Sky Sailing - Brielle (@NVRstepback Cover)

Entah apa yang sudah merasuki tubuh dan jiwa saya, sampe-sampe saya bisa-bisanya ngrekam aksi gaje saya pas maen gitar sambil nyanyi pake cam laptop. Di-upload ke yutup pula. Astaghfirullahaladziim.. (-_____-")

Ini nih, lagunya Sky Sailing. Eh, bentar.. Pada tau Sky Sailing nggak? Nggak tau? Oh. Pengen tau nggak? Enggak? Yaudah deh. Eh, ada yang pengen tau? OK. Tau Adam Young? Owl City? Nggak tau juga? Ya ampooonnn.... (-_____-")

http://media.focusonthefamily.com/blogmedia/images/plugged-in/AdamYoungOwlCity.jpg
Penampakan Adam Young
Tuh potonya bang Adam Young.. Hah? Masih nggak tau??
Yaudah ah, kalo pengen tau tanya paman saya yang sangat pinter ajah => Paman Google..
Share:

Beat Crusaders - Moon On The Water (@NVRstepback Cover)


Pernah sekali waktu, pas pagi-pagi di kamar kost lagi males berangkat pagi. Ane nyalain laptop terus megang gitar. Lalu teringat sebuah lagu yang lumayan bagus, tapi sayangnya kurang terkenal. 'Moon On The Water' yang dinyanyiin sama sebuah band bernama 'Beat Crusaders'. Lagu ini nongol di salah satu anime berjudul 'BECK Mongolian Chop Squad' yang diadaptasi dari manga yang berjudul 'BECK'.

http://fc08.deviantart.net/fs32/f/2008/228/9/e/BECK_mongolian_chop_squad_wall_by_Omi_Niwa.jpg
Penampakan Anime 'BECK Mongolian Chop Squad'
'BECK' bercerita tentang perjuangan sebuah grup band bernama BECK yang ingin menjadi terkenal. BECK berawal dari pertemuan aneh antara Ryusuke Minami dan Yukio 'Koyuki' Tanaka, dan... Beck, anjing Ryusuke Minami. Eh eh eh, ini ane bukan maksud mau bikin ulasan tentang 'BECK' lho yaa. Malah jadi ngelantur. Kalo pengen tau ceritanya 'BECK' kayak gimana, mending langsung tanya sama paman Google aja sono. Dia pasti lebih tau.
  
Nah, akhirnya ane iseng-iseng deh nyanyi sambil jreng-jreng gaje dan ane rekam pake cam laptop. Jangan berharap suara yang merdu karena ane bukan penyanyi. This is just iseng semata.. Muihihihihi


Share:

#DearKamu | Hanya Rangkai Kata Biasa


#DearKamu …. Pernahkah kau tau? Bahwa jiwaku telah terlelap dalam dekap hatimu.. Teduh awan senja menggulung, indah pelangi memudar melihat hadirmu.. Ya, karena semua ini tentangmu. Tentang arti adamu…

Aku masih duduk di sini bersama banyak orang yang sama sekali tak kukenal. Hanya beberapa wajah yang sempat kuingat adalah wajah-wajah yang pernah kutemui semasa aku berada di bangku sekolah dulu. Aku tak begitu mengenal mereka. Bagaimana dengan mereka? Apakah mereka mengenalku? Ah… Aku tak peduli akan hal itu.

Sebuah layar LCD berukuran cukup besar yang ada di depan mulai menampilkan adegan sakral. Meskipun berada di tempat duduk paling belakang, aku masih bisa menatapnya dengan jelas dari balik kacamata minus-ku. Ya, sebuah adegan yang entah mengapa justru membuat dadaku sesak dan perih. Ada yang tak beres dengan semua ini, pikirku.

#DearKamu …. Aku ingin bertanya.. Aku  merasakan sebuah rasa. Rasa yang terasa.. Ah, aku tak tau. Aku tak mampu berkata dan mengungkapkannya. Namun seorang memberitahuku, rasa itu bernama cinta. Benarkah itu?

Frame demi frame, scene demi scene tak satupun lepas dari mataku. Ketegangan dari masing-masing pelakunya begitu terasa. Suasana yang begitu hening dan kata demi kata yang terdengar sangatlah nyata. Sejurus kemudian titik air mata menghiasi ending-nya. Dan layar LCD itu perlahan berganti kembali menjadi biru hampa.

Selesai. Tak ada lagi adegan itu. Tapi sesak dan perih masih terasa. Aneh, pikirku. Tanpa sadar ternyata aku tengah menggenggam dadaku. Ingin kulepas, tapi justru makin sakit ketika coba kulepas. Nafasku sedikit tertahan karena menahannya. Mataku pedih, meski aku tahu sama sekali tak ada debu yang menusuk mataku. Tapi ada bulir air yang terasa hampir tumpah dari sudut mata.

#DearKamu …. Janji adalah sebuah sebuah hutang. Dan aku sedang mengurai tenaga demi tenagaku membayar janjiku. Aku bertahan. Untuk janji itu. Untuk rasa yang mereka bilang bernama cinta…

Terduduk dan tertunduk lesu dalam bisu. Ada berbagai kata dari mulut orang-orang di sekitarku. Kata-kata yang sama sekali samar dan sulit kudengar. Ada apa denganku? Pikirku. Namun tetap kembali tanpa jawaban dan tanya itu tetap mengambang. Aku merasa, panca indraku seperti kehilangan fungsinya. Perlahan, tapi pasti.

Aku menegakkan pandanganku. Bergeser pelan ke arah kanan. Terhenti pada sosok wajah seorang wanita yang rasanya pernah kukenal. Berjalan pelan dengan seorang lelaki di sisi kanannya. Mereka berdua berjalan dengan padu menuju singgasana yang memang disiapkan untuk mereka. Mataku lelah dan mulai meneteskan keringat, tapi masih enggan untuk berhenti menatap wajah itu. Hey! Kenapa aku?

#DearKamu …. Lihat aku! Aku di sini berdiri dan bertahan untuk berbagi hidup denganmu. Aku lelah, tapi aku tetap di sini untukmu. Mengertilah!

Tanganku meraih sebuah benda dari saku kiri celanaku. Mataku memandang lekat. Dan… Ada aku bersama seorang wanita yang wajahnya sangat mirip dengan wanita di singgasana itu. Ada apa? Seharusnya mereka berbeda! Tapi apakah mungkin mereka sama? AAARRGHH!! Dadaku sesak menahan teriakanku yang tak kuasa melompat keluar dari kerongkonganku.

Sial! Aku tak sanggup terus berada di sini! ..pikirku. Segera aku berdiri, dan mulai melangkahkan kaki meninggalkan tempat itu. Sempat sesaat kumemandang ke arah wanita itu. Dan… Entah kenapa mata kami saling beradu. Hanya 3 detik, tapi cukup untuk menguras habis segenap darah yang ada di dalam tubuhku. AAARRGHH!!

Tubuhku terasa lemah tapi kupaksakan untuk terus berlari menjauh. Dan aku menangis.. Sial! Kenapa aku menangis? Kenapa aku harus merasa sedih? Kenapa aku merasakan rasa sakit yang sangat dalam? Kenapa?!

#DearKamu …. Aku ingin merasa bahagia. Tapi aku lebih ingin kamu merasa bahagia. Tak apa jika aku harus merasa sakit. Namun, sakit ini terlalu dan aku sudah tak mampu..

Nyanyian seorang pengamen menghentikan langkahku. Suaranya parau menyanyikan sebuah lagu yang sepertinya pernah kudengar dan begitu familiar di telingaku. Tertunduk meresapi tiap lirik dan nada yang mengalun. Makin dalam.. Makin dalam rasa sakitku. AAARRGHH!!

Ah.. Bagian refrain lagu itu. Ada apa ini? Tiba-tiba saja aku teringat pada sesuatu yang seharusnya sudah kulupakan. Kenangan itu. Kenangan yang sangat indah. Sungguh indah. Bahkan, terlalu indah dan terlalu menyakitkan. Semuanya kembali masuk dan mulai merongrong seisi otakku. Mencabik segenap jantung dan hatiku yang sudah tersayat dan hampir kehabisan darah.

Aku berjalan lesu. Dia… Sovia Larissa. Yang dulu sering kupanggil ‘Via’. Yang dulu pernah mencintaiku. Yang aku cintai… Sampai detik ini. Yang, bahkan, masih saja kurindukan dan kuharapkan. AAARRGHH!! Dan baru saja kulihat dia bersama seseorang yang lain. Mengikat diri dalam janji suci nan sakral bernama ‘pernikahan’. Ah, sial! Bodohnya aku mengharapkan dia. Semua terlambat untukku…

#DearKamu …. Aku lelah. Lelah merasakan rasa bodoh bernama cinta ini. Karena rasa ini telah menenggelamkanku pada ilusi rasa sakit yang nyata. Yang perlahan membunuhku…

Senja menaungiku. Tersenyum hangat berusaha menghibur aku. Semburat jingganya seolah berusaha menyentuh jiwa lelahku. Meski berat, aku berusaha tersenyum. Tak mungkin selamanya begini, pikirku. Ya.. Senja mengingatkanku untuk tetap berdiri dan terjaga dari lamunan tanpa tujuan. Via.. Ya, kuharap bersama lelaki itu, dia dapat meraih bahagia yang dia impikan…

 http://whitedolphinwoo.files.wordpress.com/2012/02/wpid-21437-punya-google.jpg

Senja…

Datangmu tak pernah kunyana..

Kilau jinggamu begitu sederhana..

Namun, hadirmu begitu bermakna..

Senja.. Terima kasih….
Share:

DANAU TERKUTUK | Kutukan Malam

Judul : Danau Terkutuk
Author : Anonim

http://www.weirdus.com/states/new_york/local_legends/lady_of_lake_ronkonkoma/1_small.jpg

DANAU TERKUTUK

Remi menatap langit yang gelap dan dingin. Awan hitam tebal menutupi lewatnya cahaya bulan yang biasanya menemani di setiap malam. Angin malam yang dingin berhembus kian kencang. Air danau yang dingin tak menyurutkan semangat Remi untuk menemukan benda itu.

“Oii…sampai kapan kau mau di situ? Pulanglah.” Ujar seorang nenek tua yang kebetulan lewat. Ia membawa baki yang berisi kue-kue jualan yang mungkin sudah tak laku lagi. Remi memperhatikan nenek itu sebentar lalu melanjutkan pencarian tanpa menghiraukan nasihat nenek itu.

“hey…dasar bocah tak tahu adat. Dengarkan kalau nenek bicara, atau sebenarnya kamu itu tuli dan bisu?” Ujar nenek berang karena tak dihiraukan. Remi melotot ke arah nenek tersebut, lalu pergi meninggalkan tempat itu. Si nenek terus mengomel sedemikian rupa hingga seseorang mengagetkannya dari belakang.

“Gyaa…apa-apaan kau…seenaknya muncul dan mengagetkan orang tua…” Teriak si nenek sambil memegangi dadanya yang berdegup kencang karena kaget. Seorang bocah muncul sambil tersenyum jahil.

“Hihihi…nenek tidak tahu ya kalau Remi memang tak bisa bicara? Percuma saja mengajaknya ngobrol tah dia tak akan menjawab.” Ujar bocah berambut kepang sambil memunguti kue-kue yang jatuh dari baki si nenek. Si nenek terdiam sesaat.

“Umm…jadi namanya Remi? Ngomong-ngomong kau tahu apa yang dia cari?” Tanya nenek itu penasaran. Si bocah berkepang tadi tersenyum dengan ekspresi datar.

“Suatu pengharapan yang percuma.” Ujar Bocah itu sambil meninggalkan nenek itu sendirian di tepi danau. Si nenek hanya terbengong-bengong tak tahu maksud bocah kecil tadi.

Keesokan malamnya, si nenek pulang melewati tepi danau itu lagi. Ia tak menyangka Remi masih mencari sesuatu di tempat yang sama. Badannya basah terkena lumpur danau yang kotor.

“Hey nak…maaf kemarin nenek berkata kasar seperti itu.” Ujar si nenek sambil duduk di sebuah batu yang besar di dekat pohon pisang. Remi menengok sebentar lalu membalasnya dengan senyum pertanda dia memaafkan nenek itu. Si nenek merasa lega dan menawari kue jualannya yang ia bawa.

“Kau mau? Ini sebagai tanda maafku.” Ujar si nenek ramah. Remi menggeleng dan terus mencari sesuatu di dasar danau. Si nenek semakin penasaran dengan apa yang dicari Remi. Ia melepaskan sandalnya dan hendak masuk ke air danau yang dingin untuk membantu Remi. Tiba-tiba sebuah lengan kecil menahannya.

“Sebaiknya nenek tak usah ke sana.” Ujar bocah berkepang yang kemarin mengagetkannya. Si nenek menoleh dengan wajah bingung.

“Kenapa aku tak boleh membantunya? Kasihan dia, bukankah barang yang dicarinya begitu penting sampai ia terus mencarinya hingga malam begini?” Tanya si nenek sambil menatap Remi yang masih sibuk sendiri. Si bocah berkepang melepaskan tangan si nenek.

“Bukannya mencari hingga malam, tapi mencari ketika malam…” Ujar anak tersebut sambil menyomot kue yang ada di pinggir batu. Si nenek baru menyadari hal tersebut. Ia tak pernah bertemu Remi sebelumnya. Ia juga menyadari bahwa ia hanya bertemu Remi ketika malam hari di saat bulan tertutup awan. Jika dipikir-pikir, kenapa ada orang yang mencari barang di danau pada malam hari? Bahkan tanpa penerangan sedikitpun? Harusnya, jika barang itu begitu penting ia bisa mencarinya ketika siang hari saat matahari bersinar? Kenapa ia tak mencari di siang hari? Pikiran nenek penuh dengan pertanyaan yang tak terjawab. Si nenek mendekati Remi yang masih sibuk mencari. Nenek tersebut menepuk punggung Remi dan ketika Remi menoleh.

“Gyyaa….” Teriak si nenek kencang. Tubuhnya kehilangan keseimbangan dan jatuh di air danau yang dingin dan kotor. Ia telah melihat sesuatu yang mengerikan. Tepat pada saat Remi menoleh. Awan yang menutupi bulan bergeser sehingga sinarnya menerangi wajah Remi yang ternyata tak memiliki separuh wajah.

Si nenek berusaha melarikan diri namun tangannya dicengkram begitu kuat sampai-sampai kulit pergelangan tangannya yang sudah keriput itu terkelupas. Si nenek mengerang kesakitan namun Remi tak memperdulikan hal itu. Ia malah semakin kencang menarik lengan nenek yang sudah lemah itu.

“Tolong…tolong…” Ujar si nenek meminta bantuan bocah berkepang yang masih duduk dengan tenang di atas batu. Bocah itu tersenyum sambil memakan kue milik nenek yang masih tersisa di bakinya.

“Wah selamat ya kak…akhirnya dapat tubuh baru juga…” Ujar si bocah berkepang sambil terkikik kencang. Tubuh nenek tua sudah menghilang. Remi menghisapnya ke dalam tubuhnya. Bajunya berlumur darah segar dan lumpur danau sehingga menimbulkan aroma yang tak sedap.

“Hihihi…yah…walau sedikit tua tapi bisa memperpanjang umurku 5 tahun lagi…hihihi…” Ujar Remi sambil menjilati darah si nenek yang menempel di tangannya. Bocah berkepang itu berdiri dan mendekat ke arah Remi.

“Walau tubuh asli kakak tak ditemukan hingga sekarang, aku bahagia kakak tak meninggalkan aku…” Ujar bocah berkepang itu sambil memeluk Remi.

“Tentu…aku tak mungkin meninggalkanmu…5 tahun lagi ayo cari tubuh baru yang lebih muda… Untuk kelangsungan hidup kita…” Ujar Remi sambil menata langit yang kembali menjadi gelap gulita. Gadis berkepang itu memeluk erat kakaknya lalu bersamaan dengan munculnya bulan mereka menghilang di balik keheningan malam yang di buat-buat itu.

--Selesai(?)--

Gimana? Boring? Jelek? Nggak mudeng? Ancur? Silakan tulis di kotak komentar yakk.. :)
Share:

BUNDA | I Love U Mom... :')

Cerpen baru lagi. Tapi cerpen repost lagi :P Maaf deh, soalnya lagi buntu ide. Eh, ini cerpen keren loh. Ceritanya cool abis. Tolong dibaca dengan penghayatan..

Title : BUNDA
Author : Dewi Wulandari | @Wulan_VBlues


https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiFALfKX9B_R-mt_62zI3TVGjJUO2dljom3mzndU1UIWzfI0_sdDiaHKqOyVUTe7lv6XiXBMEEJsGJJ0P-SJEmJtZiqjmuSboSn0uH3tQNTgnzUUwAoD4Ey-i9cfBa3D223_fh7cSgJDhI/s1600/bunda.jpeg

Sinar mentari belum begitu menyengat, wajar saja, jam baru menunjukkan pukul setengah lima pagi. Kebanyakan anak sekolah masih terlelap pada jam itu, tapi tidak dengan cowok ini. Selesai sholat, dia langsung mandi dan memakai seragam SMA-nya. Dia berhasil mauk SMA Persada, salah satu sekolah favorite dan elite di kotanya berkat beasiswa. Cowok itu melirik jam dinding sekilas, lalu memandang ke seluruh penjuru kamarnya. Pandangannya terhenti pada sebuah foto berbingkai yang di letakkan di meja belajarnya. Dihampirinya meja itu, cowok itu menatap nanar foto dia bersama kedua orangtuanya. Setelah menghela napas pelan, dia beranjak ke tempat tidurnya dan meraih gitar kesayangannya, pemberian sang ayah tercinta. Dia mulai melantunkan sebuah lagu diiringi dengan petikan gitarnya, menghasilkan suatu melodi yang indah serta membuat tersentuh orang yang mendengar lagunya.
Jreng… jreng…

Dimana akan kucari

Aku menangis seorang diri

Hatiku selalu ingin bertemu
Untukmu aku bernyanyi


Untuk ayah tercinta

Aku ingin bernyanyi
Walau air mata dipipiku
Ayah Dengarkanlah
Aku ingin berjumpa
Walau hanya dalam mimpi
Lihatlah hari berganti
Namun tiada seindah dulu
Datanglah aku ingin bertemu
Denganmu aku bernyanyi
Untuk ayah tercinta
Aku ingin bernyanyi
Walau air mata dipipiku
Ayah Dengarkanlah
Aku ingin berjumpa
Walau hanya dalam mimpi
Cowok itu mengakhiri permainan gitarnya, terlalu perih lagu itu untuknya.
“Prok.. Prok..Prok” terdengar suara tepuk tangan.
“Bunda…” cowok itu memanggil sang bunda yang sudah berada di depan pintu kamarnya.
“Suara Lintar bagus, kok udahan mainnya” Bunda mendekati lintar, anak semata wayangnya.
“Lintar kangen ayah ya?” tanya bunda, Lintar terus menundukkan kepalanya.
“Maaf ya Bun, Lintar malah bikin Bunda sedih” Bunda Lintar memeluk anaknya.
“Nggak sayang, Bunda nggak sedih kok. Kalau bunda sedih nanti ayah ikutan sedih, begitu juga kalo Lintar sedih, ayah sama bunda nggak pengen Lintar sedih” hibur sang Bunda.
“Lintar kangen Ayah Bun, udah 8 tahun ayah pergi, tapi rasa sedih itu masih tetep ada” lirih Lintar.
“Bunda juga kangen ayah, Lintar sayang Ayah nggak?” tanya Bunda.
“Tentu aja Bun, Lintar sayang banget sama Ayah, Lintar juga sayang banget sama Bunda” kata Lintar mempererat pelukannya.
“Kalo Lintar sayang Ayah dan Bunda. Lintar buktiin ke kita ya, Lintar bisa jadi seorang dokter, seperti cita-cita Lintar dan Ayah” kata Bunda.
“Lintar janji Bun. Lintar bakal berusaha, supaya mimpi Lintar tercapai, dan semua itu buat Bunda dan juga Ayah” kata Lintar.
“Makasih sayang, Bunda dan Ayah bangga sekali punya Lintar” Lintar tersenyum.
“Lintar berangkat sekarang ya Bun” Bunda melihat jam dinding.
“Masih jam segini mau berangkat?” tanya Bunda.
“Kan Lintar mesti jualan koran dulu Bun, kuenya sekalian Lintar bawa aja Bun” kata Lintar sambil mengambil tasnya.
“Ma’afin bunda ya sayang, harusnya kamu bisa main ama temen-temen kamu, tapi kamu malah sibuk cari uang buat bantu bunda” kata Bunda lagi.
“Nggak papa Bunda, itu udah jadi tugas Lintar. Lintar pamit dulu ya Bun, Assalamualaikum”
“Walaikumsalam”

####

            Beginilah hidup seorang Lintar Edi Morgen, setelah ditinggal ayahnya yang meninggal sejak dia berumur 8 tahun, Lintar selalu membantu ibunya mencari nafkah. Pagi hari sebelum berangkat sekolah, dia menjadi loper koran, setelah pulang sekolah dia menjadi guru privat anak SMP yang kaya, karna prestasi Lintar sangat bagus. Ibunya yang hanya seorang pedagang kue kecil, tidak mampu memberi fasilitas yang memadai untuk sang buah hati. Tapi Lintar tak pernah mengeluh, beruntung sejak SD dia mendapatkan beasiswa berkat prestasinya tersebut hingga sekarang dia kelas XII SMA.
“Koran… Koran.. korannya Pak.. Bu…” suara Lintar cukup lantang di tengah-tengah keramaian pengguna jalan. Sering Lintar mendekati para pejalan kaki untuk menjajakan korannya. Dengan senyum yang ramah, koran Lintar nyaris laku semua.
‘Tinggal beberapa koran lagi’ batin Lintar.
Lintar menghapus peluh yang membanjiri keningnya, dilihatnya jam tangan pemberian Acha-anak yang di private Lintar- saat Lintar ulang tahun. Masih tersisa sedikit waktu hingga dia sampai di sekolahnya. Lintar melihat lampu merah di depannya, dengan senyum mengembang di langkahkan kakinya mendekati pertempatan itu.
‘Peluang’ batin Lintar.
“Korannya,, Pak..” Lintar tersenyum ramah saat ia telah menghampiri sebuah mobil, saat seorang bapak-bapak ingin memberinya uang tiba-tiba ada seorang cowok yang menurunkan kaca mobilnya dan menatap sinis Lintar.
“Oh, jadi ini yang dilakuin seorang siswa terpandai di SMA Persada? Malu-maluin nama sekolah loe? Siswa berprestasi kok jadi loper koran” ejek Riko, seorang yang sejak dulu membenci Lintar. Riko Anggara adalah seorang anak tunggal dan pewaris utama dari Anggara groub.
“Ngapain malu? Kan halal” kata Lintar tenang.
“Cih, nggak tau malu loe. Nyadar donk, loe itu orang miskin, masih untung loe dapet sekolah di SMA elite. Loe harusnya bisa jaga sikap, bukannya mencemarkan nama baik. Dasar nggak tau diri! Katanya orang miskin yang dimiliki cuma harga diri, kok loe nggak punya harga diri sih?” kata Riko pedas.
Tangan Lintar sudah mengepal, tapi ditahannya sekuat tenaga emosi yang sudah menumpuk.
“Jalan Pak” kata Riko memerintahkan sopirnya.
“Tapi den”
“CEPET!” perintah Riko, membuat sopirnya menciut. Sebelum melajukan mobilnya, sopir itu melempar senyum pada Lintar. Lintar membalas senyum itu, dialihkannya pandangannya pada mobil yang berada tak jauh dari tempatnya saat ini.
Tok..Tok..Tok.. Lintar mengetuk kaca mobil.
“Koran Pak” Lintar tersenyum ramah.
“Boleh” bapak itu mengambil uang dari dashboard mobilnya.
“Lintar” Lintar menyipitkan matanya saat melihat seorang cewek dari dalam mobil itu menyapa dirinya.
“Nova” sapa Lintar.
“Kamu kenal dia sayang?” tanya bapak itu kepada Nova.
“Dia temen sekelas Nova, Pa. Lintar, bareng yuk” ajak Nova.
“Nggak usah deh Nov, jalan kaki aja” Lintar mencoba menolak.
“Nggak papa Nak Lintar, bareng aja. Ntar keburu telat” Lintar ragu-ragu, tapi melihat Nova yang sepertinya sangat berharap ia mau, dia mengangguk sopan.
“Baik, Pak” Lintar masuk ke mobil Nova.
“Kamu jualan koran sambil sekolah nak?” tanya Papa Nova.
“Iya Pak, buat bantu Bunda” kata Lintar.
“Memangnya ayah kamu nggak kerja?” tanya Papa Nova. Tiba-tiba pertanyaan itu membuat Lintar menunduk, Nova yang menyadari perubahan raut wajah Lintar menyikut papanya.
“Oh maaf, saya…”
“Nggak papa kok Pak..” potong Lintar.
“Ayah udah meninggal sejak saya umur 8 tahun Pak, jadi saya bantu Bunda yang hanya jadi pedagang kue kecil” lanjut Lintar lagi.
“Lintar nggak cuma jual koran aja lho pa, denger-denger Lintar itu juga jadi guru private anak SMP, Lintar kan pinter” kata Nova, Lintar diam-diam tersenyum.
“Wah, hebat banget ya nak Lintar ini. pantes aja anak gadis papa sering banget nyeritain tentang temen sekelasnya yang namanya Lintar” goda papa Nova.
“Iss… papa apaan sih” Lintar melihat pipi Nova sudah memerah.
“Sudah sana, belajar yang bener. Lintar, bapak titip Nova ya, tolong jagain dia” kata Papa Nova sambil melirik anaknya.
“Papa…” Nova menahan malu.
“Eh.. iya Pak” Lintar menggaruk-garukkan tengkuknya.
“Makasih Pak” Lintar tersenyum sopan, dan dibalas senyuman dari papanya Nova.
“Ke kelas yuk” ajak Nova setelah mobil papanya berlalu.
“Gue mesti nganter kue buatan Bunda ke kantin dulu” kata Lintar.
“Gue ikut” Nova langsung menarik tangan Lintar sebelum cowok yang diam-diam telah merebut hatinya ini protes.

####
            Sejak Lintar berangkat bareng dengan Nova, keduanya tampak semakin dekat. Nova selalu ada untuk Lintar, sekalipun Lintar sedang di bully dia selalu membela Lintar, seperti saat ini. Lintar sedang bersedau gurau bersama Nova di kelasnya, tapi ada orang yang mengacaukan kebersamaan mereka.
“HEH, Loe anak miskin! Ngapain loe disitu?” siapa lagi kalau bukan Riko.
“Nggak liat kalo gue duduk?” kata Lintar santai.
“Berani loe ama gue?” kata Riko geram.
“Emang kenapa gue mesti takut sama elo?” perkataan tenang Lintar membuat amarah Riko semakin naik. Ditariknya kasar kerah Lintar.
“Loe! Bakalan nyesel karna udah berani lawan gue” Riko mendorong Lintar hingga terjatuh.
“Lintar!” teriak Nova panik, dia langsung membantu Lintar berdiri.
“Loe apa-apaan sih Ko! Jahat banget loe ma Lintar” Nova menatap tajam pada Riko.
“So? Gue mesti jungkir balik sambil bilang WOW, gitu?” Riko tersenyum remeh.
“Cabut guys” komando Riko pada anak buahnya.
“Loe nggak papa, Ntar?” tanya Nova cemas.
“Gue nggak papa kok” Lintar tersenyum.
“Tapi sikap Riko itu udah keterlaluan Lintar, loe nggak bisa diem terus donk” kata Nova menggebu-gebu.
“Tapi gue nggak mesti bales dengan fikis juga kan Nov? pasti Riko bakal dapet balesannya sendiri kok” kata Lintar bijak.
Satu alasan lagi yang membuatnya semakin menyukai, bahkan mencintai sosok Lintar. Dia seorang yang tegar dan bijaksana.

            Saat ini Lintar tengah menatap gerbang rumah di depannya, kemudian dengan senyum khas nya, dia langsung masuk ke halaman yang luas itu. Di pencetnya bel rumah yang megah itu, hingga seseorang keluar membukakan pintu.
“Oh, Mas Lintar.. udah ditunggu non Acha dari tadi.. silahkan masuk mas” Lintar mengangguk dan tersenyum. Saat melihat Acha di ruang tengah, keningnya sedikit mengerut melihat ada seorang cowok yang kira-kira seumuran dengan Acha.
“Kak Lintar..” sapa Acha riang.
“Hai Cha…” Lintar mendekat ke arah Lintar dan temannya.
“Kak, kenalin ini Ozy, temen sekelas Acha. Dia mau belajar bareng.. boleh ya Kak” pinta Acha.
Lintar dan Ozy berkenalan terlebih dahulu.
“Tentu aja boleh” kini Lintar mengajari dua anak SMP tersebut dengan sabar.
“Kak Lintar sekolah dimana?” tanya Ozy.
“SMA Persada” jawab Lintar.
“Serius Kak? Kelas berapa?” tanya Ozy antusias.
“XII IPA 1” mata Ozy semakin berbinar, membuat Lintar sedikit heran.
“Wah sekelas sama Mbak Nova dong?” tanya Ozy lagi.
“Kenal ama Nova juga?” tanya Lintar.
“Iya, Mbak Nova kan kakak gue. Jadi elo Kak Lintar yang sering Mbak Nova certain itu?” Lintar melongo.
‘Nova? Nyeritain tentang gue ke keluarganya? Waktu itu papanya dan sekarang adeknya? Ada apa sih sebenernya?’ batin Lintar heran. Kemudian mereka bertiga membicarakan  banyak hal sampai Lintar pamit pulang.

####
            Lintar bersembunyi di balik pohon tak jauh dari rumahnya saat ia melihat dua orang berbadan besar dan berwajah seram menghampiri bundanya. Saat dirasa bundanya akan di pukul, Lintar langsung berlari dan melindung bundanya.
“Jangan ganggu bunda” kata Lintar tegas.
“Lintar, kamu masuk dulu sayang” kata Bunda.
“Heh bocah, bilang sama bunda loe ini suruh ngelunasin utangnya! Gue ngasih tempo dua bulan buat keluarga miskin kaya loe gini. Kalo loe nggak bisa ngelunasin, rumah ini bakal disita dan sesuatu akan terjadi pada bunda loe ini” kata orang itu dengan tatapan seperti iblis.
“Jangan ganggu bund ague!” kata Lintar.
“Berani loe ya?!” kata orang yang satunya lagi.
PLAAKK!!!
Lintar jatuh tersungkur di depan bundanya.
“Lintar” teriak Bunda sambil menangis.
“Itu akibatnya kalo loe berani ngelawan kita” kata orang itu dengan senyum mengejek. Bunda membaca Lintar ke dalam rumah dan mengobati lukanya.
“Aw…” Lintar meringis kesakitan.
“Sayang, kenapa kamu lakuin itu sih? Liat kamu jadi kaya gini kan” kata bunda lembut.
“Lintar cuma nggak mau, satu orang pun berani nyakitin bunda” kata Lintar lirih. Bunda langsung mendekap dan terisak pelan.
“Makasih sayang” Lintar menghapus air mata bunda nya.
“Jelasin ke Lintar kenapa Bunda bisa punya hutang ke anak buah rentenir seperti itu?” bunda terdiam.
“Apa.. ini buat pengobatan Lintar waktu itu?” tanya Lintar hati-hati.
“Maaf Lintar, kesehatan kamu lebih penting” dada Lintar serasa sesak saat mendengar penuturan bundanya.
“Lintar janji Bun, Lintar bakal nyari uang buat bayar utang kita. Bunda nggak perlu pikirin itu semua, selama ini Bunda udah kasih yang terbaik buat Lintar, sekarang giliran Lintar bun” kata Lintar tulus.

####
            Sejak saat itu, Lintar semakin giat mencari uang untuk melunasi hutangnya. Pagi sebelum sekolah dia menjadi loper koran, pulang sekolah langsung ke rumah Acha, malamnya dia bekerja sebagai pelayan disalah satu café, dia pulang sekitar jam 12 malam dan langsung tidur. Bangun sekitar jam tiga pagi untuk belajar mempersiapkan ujian nasional yang sudah di depan mata. Bunda walaupun kasihan, tapi dia tak bisa menolak keinginan anaknya untuk membantunya. Cobaan Lintar semakin berat saat ulah Riko semakin menjadi-jadi, seperti saat Riko menemukan dia di café,,,
“Oh ternyata si anak miskin nggak tau diri pindah profesi nih? Biar ngangkat derajat? Sayang banget ya, sekalipun elo jadi pelayan kaya gini, elo tetap aja miskin” kata Riko berbisa, Lintar terdiam, tapi dicobanya untuk meredam amarahnya.
“Maaf, anda mau pesan apa?” tanya Lintar ramah.
“Ciih, sok ramah. Gue pesen jus jeruk dua” cibir Riko, Lintar tersenyum dan tak berapa lama dia kembali dengan nampan berisi dua gelas jus pesanan Riko. Riko tersenyum licik kepada temannya.
“Mau kemana loe?” tanya Riko.
“Saya mesti ke belakang” kata Lintar sopan.
“Udah loe disini aja” kata teman Riko. Riko langsung meminum jus nya, tapi tiba-tiba…
Prottt…. Riko menyemburkan minumnye ke wajah Lintar.
“Cih! Minuman apa ini? loe mau ngeracunin gue? Dasar anak miskin!” kata Riko dengan gaya pongahnya.
“Rasain nih!” teman Riko menyiram jus itu ke kepala Lintar, membuat semua yang berada di café itu menatap prihatin ke arah Lintar.
“Yang sabar ya Ntar” kata Irsyad, salah satu temannya di café itu.
“Nggak papa kok, gue ke belakang dulu ya” pamit Lintar.

####

            Lintar saat ini sedang berjalan di koridor dengan Nova, bel pulang sudah terdengar sajak tadi.
BUGK..
Lintar terdorong tubuh seseorang hingga terjatuh.
“Ck.. hobi banget sih loe ngerecokin hidup gue?” decak Riko sebal.
“MATA LOE DITARUH MANA? HA? MAEN TABRAK AJA!” bentak Riko.
“Heh Ko, harusnya elo yang nyadar. Elo yang selalu ganggu hidup Lintar, elo yang nabrak Lintar” bela Nova.
“Ciih, loe cemen banget ya, sampe dibelain cewek” cibir Riko.
“Elo tuh ya!”
“Udah Nov, gue nggak papa kok” kata Lintar menenangkan Lintar.
“Nggak malu loe dibelain cewek kaya dia?” Riko menunjuk Nova dengan senyum meremehkan.
“Kenapa mesti malu? Nova baik, dia ngelakuin apa yang memang seharusnya dilakuin” kata Lintar tenang, membuat Nova menoleh tak percaya ke arahnya bahwa lelaki di sampingnya itu membelanya.
“Cih. Anak nggak tau diri, mestinya elo malu ama diri loe sendiri. Nova anak orang kaya? Sedangkan elo? Loe cuma anak pedagang kue yang kerja sambilan sebagai loper koran dan pelayan café” kata Riko mengejek.
“Lagian? Elo yakin Nova nggak bakal ninggalin elo? Elo tu miskin, Nova bisa kapan aja nendang elo dari kehidupannya” kata Riko sadis.
“Loe nggak pantes disebut cowok. BANCI, nggak punya harga diri. Cihh.. apa jangan-jangan ibu loe juga sama nggak punya harga dirinya kaya elo?” Riko tersenyum licik pada Lintar. Seketika darah Lintar terasa mendidih saat mendengar Riko menjelek-jelekkan bundanya.
BUGK!
Sebuah pukulan mendarat di tubuh Riko, cowok yang tak siap akan serangan mendadaknya itu langsung terjatuh. Membuat semua yang memandang itu semua tercengang, seorang Lintar yang biasanya diam saja, tiba-tiba melakukan pemukulan pada Riko.
“Lintar..” desis Nova tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
“Denger ya! Selama ini gue diem bukan berarti gue lemah! Gue cuma nggak mau capek ngeladenin loe! Tapi kali ini loe udah kelewatan. Loe boleh ganggu gue, loe boleh siksa gue, loe boleh nge-bully ataupun ngehina gue. Tapi perlu gue tegesin, JANGAN SEKALI-KALI LOE NGEHINA BUNDA GUE!!!” kata Lintar penuh penekanan.
“Loe sadar nggak gimana rasanya jadi gue? Gue ditinggal ayah gue sejak kecil, gue cuma punya bunda gue! Gue serba kekurangan, tapi gue beruntung punya bunda! Loe enak! Loe kaya! Masih punya orang tua lengkap! Kalo tiba-tiba elo nggak punya papa loe gimana? Kalo loe tiba-tiba yatim piatu gimana? Masih bisa loe hidup kaya gue? Masih bisa loe ngebully gue? Ha?! Jangan pernah bikin gue emosi karna loe udah ngejelekin bunda gue!” kata Lintar garang, meninggalkan Riko yang masih tercengang meresapi perkataan Lintar.
“Dan satu lagi” Lintar membalikkan tubuhnya.
“Jangan pernah anggep Nova sama kaya cewek lainnya, karna dia beda. Dan gue sayang dia. Ayo Va kita tinggalin dia” kata Lintar sambil menarik lengan Nova pergi. Sedangkan Nova? Mendadak jantungnya seperti tersengat listrik ribuan volt yang membuat jantungnya berdegup kencang.
####
            Sejak kejadian Lintar melawan Riko, Riko tak pernah lagi mengganggu Lintar dan Nova. Dan menurut kabar yang beredar Lintar dan Nova sudah resmi menjadi sepasang kekasih. Setelah ujian nasional lewat dan pengumuman ujian, kini saatnya acara perpisahan sekolah. Kini Lintar dan Nova telah memangku gitar mereka dan hendak menyumbangkan sebuah lagu untuk semua yang datang di acara tersebut.
“Lagu ini saya persembahkan untuk Bunda saya, bunda yang membesarkan saya seorang diri sejak saya berumur 8 tahun. Bunda yang selalu mendukung saya, bunda yang selalu ada untuk saya dan bunda yang terbaik untuk saya” kata Lintar. Lintar melirik Nova sekilas, setelah siap dia langsung melantunkan sebuah lagu.
Jreng… jreng….
Bunda cinta jangan menangis
doa mu menyinariku

ingat perjungan diriku

cerminan dari cintamu yang indah
kau sabar menyayangiku
kau peluk kemarahanku
Bunda sayang jadi senyumlah
demi bunda cintaku
kukejar impianku
 

**

atas nama cintamu
ku akan meraih semua impian aku
untuk bahagiakanmu huoooo… atas nama cintamu
ku akan menjadi yang terbaik untukmu
kucinta kamu Bunda huoooo…
Bunda cinta jangan menangis
doa mu menyinariku

aku tak kan pernah menyerah huoooo…

demi Bunda cintaku ku kejar impianku
oooo…
back to **
atas nama cintamu
ku akan meraih semua impian aku
untuk bahagiakanmu huoooo…
atas nama cintamu
ku akan menjadi yang terbaik untukmu

Bunda….
kucinta kamu Bunda
Atas nama cintamu ku akan jadi yang terbaik
Bunda…
Bunda..
 “Prok..prok.. prok” suara tepuk tangan menggema, Lintar tersenyum dan mengambil sebuket bunga dan di berikannya pada Bundanya.
“Untuk Bunda…” semua bertepuk tangan, bahkan ada juga yang menangis haru. Sedangkan Bunda Lintar langsung memeluk putranya.
####
            Lintar masih bersama bundanya hendak menyebrang jalan, saat Nova memanggilnya.
“Udah sana temuin Nova dulu, dia pasti mau ngucapin buat beasiswa kedokteran yang kamu dapet” suruh Bunda.
“Tapi Bun” kata Lintar sedikit ragu.
“Bunda tunggu disini ya” kata bunda halus, Lintar mengangguk dan berlari menuju Nova dan papanya.
Saat ini Bunda tengah mengedarkan pandangannya pada jalanan. Keningnya mengerut saat melihat seorang anak laki-laki yang memakai seragam seperti anaknya berdiri di tengah jalan sedang menunduk, matanya membelalak saat melihat dari arah kirinya sebuah truk melaju dengan kecepatan tinggi.
“Awas Nak!!” teriak bunda Lintar, cowok yang tak lain adalah Riko itu terkesiap saat mendengar teriakan seorang ibu, dan menyadari di depannya sudah ada truk yang melaju ke arahnya.
“ARRRGGGH….” Riko memejamkan matanya, kakinya seperti mati rasa. Tapi sebelum dia merasakan benturan, dia merasa di dorong sekuat tenaga oleh seseorang.
CIIIIT….. BRAAAAAKKK…
Terdengar bunyi decitan ban beradu dengan aspal, serta bunyi benturan keras.
“BUNDAAAAAA…..” teriak Lintar histeris. Semua langsung berkerumun ke arah seorang wanita paruh baya yang sudah bersimbah darah, dengan menggenggam sebuket bunga yang sudah hancur dan berserakan.
“Bunda,,, bunda tahan ya” Linta menangis dan memangku kepala bunda, Riko yang melihat kejadian di depannya tercengang dan mendekati bunda Lintar.
“Loe! Loe udah bikin bunda gue kaya gini!” kata Lintar sambil menunjuk-nunjuk muka Riko.
“Maaf” kata Riko sungguh menyesal.
“Lin..tar.. dia nggak sa..lah nak. Jaga diri baik-baik ya, jaga nova dan jadikan nak riko te..man kamu” kata Bunda dengan terengah-engah.
“Bunda jangan ngomong gitu” kata Lintar lagi.
“Pak titip lintar ya, nak Nova dan Nak riko, ibu titip lintar. Lintar, kamu harus jadi dokter ya” bunda tersenyum dan menutup matanya.
“Bundaaa,,,,,,,,,,,,,,,” Lintar mendekap bundanya, dan terisak.

####
5 tahun kemudian… 
Seorang lelaki dengan seragam putihnya tampak sedang menatap sebuah foto.
Tok..Tok..Tok..
“Masuk” dua orang muncul dari balik pintu itu, seorang laki-laki dan seorang wanita cantik.
“Hai dokter Lintar… gimana kabar loe?” tanya lelaki berbadan tegap itu.
“Riko my bro,, kapan loe pulang dari amrix?” tanya Lintar.
“Tadi, gue langsung ke sini. By the way gue udah denger rencana pernikahan kalian. Sekali lagi selamat sob”
“Thanks ya. Va,aku pengen ke makam bunda” kata Lintar pada wanita di sebelah Riko tadi.
“Ya udah ayo, kita bertiga ke makam Bunda. Bunda pasti seneng karna kamu sekarang udah jadi dokter” kata wanita yang dipanggil ‘Va’ tadi.
“Dan pastinya tambah seneng kalo beliau tau, dapet calon mantu yang tepat, iya nggak Nov?” Nova tersenyum malu-malu.

----------end---------


Gimana? Bagus kan? Kasih komentar di kotak komentar ya. :)
Yang pengen tau Author cerpen ini, bisa follow @Wulan_VBlues. Penulis, cerpen sama cerbungnya banyak loh.. :D
Share:

#getirkata -1 by @NVRstepback

Berharap dalam temaram & kegelapan. Karena cahaya hanya membawa sunyi & membutakan. #sajak #getirkata 

Sebuah keterpaksaan. Dan hanya akan ada kebohongan. Mengubur perasaanku, dalam-dalam. #getirkata

Terhimpit oleh rasa, terhina dalam hati, tersudut karena beda, tersisih karena aku.. Adalah Aku. #getirkata

Terkadang hal terbaik yg bisa dilakukan adalah Diam & Menunggu. #damn #getirkata  
Share:

Rangkaian Melodi Terakhir | Nada Angin

‘Cinta itu seperti angin. Dia tak akan pernah berhembus dua kali di tempat yang sama.’

Rangkaian Melodi Terakhir
 

Alunan melodi ini tiba-tiba terhenti. Aku sendiri terhenyak karena senar gitarku putus tepat di bait terakhir. Bait dan melodi yang belum mampu aku lanjutkan. Semangatku pun ikut terputus, dan hilang. Senja perlahan mulai berpaling dariku. Meninggalkanku sendiri termenung, menatap nanar ke arah langit yang semakin gelap dan gelap.
Bulan perlahan muncul. Sinarnya begitu terang tapi.. Aku tak lagi menemukan bayang wajahmu yang dulu sangat lekat dalam ingatanku. Kekasih, seseorang yang begitu penting untukku, seseorang yang mengenalkanku pada cinta, kamu, kini telah pergi. Pergi ke sisi lain dunia. Ke ujung lain dari kehidupan. Hanya kepingan ingatan yang tertinggal di sini. Dan sebuah melodi yang tak mampu ku selesaikan karena kau, inspirasiku, telah lebih dulu pergi karena kehendak Sang Maha Cinta.
“Sheila.. Kamu pergi terlalu cepat. Melodi ini gak akan selesai tanpa ada kamu. Karena melodi ini adalah kamu.”
Aku tak mampu menahan air mata yang mulai jatuh dan mengalir. Air mata yang kembali terjatuh setelah mataku kehilangan sosok terindah yang pernah dilihatnya. Hanya sebuah pesan yang masih terngiang. Sebuah pesan agar aku mencari seorang yang akan mampu menggantikannya. Tapi.. Mampukah aku?

***

Semester 6. Seharusnya adalah semester paling krusial dalam siklus akademikku. Karena pada semester ini, aku dituntut untuk menciptakan karya yang nanti akan menjadi bagian konser tahunan akademi music ini. Tapi entah kenapa aku tak lagi menemukan gairah untuk mengarunginya. Langkahku begitu berat dan terseok-seok. Otakku enggan berputar menemukan ide-ide cerdas untuk berkarya. Mungkin teman-teman tak akan terlalu khawatir setelah melihat senyum palsuku yang sepertinya berhasil memperdayai mereka. Mungkin hanya Satria yang tahu keadaanku saat ini.
“Vin, ke kantin yuk. Laper nih.” Satria perlahan mendekatiku selepas kelas selesai.
“Loe duluan aja deh Sat, gue masih pengen di sini.” Aku masih termenung di hadapan buku not yang masih begitu bersih tanpa coretan. Satria menatapku dengan tatapan sedih.
“Yaudah, gue duluan ya.”
“Ya.” Kataku. Satria pun akhirnya pergi.
Aku menatap kosong ke luar jendela kelas. Masih saja cuaca cerah di luar sana tak mampu ku lihat dengan perasaan ceria seperti dulu. Tiba-tiba ku rasakan semilir angin yang entah dari mana datangnya membelai lembut rambutku. Aku menoleh dan hampir saja pingsan karena kaget. Di depanku, sosok yang sangat familiar bagiku sedang berdiri dengan senyum termanisnya. Dengan tatapannya yang sangat teduh. Sheila!
Aku ingin menyapanya tapi.. Mulutku seolah terkunci rapat. Aku tak mampu berkata apa-apa. Badanku pun serasa lemas dan tak bisa kugerakkan. Aku seperti tersihir dan berubah menjadi batu di hadapan sosok Sheila.
“Alvin. Maaf, aku pergi darimu terlalu cepat. Aku juga telah mengingkari janji kita untuk menyelesaikan melodi itu. Tapi aku sama sekali tak pernah menginginkannya. Dan aku sangat berharap, kamu bisa selesaikan melodi itu. Untukku.”
“S..she..sheila..” Aku belum mampu bicara dengan lancar.
“Aku percaya kamu akan mampu menyelesaikannya Vin. Karena kamu akan segera menyelesaikannya. Ketika kamu menemukan potongan akhir melodi itu. Melodi yang sangat dekat dengan kita.” Sosok itu kembali tersenyum kepadaku. Kali ini sebuah senyuman yang menyiratkan kepedihan yang sangat dalam. Dan sosok Sheila perlahan lenyap dari hadapanku. Diiringi belaian lembut angin yang menyisir sela rambutku.
Nafasku masih tak beraturan. Tanganku, tubuhku masih bergetar. Air mataku kembali leleh. Aku begitu menyesal karena hanya bisa terdiam kaku dan tak mampu berbuat apa-apa di hadapan Sheila tadi. Hanya pesannya yang mampu kudengar. Menyelesaikan rangkaian bait melodi itu. Melodi yang begitu dekat denganku dan Sheila.
Kini kualihkan perhatianku ke arah lembaran-lembaran buku not di hadapanku. Aku mulai menerka-nerka bagaimana lanjutan melodi itu. Tapi tetap saja tanganku masih tak mampu mencoretkan satu coretanpun. Otakku serasa mati. Intuisiku sama sekali tak mau berkreasi. Aku berpikir, aku tak akan mampu menyelesaikan keinginan terakhir Sheila.

***


Seperti biasa, aku berangkat ke kampus dengan berjalan kaki. Suasana hari terasa begitu berbeda. Aku tak lagi merasakan angin yang biasa menemani langkahku. Hanya terdengar deru kendaraan bermotor yang lalu lalang. Aku berusaha tak menghiraukannya. Aku tetap melangkah, dengan langkah lemah memasuki kampus dan kemudian berjalan menuju kelas.

Sebelum memulai kuliahnya, dosen mengenalkan seorang mahasiswa pindahan yang akan masuk kelasku. Ku dengar dari teman-teman sekelasku, mahasiswa itu adalah seorang gadis cantik yang sangat berbakat dalam musik. Tapi hal itu sama sekali tak mampu mengusik perhatianku, sampai aku melihat dia berdiri di samping dosen kemudian memperkenalkan diri. Membuat jantung tersentak dan hampir melompat keluar.
“Anak-anak, hari ini akan ada mahasiswa baru yang masuk kelas ini. Silakan kamu perkenalkan diri.” Dosen itu kemudian mempersilakan mahasiswa baru itu memperkenalkan dirinya.
“Selamat pagi teman-teman. Namaku Brigitta Silvya. Biasa dipanggil Gitta. Salam kenal.” Dia tersenyum dengan manis. Senyum yang hampir mencekikku dan membuatku kehilangan nafas. Senyum yang dulu hanya kulihat di wajah Sheila. Dan tampak, dia menatapku kemudian tersenyum.
“Baik Gitta, silakan kamu duduk di samping Alvin. Kita akan segera mulai kuliah hari ini.” Gitta langsung berjalan dan kemudian duduk di sampingku. Aku hanya tertegun memandangnya. Perasaanku campur aduk.
“Hai. Kamu Alvin kan?” pertanyaannya membuatku semakin ingin pingsan. Bagaimana dia tahu namaku? Aku pun mulai berpikir kalau dia adalah penjelmaan dari Sheila. Tapi, sepertinya hal itu tak mungkin terjadi. Aku pun berusaha menenangkan diri dan bersikap biasa di hadapannya.
“Iya. Aku Alvin. Tapi, kamu tahu aku darimana?” tanyaku. Tapi gadis bernama Gitta ini hanya tersenyum kemudian mengalihkan pandangannya ke arah dosen yang mulai memaparkan materi kuliah.

***


Seperti biasanya, aku masih duduk di bangkuku ketika kelas berakhir dan satu persatu mahasiswa lain berjalan keluar. Dan seperti biasa, Satria mendekatiku. Mengajakku keluar. Aku sangat menghargai kepeduliannya kepadaku, tapi aku masih belum bisa menjadi aku yang dulu.

“Alvin.” Panggil Gitta. Aku kaget mendapati dia masih duduk di sampingku dan belum beranjak.
“Eh, eng. Gitta. Belum keluar?” tanyaku dengan suara agak terputus.
“Ajarin aku nulis lagu dong. Kata anak-anak, kamu paling jago nyiptain lagu.”
“Hah? Gue? Eng.”
“Iya. Aku pengen belajar. Aku bakal belajar.”
“Maaf Gitta. Aku gak bisa.”
“Tapi Vin.”
Aku bergegas pergi meninggalkannya. Ada pergulatan yang terjadi dalam hatiku. Permintaan Gitta dan hatiku sendiri yang belum mampu menemukan kembali semangat dan sentuhan mencipta. Sebelum keluar, aku melirik Gitta yang kulihat masih duduk dan melihat kosong ke arah jendela. Jantungku hampir berhenti ketika melihat sosok di belakang Gitta. Sosok Sheila yang tersenyum ke arahku.
Aku jatuh terduduk. Sepertinya Gitta mendengarnya dan dia pun berlari ke arahku yang masih belum bisa mengendalikan diri.
“Alvin. Kamu gakpapa?” dia berusaha menolongku.
Dengan susah payah, aku segera berdiri dan berlari meninggalkannya. Berlari dengan pikiran dan perasaan yang terus menggerogoti seluruh hatiku. Melahap habis seluruh logikaku. Menguras semua emosi yang tersisa dalam diriku. Berlari dengan membawa beribu tanya tentang apa yang harus aku lakukan untuk memenuhi permintaan terakhir Sheila.

***


“Gitta.”

“Ya Vin. Ada apa?”
“Kapan mau mulai kuajarin?”
“Ha? Serius mau ngajarin?”
“Iya.”
“Nanti sore aja gimana?”
“Oke. Nanti sore, di ruang musik ya.”
“Sip. Makasih ya Alvin.”
Ya, akhirnya kuputuskan untuk mau memenuhi permintaan Gitta untuk mengajarinya. Meskipun dengan berat hati. Aku berpikir, mungkin dengan mengajari Gitta aku bisa menemukan lagi semangat dan kreasiku yang kini hilang.
Sesuai janji kami sebelumnya, kami bertemu di ruang musik untuk mulai belajar. Sebelumnya, aku menerangkannya tentang nada. Aku mulai menyukai semangatnya dalam mendengarkan sepotong demi sepotong penjelasan yang kuberikan. Kemampuannya memahami pun tergolong cepat.
“Alvin. Kamu hebat lho. Berbakat jadi musisi.”
“Ah, kamu bisa aja Ta. Aku dulu kan juga belajar kayak kamu.”
“Belajar sama siapa Vin? Pasti orangnya jago ya?”
Pertanyaan terakhir Gitta membuat dadaku sesak. Aku tak mampu menjawab pertanyaannya. Satu nama yang sangat sulit aku sebut. Membuat seisi tubuhku lemah dan aku pun roboh. Gitta segera menolongku untuk duduk. Pandangan mataku kosong menatap liar tak menentu. Kesedihan kembali menggelayuti tubuhku. Aku pun kembali teringat bagaimana dulu Sheila mengenalkanku pada dunia musik yang mampu mencuri jiwaku. Dan bagaimana Sheila mampu mencuri hatiku. Tapi itu semua hanya jadi melodi usang yang tak akan mampu ku ingat lagi rangkaian nadanya.
Gitta mulai memberanikan diri bertanya padaku. Dan dengan perlahan pula, aku menceritakan kepada Gitta tentang aku dan tentu saja, kisah tentang melodi terindahku, Sheila. Dari awal sejak kami masih menjadi sahabat kecil, ketika kami saling membuka perasaan, hingga akhirnya takdir berkata lain. Maut lebih dulu menjemput Sheila sebelum kami mampu menyelesaikan rangkaian melodi pertama kami. Hanya sebuah pesan yang sama sekali tak ku mengerti artinya, yang selama ini membayangi hidupku.
“Vin, boleh aku lihat pesan itu?”
“Ini. Pesan terakhir Sheila. Dia nulis, kalo aku mampu memahaminya, melodi ini akan selesai.”
Aku melihat Gitta dengan serius membaca kata demi kata dari pesan itu. Beberapa kali dia mengernyitkan dahinya. Kemudian menggenggam erat kertas pesan itu.
“Vin, aku akan bantu kamu cari potongan terakhir melodi kamu.”
“Maksud kamu apa Ta?”
Ada raut penuh kepastian di wajahnya. Kembali, wajahnya mengingatkanku pada Sheila yang begitu menggebu-gebu ketika menulis lagu. Gitta beranjak pergi meninggalkanku sendiri. Aku hanya mampu melihat kelebatannya ketika berlari meninggalkan ruangan ini.
“Sheila.” Kataku lirih ketika kulihat Sheila yang berdiri di depan pintu sambil tersenyum memandangku. Dia hanya mengangguk pelan, kemudian lenyap.

***


Kuliah hari ini berakhir lebih cepat. Masih siang dan mentari tampak begitu bersemangat membakar udara kota. Tak seperti biasanya, Gitta menarik tanganku mengajakku segera keluar. Aku pun enggan mengikutinya.

“Alvin. Ayo ikut aku.”
“Ngapain sih Gitta?”
“Maksud pesan itu.”
Aku tercekat mendengarnya. Apa mungkin Gitta telah mengetahui arti pesan dari Sheila? Tapi apa? Akhirnya aku pun memutuskan untuk mengikuti Gitta.
Perjalanan yang cukup jauh dan melelahkan. Tapi sama sekali tak ada rasa lelah yang tampak di wajah Gitta. Hingga akhirnya Gitta menghentikan langkahnya di sebuah padang rumput yang cukup luas. Begitu sejuk meskipun sinar mentari sangat terik. Sunyi, namun sangat menenangkan hati.
“Gitta.”
“Alvin, sekarang coba tutup mata kamu dan dengerin alunan angin ini.”
Aku segera menuruti kata-kata Gitta. Aku berjalan pelan sambil menutup kedua mataku. Angin samar-samar mulai menelisik sela rambutku. Langkahku terhenti ketika kurasakan angin seolah membisikkan sesuatu ke telingaku. Aku mulai mempertajam telingaku. Merasakan apa yang ada di sekitarku saat ini.
Bisikan angin itu lambat laun berubah menjadi sebuah suara yang sangat jelas kudengar. Sebuah alunan musik yang begitu indah. Aku mulai menikmatinya. Aku serasa menemukan kembali jiwa dan semangatku yang lama hilang. Dan nada-nada angin itu pula yang akhirnya membuatku tersadar dari lamunan dan mulai menyadari kata-kata Sheila. Mengingat kembali masa lalu. Mendengarkan kembali nada usang yang kini menari-nari di telingaku.

**flashback**


“Alvin, kamu denger gak?”

“Apaan sih Sheila?”

“Musik yang dimainin sama angin.” Kata Sheila kecil sambil tersenyum.

“Ha? Angin?” Alvin kecil pun kebingungan.

Sheila kecil mulai mendendangkan nada demi nada yang didengarnya agar Alvin juga bisa mendengarnya. Alvin kecil pun terpesona dengan nada itu. Dan ikut berdendang bersama Sheila kecil.


***


Ingatan itu kemudian muncul dengan jelas. Aku tak mampu lagi menahan perasaanku. Aku terjatuh kemudian menangis. Gitta bergegas mendekatiku. Aku tak menghiraukan panggilannya kepadaku.

“Sheila! Kenapa kamu kasih aku teka teki yang terlalu sulit! Aku terlalu bodoh untuk bisa menemukan jawabannya!”
Aku menangis keras. Gitta yang melihatku hanya membiarkanku. Entah apa yang terjadi, tapi aku seolah berubah menjadi anak kecil yang kehilangan ibunya. Perasaan bahagia bercampur dengan rasa sedih yang dalam. Bercampur aduk menjadi satu.
Potongan melodi itu telah kutemukan. Dan melodi kami pun akhirnya lengkap oleh melodi angin yang pernah Sheila nyanyikan dulu. Sebuah melodi usang yang indah. Melodi yang muncul dari hembusan merdu angin.
Aku memainkan lagu itu bersama Gitta. Dan sepertinya Gitta dengan baik menyanyikannya. Aku senang meskipun ada rasa kehilangan karena bukan Sheila yang menyanyikannya. Saat kulihat Gitta yang sedang bernyanyi, tiba-tiba sosoknya berubah menjadi sosok Sheila. Aku menghentikan permainanku kemudian berlari ke arah Gitta yang kulihat sebagai Sheila dan memeluknya.
“Alvin. Kamu kenapa?” Gitta nampak gugup ketika kupeluk. Dan saat mendengar suara Gitta, aku tersadar kalau tadi hanya halusinasiku.
“Alvin, terima kasih kamu sudah berhasil menyelesaikannya. Aku akan pergi. Cintailah Gitta yang kini ada untukmu. Dialah sebenarnya potongan melodi terakhir itu. Biarkan melodi angin ini menjadi tanda perpisahan kita.” Suara itu mendadak terdengar di telingaku. Suara Sheila. Tepatnya salam perpisahan darinya.
Sebuah melodi yang tercipta dari angin. Sebuah melodi yang terdengar di masa lalu. Sebuah melodi yang akan menjadi kenangan bagiku. Sebuah melodi terindah dari sosok terindah yang pernah ada di sampingku. Sheila…

~


Udah ya, udah selesai tuh. Pengen nambah? Bentar ya, ane nulis yang baru lagi. Kapan? Kapan-kapan aja deh.

Gimana? Kasih komentar dong. Kalo jelek, bilang aja jelek. Gakpapa kok. Ane bakal trima. Eh, tapi harus komen lho yaa. Awas kalo enggak! *ngasahgolok*
Share:

Between the Skyline, Part - 2

http://ih3.redbubble.net/image.5424846.2634/flat,550x550,075,f.jpg

Before on 'Between the Skyline' :
Seorang anak baru datang ke kelas Alyssa. Cowok yang dulu adalah sahabat kecil Alyssa, Raziel. Apa yang membuat dia kembali? Dan.. Rahasia apa yang menyelimutinya?

“Sakti banget tu cewek.” Gumam Raziel.
“Udah ah. Yuk Yel, ke kelas.” Ajak Alyssa. Raziel pun mengangguk kemudian mengikuti langkah Alyssa.
Ian masih terpaku sendiri sambil mengamati kacamata Laras. Dia juga masih berusaha mencerna kembali semua kata-kata Laras tadi. Dia pun tersenyum setelah merasa mendapatkan jawaban. Kacamata itu kemudian dia masukkan ke kantong jaketnya. Dan Ian bergegas pergi.
Alyssa dan Raziel hampir saja telat masuk kelas. Untung Bu Arini, guru Matematika, belum masuk sehingga mereka masih sempat masuk. Mereka pun duduk di tempat masing-masing.
“Sa, darimana aja loe?” tanya Mitha penasaran.
“Gak darimana-mana kok Mith. Emang kenapa?” tanya Alyssa balik.
“Gakpapa sih. Eh, tu si Raziel tadi kok manggil loe Chacha?” tanya Mitha lagi. Alyssa hanya tersenyum mendengar pertanyaan Mitha.
“Gini lho Mith…” kata-kata Alyssa terhenti karena bu Arini keburu masuk dan memulai pelajaran. Alyssa dan Mitha segera merubah posisi duduk mereka.
Tak seperti biasanya, bu Arini tanpa memberi salam terlebih dahulu langsung menulis di whiteboard. Alyssa, Mitha, dan seluruh kelas pun heran. Setelah selesai, bu Arini kemudian berbalik menghadap ke siswa. Dengan senyum sadisnya, bu Arini mulai berbicara.
“Hari ini, ibu ingin mengadakan Pre-Test untuk materi baru kita. Silakan kalian keluarkan selembar kertas dan kerjakan soal yang ada di whiteboard.” Kata bu Arini sambil menunjuk whiteboard. Seluruh kelas pun berteriak riuh.
“Huuuuu…”
“Diam! Kalau ada yang protes, silakan keluar dan jangan harap mendapatkan nilai matematika yang terisi di raport kalian.” Kata bu Arini galak. Seluruh kelas pun berubah hening.
Wajah-wajah kebingungan anak-anak XI IPA-1 tak bisa ditutupi. Mereka tampak gugup mengerjakan soal-soal yang diberikan bu Arini. Beruntung, semalam Alyssa dan Mitha sudah belajar sedikit materi matematika sehingga mereka dapat mengerjakan soal-soal tersebut. Meskipun dengan kewalahan.
Alyssa menoleh ke sana kemari melihat keadaan teman-temannya. Tampak mereka begitu kesulitan mengerjakan soal ini. Tapi ketika pandangannya tertuju ke Raziel, mata Alyssa hampir melompat keluar. Dia melihat Raziel dengan wajah pasti mengerjakan soal-soal tersebut. Dan ketika pandangan mereka beradu, Raziel melempar senyuman ke arah Alyssa. Alyssa pun segera berbalik dan berkutat kembali dengan kertas jawabanya.
“Silakan kalian kumpulkan paling lambat 5 menit sebelum bel pulang sekolah berbunyi. Saya tunggu di meja saya.” Kata bu Arini bergegas keluar kelas.
“Gila tu bu Arini. Bel pulang sekolah kan tinggal 10 menit lagi.” Gerutu Nova, ketua kelas. Hampir seluruh kelas mengiyakan apa kata Nova tadi.
Nova pun segera berdiri dan berjalan mengumpulkan seluruh kertas lembar jawaban dan pergi ke ruang guru untuk mengumpulkannya ke meja bu Arini. 5 menit menanti suara bel, kelas XI IPA-1 riuh. Beberapa dari mereka membuka buku materi dan berusaha memecahkan soal dari bu Arini dengan petunjuk buku. Ada yang berhasil, ada pula yang gagal. Raziel hanya tersenyum melihat teman-teman barunya begitu antusias memecahkan soal tersebut.
“Teeettt!!!” akhirnya bel tanda pulang sekolah berbunyi. Seluruh siswa pun bergegas keluar dari kelas. Pun dengan Raziel yang dengan perlahan memasukkan buku dan alat tulisnya ke dalam tas kemudian bangkit berdiri dari kursinya. Dia berjalan keluar dengan langkah pelan. Saat akan keluar, tiba-tiba Alyssa memanggilnya.
“Ziel!” panggil Alyssa. Raziel pun menghentikan langkahnya dan menoleh pelan ke arah Alyssa.
“Iya Cha. Ada apa?” tanya Raziel.
“Ikut kita dulu yuk.” Ajak Alyssa. Mitha mengangguk sambil tersenyum. Kini Alyssa dan Mitha juga sudah berada di depan pintu kelas.
“Ke mana?” tanya Raziel bingung. Alyssa hanya tersenyum, kemudian menarik tangan Raziel. Tanpa melawan, Raziel pun mengikuti langkah kaki Alyssa dan Mitha.
Alyssa mengajak Raziel ke ruang musik. Sesampainya di sana, Mitha langsung duduk dan bersiap memainkan piano. Dan Alyssa pun duduk di samping Mitha dan mulai bernyanyi. Raziel hanya terdiam melihat piano, dan alat musik lain di ruangan itu. Pandangannya fokus ke sebuah gitar yang bersandar manis di dinding. Raziel pun tersenyum. Senyuman getir. Dia pun bergegas pergi. Alyssa pun menghentikan lantunan lagunya dan berlari mengejar Raziel.
“Ziel!!” teriak Alyssa berusaha memanggil Raziel. Mitha pun menghentikan permainan pianonya.
“Sa. Raziel kenapa?” tanya Mitha.
“Gue nggak tau Mith.” Kata Alyssa lirih. Matanya masih menatap sosok Raziel yang perlahan lenyap dari hadapannya.
***
Raziel masih berlari dan berlari. Ada bulir air mata yang masih tertahan dan enggan terjatuh. Laju larinya terhenti di hadapan sesosok pemuda yang nampak sedang mengamen. Memakai sweater hitam dan celana skinny, serta sebuah topi yang aneh. Memainkan gitar dengan petikan-petikan dawai yang merdu. Raziel terhenyak ketika pemuda itu melempar senyum kepadanya. Setiap denting nada yang dihasilkan oleh petikan gitar itu membuat hati Raziel sejuk. Sejenak dia dapat melupakan rasa pahit yang dia rasakan.
“Raziel.” Pemuda itu memanggil Raziel. Hal ini pun membuat Raziel semakin kaget.
“Da..darimana…” Kata Raziel tergagap.
“Perkenalkan, aku Oliver.” Kata pemuda bernama Oliver itu memperkenalkan diri.
“Oliver?” Raziel mencoba mengingat. Oliver pun hanya tersenyum.
“Mungkin kau lebih mengenal sosokku sebagai patung kecil bernama Oliver.” Kata Joe. Mendengar kata-kata terakhir Joe, Raziel hampir terjatuh. Ingatan Raziel meluncur tepat ketika dia baru saja pindah ke Inggris bersama kakeknya.
*flashback*
“Raziel, mungkin ayah dan ibumu sudah pergi. Tapi mereka selalu ada di dalam hatimu.” Kata Kakek kepada Raziel kecil. Raziel kecil pun hanya tersenyum.
“Dan sekarang, kakek punya sesuatu untukmu.” Kata Kakek kemudian mengeluarkan sesuatu dari dalam kotak di atas meja.
“Namanya Oliver. Dia seorang gitaris dan musisi hebat. Seperti ayahmu. Dia akan menjadi temanmu suatu saat nanti.” Kata Kakek sambil menunjukkan sebuah patung kecil. Patung pemuda bertopi yang sedang memegang gitar.
“Trimakasih ya kek.” Kata Raziel kecil sambil tersenyum kemudian meraih Oliver dari tangan kakeknya.
-  -  -  -
“Bagaimana? Kau sudah ingat?” tanya Oliver. Raziel pun hanya mengangguk. Oliver menyodorkan gitarnya ke Raziel. Tapi Raziel enggan untuk menerimanya. Dia pun pergi meninggalkan Oliver. Oliver hanya tersenyum melihat sikap dingin Raziel.
***
Keesokan harinya, Alyssa pagi-pagi sekali sudah sampai di sekolah. Dia berdiri di depan gerbang sambil beberapa kali melirik gelisah jam tangannya. Beberapa kali dia mengedarkan pandangan ke berbagai arah, seolah mencari sesuatu. Hingga pandangannya terhenti pada sosok yang sedang berjalan pelan ke arah gerbang SMA Satya. Raziel.
“Ziel!!” panggil Alyssa sambil melambaikan tangannya ke arah Raziel.
“Hai Chacha.” Balas Raziel yang sudah berada di depan Alyssa. Raziel pun tersenyum. Senyum yang membuat Alyssa salah tingkah.
“Ziel, ada yang pengen aku omongin.” Tiba-tiba raut muka Alyssa berubah serius. Raziel yang menyadarinya pun segera merespon.
“Yuk, masuk dulu.” Ajak Raziel. Alyssa menurut. Mereka berjalan di koridor sekolah yang masih lengang. Sepanjang jalan, mereka sama sekali tak saling bicara. Hingga mereka sampai di taman sekolah. Setelah duduk, Raziel pun mulai membuka percakapan.
“Cha, kamu mau ngomongin apa?” tanya Raziel lembut. Alyssa menghela nafas.
“Soal kejadian kemaren di ruang musik.” Alyssa mulai berbicara.
“Iya?”
“Kenapa kamu tiba-tiba pergi gitu aja?” tanya Alyssa sambil menatap Raziel.
“Cha, kamu tau kan kalo mendiang ayahku seorang musisi hebat?” tanya Raziel. Alyssa mengangguk.
“Iya. Beliau musisi yang cukup disegani. Meskipun jarang diekspos media tapi karyanya banyak yang jadi hits.” Kata Alyssa panjang lebar. Raziel pun tersenyum mendengarnya.
“Aku pun bercita-cita pengen jadi kayak beliau. Seorang musisi.” Kata Raziel sambil menatap kosong ke arah langit.
“Trus kenapa kemaren kamu tiba-tiba lari keluar? Kenapa Yel?” tanya Alyssa sambil memegang tangan Raziel. Jantung Raziel berdegup kencang. Dia berusaha mengendalikan dirinya kemudian menarik nafas panjang.
“Aku pun setuju buat pindah dan tinggal sama kakekku. Supaya aku bisa belajar musik dari kakek.” Kata-kata Raziel terhenti. “Terjadi hal buruk yang memaksaku ngubur semua mimpiku Cha.” Kata Raziel lirih.
“Hal buruk apa?” tanya Alyssa semakin penasaran.
“Hal buruk itu…” kata-kata Raziel terputus karena Raziel melihat sosok yang sedang sibuk mengelap gitarnya. Sosok Oliver. Melihat pandangan mata Raziel yang seperti terpancang ke sesuatu, Alyssa pun mencoba melihat ke arah pandangan mata Raziel.
“Ziel. Kamu ngeliatin apaan sih?” tanya Alyssa penasaran.
“Oliver..” kata Raziel masih terbengong melihat sosok Oliver yang tiba-tiba muncul. Oliver masih nampak sibuk dengan gitarnya. Sesekali dia melempar senyum ke arah Raziel yang kebingungan. Raziel pun mengernyitkan dahinya.
“Ziel. Oliver siapa?” tanya Alyssa kebingungan.
“Ke kelas aja yuk Cha.” Ajak Raziel. Mereka berdua pun pergi ke kelas. Di sepanjang koridor, Raziel masih bingung kenapa tiba-tiba Oliver muncul di sekolahnya. Alyssa yang sama sekali tak tahu pun kebingungan melihat tingkah aneh Raziel. Tiba-tiba pandangan mata Raziel kembali melihat sosok Oliver yang kini sedang asyik duduk di lantai depan pintu kelas sambil memainkan gitar. Dia mendelik melihatnya. Dan Raziel akhirnya limbung kemudian pingsan.
“Yel! Ziel! Bangun!” Alyssa menggoncang-goncangkan tubuh Raziel yang tersungkur. Beruntung, Mitha dan Tito muncul dan segera membantu Alyssa membawa Raziel ke UKS.

~ to be continued...
Share:

Sajak Untukmu #1 | For The Unknown You




Hey! Kamu… Iya kamu. Tolong berhenti sejenak dan dengarkanlah rangkaian bait kata yang kususun untukmu.

Taukah? Aku menemukan arti diriku ketika bertemu dirimu..
Semua masa laluku pun bertransformasi menjadi bingkai kisah hidup karenamu..

Taukah? Rumput pun akan mampu tumbuh di tengah sahara karenamu..
Bukanlah pelepas dahaga, tapi sebuah asa untuk hidup yang nyata..

Taukah? Kejora pun akan redup oleh cahaya rindu untukmu..
Sebuah abstraksi cahaya, menuntun jiwa yang kehilangan arah dan raga..

Kamu… Cukup bait tanpa makna itu kata perpisahan dariku. Kini pergilah. Ku doakan agar kau dapat meraih mimpi dan cintamu….

October 24th, 2012
Share: