Tampilkan postingan dengan label Still. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Still. Tampilkan semua postingan

Still.. Crying for You! -- Part - IV

Part yang udah ngadat berbulan-bulan. Sebagai catatan, di Part ini POV yang dipake adalah POV-nya si cewek (Anna).
Yang belum baca dari awal, bisa cek link2 ini ~> Still I >> Still II >> Still III



"how do you feel, so fine... you're the world to me, and dream on... you stole my heart so long ago..."

Rama Iman Oktara. Aku mengenalnya sejak sebelum aku bisa mengingat bagaimana cara menulis namaku. Anak laki-laki yang kurus namun kuat. Selalu memiliki hal aneh yang dilakukannya ketika sedang sendirian. Dan yang paling sering adalah berbicara dengan hujan. Hih. Dasar aneh. Memang bukan sesuatu yang baru bagiku, karena hal itu sudah dilakukannya sejak kecil. Ketika rintik hujan mulai berderap, dia langsung berlari ke teras kemudian jongkok dan dengan nanar menatap setiap rintik hujan yang turun. Ya, meskipun dia aneh, tetap saja dia punya tempat khusus di hatiku.
Rama Iman Oktara. Itulah namanya. Tapi entah kenapa dia tak suka dipanggil Rama, Iman, Okta, bahkan Tara. Dia lebih suka dipanggil dengan singkatan namanya RIO. Mungkin karena alasan itu pula, sejak kecil dia tak terlalu dikenal dan tidak punya banyak teman. Ada beberapa orang saja ketika sekolah dasar namun ketika sampai di bangku SMA tinggal aku yang masih mengenalnya sebagai seorang RIO.
Tak tahu kenapa baru-baru ini aku bisa jujur kepada Rio dan juga kepada diriku sendiri. Jujur mengenai perasaanku kepada Rio. Sejak lama, atau lebih tepatnya semenjak masuk SMP, aku mulai merasa tidak bisa jauh dari Rio. Takut kehilangan dia dan ingin selalu bisa melihatnya. Tapi gengsi dan maluku memaksaku untuk menyangkalnya. Pelampiasannya adalah berpacaran dengan anak laki-laki lain untuk membuang perasaanku kepada Rio.
Entah sudah berapa kali aku berusaha menyangkalnya. Sekuat apapun aku berusaha, tetap saja aku idak bisa membuang perasaanku kepada Rio. Semakin aku berusaha menyangkal, semakin kuat pula desakan perasaan itu. Dan sampai akhirnya aku berusaha menerimanya dengan perlahan. Hal itu berdampak pada hubunganku dengan Denis. Gelagatku yang perlahan berubah tapi pasti direspon oleh Denis dengan cepat. Dia memutuskan hubungan kami. Memang ada rasa sakit di hatiku. Tapi setelahnya aku justru merasa lega dan bebas.
Hari di mana Denis memutuskan hubungan kami, hari di mana pertama kali aku menangis karena sesuatu yang tak terlihat bernama cinta. Bukan karena diputuskan oleh Denis, tapi karena ada Rio di hadapanku. Aku menangis karena rasa sakitku sudah memuncak. Rasa sakit yang kubuat sendiri dengan terus berbohong kepada Rio dan diriku sendiri. Dan obat dari rasa sakit itu adalah Rio. Ya, Rio. Pelukannya yang meski sejenak bisa sedikit membalut lukaku dan membuatnya tidak terlalu sakit.
Hari itu begitu rumit namun begitu bermakna. Meski aku sendiri belum tahu bagaimana perasaan Rio kepadaku. Memang selama ini Rio tak pernah berpacaran. Aku berpikir, dia memang tidak ingin berpacaran sampai nanti dia sudah lulus. Tak tega rasanya kalau berprasangka kalau Rio suka pada laki-laki. Hiii. (Writer-nya minta dipukul.)
Tapi tabir itu tersingkap ketika dengan sendirinya Rio mengakui perasaannya padaku. Rasa bahagia yang tak kudapat sejak dulu. Sedikit kusesalkan, namun akhirnya aku nikmati saja keterlambatan itu. Rio dan aku. Bersama. Paling tidak hingga aku berangkat ke Inggris untuk melanjutkan studi. Ah, betapa waktu di dunia ini begitu mencekik. Kebersamaan yang baru saja kami jalin harus dibatasi oleh waktu.
Hari hari yang kujalani berjalan begitu menyenangkan. Rio tak berubah sama sekali. Masih tetap saja aneh, lucu, dan menyebalkan. Tapi aku tetap tak bisa jauh darinya. Justru makin hari rasa sayangku padanya makin besar dan aku makin enggan untuk pergi ke Inggris setelah lulus nanti. Sungguh jika bisa memilih, aku akan memilih untuk tetap berada di sini. Tapi aku tak bisa menolak permintaan ayah yang beliau lakukan demi kebaikanku.
Aku sempat diam tak bicara kepada Rio karena masalah itu. Tapi untung ada Ira yang tiba-tiba saja datang dan membuat Rio dan aku berbaikan. Lega rasanya meskipun awalnya aku cemburu melihat Rio dan Ira berduaan.
Hari ketika semua kebahagiaan bersama Rio dimulai, hari itu pula hatiku tersayat oleh suatu kejadian yang menyesakkan. Kejadian yang membuat Rio kembali tumbang.
***
“Anna, udah tenang ya. Rio pasti baik-baik aja kok.” Ujar Ira menenangkan aku yang masih menangis di pelukannya.
“Tapi Ra.. aku takut...”
“Udah...”
Aku dan Ira masih duduk di depan ruang ICU tempat Rio kini sedang mendapat penanganan intensif dari dokter. Sedih rasanya melihat apa yang harus terjadi pada Rio sekarang. Terlebih lagi, yang kudengar dari beberapa teman Rio di sekolah, selama SMA Rio hanya tinggal sendiri karena kedua orang tuanya sedang berada di luar negeri. Ingin rasanya aku menghubungi mereka.
“Emang kamu tahu cara menghubungi mereka?” tanya Ira setelah mendengar keinginanku.
“Iya juga ya.” Kataku lesu kemudian menyandarkan tubuhku di kursi tempatku duduk.
Beberapa saat kemudian dokter yang menangani Rio keluar dari ruang ICU. Tanpa aba-aba, aku langsung berdiri dan bertanya ke dokter mengenai Rio.
“Rio, gimana dok?” tanyaku agak cemas.
“Tenang, Rio tidak mengalami luka serius. Kepalanya memang mengalami benturan cukup keras tapi tidak ada masalah. Kita tunggu saja sampai Rio siuman.” Kata dokter menjelaskan. Aku dan Ira pun bernafas lega mendengar penjelasan dokter. Setelah itu Rio dipindahkan ke kamar biasa untuk mendapatkan perawatan lebih lanjut.
Aku masih betah duduk berlama-lama di samping Rio terbaring. Memandangi wajahnya yang kini tampak sangat lemah. Mimik mukanya datar tanpa ekspresi. Dan entah kenapa tiba-tiba saja aku merasa rindu pada senyum aneh dan tawa jahil dari Rio. Senyum yang sering membuatku bingung dan tawa yang selalu membuatku marah dan kesal. Aku benar-benar merindukannya.
“Anna.” Panggil Ira tiba-tiba.
“Oh. Eng, Ira. Kenapa?”
“Kamu nangis?” tanya Ira.
“Ha?” segera aku menggerakkan tanganku untuk mengusap bagian bawah mataku lalu kusadari ternyata air mata begitu saja mengalir.
“Aku kangen Rio, Ra. Kangen senyumnya, kangen ketawanya, kangen jahilnya. Aku kangen sama Rio.” Ucapku. Dan air mata kembali mengalir.
“Tenang. Rio pasti segera sadar kok. Kita doain yang terbaik buat Rio, ya.” Kata Ira menenangkanku.
***
Bel tanda pulang sekolah berbunyi. Setelah mengepak buku dan alat tulis, aku bergegas ke rumah sakit. Untung saja ayahku dapat mengerti dan mengizinkanku untuk menunggu Rio di rumah sakit dengan syarat tidak lupa dengan sekolahku. Dan seperti biasa, aku mampir sebentar ke kafe di samping sekolah untuk sekedar makan siang sebelum berangkat ke rumah sakit.
Saat sedang asyik menikmati makanan, tiba-tiba ponselku berbunyi. Saat ku tengok ternyata ada SMS dari dokter Budi, dokter yang merawat Rio.
[from: dr. Budi]
Anna, Rio sudah sadar. Kondisinya juga sudah cukup stabil.

Sejenak aku lupa dengan makanan di hadapanku ketika membaca SMS tersebut. Tanpa menghiraukan lagi makanan itu, aku bergegas ke rumah sakit untuk bisa menemui Rio. Tak lupa aku mengabari Ira tentang keadaan Rio yang sudah membaik.
Saat sedang berjalan, terbersit ide untuk membeli sesuatu untuk Rio. Dan kemudian kuputuskan untuk membeli kue coklat, kue kesukaan Rio. Setelah mendapatkan kue tersebut, aku pun segera melanjutkan perjalanan menuju rumah sakit.
Tak butuh waktu lama, aku pun sudah sampai di rumah sakit. Setelah melewati beberapa koridor, aku pun sampai di kamar tempat Rio dirawat. Dengan perlahan, aku membuka pintu. Sepi seperti biasanya. Sepertinya Ira belum datang. Dengan langkah pelan, aku memasuki ruangan itu. Dan langkahku terhenti ketika melihat Rio yang sedang bersandar, memandang ke arah jendela dengan tatapan mata teduh. Sebuah pemandangan langka, seorang Rio menampakkan wajah yang begitu mempesona.
Aku masih terpana, belum mampu bergerak dan bersuara. Dan ketika tiba-tiba Rio menoleh, kami pun saling berpandangan. Aku yang belum siap bertatapan dengan Rio pun kaget setengah mati. Ingin rasanya menyapa Rio, tapi kata-kataku tertahan di tenggorokan.
“Anna. Muka kamu aneh banget.” Kata Rio tiba-tiba kemudian tertawa terbahak. Tawa jahil seperti biasa. Tapi aku merasa aneh. Biasanya jika mendengar tawa jahil tersebut, aku akan langsung marah dan kesal. Sedangkan kini, aku justru merasa senang.
“Anna.” Panggil Rio.
“Iya Rio. Kenapa?” tanyaku sambil berjalan ke arahnya lalu duduk di sampingnya.
“Kamu sekarang kok jadi cengeng sih. Suka banget nangis.” Kata Rio sambil menyeka air mataku. Tanpa berkata apa-apa, aku langsung memeluk Rio. Menyembunyikan derai air mataku yang terus mengalir dari hadapan Rio. Mencurahkan rasa rindu dan khawatir yang ada di dalam dadaku.
“An... Anna. Sakit An.” Kata Rio. Tapi aku tak menghiraukannya dan terus memeluk Rio. Tiba-tiba saja kurasakan Rio pun dengan pelan memelukku dan mengusap lembut rambutku.
Beberapa saat kemudian kubiarkan Rio beristirahat agar dia segera pulih dan bisa kembali sekolah, serta bisa bersamaku lagi. Saat Rio sudah terlelap, aku memutuskan untuk pergi keluar sebentar membeli makanan.
***
Rintik hujan mulai turun ketika aku keluar dari mini market. Langkah kecilku perlahan menjadi langkah berlari seiring semakin derasnya hujan. Untung saja tak butuh waktu lama untukku sampai kembali di rumah sakit. Dengan langkah ringan aku berjalan menuju kamar Rio. Dan langkahku terhenti sesaat ketika kudengar dokter sedang berbincang mengenai kondisi Rio.
“Dok, pasien di ruang 17 tadi...” terdengar suara wanita yang sepertinya suster.
“Iya, kondisi Rio memang cukup mengkhawatirkan. Tapi semangatnya begitu luar biasa. Meskipun dia tahu kalau penyakitnya sudah tak bisa disembuhkan lagi, dia tetap tegar dan berusaha untuk terus tersenyum.” Kata suara milik dr. Budi.
“Lalu, bagaimana dengan gadis yang selalu menemaninya dok? Apa kita harus beritahu dia?”
“Lebih baik jangan dulu. Kamu masih ingat kan apa permintaan Rio?”
“Eh, baik dok.”

Nafasku tertahan. Jantungku berdegup tak menentu. Aku ingin berlari tapi kakiku enggan untuk bergerak. Badanku gemetar. Cemas, itulah yang aku rasakan. Cemas dan takut yang tak bisa aku jelaskan. Dan sebuah tanya, apa yang sebenarnya terjadi pada Rio?


--- continue to the next part ---
Share:

Still.. Beside You! -- Part - III



"Dan kau hadir.. Merubah segalanya.. Menjadi lebih indah.. Kau bawa cintaku setinggi angkasa.. Dan buatku merasa sempurna.." ~ Adera - Lebih Indah.

“Rio! Awaaass!.” Kata Anna tiba-tiba. Dan saat aku menoleh, Anna langsung menempelkan es krim yang ada di tangannya ke wajahku.
“Annaaaaa..” kataku kemudian reflek mengejar Anna yang sudah berlari sambil tertawa.
“Rio jelek. Rio jelek.” Teriaknya mengejekku. Aku semakin mempercepat lariku. Sampai tiba-tiba Anna berlari ke arah jalan, dan kulihat ada mobil berkecepatan cukup tinggi melaju ke arah Anna.
“An! Awaaass!” aku berlari berusaha menyelamatkan Anna, namun kemudian…
“Annaaaa!!!” teriakku. Tapi pandangan di depanku mendadak berubah. Seketika aku kembali merasakan sakit di kepalaku.
“Rio, kamu udah siuman ternyata.” Kata Ira yang ternyata ada di sampingku.
“Kamu Ra. Anna di mana?” tanyaku.
“Dia ikut pelajaran di kelas.” Jawab Ira singkat.
Setelah kuperhatikan dengan seksama, ternyata aku berada di ruang UKS. Aku berusaha turun dari tempat tidur dan mencoba berjalan meskipun kepalaku masih cukup sakit. Bukan karena pukulan Denis, tapi benturan lantai.
“Kamu gakpapa Yo? Izin pulang aja deh kalo masih sakit.” Kata Ira cemas.
“Gakpapa kok Ra.” Ucapku sambil tersenyum, kemudian melangkah keluar dari UKS.
Baru saja melangkah dari UKS, aku dikagetkan dengan Anna yang ada beberapa langkah dariku. Kulihat wajah manisnya itu nampak murung. Aneh sekali, karena biasanya hanya wajah cemberut atau galak yang akan dia pamerkan jika dalam kondisi seperti ini. Tiba-tiba saja dia mulai berjalan mendekatiku. Aku tak berusaha bergerak, hanya mencoba menyembunyikan tanganku agar tak menjadi sasaran cubitannya.
“Ampun An, ampuun!” teriakku sambil menutup mata ketika Anna semakin mendekat. Tapi aneh, aku merasakan tangan Anna memelukku. Saat aku mencoba membuka mataku, ternyata benar. Anna sedang memelukku.
“Rio, kamu hobi banget sih bikin aku khawatir.” Kata Anna lirih. Aku mendengar isakan tangis tertahan. Terdengar olehku meskipun aku tahu, Anna berusaha menyembunyikannya.
“Anna.”
“Kenapa Yo.”
“Kita mau pelukan sampe kapan? Gak enak nih kita lagi di sekolahan lho ini.” Kataku. Tiba-tiba saja Anna sedikit mendorongku. Pipinya memerah. Aku tersenyum.
“Hey, An.” Tiba-tiba Ira muncul dari dalam UKS.
“Eh, ada Ira. Makasih Ra, udah jagain Rio.” Kata Anna.
“Iya, sama-sama Anna. Oiya, kok kamu di sini? Bukannya masih jam pelajaran?” tanya Ira.
“Aku bolos Ra. Hehe, gurunya ngebosenin. Daripada ngantuk mending keluar aja.” Jawab Anna.
“Wah, berani banget An.” Kata Ira.
“Aduh. Kepalaku masih sakit lho ini.” Kataku sambil berakting memegang kepalaku, berusaha menarik perhatian Anna dan Ira yang sedang asyik mengobrol.
“Dasar cungkring.” Kata Anna kemudian mencubit tanganku.
“Aaaawwww!!” teriakku. Anna dan Ira pun tertawa melihatku.
***
Bel pulang sekolah sudah berbunyi beberapa waktu yang lalu. Anak-anak lain sudah pulang menuju rumah masing-masing. Dan seperti biasanya, aku dan Anna masih berada di lantai atas gedung sekolah sambil menikmati hembusan malas angin yang lembut membelai wajah kami. Kepalaku sudah tak terlalu sakit seperti ketika di UKS tadi, jadi tak perlu pulang cepat.
“Anna.” Panggilku.
“Iya Rio, ada apa?” Anna menoleh. Rambut panjangnya yang tak terikat melambai begitu indah. Ah, sepertinya Anna sangat cocok menjadi bintang iklan sampo. (Ngaco kau, writer!)
“Eng.. Bener ya, kamu bakal nglanjutin kuliah ke luar negeri?” akhirnya aku menanyakannya karena sudah tak sabar menunggu penuturan Anna langsung. Kulihat Anna menhela nafas panjang.
“Bener Yo. Papa minta aku buat kuliah di Inggris.” Kata Anna singkat.
Ya, meskipun sudah mengetahuinya dari bi Inah dan Ira, tapi penuturan langsung dari Anna ternyata masih membuat hatiku tertusuk. Aku tak tahu bagaimana melanjutkan obrolan ini. Beberapa kali menarik nafas untuk berbicara, tapi tak bisa. Kulirik Anna, dia menatap kosong ke arah langit yang teduh, seteduh mata sipitnya yang kini kehilangan objek untuk dipandang.
“Inggris? Jauh dong An.” Kataku sedikit kikuk.
“Rioo..”
“Tapi di sana kan keren. Kamu bisa masuk Cambridge, Oxford, atau Harvard.”
“Rio.”
“Pasti kamu bisa dapet banyak ilmu di sana. Hard skill atau soft skill.”
“Rio!”
“Tapi kamu harus jaga kesehatan An, kan di sana iklimnya beda sama di sini. Kamu harus…”
PLAKKK! Sebuah tamparan yang cukup keras mendarat di pipi kiriku. Aku tercengang menerimanya. Rasa sakitnya tak sebanding dengan rasa kagetku karena tamparan yang kuterima. Tamparan dari Anna! Belum hilang rasa kaget dari pikiranku, tiba-tiba saja Anna berjalan mendekatiku. Aku tak tahu apalagi yang akan dilakukan Anna. Dan tiba-tiba aliran darah yang ada di tubuhku berhenti mendadak ketika bibir Anna yang lembut menyentuh bibirku. Anna menciumku, dan ini adalah ciuman pertamaku!
Anna kemudian memelukku. Dia tak lagi menciumku. Tapi tetap saja aku masih belum bisa bereaksi menerima dua hal aneh yang tadi baru saja menimpaku secara beruntun. Sebuah tamparan keras dan kemudian sebuah ciuman lembut. Dan lagi, hal itu dari satu orang, Anna.
“Rio, aku gak pengen jauh dari kamu.” Kata Anna. Aku kaget mendengarnya.
“Aku juga Anna. Tapi gak mungkin menentang keinginan papa kamu.” Kataku lemah. Anna terisak.
“Tenang aja Anna. Kita masih bisa habisin waktu bareng-bareng sampe waktu kamu berangkat. Terus, kalo kamu udah pulang lagi ke Indonesia, kita bisa ketemu lagi.” Kataku berusaha menenangkan Anna, meskipun sejujurnya hatiku sendiri tak tenang.
“Rio.”
“Iya, An. Ada apa?”
“Aku laper. Ayo cari makan.” Ujar Anna sambil memasang senyum memelas dan mengedip-kedipkan matanya. Aku mendelik melihat perubahan Anna yang tiba-tiba. Tapi, untunglah, aku menganggapnya sebagai kata ‘Iya’ atas kata-kataku tadi.
“Yuk.” Kataku kemudian menggandeng tangannya.
Sepanjang jalan, tangan kami berdua sama sekali tak terlepas. Berbincang dan bercanda serta tertawa terbahak berdua. Ah, sepertinya baru kali ini kami bisa seperti ini. Ingin rasanya setiap hari bisa seperti ini, tapi jelas tak mungkin. Sudahlah, mungkin saja garis takdir sudah tergores dan menuntunku dan Anna untuk bisa bersama kini namun berpisah nanti.
“Rio, makan itu yuk.” Kata Anna sambil menunjuk ke arah gerobak tukang bakso.
“Ha? Serius An? Biasanya kalo aku ajak makan di tempat kayak gitu kamu nolak terus. Emang doyan?” Tanyaku heran.
“Sekali-sekali deh Yo. Penasaran nih. Yaa?” kata Anna manja. Dan sekali lagi aku dibuat tertegun oleh Anna. Baru kali ini dia tidak marah dan justru bersikap manja.
“Yaudah deh, yuk.”
Segera kami berjalan ke tempat tukang bakso kemudian memesan 2 porsi bakso. Setelah bakso pesanan kami datang, kami pun memakannya. Beberapa kali kulirik Anna yang asyik dengan bakso yang ada di hadapannya. Dia terlihat begitu lahap memakannya. Dan karena terlalu asyik memperhatikan Anna, aku lupa dengan semangkuk bakso yang ada di tanganku.
“Yo, kok gak dimakan? Gak doyan ya?” tanya Anna tiba-tiba mengagetkanku.
“Ah, eng. Doyan kok An. Dihabisin gih, nanti nambah lagi.” Kataku kemudian mulai memakan baksoku.
“Udah ah Rio, aku udah kenyang nih makan seporsi aja.”
“Rio, coba bilang aaa..” kata Anna.
“Kenapa An?” tanyaku heran.
“Aku udah kenyang, ini baksonya masih satu. Kamu makan ya. Coba deh, aaa…” kata Anna lagi.
“Hmm.. Iya deh. Aaa..” aku segera membuka mulutku. Anna pun perlahan mendekatkan bakso yang sudah tertancap di garpu yang dia pegang ke mulutku. Sampai ketika sudah hampir masuk.
“Yam.. Gak jadi ding Yo. Hahaha.” Anna pun segera memakan bakso itu sendiri, meninggalkan aku dan mulutku yang masih mangap gak jelas.
“Dasar sipit, jail ko gak ilang-ilang sih.” Aku menggerutu kemudian menghabiskan baksoku.
“Apaa?! Iiih, cungkriiiing. Manggil-manggil aku sipit lagiiii!!!” teriak Anna kemudian menghujaniku dengan cubitan-cubitan pedasnya ke lenganku yang.. Cungkring.
“Aww!! Ampun sipit.. Eh, ampun Annaa.” Ujarku berusaha berlindung dari cubitan Anna.
“Iiih, cungkring nyebeliiin.” Kata Anna sambil terus mencubitiku.
Setelah membayar pada abang penjual bakso, aku dan Anna kembali melanjutkan langkah kaki kami untuk pulang. Sepanjang perjalanan, kami tak henti-hentinya beradu argumen tentang ‘sipit’ dan ‘cungkring’ yang sebenarnya sudah seringkali kami debatkan tapi tetap saja tak ada yang mau mengalah.
“Hiih, dasar Rio. Kalo cungkring ya cungkring aja.” Kata Anna kesal.
“Biarin dong sipiitt. Cungkring gini kan mukaku cakep. Hahaha.” Bibir Anna semakin manyun mendengar tawaku.
“Dasar. Udah cungkring, nyebelin.” Kata Anna masih dengan wajahnya yang menampakkan raut kesal. Aku menghela nafas sejenak.
“Biarpun nyebelin, tapi gak mau jauh-jauh dari aku kan?” ujarku kemudian meraih bahu Anna. Dan Anna tak menjawab kata-kataku barusan. Kurasakan tangannya mendekap pinggangku. Saat kulirik wajahnya, terlihat senyum malu-malu tampak menghiasi wajahnya. Ah, tiba-tiba saja aku sendiri yang canggung karena situasi yang aku ciptakan.
“Rio, kepengen makan es krim nih.” Rengek Anna tiba-tiba.
“Hah? Tumben?” tanyaku keheranan.
“Hehe. Beli es krim yuk, Rio.” Ajak Anna.
“Hmm. Iya deh, tuh ada minimarket. Yuk.” Aku segera memegang tangan Anna menyeberang jalan raya menuju mini market. Dan tak lama, kami berdua sudah kembali di luar sambil menikmati es krim di tangan kami.
“Riooo!!” teriak Anna. Aku pun segera menoleh saat sebuah es krim mendarat telak di wajahku.
“Hahahahaha.” Anna tertawa kemudian berlari menjauh dariku. Aku tak segera mengejarnya. Seperti ada hal aneh yang sedang terjadi, seolah aku pernah mengalami kejadian ini. Tapi aku tak bisa mengingatnya. Ah, sudahlah.
“Anna, siniii!!” teriakku kemudian berlari mengejar Anna.
“Ayo Rio, tangkap aku kalo bisa.” Kata Anna sambil terus berlari.
Aku terus berlari dan akhirnya berhasil menangkap Anna. Tapi kemudian Anna mengelak dan menghindariku. Dan tanpa dia sadari, Anna berlari menuju jalan raya.
“Anna, cepetan minggir ke trotoar!” teriakku sambil masih berlari.
“Apa Yo?!” tanya Anna. Dan kulihat dari arah lain, datang mobil dengan kecepatan cukup tinggi sedang melaju ke arah Anna berdiri.
“Annaaa!!” teriakku kemudian mendorong tubuh Anna.
Ada hantaman cukup keras yang mengenai tubuhku. Cukup sakit. Kepalaku pun membentur aspal seiring tubuhku yang roboh. Mataku masih menangkap sosok Anna yang sedang bangkit berdiri dan menuju ke arahku. Dia baik-baik saja, pikirku.

“Riooo!!” teriak Anna yang sudah berada di dekatku. Aku ingin menyampaikan sesuatu, tapi entah kenapa suaraku tak bisa keluar. Pandanganku pun semakin kabur. Cahaya senja pun semakin menyilaukan pandanganku sebelum kemudian kegelapan mulai datang memenuhi seluruh aku.
Share:

Still.. With You! -- Part - II



“An! Anna!” panggilku, tapi Anna sama sekali tak berhenti.
“Aneh.” Pikirku melihat sikap Anna. Tanpa pikir panjang, aku segera berlari berusaha mengejarnya ke kelas.
Tak lama kemudian aku sudah sampai di kelas. Ku lihat Anna sedang duduk diam di bangkunya sendirian. Dengan langkah perlahan, aku berjalan mendekatinya kemudian duduk di sampingnya. Dia nampak menyadari kehadiranku dan hendak menghindariku. Tapi segera kuraih pergelangan tangannya. Anna pun kembali duduk, meskipun dengan gestur ‘menolak’ keberadaanku.
“Anna. Dari tadi pagi sikapmu aneh banget loh. Ada apa sih? Kamu ada masalah?” tanyaku. Kulihat Anna masih terdiam.
“An…” panggilku lirih. Dan sepertinya dia memang sama sekali tak ingin bicara.
“Ya udah. Oiya, aku tadi ketemu Ira. Dia pindah ke sini.” Aku bergegas bangkit kemudian pindah ke tempat dudukku yang letaknya di belakang Anna.
Aku masih mengamati Anna, ya lebih tepatnya mengamatinya dari belakang. Meski tak dapat terlihat olehu raut wajahnya, aku bisa tahu kalau dia menyembunyikan sesuatu dariku. Tapi, apakah hanya karena dia akan pergi setelah lulus nanti? Itu terlalu berlebihan kalau Anna harus bersikap seperti ini padaku. Sial…
***
Ulangan kali ini terasa begitu lama. Entah karena aku sedang tidak konsentrasi atau memang ada yang salah dengan waktu hari ini. Tapi yang jelas terasa begitu cepat aku selesai mengerjakan soal di hadapanku ketika kusadari masih ada 30 menit waktu yang tersisa sebelum bel istirahat berbunyi. Baiklah, lebih baik aku keluar duluan.
Aku berdiri, kemudian berjalan ke meja guru, tempat Bu Vera duduk dengan tampang nenek sihirnya. Tampak ada senyum jahat yang terlempar dari mulutnya ketika aku menyerahkan lembar jawabku. Kemudian aku berlalu keluar kelas. Kusempatkan melirik Anna, tampak dia masih berkutat dengan soal di hadapannya. Sudahlah, lebih baik aku menunggunya di kantin.
“Rio!” teriak seseorang yang tiba-tiba saja sudah berada di sampingku. Ah, ternyata Ira.
“Hey, Ra. Lho, kok kamu di luar? Gak pelajaran?” tanyaku.
“Kosong Yo, daripada di kelas mending ke kantin.” Jawabnya sambil tersenyum. Aku ikut tersenyum, tapi tak menanggapinya. Huh! Seandainya yang tersenyum itu adalah Anna..
Sesampainya di kantin, aku dan Ira langsung memesan makanan dan duduk. Tak lama kemudian bakso dan es teh pesanan kami datang. Kami makan tanpa berbicara satu sama lain. Aku merasa tak enak hati pada Ira, tapi aku memang sedang malas berbicara. Dan sepertinya Ira menyadarinya.
“Yo, lagi ada masalah ya? Cerita dong.” Ujar Ira.
Aku menghela nafas, kemudian mulai bercerita, “Anna dari tadi pagi aneh banget Ra. Dia gak mau ngomong sama aku. Pas jemput dia tadi sih, pembantunya bilang kalo Anna bakal pindah ke luar negeri buat ngelanjutin kuliah di sana. Aku pura-pura diem dan berharap dia bakal cerita. Tapi sampai sekarang dia sama sekali gak cerita. Padahal biasanya kalau dia punya masalah, atau ada sesuatu, dia pasti cerita.”
Ya, dan tanpa sadar aku nyerocos panjang lebar kepada Ira. Dan Ira pun tersenyum mendengar ceritaku.
“Kamu khawatir kehilangan Anna ya, Yo?” Tanya Ira kepadaku. Hampir aku tersedak mendengar pertanyaan itu. Kehilangan Anna?
“Ah.. Eng.. Itu, bukan gitu Ra.. Tapi…” aku tergagap menjawab pertanyaan Ira tadi.
“Kamu suka kan sama Anna?” Tanya Ira lagi. Tapi kali ini mimik mukanya berubah, seperti menyimpan kesedihan yang dalam.
“Ya, mungkin.” Jawabku singkat.
“Perjuangkan perasaanmu Yo, jangan sampai kamu nyesel karena memendamnya kelamaan.” Kata Ira sambil memegang tanganku. Aku mengangguk sebagai jawaban.
“Rio..” terdengar suara lirih di sebelahku. Aku menoleh, dan ternyata…
“Anna…” ujarku. Aku segera melepaskan genggaman tangan Ira ketika Anna melihatnya. Tapi Anna lagi-lagi berlari menghindariku. Ah, sial! Tanpa permisi pada Ira aku langsung berlari mengejar Anna. Kali ini aku tak boleh memendam perasaanku terlalu lama lagi padanya, pikirku.
Aku masih berlari, tapi setelah berbelok di koridor yang mengarah ke laboratorium, aku kehilangan Anna. Ke mana dia? Aku berjalan perlahan, ketika langkahku kaki terhenti dan kakiku seolah terpasak di tempatku berdiri ketika aku melihat Anna sedang menangis tersedu di pelukan Denis. Hey! Bukankah Denis sudah memutuskan hubungan dengan Anna? Kenapa malah seperti ini? Aku tak sanggup melihatnya lebih lama, tapi tubuhku enggan beranjak. Wajahku terasa panas, entah karena rasa marah atau apalah aku sendiri tak tahu.
Tak lama kemudian Denis melepaskan pelukan Anna kemudian berjalan.. Ke arahku! Tanpa mampu berbuat apa-apa, aku melihat Denis merangkul Anna berjalan melewatiku. Ada seringai kemenangan di wajah Denis yang menyebalkan. Tatapanku sempat bertemu dengan tatapan mata Anna, tapi hanya sekilas dan kemudian bersama Denis melewatiku yang masih berdiri mematung. Tak mampu bergerak.

***
Mataku terbatas memandang batas. Terikat kuat oleh goresan luka menyayat. Hening suasana pilu yang tak bergeming. Terluka oleh ilusi yang melintas begitu saja.
***

Jam-jam pelajaran berikutnya, aku menghabiskan waktuku mengotori buku tulisku dengan gambar-gambar abstrak tak bermakna sebagai pelampiasan rasa marah, sedih, dan gundahku. Sama sekali tak ada materi pelajaran yang bisa kuserap. Mataku enggan melihat ke depan, karena tentu saja ada Anna yang ada tepat di depan mataku. ARRGHHH!!!
Dan setelah bel pulang sekolah berbunyi, aku bergegas pergi keluar kelas. Tak sanggup rasanya berlama-lama di dalam sana. Kuputuskan untuk pergi ke taman belakang sekolah. Sesampainya di sana, aku langsung duduk di bangku yang kosong. Memasang headset dan memutar music dari ponselku dengan volume yang kuat sehingga aku tak mendengar apapun kecuali music dari ponselku.
Mataku menatap kosong ke arah langit yang sedikit berawan. Gerak lambat segerombol besar awan putih menghipnotisku untuk mengamatinya. Pelan.. Lamban.. Dilengkapi dengan alunan music bertempo rendah dari headset-ku, tanpa sadar aku mengantuk dan tertidur.
“Yo. Rio, bangun! Hey!” sayup-sayup terdengar suara yang makin lama makin keras diiringi sentuhan di wajahku. Saat kubuka mataku, aku terkejut karena ada Ira yang sudah duduk di sampingku. Dan lagi, wajahnya begitu dekat dengan wajahku.
“Eh, Ira.” Ujarku kemudian bergerak agak menjauhinya. Nampak Ira tertawa kecil melihat tingkahku.
“Gak pulang Yo?” Tanya Ira.
“Bentar lagi deh Ra. Oiya, kamu sendiri kenapa belum pulang?”
“Aku tadi habis ketemu sama Bu Sinta gara-gara aku membolos waktu jam-nya.”
“Ha? Hahahah, berani banget Ra bolos pas jam-nya Bu Sinta. Ati-ati lho.”
“Hehe, iya iya Rio.”
“Eh, pulang yuk Ra. Udah mau jam 6.” Ajakku. Ira pun mengangguk tanda setuju.
Kami berdua berjalan keluar sekolah berdampingan. Ada keanehan yang kurasakan saat ini. Ya, seharusnya aku berjalan bersama Anna! Bukan Ira. Tapi, tak apalah karena sudah terlanjur begini. Mungkin besok aku masih punya kesempatan untuk meluruskan permasalahanku dengan Anna agar tak berlarut-larut, pikirku.
“Eh, Yo temenin aku makan yuk. Laper nih.” Kata Ira tiba-tiba sambil tersenyum ke arahku.
“Hah? Jam segini? Makan di mana?” tanyaku sambil mengernyitkan dahi.
“Tuh.” Tunjuk Ira ke sebuah kafe di sudut jalan. Aku hanya mengangguk.
Segera aku berjalan mengikuti Ira masuk ke dalam kafe. Suasananya cukup nyaman. Tempatnya tidak terlalu luas. Dengan desain interior yang minimalis namun rapi dan bersih. Terdengar pula alunan music klasik memenuhi seisi kafe tersebut. Yah, lumayanlah, pikirku. Setelah memesan makanan, kami segera duduk dan menikmatinya.
“Rio, itu Anna kan?” ujar Ira tiba-tiba sehingga membuatku menghentikan makanku tiba-tiba. Aku segera melihat ke arah Ira menunjuk. Setelah kulihat, ternyata benar Anna. Tapi apa yang dia lakukan di sini.
“Aku ajak gabung ke sini ya Yo, biar kita bisa kumpul lagi kayak dulu.” Kata Ira. Aku hampir tersedak mendengarnya. Tapi aku tak bisa menahan Ira karena Ira keburu berlari ke arah Anna. Aku pun segera mengalihkan fokusku ke makanan di hadapanku yang belum habis. Tak berapa lama, Ira sudah kembali duduk ke tempatnya tadi. Dan Anna duduk, tepat di hadapanku.
“Nah, sekarang kita udah ngumpul lagi.” Kata Ira dengan nada senang. Aku tak menanggapinya dan masih terus mengunyah kentang goreng dan memainkan gelas minumku. Kulihat, Anna masih tertunduk diam. Sedangkan Ira terlihat kebingungan melihat sikapku dan Anna.
“Aku permisi ke kamar kecil ya.” Ujarku kemudian pergi meninggalkan Ira dan Anna berdua.
Sesampainya di kamar kecil, segera kubasuh tanganku dengan air. Namun aku sengaja berlama-lama karena memang alasanku memang ingin menghindari Anna setelah aku melihatnya ada di pelukan Denis tadi. Setelah kupikir cukup lama, segera aku kembali ke meja. Kulihat Ira sudah sendirian. Itu berarti Anna sudah pergi.
“Lama banget sih Yo, Anna keburu pergi.” Kata Ira mendengus kesal ke arahku.
“Iya iya maaf, perutku sakit banget tadi. Jadinya ya lama.” Kataku beralasan sambil memasang senyum polos.
“Rio..” panggil Ira, kali ini dengan nada serius.
“Ada apa Ra?” tanyaku.
“Anna tadi udah cerita sama aku.” Jawab Ira.
“Cerita apa Ra?” tanyaku semakin penasaran. Aku bertanya-tanya apa yang sudah Anna ceritakan kepada Ira.
“Anna udah cerita kalau dia mau nglanjutin kuliahnya ke luar negeri. Dia juga bilang, kalo dia pengen minta maaf ke kamu karena udah diemin kamu seharian tadi.” Lanjut Ira.
“Itu aja?” tanyaku sambil memajukan badanku.
“Dia juga berharap kamu gak salah paham pas dia nangis di pelukan.. Eng.. Denis, ya Denis. Dia gak sengaja ketemu Denis dan gak bisa menghindar ketika Denis berusaha nenangin dia karena Anna bilang kepalanya tiba-tiba sakit.” Ujar Ira kemudian.
Aku menghempaskan punggungku ke sandaran kursi. Aku menunduk lesu tak mampu berkata apa-apa mendengar semua kata-kata Ira, bukan. Kata-kata Anna yang disampaikan Ira. Menyebalkan rasanya tersangkut di dalam perangkap perasaan yang rumit ini.
“Udahlah Yo, besok kan masih ketemu di sekolah. Pulang yuk, udah kenyang nih.” Kata Ira. Aku hanya mengangguk kemudian keluar bersama Ira.
***
Di dalam kamar, aku hanya rebahan sambil sesekali memeriksa ponselku. Berharap ada pesan atau telepon dari Anna. Tapi sama sekali tak ada. Dan untuk pertama kalinya, aku merindukan sosok Anna yang selalu marah-marah dan meneriakiku ‘cungkring’ ketika aku memanggilnya ‘sipit’. Momen sederhana yang sekarang sangat kurindukan. Padahal belum tentu dia merindukanku. Lagi pula aku hanya sahabatnya. Ah, benar-benar menyebalkan. Dan karena sudah tak tahan, aku pun mengirim sebuah pesan singkat ke nomor Anna..
[to: ~sipit]
Sipit.. Marahin aku dong :D
Dengan sedikit candaan, aku berharap dia membalasnya. Tapi sampai hampir tengah malam kutunggu, tak ada balasan darinya. Ya sudahlah, aku akhirnya tidur.
Keesokan harinya, aku mengecek ponsel dan tetap tak ada balasan dari Anna. Setelah mempersiapkan diri, aku bergegas berangkat dan tempat pertama yang kutuju adalah.. Rumah kediaman keluarga Anna.
Setelah sampai di sana, aku segera masuk setelah pak satpam membukakan pintu gerbang. Dan seperti biasa, ada bi Inah yang menyambutku dengan senyuman ramahnya.
“Eh, mas Rio. Mau jemput non Anna ya?” tanyanya sambil menyirami tanaman.
“Iya bi. Anna-nya udah berangkat belom?” tanyaku.
“Kayaknya belom mas. Tunggu aja, mungkin bentar lagi keluar.” Jawab bi Inah.
Tak berapa lama, kulihat Anna berjalan keluar dari pintu rumahnya. Jantung berdegup tak keruan menunggu dia mendekat dan semakin mendekat ke arahku dan bi Inah. Dan, ya! Dia sudah berada di hadapanku. Aku mendadak tak bisa bergerak.
“Berangkat dulu ya bi Inah.” Kata Anna kemudian ngeloyor keluar. Dan setelah kudapatkan kembali kesadaranku, segera aku berlari mengejar Anna.
“Anna.” Panggilku setelah aku dapat menyusul langkahnya.
Ya, ada apa Rio?” tanyanya ringan seolah tak terjadi apa-apa. Hah, ada apa ini? Kenapa seperti ini tanggapannya? Begitu ringan. Seharusnya aku senang, tapi justru aku merasa aneh dan canggung.
“Aku khawatir sama kamu An.” Kataku sambil berdiri di hadapannya. Anna pun menghentikan langkah kakinya. Dia terdiam tak menjawab kata-kataku.
“Tolong Anna, cerita sama aku. Kamu kenapa?” tanyaku sambil memegang pundaknya. Tiba-tiba saja Anna memelukku.
“Aku gak mau jauh dari kamu Rio.” Kata Anna lirih. Ya, meskipun sangat lirih, aku masih dapat mendengarnya. Reflek, tanganku langsung memeluk tubuh Anna.
“Aku juga gak mau jauh dari kamu Anna. Aku sayang kamu.” Kata-kataku begitu saja meluncur tanpa bisa kukendalikan karena aku sudah terbawa suasana. Dan yang kurasakan, tangan Anna makin erat memelukku.
“Anna.” Kataku pelan.
“Iya, Rio.”
“Kita mau pelukan sampe kapan? Ini udah jam berapa? Nanti kita telat nyampe sekolah lho.”
“Eh, eng.. Iya iya Yo, maaf.” Katanya kemudian melepaskan pelukannya. Pipinya memerah.
“Yuk, cepetan. Nanti kita bisa telat lho, jam pertama jam-nya Bu Sinta.” Kataku sambil menarik tangan Anna mengajaknya berlari.
“Yuk.” Ujar Anna pelan kemudian mengikutiku berlari.
Entah kenapa pagi ini begitu berbeda dari kemarin. Ada beban berat yang sepertinya sudah terlepas dari punggungku sehingga aku bisa bergerak bebas. Tertawa lepas dan tersenyum puas melihat Anna yang juga tampak tertawa riang.
***
“Teeett!!” Bel istirahat baru saja berbunyi. Suasana kelas yang tadinya senyap mendadak berubah riuh oleh suara siswa yang mulai mengobrol dan juga melangkah keluar menuju ke kantin. Sedangkan aku masih tetap duduk di kursiku dan mengutak-atik rumus matematika yang entah mengapa seolah menantangku dengan variable mematikannya.
“Rio, ke kantin yuk.” Ajak Anna tiba-tiba.
“Wesssss!! Annaaa…” ujarku kaget. Nampak Anna terkekeh melihat tingkahku.
“Hahaha. Serius banget sih Yo. Udah deh, itunya nanti aja. Sekarang ke kantin dulu yuk, laper nih.” Kata Anna sambil mengelus-elus perutnya.
“Iya iya. Yuk.” Aku bangkit berdiri.
Kami berjalan berdua menuju ke kantin sambil sesekali membahas materi pelajaran. Sesekali ada candaan diikuti tawa dari mulut kami. Sesampainya di kantin, kami langsung memesan makanan dan mencari tempat duduk.
“Selamat makaaan.” Ujar Anna ketika bakso dan es sirup pesanan kami datang. Tanpa menunggu aba-aba, Anna langsung melahap bakso di hadapannya. Aku hanya bisa melongo melihatnya.
“An, kamu laper ya?” tanyaku masih tak mengalihkan pandangan dari Anna.
“Banget Yo, tadi pagi gak sempet sarapan. Bangun kesiangan soalnya.” Kata Anna sambil nyengir.
“Makanya jangan begadang terus dong Anna. Jaga kesehatan, jangan sampe gak sarapan. Sarapan itu penting lho. Biar gak lemes kalo pagi-pagi ada aktivitas yang banyak.” Ujarku panjang lebar tanpa sadar.
“Rio.” Kata Anna pelan.
“Iya Anna.” Jawabku. Kulihat raut mukanya berubah serius.
“Aku gak pengen jauh dari kamu Yo. Cuma kamu yang selalu perhatian dan selalu ada buatku bagaimana pun kondisiku.” Dan tangan Anna menggenggam tanganku.
“Aku gak bakal jauh dari kamu An.” Ujarku sambil tersenyum. Namun sejujurnya aku ragu apakah bisa tetap berada di dekat Anna. Karena aku tahu, dia akan pergi jauh selepas lulus nanti. Ah! Semakin tak menentu saja.
“Anna, bisa ngomong sebentar gak?” Tanya seseorang yang tiba-tiba ada di samping Anna.
“Ngomong apa Denis?” Anna bertanya balik.
“Udah, ikut aku dulu yuk.” Ujar Denis kemudian menarik tangan Anna.
“Enggak ah, aku mau makan dulu.” Kata Anna menolak. Tapi Denis sama sekali tak melepaskan tangan Anna.
“Ayolah An.” Kata Denis lagi. Anna tak menjawabnya, hanya berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Denis, tapi tak mampu.
“Eh, jangan gitu dong. Kalo Anna gak mau, ya jangan dipaksa.” Ujarku.
“Jangan ikut campur. Ini urusan gue sama Anna.” Kata Denis tanpa menatapku. Anna masih berusaha menarik tangannya walaupun itu tak mungkin karena tenaga Denis lebih besar.
“Denis. Lepasin Anna!” teriakku karena tak tahan melihat sikap Denis. Sontak, aku menjadi perhatian semua orang yang ada di kantin.
Tanpa berkata apapun, tiba-tiba Denis melepaskan tangan Anna kemudian berjalan ke arahku kemudian.. BUGG!! Sebuah tinju yang cukup kuat melayang ke wajahku. Aku yang tak siap karena masih duduk di kursi pun terjatuh. Kepalaku membentur lantai cukup keras. Mendadak ada rasa sakit yang amat sangat menjalar memenuhi kepalaku dan pandanganku mulai kabur.
“Rio!” aku masih mendengar suara Anna dan melihatnya mendekatiku yang tak mampu bangun. Tapi semuanya semakin gelap dan aku pun tak sadarkan diri.


~ to be continued ~


Yang lagi gak buru-buru, bisa dong ya ninggalin komen di kotak komentar. Gratis kok, gak usah bayar. :p
Share:

Still.. Stuck On You! -- Part - I



“Segenap asaku yang pedih tertahan oleh jiwa pengecutku, perlahan digerogoti oleh kenyataan yang dengan lantang mengungkapkan ketidakmampuanku menghapusmu dari alur kisah hidupku…”


Hujan masih setia bernyanyi menemaniku. Nada-nada tak beraturan itu saling bersahutan satu sama lain. Aku mendengarkannya sambil sesekali mengulurkan tanganku untuk menyentuh hujan. Beberapa kali tersenyum, beberapa kali tertawa. Yah, untung saja aku sendiri. Jika tidak, aku sudah diteriaki ‘orang gila!’ hahaha.
Sore ini memang terasa lain. Hujan seperti sedang betah untuk bersenandung. Langit yang sedari tadi murung bertopeng mendung. Entah ada apa dengan mereka. Tapi, sepertinya mereka sedang ikut merayakan kesedihanku. Benarkah? Aku pun tak tahu. Tapi aku berpikir begitu, agar aku tak semakin kalut hanyut dalam sepi.
“Rio!” tiba-tiba terdengar teriakan seseorang memanggil namaku. Aku menoleh, dan kulihat seorang gadis berambut hitam panjang sedang cemberut menatapku.
“Iya.” Jawabku pendek sambil melempar senyum. Dia pun berjalan ke arahku, sambil masih cemberut tentunya. Semakin dekat dan semakin dekat. Dan…
“Aaawwww!” sebuah cubitan yang cukup telak membuat lengan kiriku lebam dan sakit tentunya.
“Ke mana aja sih, dari tadi ditungguin di kantin malah ngilang gak tau ke mana.”  Kata gadis itu sambil masih cemberut. Kali ini ditambah berkacak pinggang.
“Gak ke mana-mana sipit.” Kataku sambil mengacak-acak rambutnya. Dan kulihat, level cemberutnya sudah mulai berkurang. Tapi masih belum mau tersenyum.
“Ih, manggil aku sipit. Dasar Rio tuh cungkring.” Balasnya kemudian menjulurkan lidah. Aku hanya tertawa melihat dia seperti itu.
“Iya iya. Udah sore nih. Ujannya juga udah reda. Yuk pulang, nanti papa kamu nyariin.” Ajakku kemudian menarik tangannya. Tanpa berkata apa-apa, dia mengikuti langkahku.
Verianna A… Nama gadis yang saat ini berjalan di sebelah kiriku. Seperti aku memanggilnya tadi, matanya cukup sipit karena dia memang keturunan Jepang. Kulitnya pun putih. Rambut hitam, panjang, lurus. Wajah oriental yang sangat manis bila sedang tersenyum. Tapi sayangnya dia sangat pelit untuk tersenyum. Tapi tak apalah, yang penting aku sudah pernah melihat senyum ‘langka’ seorang Verianna Azuka. Haha.
Sepanjang perjalanan menyusuri citiwalk, aku menghabiskan waktu untuk melihat sosok Anna, begitu aku biasa memanggilnya, yang masih cemberut dan tak mau bicara padaku. Ah sial, gadis ini memang menyusahkan kalau sedang marah.
***
Sampai di depan gerbang rumahnya, Anna menghentikan langkahnya. Cukup lama dia berdiri, tidak segera masuk ke rumahnya. Aku mencoba menengok melihat wajahnya. Dan.. Demi apapun yang jatuh dari langit, aku melihat seorang Anna menangis! Hal yang cukup.. langka.
“Kamu kenapa An?” tanyaku. Anna hanya terdiam dan tertunduk. Kelihat, kedua tangannya seperti menggenggam sesuatu. Dia seperti ingin menyembunyikan benda itu dariku.
“Anna… Ada apa?” tanyaku lagi. Kali ini Anna langsung memelukku. Dan.. Aku hanya bisa diam tak bergerak. Sesekali kudengar isak tangis Anna yang berusaha dia tahan. Beberapa detik kemudian, Anna melepaskan pelukannya.
“Denis mutusin aku Yo. Dia kasih surat ini tadi, tanpa ngomong apa-apa.” Kata-kata Anna yang cukup lancar meskipun terselip isak tangisnya.
Aku meraih secarik kertas yang disodorkan oleh Anna. Kubaca sebentar. Tapi isi surat itu sama sekali tak kubaca seluruhnya. Karena yang sekarang mengganggu pikiranku adalah Anna yang sedang sedih, sangat sedih. Kami bersahabat sejak kecil, karena orang tua kami memang rekan bisnis dan juga sangat saling mengenal. Dan memang aku sudah lama memendam rasa suka, cinta, atau apalah namanya pada Anna semenjak kami masih kelas 3 SMP, dan sialnya aku masih belum bisa menghilangkan rasa itu hingga kini, kelas 3 SMA, dan hampir lulus.
“Udah An, masih banyak kok cowok di dunia ini gak cuma Denis aja. Jangan sedih yaa.” Kataku berusaha menghibur kesedihan Anna.
“Tapi Rio…”
“Move On dong sipiiit. Masa iya semangat Bushido-nya seorang Anna tumbang gara-gara diputusin seorang cowok. Ganbatte!” kata-kataku yang begitu saja terlontar, sambil tersenyum. Senyum yang agak kupaksakan.
“Cungkriiing! Berapa kali aku bilang, jangan panggil aku sipiiit!!” teriaknya sambil mencubiti kedua lenganku. Ya, kata-kataku tadi ternyata cukup manjur. Kulihat Anna tak lagi murung seperti beberapa menit tadi.
“Udah udah. Masuk sana gih, mandi terus makan. Jangan lupa belajar, besok ada ulangan lho.”
“Siap Rio cungkriing.” Katanya sambil berlari masuk. Aku hanya tersenyum melihat sosok Anna hilang di balik gerbang tinggi itu.
Sepanjang perjalanan menuju rumah, aku masih merenungkan Anna dan perasaanku padanya. Apa aku harus mengungkapkannya, atau kutahan saja? Ah.. Sial, hampir saja aku menabrak tiang listrik karena memikirkan hal itu.
Sesampainya di rumah, setelah mandi, makan, dan sholat, aku langsung melahap materi-materi yang ada di dalam buku tebal di meja belajarku. Hampir muntah ketika aku mengerjakan soal latihan matematika yang ada di buku. Dan aku tak jadi muntah ketika kudengar handphoneku berdering. Ada SMS masuk.
[from: ~sipit]
Rio, mksh ya td ud ksih smngat buatku.. J
Lumayan, pikirku, aku bisa sedikit tersenyum karena SMS Anna, dan tak jadi muntah karena soal latihan matematika.
[to: ~sipit]
Sama2 An. Ud shrusnya seorg shbat, ksh smngat bwt shbatnya yg lg down.. ^^
[from: ~sipit]
Oiya Yo, bsok jgn lupa jmput lho ya. Awas klo lupa..
[to: ~sipit]
Siap sipiiit.. dijamin gak lupa kok.. :p
[from: ~sipit]
Aaakk! Cungkring nybeliiin.. dasarr.. :@
[to: ~sipit]
:p ud, bljar sana. Ingt, bsok ulangan..
[from: ~sipit]
Iya iya, siap bos cungkring.. :p
Aku tak membalas SMS terakhirnya. Pikiranku bisa sedikit tenang karena Anna sudah bisa bercanda seperti biasanya. Kulanjutkan lagi pergulatanku dengan soal ujicoba matematika.. Fighting!
***
Keesokan harinya, seperti biasa aku datang untuk menjemput Anna. Sesampainya di rumah Anna, aku sudah disambut bi Inah, pembantu di keluarga Anna, yang sedang menyapu halaman depan. Sambil menunggu, aku ngobrol dengan bi Inah, hingga aku mendapat kabar yang cukup tak mengenakkan hati dan perasaanku.
“Mas Rio udah tau belum?” tanya bi Inah di tengah obrolan. Sontak aku kaget dan bingung.
“Apaan bi?” aku balik bertanya.
“Non Anna mau pindah keluar negeri mas Rio. Mau kuliahnya di sana.” Terang bi Inah sambil terus menyapu. Jantungku seperti berhenti berdetak selama 2 detik mendengarnya. Anna akan pindah?
“Tapi kok Anna sama sekali gak cerita ke saya ya bi.” Aku mengucapkannya sambil berusaha menenangkan tubuhku yang bergetar.
“Emang baru tadi malam mas Rio, Tuan nyuruh non Anna nerusin kuliah di luar negeri. Mungkin nanti non Anna bakal cerita ke mas Rio.” Terang bi Inah.
“Iya bi.” Kataku lemah. Beberapa menit kemudian, kulihat Anna sudah keluar dari rumahnya. Wajahnya tampak sedikit murung. Dia berjalan ke arahku dan bi Inah.
“Yuk berangkat An. Mari bi Inah.” Bi Inah hanya tersenyum dan melambaikan tangannya.
Seperti biasa, aku berjalan di samping kanan Anna. Dan seperti kemarin sore, sama sekali tak ada suara dari mulutku maupun mulut Anna. Sedikit kulirik Anna, dia berjalan sambil menundukkan kepalanya. Rambut panjangnya seolah menolak pandangan mataku untuk menatap lebih jelas wajah Anna. Saat hampir sampai gerbang sekolah, karena tak tahan, aku pun menegur Anna.
“Anna.” Kataku sambil menghentikan langkahku. Anna ikut menghentikan langkahnya, tapi masih diam saja.
“Ada apa An? Kenapa diem aja? Masih ngambek gara-gara kemarin ya?” tanyaku. Tapi Anna justru semakin menunduk. Aku coba membungkuk dan menatap ke wajah Anna. Dan… Anna menangis lagi.
“Maaf Rio.” Kata Anna singkat kemudian berlari masuk ke sekolah meninggalkanku.
Aku pun melangkah pelan melewati gerbang sekolah, kemudian berjalan menuju kelas. Pikiranku tak henti-hentinya memikirkan Anna, hingga aku tak sadar ada seseorang yang berjalan di depanku.
“Buggg!!” tabrakan pun tak terhindarkan.
“Maaf, gak sengaja.” Kataku sambil membantunya merapikan buku-bukunya yang jatuh.
Aku berdiri dan menyerahkan buku-buku di tanganku. Saat kulihat, ternyata seorang gadis. Dan cukup familiar. Aku mengernyitkan dahi ketika gadis itu hanya cengar-cengir misterius kepadaku. Dia mengambil bukunya yang ada di tanganku.
“Rio lupa ya sama aku?” tanya gadis itu. Ha? Kenapa dia tahu namaku? Siapa gadis ini?
“Siapa ya?” tanyaku, sambil masih berusaha mengingat-ingat.
“Sahabat sejati adalah mereka yang selalu ada untukmu bagaimanapun keadaanmu. Mereka ikut tertawa melihat kebahagiaanmu, dan mereka memberi semangat melihat kesedihanmu.” Katanya sambil tersenyum.
“Ira?” Ira tersenyum dan mengangguk. Aku pun teringat pada gadis ini, Ira. Sahabat yang aku dan Anna kenal ketika sedang berlibur ke rumah kakek Anna di Bandung. Tapi, ada apa dia di sini? Bukankah jarak Bandung dan Jogja cukup jauh?
“Kamu ngapain di sini?” tanyaku penasaran.
“Aku pindah ke sini Rio.” Kata Ira sambil membetulkan tumpukan bukunya.
“Loh, kok tanggung banget? Kan tinggal beberapa bulan lagi ujian.” Tanyaku, kali ini kami berbincang sambil berjalan menyusuri koridor sekolah. Kemudian duduk di bangku taman sekolah.
“Orang tuaku dipindah tugas ke sini Yo. Dan karena aku pernah denger Anna sama kamu sekolah di sini, ya akhirnya aku memutuskan pindah ke sini.” Terang Ira sambil tersenyum.
“Oh, gitu.” Ujarku pendek sambil memencet-mencet handphone-ku asal-asalan.
“Anna mana Yo?” Tanya Ira tiba-tiba.
“Dia udah ke kelas tadi.” Jawabku dengan nada lesu.
“Udah lama nih, gak ketemu kalian berdua. Pengen maen bareng lagi.” Kata Ira.
“Hahaha, iya dong. Tapi kalo ujian udah kelar pastinya.” Timpalku. Ira tersenyum.
“Yaudah, aku duluan ya Yo. Mau ke ruang kepala sekolah.” Kata Ira yang kemudian bangkit berdiri.
“Ok, ati-ati ya Ra.” Ira pun tersenyum kemudian pergi.
Ira Adinda.. Tak kusangka bisa bertemu dengan gadis riang ini di sini. Masih tetap seperti dulu dan tak berubah. Selalu membawa atmosfer menyenangkan setiap kali ngobrol dengannya. Sudahlah, tak perlu terlalu lama dipikirkan.
Aku bergegas bangkit dari dudukku untuk lekas menuju ke kelas. Saat berbalik, aku hampir melompat ke belakang karena kaget. Ada Anna yang berdiri di situ.
“Eh, Anna. Dari kapan berdiri di situ?” tanyaku sambil melangkah ke arahnya. Tapi Anna hanya diam saja dan perlahan melangkah mundur kemudian berlari pergi.

“An! Anna!” panggilku, tapi Anna sama sekali tak berhenti.

***

to be continued...


Hey YO! Butuh komentar, kritik, dan saran untuk kelanjutannya... Ayolah, jangan pelit ngisi kotak komentar.. OK? ^^,
Share: