yang memecah keheningan. Rara langsung kembali ke tempat duduknya.
“Yuk dilanjut. Ok, Na?” tanya Rara. Vina tersenyum kemudian mengangguk tanda setuju.
Botol pun kembali berputar. Tinggal Dika dan Rara yang masih menahan nafas menanti giliran siapa yang akan mendapatkan tantangan. Vina, yang sebenarnya sudah mendapatkan giliran, ikut tegang karena dialah yang bertugas menyampaikan pertanyaan atau tantangan untuk si pesakitan.
Melambat dan semakin melambat. Ujung botol kosong itu menunjuk tepat ke arah Rara. Dika menghela nafas lega. Ternyata bukan dia yang mendapat giliran jadi pesakitan. Sedangkan Rara, dia hanya bisa pasrah menerima nasibnya saat ini.
“Nah.. Rara kena. Vina, waktunya balas dendam. Hahaha.” Kelakar Dika yang disambut dengan dengusan kesal Rara dan tawa Vina.
“Rara, loe pilih Truth atau Dare?” Vina bertanya.
“Gue pilih Dare aja deh. Ngeri kalo harus buka-bukaaan rahasia.” Kata Rara sambil bergidig.
Dika terbengong mendengar pilihan Rara. Sedangkan Vina langsung mengedarkan pandangannya ke seisi kafe sambil berpikir tantangan apa yang akan dia berikan kepada Rara. Dan tak terlalu lama, mata Vina langsung tertuju ke arah sepasang cowok dan cewek yang sedang duduk berbincang, agak jauh dari mereka.
“Karena loe milih Dare, sekarang loe harus... Nyamperin cowok sama cewek itu.” Ujar Vina sambil menunjuk ke pasangan yang dia maksud.
“Gitu doang? Itu sih gampang, Na.” Kata Rara sambil menjentikkan jarinya.
“Eitss, loe juga harus ngerayu si cowok sampe mereka berdua berantem.” Lanjut Vina sambil menyeringai. Rara terbelalak, begitu juga Dika.
“Gila, loe keren banget Na, bisa nemu ide gituan?” tanya Dika takjub.
“Gue gitu loh, Dika.” Vina pun tertawa.
“Vina, ada yang tantangan yang lebih gampang? Terlalu beresiko, Na.” Kata Rara memelas.
“Ra.. Loe takut? Setahu gue, Rara itu cewek yang nggak punya rasa takut lho. Masa iya sih, tantangan kayak gitu bikin seorang Rara takut.” Ujar Vina.
“Hmm.. Jangan ngeremehin keberanian gue ya Vina sayang. Nih, gue  buktiin kalo gue bukan penakut.” Kata Rara sambil berdiri kemudian berjalan diikuti tepuk tangan Vina dan Dika.
Awalnya, Rara melangkah dengan mantap dari tempat duduknya. Tapi semakin jauh, dia semakin sadar kalau dia sudah termakan oleh kata-kata Vina tadi. Langkahnya pun semakin lemah dan sempat terhenti. Tapi karena tidak mau kalah oleh kata-katanya sendiri, dengan bermodal nekat serta membuang rasa malu, dia berjalan semakin dekat dengan pasangan yang ditunjukkan oleh Vina tadi.
Sesampainya di depan kedua pasangan tersebut, Rara langsung mengalihkan matanya kepada si cowok yang perlahan menatapnya. Pandangan Rara dan cowok itu bertemu. Seketika, mulut Rara terkunci. Jantungnya yang dari tadi berdegup karena merasa sungkan, ragu, dan takut kini berubah menjadi perasaan sedih, marah, dan benci yang berbaur menjadi satu.
“Reza.. K..kamu..” ucap Rara terbata-bata sambil menatap Reza, orang yang sangat dia cintai atau lebih tepatnya, kekasihnya.
“Ra.. Aku.. Ng..ngapain kamu di sini?” tanya Reza terbata-bata melihat Rara kini ada di hadapannya.
“A..aku nggak nyangka Za. Udah dari tadi pagi aku hubungin kamu, tapi sama sekali nggak ada balesan. Ternyata.. I..ini..” Air mata Rara mulai menetes.
“Rara, tenang dulu.. Dia itu.. Dia..” kata Reza mencoba menjelaskan.
“Sayang, dia siapa? Kamu kenal?” cewek berwajah oriental itu tiba-tiba bertanya sambil berdiri.
Sayang?” batin Rara sambil menatap kaget cewek itu. Hatinya tertusuk seiring kata itu terdengar oleh telinganya. Pandangan Rara kembali beralih ke Reza. Pandangan penuh rasa kecewa dan rasa sakit.
“Rara.. Aku bisa jelasin Ra.” Kata Reza mencoba menenangkan Rara.
PLAKK!! Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Reza. Tanpa kata, Rara langsung pergi. Reza dan cewek itu pun terlibat pertengkaran. Sedangkan Dika dan Vina masih tampak shock melihat pemandangan tadi. Mereka bingung karena  hanya bisa melihat, tak bisa mendengar apa pembicaraan antara Rara, cowok, dan cewek itu.
“Na. Itu tadi kenapa? Kok heboh banget?” tanya Dika kepada Vina.
“Kayaknya gue tahu tuh cowok deh Ka.” Kata Vina sambil memicingkan matanya.
“Ah, itu kan Reza.” Kata Vina kemudian.
“Reza? Cowoknya Rara? Loe bilang dia lagi keluar kota sama keluarganya?” tanya Dika.
“Iya Ka. Rara sendiri yang cerita ke gue. Makanya kan dia sering ngelamun karena nggak ada Reza. Tapi... Gue nggak nyangka kok bisa jadi gini sih.” Kata Vina sambil meletakkan sikunya ke meja dan menutup wajahnya dengan kedua tangannya.
Dika terdiam. Dari tempat duduknya dia masih melihat bagaimana Reza dan cewek itu adu mulut. Karena tak tahan, Dika langsung bangkit dan berjalan ke tempat Reza dan cewek itu. Vina sendiri masih menutupi wajahnya, syok karena permainan yang dia tawarkan untuk sekedar mengisi waktu menunggu Andra justru membuat keadaan menjadi buruk. Tiba-tiba saja ada yang duduk di samping Vina kemudian langsung mengacak-acak rambut Vina.
“Sayaang..” ujar Vina manja begitu melihat Andra sudah ada di sampingnya.
“Ada apa? Lho, Dika sama Rara mana? Kok kamu sendirian?” tanya Andra.
“Truth or Dare’nya kacau..” kata Vina.
“Ha? Oh.. Kalian main Truth or Dare. Kacau gimana?” tanya Andra lagi.
“Gini sayang.. Tadi kan Rara yang dapet giliran. Terus dia pilih Dare. Trus aku kasih aja tantangan buat bikin pasangan yang ada di sebelah situ.. Dika!” cerita Vina terputus melihat Dika yang sedang adu mulut dengan Reza.
Tanpa komando, Andra langsung menuju tempat Dika.
“Dika! Lho.. Reza? Kata Rara loe lagi liburan sama keluarga loe?” ujar Andra. Wajah Reza langsung berubah kebingungan melihat kedatangan Andra.
“Liat tuh Ndra! Dia nggak sama keluarganya!” Kata Dika dengan penuh amarah.
“Aduuuhh! Ini ada apa sih?! Reza, mereka siapa? Terus Rara itu siapa? Cewek yang nampar kamu tadi? Dia siapa kamu? Pacar kamu?” pertanyaan beruntun ke arah Reza terlontar dari mulut cewek itu.
“Intan.. bukan gitu. Sebenernya..” kata-kata Reza terucap terbata-bata.
“Jadi bener? Yaudah, aku mau pulang! Dasar cowok buaya!” kata Intan kemudian menyiramkan lemon tea yang ada di atas meja ke muka Reza. Sejurus kemudian Intan pergi.
“Gue nggak nyangka Za. Loe tega banget ngebohongin Rara yang jelas-jelas selalu percaya sama loe. Mending loe sekarang pergi! Nggak usah deket-deket Rara lagi!” hardik Andra kemudian menarik Dika dari situ.
Tanpa banyak bicara, Reza nampak bergegas pergi meninggalkan tempat itu dengan rasa malu yang luar biasa besar.
Andra dan Dika sudah duduk di kursi mereka. Tak ada suara yang keluar, baik itu dari mulut Andra, Dika, ataupun Vina. Semuanya terdiam setelah kejadian itu. Dan tak lama kemudian, Rara datang dan duduk di kursi kosong di hadapan Dika.
“Rara.” Kata Andra kaget melihat Rara sudah ada di sebelahnya.
“Hi, Ndra. Udah lama ya.” Kata Rara mencoba berbasa basi kepada Andra.
“I.. Iya.” Kata Andra singkat.
“Loe nggak papa, Ra?” tanya Dika cemas. Rara hanya menjawabnya dengan sebuah senyuman. Senyum yang dipaksakan.
“Ra, maafin gue. Gue nggak bermaksud..” kata-kata Vina terpotong karena oleh kata-kata yang diucapkan oleh Rara.
“Vina.. Gue tahu kok, semua ini kan sekedar permainan. Jadi kejadian tadi adalah resiko permainan yang harus gue terima. Dan justru, gue berterima kasih sama loe Na. Karena gue jadi tahu gimana sebenernya sifat asli Reza. Dan gue bisa tahu, apa yang harus gue lakuin.” Terang Rara.
Vina tertegun dan tak bisa berkata apa-apa mendengar kata-kata Rara. Dika melongo melihat bagaimana Rara begitu cepat dapat mengendalikan hatinya setelah kejadian tadi. Sedangkan Andra pun tersenyum lega karena Rara tetap menjadi Rara yang selalu kuat dan tegar ketika menghadapi cobaan dan masalah seberapa pun besarnya. Suasana pun berubah hening sesaat setelah itu.
“Oiya, tadi kata Vina tinggal Dika nih yang belum dapet jatah Truth or Dare?” tanya Andra yang memecah keheningan.
“Ah, iya tuh. Si Dika belum.” Kata Vina mengiyakan pertanyaan Andra.
“Laaah, masih mau dilanjutin? Suasananya kan lagi nggak kondusif Ndra.” Kata Dika protes.
“Yang sportif dong Ka. Masa loe kalah sih sama para Ladies yang ada di sini.” Ejek Andra.
“Iya deh iya. Dasar loe Ndra.. Dateng telat, ngejek gue, sekarang ikut-ikutan ngasih Truth or Dare.” Gerutu Dika. Andra pun tertawa. Diikuti Vina juga Rara yang ikut tertawa.
“Jadi, Dika.. Loe pilih Truth atau Dare?” pertanyaan langsung terlontar dari mulut Andra. Dika langsung diam, begitu juga Vina dan Rara. Nampak Dika berpikir sejenak.
“Gue pilih... Dare!” ucap Dika mantap.
Andra pun terdiam sejenak. Dilihatnya Dika yang masih menunggu tantangan darinya. Pandangan Andra beralih kepada Rara yang sedang melamun, kemudian berpindah ke arah Vina. Pandangan mereka bertemu dan nampak Vina memberikan sebuah “kode” kepada Andra dengan mengerjapkan matanya ke arah Rara. Andra pun paham maksud dari “kode” yang diberikan oleh Vina.
“Oke, Dika. Karena loe pilih Dare, sekarang loe harus ngejalanin tantangan yang bakal gue kasih ke loe. Loe siap?” Andra bertanya.
“Iya Andra gue siap. Buruan kenapa sih. Lama banget.” Jawab Dika kesal.
“Sekarang, loe harus jujur sama perasaan loe tentang siapa orang yang selama ini loe sukai dan nyatain perasaan loe ke orang itu.” Kata Andra. Sesaat kemudian dia dan Vina melakukan tos. Dika sendiri mengernyitkan dahi mendengar tantangan yang baru saja disampaikan oleh Andra.
“Lho, gue kan pilih Dare Ndra. Kenapa gue harus jujur? Itu kan kalo gue milih Truth.” Protes Dika yang tidak terima.
“Lah, itu kan tantangan buat loe Ka. Tantangannya, loe harus jujur.” Terang Andra.
“Andra kan ngasih tantangannya gitu Dika. Buruan gih.” Kata Vina sambil cekikikan.
Dika pun tak bisa lagi membantah kata-kata Andra dan Vina. Dia melotot ke arah Andra yang dibalas dengan senyum dan acungan dua jari simbol “peace” ke arahnya. Setelah menarik nafas panjang dan menghela nafas, Dika pun mulai berbicara.
“Gue tahu, maksud tantangan loe Ndra. Tapi...” kata-kata Dika terhenti.
“Tapi kenapa Ka?” tanya Andra.
“Tapi gue rasa waktunya kurang tepat gara-gara kejadian tadi.” Lanjut Dika. Andra dan Vina sedikit kecewa mendengar ucapan Dika.
“Kejadian apa Ka?” Rara yang tidak mengerti maksud kata-kata Dika pun bertanya.
Dika tak langsung menjawabnya. Dia menghela nafas panjang sedang mengatur kata-kata yang akan diucapkannya. Ada beberapa bagian dari kata-kata tersebut yang masih dia ragukan untuk diucapkan. Tapi setelah memantapkan hatinya, dia pun kembali berbicara.
“Sebenernya, selama ini.. Atau lebih tepatnya semenjak awal masuk SMA dan sampai detik ini, sampai kita bakalan lulus, gue.. Gue suka sama loe.. Rara.” Kata-kata itu dengan sedikit tersendat meluncur dari mulut Dika.
Rara kaget bukan main mendengar penuturan Dika itu. Sedangkan Andra dan Vina tak terlalu kaget karena mereka memang mengetahui hal itu sudah sejak lama. Tapi karena Rara adalah salah satu siswi populer di sekolah, Dika yang sebenarnya sudah didorong oleh Andra dan Vina tak pernah berani menyatakan perasaannya kepada Rara.
“Jadi, selama ini Ka? Selama hampir 3 tahun?” tanya Rara tak percaya.
“Iya Ra. Gue sendiri bingung. Gue nggak tahu kenapa gue bisa kayak gini. Bertahan selama hampir 3 tahun dan memendam perasaan yang mungkin bagi orang lain udah basi. Tapi bagi gue, nggak.” Jawab Dika.
“Dika...” kata Rara.
“Tapi setelah kejadian tadi, gue pun sadar. Seberapa pun gue berusaha ngeyakinin loe tentang perasaan gue, gue nggak bakal bisa dapet jawaban ‘ya’ dari loe. Meskipun loe terlihat kuat, gue tahu loe masih ngrasain sakit karena kejadian tadi. Jadi nggak jadi masalah kalo loe nolak gue sekarang juga. Karena dengan nyatain perasaan gue aja, itu udah lebih dari cukup buat gue. Dan gue nggak bakal pergi setelah ini. Gue bakal tetep ada, meskipun hanya sebagai sahabat loe aja, Ra.” Ujar Dika panjang lebar.
Rara terkesima mendengar kata-kata Dika. Tak hanya Rara, Andra dan Vina juga takjub mendengar kata-kata Dika tadi. Rara, tak menyangka kalau Dika yang selama ini dia kenal sebagai seorang yang sangat cuek dan tak kenal kompromi dalam berbicara ternyata sekian lama memendam perasaan terhadapnya. Andra dan Vina pun takjub mendengar bagaimana kukuhnya keinginan Dika untuk tetap di samping Rara, apapun yang terjadi nanti.
Hening kembali hadir di tengah-tengah empat anak manusia ini. Kembali tak ada kata terucap, hanya suara nafas yang agak tertahan karena beradunya konflik dan perasaan yang seolah menemukan jalan. Keyakinan Vina kepada Andra untuk tetap mencintainya tanpa kembali berpaling. Dan ungkapan perasaan Dika yang tak disangka oleh Rara, serta jawaban yang harus Rara sampaikan demi kebaikan ikatan persahabatan.
“Dika..” ucap Rara agak lirih, namun masih terdengar oleh Dika, Andra, dan Vina.
“Ya, Ra..” jawab Dika berusaha tenang, padahal saat ini jantungnya sedang berdegup kencang. Hatinya tak karuan serta pikirannya tak lagi bisa berlogika mengira apa yang selanjutnya harus dia lakukan.
“Tau nggak? Gue udah lama berharap loe nyatain perasaan loe ke gue, Ka. Tapi kenapa baru sekarang? Setelah berulang kali gue mencari pelampiasan perasaan gue ke loe, yang selalu berakhir dengan rasa sakit?” kata-kata Rara yang mengandung retorika berhasil membungkam otak Dika untuk berusaha menjawabnya.
“Ra..” ucap Dika bingung.
“Berulang kali Dika.. Dan yang terakhir, baru aja loe liat sendiri, Reza.. Gue harus ngerasain sakit hati lagi Ka.” Kali ini kata-kata Rara diikuti oleh tetesan air mata.
Andra dan Vina terkejut mendengar penuturan Rara. Terlebih lagi Dika yang sangat terkejut mendengar pernyataan Rara. Ternyata sudah sejak lama pula Rara memendam rasa kepada Dika. Tapi, karena ego dan rasa takut itu lebih besar, Rara dan juga Dika harus rela menikmati rasa sakit yang sebenarnya tak ingin mereka rasakan.
“Rara.. Maafin gue.” Kata Dika kemudian bangkit berdiri dan berjalan tempat Rara duduk.
“Sekarang, loe boleh hukum gue, Ra. Karena udah begitu tega menutupi perasaan gue ke loe dengan jiwa pengecut gue.” Kata Dika sambil menarik tubuh Rara dan membawanya ke hadapannya. Andra dan Vina sedari tadi tak bisa berucap apa-apa kecuali hanya berharap yang terbaik bagi kedua sahabat mereka ini.
PLAKK! Suara tamparan terdengar dari pertemuan telapak tangan Rara dan pipi Dika. Dan selang beberapa detik kemudian, Rara langsung memeluk Dika. Begitu erat, hingga Dika sedikit merasa sesak, namun entah kenapa begitu nyaman baginya.
“Jangan jadi pengecut lagi Dika. Demi aku, demi kita. Supaya kita nggak perlu lagi berpura-pura dan berjumpa dengan rasa sakit. Jadilah orang yang berarti buatku. Aku pengen kita bisa sama-sama ngerasain bahagia Dika..” Kata Rara yang masih memeluk Dika.
“Ra, aku sayang kamu.. Aku bakal jadi yang terbaik buat kamu. Bahagia bersamamu.” bisik Dika ke telinga Rara. Rara mengangguk pelan. Tangan Dika pun memeluk erat tubuh Rara.
“Kacang.. Kacaaanggg.. Sebungkus tiga ribuuu..” teriak Andra dan Vina yang dari tadi merasa tidak diperhatikan. Dika dan Rara pun segera melepas pelukan mereka.
“Untung aja nih kafe sepi ya sayang, coba kalo rame..” kata Vina kepada Andra.
“Iya nih, yang lagi jatuh cinta. Serasa kafe punya mereka berdua, yang lain cuma numpang jajan..” sahut Andra.
“Iya, jajan kacaangg..” timpal Vina.
Dika dan Rara pun tertawa terbahak mendengar Andra dan Vina berceloteh.
“Udah udah, karena Andra udah dateng, yuk pulang. Udah malem nih.” Kata Rara menenangkan keadaan.
“Yaelah, nasib.. Baru aja dateng, udah diajak pergi lagi. Mana nonton drama cuma dapet ending-nya.” Gerutu Andra.
“Makanya jangan telat.” Kata Dika.
“Udah dong, Ka. Andra kan tadi kena macet.” Kata Vina membela Andra.
“Hahaha... Nanti tanya sama Vina aja Ndra, gimana cerita lengkapnya.” Kata Rara kemudian mengedipkan mata ke arah Vina. Sebuah senyuman tersungging di wajah Vina yang kemudian mendekap lengan Andra erat.
Dan mereka berempat bergegas meninggalkan kafe tersebut. Kafe dengan suasana berkelas yang cukup sepi pengunjung, namun sarat makna bagi mereka. Khususnya bagi Dika, Rara, dan Vina. Kisah baru yang akan ditulis oleh Dika dan Rara atas dasar cinta, serta rasa cinta yang makin bertumbuh di hati Vina untuk Andra. Bagaimana dengan Andra? Ah, biarkan dia tetap mencintai Vina dengan kekonyolannya dan tetap menjadi yang pertama di hati Vina.
Hey, bagaimana denganmu? Apa kau juga perlu sesuatu untuk memberikan setitik makna bagi hidupmu? Jika ya, siapkan hal-hal ini. Secangkir kejujuran, sepiring keberanian, dan beberapa putaran keajaiban. Tapi jangan lupakan satu hal... Sebuah botol nasib.
====


Komentar, kritik, & sarannya ya... =]
Share: