Penumpang, Kesombongan, dan Amnesia

Hmm ... gara-gara lama nggak nge-blog kayaknya bikin saya rada goblo* nih. Jadi nggak perlu deh pake kalimat-kalimat (sok) bijak untuk membuka posting random pertama di bulan Maret 2017 ini. (Bilang aja males mikir)

Oke, jadi sebenarnya saya pengin cerita. Pagi ini, seperti biasa sebelum nulis content di blog baru yang saya urus, blog milik salah satu pusat kerajinan tembaga dan kuningan di Tumang Boyolali, saya melakukan sedikit riset di google. Biasalah, mengecek persaingan keyword di google dan melihat seperti apa hasil penelusurannya dengan keyword terkait. Dan sesuai dengan konten yang akan saya bikin, saya mengambil keyword seputar replika pintu nabawi.

Lalu ada apakah gerangan kok saya sampai nulis kegiatan remeh tersebut di blog? Nah. Pas googling gambar dengan keyword tersebut, saya nemu 1 gambar replika pintu nabawi yang cukup familiar. Seperti mengalami de javu, deja vu, de ja vu(?) entahlah. Pokoknya kurang lebih perasaan seperti pernah melihat foto tersebut entah di mana. Dan setelah melakukan scan memory di otak, bohlam lampu 5 watt saya pun menyala. Menampilkan ingatan tentang desain replika pintu nabawi yang pernah saya buat entah berapa tahun yang lalu. Desain yang serupa dan sama.

Tiba-tiba saja ada perasaan aneh yang bergolak di batin saya. "WTF?!" "Kok bisa sampe di situ sih?!". Ya, kurang lebih begitulah respon saya. Dalam hati. Tapi kalau dirangkum, ada 2 kubu perasaan yang bisa dikelompokkan. Yang pertama, perasaan patah hati. Nggak perlu dijelasin lah ya~. Yang kedua, perasaan senang. Karena desain yang (kayaknya) pernah saya buat, hasilnya benar-benar di luar ekspektasi saya sendiri.

Well, demi menjaga kesehatan otak dan hati supaya nggak kena racun, saya lebih memilih perasaan yang kedua. Menikmati setiap lekuk dan guratan '3D' yang sebelumnya hanya sebatas cetak biru digital. Memang awalnya ada perasaan tidak terima karena saya merasa 'memiliki' desain tersebut. Tapi setelah dipikir-pikir lagi, kok, rasanya saya sombong amat. Cuma bisa menggambar di Corel kok udah sok gaya-gayaan. Apalagi perasaan sok 'memiliki'.

Memang benar ya, eksklusivisme seringkali membuat manusia lupa dan terbuai karena merasa memiliki apapun. Tapi pada akhirnya justru membuat kita merasa selalu kurang. Dan lebih sering merasa gelisah daripada bahagia. Takut kehilangan. Seolah 'milik kita' selalu dirampok tiap detiknya. Padahal kita sebenarnya nggak memiliki apa-apa. Dan setelah tahu kalau kita aslinya nggak punya apa-apa, lalu apa lagi yang mau kita sombongkan? Aduh, pengen banget minta ampun. Entah sama siapa.

Berkaca pada cerita saya, yang entah bisa disebut cerita atau tidak, dan terlebih lagi relevan atau tidak, kita sebaiknya tetap sadar kalau kita ini cuma manusia. Makhluk yang diusir dari langit, lalu numpang hidup di bumi. Dan seolah amnesia kalau cuma numpang, manusia berubah jadi parasit untuk bumi yang begitu kejam. Jauh lebih kejam dari fitnah. Itu baru dilihat dari relasi manusia-bumi. Kalau dilihat dari relasi manusia-manusia, wah ... saya nggak bisa ngomong apa-apa.

Intinya, sekali lagi, ingatlah kalau kita ini cuma manusia. CUMA MANUSIA. Kita tidak punya hak apapun untuk sok merasa lebih tinggi dari makhluk lain. Apalagi merasa lebih tinggi dari sesama manusia. Kita ini cuma numpang. Dan apa yang kita punya sekarang ini cuma sulap. Titipan. Besok mau diambil yang punya, Yang Maha Memiliki pun bisa. Jadi ingatlah. Kita cuma manusia.

~ manusia yang sedang merutuki kesombongan dirinya
Share: