Part yang udah ngadat berbulan-bulan. Sebagai catatan, di Part ini POV yang dipake adalah POV-nya si cewek (Anna).
"how do you feel, so fine... you're the world to me, and dream on... you stole my heart so long ago..."
Rama Iman Oktara. Aku mengenalnya sejak sebelum aku bisa mengingat
bagaimana cara menulis namaku. Anak laki-laki yang kurus namun kuat. Selalu
memiliki hal aneh yang dilakukannya ketika sedang sendirian. Dan yang paling
sering adalah berbicara dengan hujan. Hih. Dasar aneh. Memang bukan sesuatu
yang baru bagiku, karena hal itu sudah dilakukannya sejak kecil. Ketika rintik
hujan mulai berderap, dia langsung berlari ke teras kemudian jongkok dan dengan
nanar menatap setiap rintik hujan yang turun. Ya, meskipun dia aneh, tetap saja
dia punya tempat khusus di hatiku.
Rama Iman Oktara. Itulah namanya. Tapi entah kenapa dia tak suka dipanggil
Rama, Iman, Okta, bahkan Tara. Dia lebih suka dipanggil dengan singkatan
namanya RIO. Mungkin karena alasan itu pula, sejak kecil dia tak terlalu
dikenal dan tidak punya banyak teman. Ada beberapa orang saja ketika sekolah
dasar namun ketika sampai di bangku SMA tinggal aku yang masih mengenalnya
sebagai seorang RIO.
Tak tahu kenapa baru-baru ini aku bisa jujur kepada Rio dan juga kepada
diriku sendiri. Jujur mengenai perasaanku kepada Rio. Sejak lama, atau lebih
tepatnya semenjak masuk SMP, aku mulai merasa tidak bisa jauh dari Rio. Takut
kehilangan dia dan ingin selalu bisa melihatnya. Tapi gengsi dan maluku
memaksaku untuk menyangkalnya. Pelampiasannya adalah berpacaran dengan anak
laki-laki lain untuk membuang perasaanku kepada Rio.
Entah sudah berapa kali aku berusaha menyangkalnya. Sekuat apapun aku berusaha,
tetap saja aku idak bisa membuang perasaanku kepada Rio. Semakin aku berusaha
menyangkal, semakin kuat pula desakan perasaan itu. Dan sampai akhirnya aku
berusaha menerimanya dengan perlahan. Hal itu berdampak pada hubunganku dengan
Denis. Gelagatku yang perlahan berubah tapi pasti direspon oleh Denis dengan
cepat. Dia memutuskan hubungan kami. Memang ada rasa sakit di hatiku. Tapi
setelahnya aku justru merasa lega dan bebas.
Hari di mana Denis memutuskan hubungan kami, hari di mana pertama kali aku
menangis karena sesuatu yang tak terlihat bernama cinta. Bukan karena
diputuskan oleh Denis, tapi karena ada Rio di hadapanku. Aku menangis karena
rasa sakitku sudah memuncak. Rasa sakit yang kubuat sendiri dengan terus
berbohong kepada Rio dan diriku sendiri. Dan obat dari rasa sakit itu adalah
Rio. Ya, Rio. Pelukannya yang meski sejenak bisa sedikit membalut lukaku dan
membuatnya tidak terlalu sakit.
Hari itu begitu rumit namun begitu bermakna. Meski aku sendiri belum tahu
bagaimana perasaan Rio kepadaku. Memang selama ini Rio tak pernah berpacaran.
Aku berpikir, dia memang tidak ingin berpacaran sampai nanti dia sudah lulus.
Tak tega rasanya kalau berprasangka kalau Rio suka pada laki-laki. Hiii.
(Writer-nya minta dipukul.)
Tapi tabir itu tersingkap ketika dengan sendirinya Rio mengakui perasaannya
padaku. Rasa bahagia yang tak kudapat sejak dulu. Sedikit kusesalkan, namun
akhirnya aku nikmati saja keterlambatan itu. Rio dan aku. Bersama. Paling tidak
hingga aku berangkat ke Inggris untuk melanjutkan studi. Ah, betapa waktu di
dunia ini begitu mencekik. Kebersamaan yang baru saja kami jalin harus dibatasi
oleh waktu.
Hari hari yang kujalani berjalan begitu menyenangkan. Rio tak berubah sama
sekali. Masih tetap saja aneh, lucu, dan menyebalkan. Tapi aku tetap tak bisa
jauh darinya. Justru makin hari rasa sayangku padanya makin besar dan aku makin
enggan untuk pergi ke Inggris setelah lulus nanti. Sungguh jika bisa memilih,
aku akan memilih untuk tetap berada di sini. Tapi aku tak bisa menolak
permintaan ayah yang beliau lakukan demi kebaikanku.
Aku sempat diam tak bicara kepada Rio karena masalah itu. Tapi untung ada
Ira yang tiba-tiba saja datang dan membuat Rio dan aku berbaikan. Lega rasanya
meskipun awalnya aku cemburu melihat Rio dan Ira berduaan.
Hari ketika semua kebahagiaan bersama Rio dimulai, hari itu pula hatiku
tersayat oleh suatu kejadian yang menyesakkan. Kejadian yang membuat Rio
kembali tumbang.
***
“Anna, udah tenang ya. Rio pasti baik-baik aja kok.” Ujar Ira menenangkan
aku yang masih menangis di pelukannya.
“Tapi Ra.. aku takut...”
“Udah...”
Aku dan Ira masih duduk di depan ruang ICU tempat Rio kini sedang mendapat
penanganan intensif dari dokter. Sedih rasanya melihat apa yang harus terjadi
pada Rio sekarang. Terlebih lagi, yang kudengar dari beberapa teman Rio di
sekolah, selama SMA Rio hanya tinggal sendiri karena kedua orang tuanya sedang
berada di luar negeri. Ingin rasanya aku menghubungi mereka.
“Emang kamu tahu cara menghubungi mereka?” tanya Ira setelah mendengar
keinginanku.
“Iya juga ya.” Kataku lesu kemudian menyandarkan tubuhku di kursi tempatku
duduk.
Beberapa saat kemudian dokter yang menangani Rio keluar dari ruang ICU.
Tanpa aba-aba, aku langsung berdiri dan bertanya ke dokter mengenai Rio.
“Rio, gimana dok?” tanyaku agak cemas.
“Tenang, Rio tidak mengalami luka serius. Kepalanya memang mengalami
benturan cukup keras tapi tidak ada masalah. Kita tunggu saja sampai Rio
siuman.” Kata dokter menjelaskan. Aku dan Ira pun bernafas lega mendengar
penjelasan dokter. Setelah itu Rio dipindahkan ke kamar biasa untuk mendapatkan
perawatan lebih lanjut.
Aku masih betah duduk berlama-lama di samping Rio terbaring. Memandangi
wajahnya yang kini tampak sangat lemah. Mimik mukanya datar tanpa ekspresi. Dan
entah kenapa tiba-tiba saja aku merasa rindu pada senyum aneh dan tawa jahil
dari Rio. Senyum yang sering membuatku bingung dan tawa yang selalu membuatku
marah dan kesal. Aku benar-benar merindukannya.
“Anna.” Panggil Ira tiba-tiba.
“Oh. Eng, Ira. Kenapa?”
“Kamu nangis?” tanya Ira.
“Ha?” segera aku menggerakkan tanganku untuk mengusap bagian bawah mataku
lalu kusadari ternyata air mata begitu saja mengalir.
“Aku kangen Rio, Ra. Kangen senyumnya, kangen ketawanya, kangen jahilnya.
Aku kangen sama Rio.” Ucapku. Dan air mata kembali mengalir.
“Tenang. Rio pasti segera sadar kok. Kita doain yang terbaik buat Rio, ya.”
Kata Ira menenangkanku.
***
Bel tanda pulang sekolah berbunyi. Setelah mengepak buku dan alat tulis,
aku bergegas ke rumah sakit. Untung saja ayahku dapat mengerti dan mengizinkanku
untuk menunggu Rio di rumah sakit dengan syarat tidak lupa dengan sekolahku.
Dan seperti biasa, aku mampir sebentar ke kafe di samping sekolah untuk sekedar
makan siang sebelum berangkat ke rumah sakit.
Saat sedang asyik menikmati makanan, tiba-tiba ponselku berbunyi. Saat ku
tengok ternyata ada SMS dari dokter Budi, dokter yang merawat Rio.
[from: dr. Budi]
Anna, Rio sudah sadar. Kondisinya juga sudah cukup stabil.
Sejenak aku lupa dengan makanan di hadapanku ketika membaca SMS tersebut.
Tanpa menghiraukan lagi makanan itu, aku bergegas ke rumah sakit untuk bisa
menemui Rio. Tak lupa aku mengabari Ira tentang keadaan Rio yang sudah membaik.
Saat sedang berjalan, terbersit ide untuk membeli sesuatu untuk Rio. Dan
kemudian kuputuskan untuk membeli kue coklat, kue kesukaan Rio. Setelah
mendapatkan kue tersebut, aku pun segera melanjutkan perjalanan menuju rumah
sakit.
Tak butuh waktu lama, aku pun sudah sampai di rumah sakit. Setelah melewati
beberapa koridor, aku pun sampai di kamar tempat Rio dirawat. Dengan perlahan,
aku membuka pintu. Sepi seperti biasanya. Sepertinya Ira belum datang. Dengan
langkah pelan, aku memasuki ruangan itu. Dan langkahku terhenti ketika melihat
Rio yang sedang bersandar, memandang ke arah jendela dengan tatapan mata teduh.
Sebuah pemandangan langka, seorang Rio menampakkan wajah yang begitu mempesona.
Aku masih terpana, belum mampu bergerak dan bersuara. Dan ketika tiba-tiba
Rio menoleh, kami pun saling berpandangan. Aku yang belum siap bertatapan
dengan Rio pun kaget setengah mati. Ingin rasanya menyapa Rio, tapi kata-kataku
tertahan di tenggorokan.
“Anna. Muka kamu aneh banget.” Kata Rio tiba-tiba kemudian tertawa
terbahak. Tawa jahil seperti biasa. Tapi aku merasa aneh. Biasanya jika
mendengar tawa jahil tersebut, aku akan langsung marah dan kesal. Sedangkan
kini, aku justru merasa senang.
“Anna.” Panggil Rio.
“Iya Rio. Kenapa?” tanyaku sambil berjalan ke arahnya lalu duduk di
sampingnya.
“Kamu sekarang kok jadi cengeng sih. Suka banget nangis.” Kata Rio sambil
menyeka air mataku. Tanpa berkata apa-apa, aku langsung memeluk Rio.
Menyembunyikan derai air mataku yang terus mengalir dari hadapan Rio.
Mencurahkan rasa rindu dan khawatir yang ada di dalam dadaku.
“An... Anna. Sakit An.” Kata Rio. Tapi aku tak menghiraukannya dan terus
memeluk Rio. Tiba-tiba saja kurasakan Rio pun dengan pelan memelukku dan
mengusap lembut rambutku.
Beberapa saat kemudian kubiarkan Rio beristirahat agar dia segera pulih dan
bisa kembali sekolah, serta bisa bersamaku lagi. Saat Rio sudah terlelap, aku memutuskan
untuk pergi keluar sebentar membeli makanan.
***
Rintik hujan mulai turun ketika aku keluar dari mini market. Langkah kecilku
perlahan menjadi langkah berlari seiring semakin derasnya hujan. Untung saja
tak butuh waktu lama untukku sampai kembali di rumah sakit. Dengan langkah
ringan aku berjalan menuju kamar Rio. Dan langkahku terhenti sesaat ketika
kudengar dokter sedang berbincang mengenai kondisi Rio.
“Dok, pasien di ruang 17 tadi...” terdengar suara wanita yang sepertinya
suster.
“Iya, kondisi Rio memang cukup mengkhawatirkan. Tapi semangatnya begitu
luar biasa. Meskipun dia tahu kalau penyakitnya sudah tak bisa disembuhkan
lagi, dia tetap tegar dan berusaha untuk terus tersenyum.” Kata suara milik dr.
Budi.
“Lalu, bagaimana dengan gadis yang selalu menemaninya dok? Apa kita harus
beritahu dia?”
“Lebih baik jangan dulu. Kamu masih ingat kan apa permintaan Rio?”
“Eh, baik dok.”
Nafasku tertahan. Jantungku berdegup tak menentu. Aku ingin berlari tapi kakiku
enggan untuk bergerak. Badanku gemetar. Cemas, itulah yang aku rasakan. Cemas dan
takut yang tak bisa aku jelaskan. Dan sebuah tanya, apa yang sebenarnya terjadi
pada Rio?
--- continue to the next part ---