Tampilkan postingan dengan label Sastra. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sastra. Tampilkan semua postingan

Sudah Pagi Ternyata | Puisi Random

Baru aja ngobrolin sesuatu yang malu-maluin di akun socmed, eh udah mau posting lagi. =)) Ini sebuah puisi random yang saya temukan di bagian bawah TL facebook saya. Agak sayang kalau dihapus dari tabel database, jadi saya share aja deh di sini. Sebuah puisi tanpa diksi berkelas. Ya, tentu lah, saya bukan tipikal pujangga romantis yang kaya akan aksara.


Sudah Pagi

Sudah pagi ternyata
Hangat sinar mentari terasa
Singkapkan dingin malam perlahan sirna
Tapi hanya mentari... kamu tak ada

Sudah pagi ternyata
Nyaring kicau burung di luar sana
Hembuskan kesunyian yang menghampa
Tapi hanya kicau burung..  Kamu tak ada

Sudah pagi ternyata
Aku sadar sekarang aku sendirian
Kamu yang aku rindu sudah tertelan masa lalu
Maaf, aku harus bergerak maju

Ada asa pagi yang menyambutku
Ada gelap sunyi yang menemaniku
Ada perubahan yang sedang menempa aku
Ya, di depan situ ada yang sedang menungguku

Selamat pagi, masa depanku!


~ aku, 2013

https://sokocon.files.wordpress.com/2013/06/semangat-pagi.jpg
pic from sokocon.wordpress.com

Sampai jumpa lain waktu! Di masa depan yang lebih baik tentunya~ =]
Share:

Sajak Untukmu #3 | Hello Goodbye

Nemu ini pas scrolling TL fb-ku. Langsung deh taruh sini. Yey! Hari ini nyepam di blog sendiri. X))
 

Sajak Untukmu #3 |  Hello Goodbye


Aku datang...
Karena aku tak suka kau berduaan dengan sepi
Karena senyummu hilang sejak bersamanya... sepi

Aku datang...
Melewati waktu dan juga masa lalu
Kulihat kamu tak lagi bersama sepi... dan senyum itu pun hadir lagi

Aku datang...
Demi sebuah tanda mata ingatan
Janji dan kenangan yg masih bertahan di tengah bimbang

Aku datang...
Ya, datang untuk berucap sepatah kata dari hati yang sempat patah berbilah-bilah
Ya, cukup sepatah... yang tersisa dan sudah lelah

Dan waktunya aku pergi...
Bukan lagi nanti, tapi sekarang dan kini
Karena ada senyum yang sedang menungguku
Wajah menyejukan dengan mata teduh itu... bukan kamu

-----

http://flamesnation.ca/uploads/Image/sayonara1.jpg
sayonara1 from flamesnation.ca


2014
Share:

Udah Jujur Aja... | CERPEN (Cooming Soon)

Title : Udah Jujur Aja...
Author : Nur Rochman

SINOPSIS
Hujan masih deras mengguyur. Dika, Rara, dan Vina masih terjebak di dalam kafe sepi menunggu Andra yang tak kunjung datang. Untuk mengusir rasa jenuh, serta meredam Dika yang dari tadi mengomel tak jelas, Vina mengajukan usul untuk memainkan sebuah permainan. Truth or Dare!
Permainan yang nampak begitu sederhana. Hanya sebuah botol kosong, keberanian, dan kejujuran yang diperlukan. Namun, ternyata yang terjadi jauh dari kata sederhana. Ketika satu demi satu dari mereka bertiga memperoleh Truth or Dare-nya. Ketika kejujuran yang terucap begitu mencengangkan karena telah lama tertahan. Dan ketika keberanian yang muncul berbenturan dengan kenyataan yang menyesakkan.
Bagaimana seorang Vina yang begitu polos dengan jujur mengakui sebuah hal yang tentu akan terdengar menyakitkan bagi Andra. Bagaimana Rara yang begitu berani dan selalu nampak tegar, akhirnya harus berubah menjadi seorang Rara yang berbeda, yang terluka oleh rasa sedih dan sakit. Serta Dika yang selalu cuek dan keras hati ternyata menyimpan rahasia yang Vina dan Andra tak pernah tahu. Rahasia tentang rasa yang begitu lama tertahan dan tak pernah mengemuka.

Hingga Andra datang dan perlahan mencairkan semuanya. Mengalir seperti air. Rahasia Vina? Biarkan saja tetap rahasia bagi Andra. Dika dan Rara? Ya, biarkan kisah mereka perlahan mengemuka.
Share:

Untitled Tragedy, The 3rd



“Sam, aku pulang duluan ya. Ayahku sudah datang.” Ujar Tristan sambil melambaikan tangannya. Kemudian berlari menuju mobil ayahnya.
“Ya, hati-hati.” Kata Sam membalas lambaian tangan Tristan. Kini tinggal Sam sendiri di depan gerbang kampus. Diliriknya jam di pergelangan tangannya, ternyata sudah jam 6 dan bus kota yang dia tunggu tak kunjung datang.
Karena sudah tak tahan hanya berdiri menunggu, Sam memutuskan untuk berjalan kaki menuju rumahnya. Tapi saat akan pergi meninggalkan tempatnya, ada suara yang memanggil-manggil dari belakang.
“Hey! Tunggu!” panggil suara itu.
Sam pun menghentikan langkahnya. Dan terlihat seorang gadis bertubuh sedang, berambut sebahu berlari ke arahnya sambil membawa sebuah buku tebal. Sam pun mengernyitkan dahinya.
“Siapa kau? Apa yang kau lakukan sampai malam di kampus?” Tanya Sam.
“Aku mahasiswi baru. Aku dari perpustakaan tapi aku tersesat saat ingin keluar dari lingkungan kampus.” Jawab gadis itu sambil terengah-engah.
“Hahaha. Ada-ada saja kau, bisa tersesat di dalam kampus.” Ujar Sam.
“Sudah, jangan menertawakanku.” Kata gadis itu mendengus kesal.
“Hahaha. Ya, baiklah aku tidak akan menertawakanmu. Oiya, kau bilang tadi, kau mahasiswa baru?” Tanya Sam. Gadis itu hanya mengangguk.
“Sebagai permintaan maafku, ikutlah denganku. Aku traktir kau makan.” Ajak Sam.
“Baiklah.” Kata gadis itu.
Sam pun berjalan berdua dengan gadis itu menuju sebuah rumah makan tak jauh dari kampus. Setelah memilih menu, mereka pun segera duduk dan menunggu pesanan mereka datang. Nampak gadis tersebut mulai membuka lembar demi lembar halaman buku tebal di depannya. Sam pun memperhatikannya dengan seksama.
“Hey, buku apa yang sendang kau baca?” Tanya Sam penasaran.
“Ini.” Jawab gadis itu sambil mengubah posisi buku itu menjadi berdiri sehingga Sam dapat membaca judul buku tersebut.
“Oh, ‘Bias Cinta Di Ujung Senja’. Buku yang bagus.” Ujar Sam kemudian menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. Gadis itu mengernyitkan dahinya.
“Bagus? Jangan sok tahu.” Kata gadis itu. Sam hanya tersenyum.
“Tentu saja aku tahu. Aku sudah berkali-kali membacanya dan kesimpulanku, bagus. Tidak sia-sia kau tersesat untuk buku itu.” Kata Sam sambil sedikit tertawa.
“Ah, kau memang menyebalkan.” Gadis itu mendengus kesal kemudian mulai membaca prolog di awal buku tersebut.
“Dan aku pun tetap bertahan demi ilusi itu meskipun ku tau, semuanya akan sia-sia pada akhirnya. Karena cintaku terlanjur menghempaskan sakitku. Ya, karena ilusi itu telah merenggut mataku dari melihat yang nyata.. Kepergianmu.” Kata-kata Sam mengalir begitu saja. Sejurus kemudian, Sam mulai memakan French Fries di hadapannya.
“Kau benar-benar sudah membaca buku ini.” Ujar gadis itu kagum setelah mendengar kata-kata Sam barusan. Matanya takjub mengamati wajah Sam yang tanpa ekspresi mengunyah French Fries.
“Aku memiliki beberapa buku seperti itu jika kau berminat. Oiya, siapa namamu?” Tanya Sam sambil mengulurkan tangannya. Gadis itu kemudian menyambut uluran tangan Sam.
“Ellena.” Jawab gadis itu singkat. Sam tersenyum.
“Ya, setidaknya namamu cukup cantik untuk gadis segalak dirimu.” Ujar Sam sambil tertawa kecil.
“Hey! Apa maksudmu?!” Tanya Ellena sambil bersungut-sungut. Sam hanya tertawa melihatnya.
***
Di tempat tidurnya, Sam masih terbaring lemah. Matanya sayu memandangi seisi ruangan tempatnya berada. Kekosongan dan kesunyian memadati setiap sudut ruangan itu. Sam pun hanya tersenyum. Sejenak, dia dapat menikmati keberadaannya di dunia.. Kesendiriannya.. Meski dia tahu, masih ada Olivia yang selalu ada untuknya semenjak kematian orang tuanya.
Papa dan Mama adalah orang sangat Sam kagumi karena keteguhan mereka dalam menghadapi hidup. Banyak pelajaran yang Sam peroleh dari cerita yang selalu disampaikan Papa dan Mamanya. Begitu pula ikatan cinta yang selalu dia lihat ketika mereka dulu sedang duduk berdua menemani Sam dan Olivia belajar. Ikatan cinta yang kini membuat Sam iri karena tak bisa memiliki ikatan seperti itu.
“Ah, menyebalkan sekali kalau teringat bagaimana Papa dan Mama dulu selalu saja mengawasiku saat belajar.” Ucap Sam.
Dan setelah mereka berdua harus pergi dari dunia karena sebuah kecelakaan pesawat, Sam pun tinggal berdua bersama Olivia. Sampai kemudian ketika Sam mulai mengenyam bangku kuliah, dia memutuskan untuk tinggal sendiri, terpisah dari Olivia karena ingin belajar mandiri demi kehidupannya nanti.
“Kak Olivia, aku iri padamu. Kau bisa setegar itu setelah kak Brian dengan kejam mengkhianati pertunangan kalian dan menikah dengan wanita lain.” Sam tersenyum getir. Masih teringat di ingatannya bagaimana tangis Olivia yang memecah malam setelah mendengar kabar bahwa Brian sudah menikah.
“Ah. Sepertinya hidupku sangat menyedihkan. Dikelilingi oleh orang-orang yang mengagumkan, tapi aku tak bisa seperti mereka. Gagal memenuhi ekspektasi mereka terhadapku.” Ucap Sam kemudian mengalihkan pandangannya ke arah langit kelabu yang terhalang oleh bening kaca jendela.
Air mata mulai leleh dan menuruni pipi Sam dengan pelan. Dadanya kembali terasa tertusuk oleh sesuatu yang tak terlihat. Sesuatu yang dia sendiri tak mampu menjelaskannya. Rasa sakit itu semakin kuat terasa dan semakin memenuhi rongga dadanya. Tangan kanannya lemah mengusap dadanya yang semakin sesak. Dan tak berapa lama, Sam pun terlelap dalam tidur setelah sang sunyi menyanyikan melodi bisu pengantar tidur untuknya.
***
“Sam, aku baru selesai membaca buku yang minggu lalu kau berikan untukku. Dan memang benar, isinya sangat bagus.” Kata Ellena senang. Sam pun tersenyum kemudian mengacak rambut Ellena.
“Hey, apa yang kau lakukan.” Kata Ellena sambil merapikan rambutnya.
“Ellena, ayo ikut denganku.” Ujar Sam kemudian berjalan pergi.
“Sam! Mau ke mana?” panggil Ellena yang kemudian berlari mengejar Sam.
Deru motor Sam tenggelam dalam pekak suara deru kendaraan lainnya. Tanpa kata, mereka berdua menikmati sepi jalan yang mulai mendaki yang perlahan datang menggantikan keramaian kota yang bergemuruh sejak tadi. Sepanjang jalan Ellena tak henti-hentinya memperhatikan Sam yang terus saja melangkah dan tak mau berkata ke mana dia akan mengajaknya. Ada tanda tanya besar di dalam kepalanya, tapi dia berusaha menahannya.
“Kita sampai.” Kata Sam singkat kepada Ellena. Mereka berdua turun dari motor dan berjalan sebentar.
Sam kemudian duduk dan menghela nafas panjang. Ellena pun menghentikan langkahnya. Matanya pun takjub melihat deretan gedung dan bangunan yang tampak kecil di hadapannya tertata rapi. Pemandangan yang belum pernah dia lihat sebelumnya.
“Sam, bagus sekali. Aku belum pernah melihat pemandangan seperti ini.” Kata Ellena takjub. Matanya pun masih belum mau melepaskan pandangannya dari ‘diorama’ kota yang ada di hadapannya.
“Makanya, jangan terlalu sering tenggelam di balik tumpukan buku. Sesekali kau harus pergi keluar, melihat dan menikmati keindahan alam bukan hanya keindahan kata. Alam memiliki ribuan kata yang jauh lebih indah, yang tersimpan rapat di sekitar kita. Cermati dan kau akan menemukannya.” Ujar Sam yang kemudian merebahkan tubuhnya ke rerumputan hijau.
Ellena tak mampu berkata apa-apa setelah mendengar apa yang baru saja diucapkan oleh Sam. Dia takjub dengan keindahan alam yang selama ini tak terlihat oleh matanya. Tapi dia lebih takjub pada kata-kata Sam. Tak pernah terkira dia akan mendengarnya dari mulut seorang Sam. Dilihatnya sejenak Sam yang nampak mulai terlelap karena buaian angin. Dia pun ikut berbaring di samping Sam, matanya enggan terpejam dan masih asyik menikmati biru langit yang cerah. Nampak sebuah senyuman mengembang di bibirnya.

***

Setitik air mata menetes di pipi Ellena ketika dia teringat kenangannya bersama Sam. Rasa sakit di hatinya semakin bertambah. Rasa sakit akibat penyesalan karena pernah mencampakkan Sam. Rasa sakit yang akan terobati jika dia bisa kembali bersama Sam dan merajut kembali kisah bersamanya.
“Sebentar lagi kita sampai Ellena. Tenanglah.” Kata Olivia membesarkan hati Ellena.
“Terima kasih kak.” Kata Ellena singkat.
“Ellena, ketahuilah. Meskipun Sam enggan bertemu denganmu, tapi aku bisa merasakan kalau dia masih mencintaimu.” Ujar Olivia sambil tetap fokus mengendalikan mobilnya.
“Benarkah itu kak?” Ellena pun kaget mendengar kata-kata Olivia barusan.
“Tentu saja. Entah apa yang membuat dia enggan mengakuinya.” Lanjut Olivia.
Di sela-sela air matanya, Ellena bisa sedikit tersenyum. Ada sedikit harapan untuk bisa bersama Sam lagi memperbaiki apa yang pernah dia hancurkan. Mencintai orang yang juga mencintainya dengan cinta yang sebenarnya. Berjuang meraih sebuah mimpi dari dua jiwa yang memiliki satu tujuan.
Mobil Olivia melaju melewati kendaraan-kendaraan lain di jalanan kota yang hari ini cukup lengang. Seolah memberikan jalan bagi Ellena dan Sam agar segera bertemu kembali. Seperti dongeng yang kisahnya sedang ditulis.
Tapi tiba-tiba saja Olivia seperti kehilangan kendali. Laju mobil menjadi sedikit oleng padahal masih pada kecepatan yang cukup tinggi. Rem mobil pun beberapa kali seperti tak berfungsi. Beberapa kali dia hampir menabrak mobil lain. Sampai ketika tiba pada persimpangan menuju rumah sakit..
“BRAAAKKK!!!” sebuah suara hantaman yang begitu keras terdengar. Nampak dari sumber suara tersebut sebuah mobil sedan yang terguling dan sebuah truk bermuatan yang bagian depannya sudah setengah hancur mengepulkan asap putih membubung. Lalu lintas pun terhenti dan beberapa orang berusaha menolong orang-orang yang ada di mobil sedan maupun truk tersebut.
“El..Elle..na.... ba..ngu..n” kata-kata Olivia terbata-bata menahan sakit berusaha membangunkan Ellena yang tak sadarkan diri.
“M..ma...afkan.... a..ku....” kata-kata Olivia yang lirih pun hilang terbawa angin. Sejurus kemudian dia pun pingsan.


___ to be continued ____


Butuh komentar lho pembaca NVRstepback yang kece-kece & baik hati... Soalnya lagi kehabisan ide buat ngelanjutin ceritanya... Yuk diisi kotak komentarnya, biar rame.. :3
Share:

Untitled Tragedy, The 2nd



“Semua yang aku lakukan untukmu adalah nyata. Dan aku tak akan menyesalinya. Namun satu yang tak bisa kuterima. Kau pergi karena aku tak mampu penuhi mimpimu. Mimpimu tentang sosok sempurna yang tak ada di diriku…”

“Kondisinya belum stabil. Biarkan dia istirahat terlebih dahulu. Sekarang, tolong anda ikut ke ruangan saya.” Ujar dokter kepada seorang wanita muda berbusana layaknya seorang manager perusahaan.
“Baik dok.” Ujar wanita itu kemudian berjalan di belakang dokter. Sebelum menutup pintu kamar, dia memandang tubuh lemah yang kini sedang tak berdaya, terbaring di ranjang yang ada di dalam ruangan. Sebutir air mata menetes dari ujung matanya ketika dia menutup pintu itu.
“Maafkan kakak, Sam. Kakak gak bisa jaga kamu, seperti yang diwasiatkan papa dan mama.” Batin wanita yang ternyata kakak Sam, Olivia.
Di sepanjang jalan, Olivia sesenggukan sambil sesekali menyeka air matanya. Satu hal yang sangat menyita segenap pikiran dan perasaannya, tak lain dan tak bukan adalah kondisi Sam saat ini. Tak lama kemudian, Dokter dan Olivia sudah berada di ruang dokter untuk membicarakan kondisi Sam.
***
Meanwhile, di kamar tempat Sam dirawat…
Sam ternyata sudah siuman dan kini sedang mengedarkan matanya ke sekeliling ruangan tempatnya kini berada. Sebuah ruangan yang sangat bersih, dengan dominasi warna putih. Lalu pandangannya beralih ke lengan kirinya. Nampak sebuah selang kecil yang berisi cairan bening menembus punggung tangannya. Dia berusaha untuk bisa duduk, tapi gagal karena tubuhnya masih lemah.
“Sial.” Umpat Sam.
Tiba-tiba terdengar bunyi dering ponsel. Sam menoleh ke arah suara itu. Ternyata ponselnya yang berada di atas meja. Dengan kesulitan, Sam meraihnya. Namun belum sempat berhasil teraih, ponsel itu terjatuh dan mati karena menghantam lantai dan terpelanting. Lagi-lagi, Sam hanya bisa pasrah.
Matanya menatap nanar ke arah langit-langit ruangan. Tiba-tiba muncul bayangan Ellena yang seolah menangis meratapinya. Perasaan menyesalnya muncul, tapi ternyata tak cukup untuk memberi maaf atas sakit hati yang dia rasakan. Dan kini, tubuhnya juga ikut sakit.
“Ellena.. Kenapa kisah kita harus berakhir seperti ini.” Ratap Sam lirih. Diikuti air mata yang mengalir dengan malas dari sudut matanya.
Tiba-tiba saja pintu kamar terbuka. Ternyata Olivia yang masuk. Nampak dia berusaha mengusap sisa sisa air mata di wajahnya saat melihat Sam, adiknya, sudah terbangun.
“Sam… Ada apa?” Olivia mengusap lembut rambut cepak Sam. Namun Sam hanya terdiam dan berusaha menghapus tangisnya.
“Sam, tadi Ellena menelpon kakak dan menanyakan keadaanmu. Kalian masih pacaran kan?” Tanya Olivia. Nampak senyum getir tersungging di bibir Sam.
“Sudah berakhir kak…” kata Sam pelan sambil memaksakan seulas senyuman.
“Apa maksudmu? Kalian putus?” Tanya Olivia lagi berusaha mendapat kejelasan. Tanpa berkata apa-apa, Sam hanya mengangguk. Olivia pun terdiam. Dia sama sekali tak menyangka kalau Sam dan Ellena, yang dia tahu sangat mesra dan serasi bisa putus setelah hampir 3 tahun berpacaran. Sebuah pertanyaan pun menggantung di pikiran Olivia saat ini.. Bagaimana bisa?
“Dia memilih lelaki lain kak, dia tak mampu bersabar dengan keadaanku yang sederhana. Akhirnya dia pergi bersama seorang yang jauh lebih baik dariku.” Terang Sam seolah mengerti pikiran Olivia.
“Padahal aku berencana melamarnya setelah aku wisuda 2 bulan lagi. Menyedihkan ya kak.” Lanjut Sam.
“Kuatkan hatimu Sam. Mungkin Ellena bukan yang terbaik untukmu, sehingga Tuhan memisahkan kalian. Bersabarlah.” Hibur Olivia.
Sam tersenyum mendengar perkataan kakaknya. Dan kini ada sedikit pilu yang terhapus, ada sebilah sunyi yang pergi karena kehadiran kakak yang sangat dia sayangi, kakak yang sangat menyayanginya, kakak yang dulu sempat dia sakiti hatinya.
“Kak.” Panggil Sam. Olivia yang sedang menatap ke luar jendela pun menoleh.
“Ada apa Sam?”
“Maafin Sam kak, dulu pernah menyakiti hati kakak.” Ucap Sam lirih tanpa tenaga.
“Iya Sam. Yang berlalu biarlah berlalu. Sekarang cepatlah sembuh, dan segera bangkit.” Ujar Olivia sambil tersenyum.
Namun tak lama berselang Olivia harus segera kembali ke kantor karena ada rapat yang harus dia pimpin. Dengan agak berat hati, Olivia pergi meninggalkan Sam sendirian di dalam kamar.
“Kalau seandainya Ellena bertanya tentangku, tolong katakan padanya aku baik-baik saja kak.” Ujar Sam ketika Olivia akan keluar kamar. Olivia pun mengangguk dan tersenyum, kemudia menutup pintu kamar.
Dan sunyi kembali menghampirinya. Namun hati dan otak Sam justru menikmatinya. Indahnya kesunyian yang menenangkan. Merdunya kesepian yang bernyanyi memenuhi seisi ruang kamar, membuat Sam perlahan terlelap ke dalam dimensi ilusi mimpi. Semakin jauh memasuki alam bawah sadarnya, dan menampakkan sepotong ingatan yang terbalut kebahagiaan usang di hadapannya.
***
“Sam, apakah kau tak pernah merasa keberatan melakukan berbagai macam permintaanku?” Tanya Ellena sambil memandang iring-iringan awan di langit senja.
“Kalau kau bertanya seperti itu, berarti kau tidak mempercayai ketulusan hatiku.” Ujar Sam ringan. Ellena pun tersenyum lalu memeluk erat Sam.
“Aku sangat beruntung bisa bersamamu, Sam.” Kata Ellena.
“Dan aku berharap kita bisa bersama selamanya Ellena. Tak terpisahkan.” Kata Sam sambil menatap lekat mata Ellena.
“Tak terpisahkan..” sambung Ellena.
***
Ellena duduk sendirian di teras rumahnya. Pikirannya nampak kalut karena ucapan selamat tinggal Sam. Tangannya menggenggam sepucuk surat dari Sam. Ingin sekali dia membukanya, tapi ada perasaan yang menahannya. Perasaan yang masih percaya bahwa Sam tak akan pergi menghilang darinya. Berkali-kali Ellena menelpon Sam, tapi nomornya tak pernah aktif. Kekhawatirannya yang tak tertahan pun membawa hatinya memutuskan untuk datang menemui Olivia, kakak Sam.
Setelah membuat janji sebelumnya, Ellena pun dapat bertemu dengan Olivia di sebuah restoran di dekat kantor Olivia. Suasana ketika berhadapan dengan Olivia yang dirasakan Ellena pun seolah berubah canggung semenjak dia dan Sam tak bersama. Lidahnya seakan kelu ingin memulai pembicaraan dengan Olivia. Melihat sikap Ellena yang tidak biasa, dan apa yang telah diceritakan Sam tentang hubungan Sam dan Ellena, Olivia pun membuka obrolan.
“Ellena. Ada apa kau mengajakku bertemu? Apa ada hal penting?” Tanya Olivia bertingkah seolah tidak tahu tentang berakhirnya hubungan Ellena dan Sam.
“Eh, kak Oliv. Anu kak.” Ujar Ellena gugup.
“Ada apa?” Tanya Olivia lembut.
“Begini kak. Apakah Sam baik-baik saja? Aku berusaha menghubunginya tetapi ponselnya tidak pernah aktif. Dia baik-baik saja kan kak?” Tanya Ellena dengan raut wajah khawatir.
Olivia menghela nafas panjang dan tidak langsung menjawabnya. Di hatinya berkecamuk rasa iba untuk Sam dan rasa iba untuk Ellena. Dan Olivia pun tak sanggup melihat Ellena yang sangat khawatir pada keadaan Sam.
“Ellena, apa benar kau dan Sam sudah putus?” Tanya Olivia. Ellena kaget.
“Sam menceritakannya padaku, jadi kau tak perlu kaget.” Lanjut Olivia. Mendengarnya, Ellena pun menunduk.
“Benar kak. Aku sudah menyakitinya dengan memilih pria lain.” Jawab Ellena lirih.
“Lalu?” Tanya Olivia lagi.
“Lalu aku menyadari bahwa Sam adalah pria yang sempurna bagiku kak. Meskipun dia sederhana, tapi kesederhanaannya adalah kesempurnaan yang tidak dimilliki pria lain.” Ujar Ellena sambil menahan air mata. Olivia pun mulai mengerti, dan sedikit tersenyum mendengar jawaban Ellena.
“Apakah kau masih mencintai Sam, Ellena?” Tanya Olivia dengan nada tegas.
“Aku masih dan akan tetap mencintai Sam kak.” Jawab Ellena. Kali ini dia tak mampu menahan air matanya.
“Baiklah, sekarang ikutlah denganku.” Ujar Olivia sambil berdiri dari tempat duduknya diikuti Ellena.
***


to be continued....
Share:

Untitled Tragedy, The 1st

NVRstepback. Oy oy oy! Ada cerita baruu! Silakan dibaca ya, mumpung bisa nulis judul baru nih. Jarang-jarang bisa dapet inspirasi kayak gini. Eitss, tapi ini cerbung lho yah, jadi harus sabar karena lanjutannya bakal rada lama postingnya.. Udah ah ngemengnyah, selamat membacaaa... :D


Title : Untitled Tragedy, The 1st
Author : Nur Rochman | @NVRstepback
Genre : Sadness, Love




Sam masih duduk termenung sendiri di halaman belakang rumahnya. Di sampingnya terlihat sebuah boneka kucing warna putih. Mata Sam sesekali melirik boneka itu. Lalu dia pun meraih boneka itu, dipandangnya dalam-dalam. Sam kemudian memejamkan mata, diletakkannya kembali boneka kucing itu ke tempatnya. Tangan Sam mencoba meraih sesuatu di saku celananya, sebuah korek api. Diambilnya lagi boneka kucing putih itu, kemudian dia membakarnya.
Perlahan, api mulai memakan habis boneka kucing putih itu. Sam hanya duduk melihat aksi api itu. Seiring dengan api yang terus menyala, dari mata Sam mulai mengalir air mata. Diiringi senyuman getir, Sam meninggalkan boneka kucing putih itu.
***
Hari sudah petang. Lampu ruang tengah masih belum menyala. Satu-satunya cahaya yang ada di rumah itu adalah cahaya dari dalam kamar Sam. Cahaya redup dari sebuah lampu bohlam kecil. Cahaya yang tentu saja tak akan cukup untuk menerangi seisi kamar Sam sekalipun.
Tempat tidur tempat Sam berbaring pun hanya terlihat samar. Sam terbaring telentang, dengan pandangannya kosong menatap kehampaan yang ada di hadapannya saat ini. Air matanya sudah kering. Perlahan, Sam bangkit berdiri. Dia berjalan mendekati meja, lalu meraih ponselnya. 9 Missed Calls dan 14 Unread Messages tak membuat Sam berminat membuka ponselnya.
Dengan masih menggenggam ponselnya, Sam melangkah perlahan menuju jendela kamarnya. Tiba-tiba langkahnya terhenti karena ponselnya tiba-tiba bergetar. Ellena, begitu tertulis di layar ponsel. Tapi Sam tak menerima panggilan itu. Di samping jendela kamarnya, terlihat jelas langit malam yang muram, tanpa ada cahaya bulan dan kerlip bintang. Sam menarik nafas panjang, lalu kemudian…Prakk!!!! Dia membalikkan badan kemudian melempar ponselnya tepat ke tembok kamarnya.
Sam kembali tersenyum getir melihat hal itu. Dia perlahan melangkah kembali ke tempat tidurnya.
***
Jam di dinding menunjukkan pukul 08.00. Sam sudah bersiap untuk berangkat ke kampus. Namun, ada yang berbeda dari penampilan Sam hari ini. Rambutnya tak lagi disisir rapi, dibiarkan acak-acakan menutupi telinga dan matanya. Kemeja putih lengan pendeknya berubah menjadi kaus hitam dengan corak warna merah darah, dibalut jaket hitam polos. Celana skinny yang jarang sekali dia pakai, kini dipakainya. Sepatu keds hitam, selesai dipakainya. Dia pun melangkah keluar rumah menuju kampus.
Di kampus, Sam lebih banyak diam. Tak lagi aktif bertanya ketika di kelas, rajin berdiskusi membahas tugas, ataupun bercanda bersama teman-temannya ketika jam istirahat. Waktunya dihabiskan duduk menyendiri di dalam perpustakaan, mendengarkan lagu-lagu yang mengalun dari ponselnya lewat headphone yang terpasang di telinganya. Tak ada lagi buku-buku tentang materi kuliah yang dia baca.
***
Jam 12.00, kelas terakhir untuk hari ini selesai. Sam bangkit perlahan dan mulai melangkah meninggalkan kursinya menuju pintu keluar kelas. Baru saja dia melangkahkan kaki kelaur dari ruang kelas, ada tangan yang meraihnya. Sam menengok dan terkejut, ternyata Ellena.
“Sam.” Panggil Ellena. Namun Sam tak menjawab. Menatap Ellena pun tidak.
“Sam, tolong lihat aku. Sam!” kata Ellena agak keras. Sam akhirnya mau menoleh. Dengan tatapan kosong dia menatap wajah Ellena.
Dengan tidak bicara, Ellena kemudian menarik tangan Sam dan berjalan ke suatu tempat. Sam hanya mengikuti langkah Ellena. Sama sekali tak tersirat keinginan untuk menolak, juga keinginan untuk ingin tahu apa maksud Ellena.
***
Di sebuah koridor sepi di belakang laboratorium praktek kimia, Ellena menghentikan langkah kakinya. Sam ikut berhenti. Begitu lama mereka berdua tenggelam dalam diam. Tak satupun dari keduanya yang berbicara. Hanya tatapan mata yang terus beradu. Ellena melangkah mendekati Sam. Dengan perlahan memeluk tubuh Sam yang ada di depannya. Semakin erat dan semakin erat pelukan Ellena, tapi Sam hanya diam saja. Mata Sam terpejam kemudian tangannya mulai memeluk tubuh Ellena, begitu erat.
“Sayang, kau telah berhasil menghancurkan hatiku. Terima kasih.” Bisik Sam ke telinga Ellena, kemudian melepaskan pelukannya.
“Sam…” jawab Ellena kemudian menangis. Ellena tertunduk lemah. Tubuhnya tiba-tiba goyah, Ellena jatuh terduduk. Ada sesuatu yang sedang berkecamuk hebat di dalam hatinya. Ellena mulai mengangkat pandangannya mencoba memandang Sam yang masih berdiri di hadapannya, melihatnya terjatuh tanpa melakukan apapun.
“Sayang, bagaimana rasanya? Kau terjatuh, menangis kesakitan. Dan orang yang kau sayangi, yang ada di depanmu tak membantumu berdiri. Sakit bukan?” kata Sam yang perlahan mendekati Ellena.
“Kau pasti ingat apa yang sudah kau lakukan padaku. Sesuatu yang jauh lebih menyakitkan dari ini. Sesuatu yang telah menghancurkan rasa sayangku yang begitu besar padamu.” Lanjut Sam.
Ellena tertunduk, dengan air mata yang masih terus mengalir, ingatannya perlahan kembali ke peristiwa beberapa minggu yang lalu.
***
3 Minggu yang Lalu
“Jangan pergi…” pinta Sam kepada Ellena yang terus melangkah pergi.
“Maaf Sam, aku harus pergi dari sisimu. Aku memang menyayangimu. Tapi aku tak bisa bertahan bila terus seperti ini. Sampai jumpa, Sam.” Jawab Ellena sembari melangkah Sam yang berdiri termangu.
Dari kejauhan, terlihat sosok pria yang mengendari motor menjemput Ellena. Sam pun segera berlari mengejar Ellena. Namun, malang bagi Sam dia tak mampu mengejar Ellena yang sudah pergi bersama pria itu. Sam terus berlari sambil menangis, sampai akhirnya dia terjatuh dan hanya bisa melihat Ellena perlahan menghilang dari pandangannya. Sam menangis.
***
“Sam, maafkan aku…” pinta Ellena kepada Sam.
“Maaf? Kau meminta maaf padaku? Aku sudah terlalu sering memberikannya. Tapi kau tak pernah bisa menjaga kata maaf yang kuberikan. Sebaliknya, kau tak mau memberikan sedikit maafmu ketika aku melakukan sedikit kesalahan.” Jawab Sam.
“Tolong Sam, maafkan kesalahanku tempo hari. Aku sekarang sepenuhnya sadar kalau yang telah aku lakukan adalah kesalahan yang besar. Tolong, beri aku kesempatan untuk memperbaikinya.” Pinta Ellena sambil masih menangis.
Sam menarik nafas panjang, lalu mulai berbicara,” ketahuilah Ellena, sampai saat ini aku masih menyayangimu. Tapi aku sudah kehilangan hasrat untuk kembali bersamamu. Hasrat itu sudah ikut pergi bersama dengan kepergianmu dulu. Jadi sekarang, kau tak perlu mengharapkanku. Kau sudah bebas.”
Ellena tercekat mendengar perkataan Sam. Dia tak menyangka betapa Sam masih menyimpan rasa sayangnya, tapi dia sedih mendengar penuturan Sam yang menyuruhnya pergi. Perlahan, Ellena mulai bangkit berdiri. Dia berjalan perlahan mendekati Sam, lalu kembali memeluknya. Tanpa disangka, Sam langsung menyambut pelukan Ellena.
“Sam, aku menyayangimu.” Kata Ellena.
“Aku juga menyayangimu, Ellena.” Jawab Sam.
“Ellena, mungkin ini adalah pelukan terakhir kita. Aku akan pergi.” Kata Sam sambil melepaskan pelukannya. Ellena belum mengerti maksud perkataan Sam, tiba-tiba Sam menyerahkan sepucuk surat kepada Ellena.
“Apa ini, Sam?” tanya Ellena.
“Jangan kau buka. Bukalah saat aku benar-benar telah menghilang, dan kau tak mampu lagi menemukanku di manapun. Tapi aku ingin, kau jangan menangis saat membaca surat ini. Selamat tinggal… Sayang.” Jawab Sam sambil berlalu pergi.
Sam pun melangkah pergi, meninggalkan Ellena yang masih berdiri dengan beribu tanya di kepalanya. Tanya tentang surat pemberian Sam, ucapan perpisahan Sam, dan masih banyak lagi semua tentang Sam. Namun di balik itu semua, hati Ellena sedikit tenang karena tahu bahwa Sam masih menyayanginya. Matanya masih dengan setia melihat dan memperhatikan tubuh Sam yang secara perlahan menghilang di balik kaki langit.
Sam melangkah tanpa arah. Di wajahnya tersirat secuil senyuman. Bukan lagi senyuman getir, tapi sebuah senyuman bahagia yang muncul dari dalam harinya. Secara perlahan, langkahnya mulai melambat. Pandangannya mulai kabur. Telinganya tak mampu lagi mendengar hiruk pikuk yang ada di sekelilingnya. Peluh dingin mulai mengalir dari tubuhnya. Sejenak kemudian, tubuhnya tumbang. Sam tak sadarkan diri.

To be continued…

Silakan kasih komentarnya di kotak komentar. Bebas tapi sopan. Gak bakal kena tabok kok.. XD
Share:

#RandomPost - #RangkaiAbstrak | 26 Februari 2013


NVRstepback. Hari yang sangat-sangat sepi. Hati sepi? Udah biasa buat gue. Kesepian? Yah, udah akrab banget sih jadinya ya tetep enjoy. :D Lagi males nulis banyak-banyak, yaudah nih ada sedikit coretan. Coretan apa? Coretan #SelfMotivation buat gue sendiri.

Yang mau baca, silakaaan... :)


#RandomPost #RangkaiAbstrak

Mendung terpampang di ujung langit..
Surya gemetar gentar tak bersinar..
Bumi pun dingin gelap tanpa cahaya..

Aneh dan mengerikan..
Terjebak dalam gelap tanpa ada pelita..
Ayun langkah cita-cita pun terhenti..

Hidup hampa sayup bergemuruh..
Menengadah menatap hamparan hitam..
Kelam melebihi temaram kegelapan..

Namun jangan menyerah..
Selalu ada cahaya dari dalam lubuk gelap..
Tetap percaya pada asa dan harapan hati manusia..
Dan pula selalu ada Tuhan di sana..
Berjuang gapai cita demi yang tercinta.... '.')9

@NVRstepback


Ps.. Jangan pernah menyerah untuk meraih apa yang jadi mimpi dan cita-cita loe. Dedikasikan apa yang loe perjuangkan buat orang-orang yang loe sayangi, yaitu keluarga. Dengan begitu, gak akan ada kata 'nyerah' buat terus berjuang... Ganbare yo!! b(^.^)d

Feb 26th '13

Share:

Tersimpan Di Hati

Cerpen baru... Tapi cerpen repost.. Tapi cerpen bikinan sendiri, ori, bukan bikinan orang lain.. Muihihihihihi :3
 
Title : Tersimpan Di Hati
Author : Nur Rochman
 
TERSIMPAN DI HATI

Kelas bahasa Indonesia baru saja berakhir ketika Pak Joko, guru Matematika sekaligus wali kelasku masuk bersama seorang siswi baru. Aku yang dari tadi terkantuk – kantuk mengikuti pelajaran bahasa Indonesia seolah dibangunkan oleh sosok siswi baru itu. Gadis berjilbab dengan wajah yang cantik. Senyumnya pun menawan. Saat Pak Joko mulai memperkenalkan siswi baru tersebut, seluruh kelas terdiam memperhatikan Pak Joko.
“Anak – anak, mulai hari ini, kalian akan mendapatkan teman baru. Namanya Dinda.” Sejenak Pak Joko melihat ke sekeliling kelas. Kemudian melanjutkan perkataannya. “Kamu duduk di samping Indra.” Kata Pak Joko sambil menunjuk kursi kosong di samping ku. Tanpa membantah, Dinda melangkah ke kursi yang ditunjuk Pak Joko langsung duduk. Dia menoleh ke arahku sambil melempar senyum.
“Kenalin. Aku Dinda.” Kata Dinda memperkenalkan dirinya padaku.
“Aku Indra. Senang bisa berkenalan sama kamu.” Balasku.
Setelah perkenalan singkat itu, kami pun memindahkan fokus kami ke arah Pak Joko yang sudah memulai pelajaran. Beberapa kali ku lirik Dinda yang sangat serius memperhatikan dengan seksama materi demi materi yang diberikan Pak Joko. Tanpa terasa timbul rasa kagumku pada Dinda.
“Teet.. teet.. teet..” bel tanda istirahat berbunyi. Tapi Dinda tidak segera beranjak dari tempat duduknya. Tiba – tiba dia menyodorkan buku catatannya padaku.
“Eh, Indra. Tolongin dong. Aku masih belum paham yang bagian ini.” Katanya sambil menunjuk bagian di buku catatannya. Hal itu membuatku agak gelagapan. Tapi segera ku kuasai diriku.
“Oh, ini tu maksudnya gini, …” ku jelaskan secara panjang lebar tentang hal yang ditanyakan Dinda padaku. Untung aku termasuk anak yang pandai sehingga bisa menjawab setiap pertanyaan dari Dinda. Setelah merasa puas karena pertanyaannya terjawab, Dinda mengeluarkan sekotak bekal. Saat dibuka, terlihat aneka kue kecil.
“Nih, Ndra. Kamu ambil. Makasih udah ngejelasin materi tadi. Maaf ngerepotin.”
“E…iya nggak papa. Aku seneng kok bisa bantuin kamu.”
“Teet.. teet.. teet..” bel masuk berbunyi. Pelajaran kembali berlanjut hingga tanpa terasa sudah waktunya pulang. Hari ini aku merasa senang karena mendapat satu teman baru bernama Dinda. Semoga saja aku dan Dinda bisa berteman selamanya.
***
Hari – hari berikutnya, aku semakin dekat dengan Dinda. Dan semakin aku tahu kepribadian Dinda yang ternyata sangat istimewa. Selain cantik wajahnya, hatinya pun sangat baik. Dia juga seorang muslimah yang taat beribadah. Rasa kagumku pun semakin bertambah.
Pernah saat aku sedang di masjid sekolah, aku melihat Dinda juga berada di situ. Saat melihatku, dia dengan ramah mengajakku melaksanakan sholat Dhuha.
“Indra, sholat berjamaan yuk. Kamu jadi imamku.”
“Eng.. iya deh. Bentar ya, aku ambil wudlu dulu.”
Kami berdua pun sholat berjamaah. Setelah selesai, aku membayangkan seandainya aku bisa menjadi imam sholat Dinda setiap waktu. Ahhh ngawur! Segera ku buang pikiran aneh itu. Ku ajak Dinda segera menuju kelas karena sebentar lagi bel masuk akan berbunyi.
“Yuk, Din bentar lagi masuk lho.” Ajakku.
“Iya. Yuk.” Sahut Dinda dengan ramah.
Seperti biasa, aku dan Dinda selalu berdiskusi setelah pelajaran selesai. Pernah sekali waktu Dinda mengajakku ke perpustakaan karena tidak tahu letak perpustakaan untuk mencari bahan untuk membuat makalah. Karena tak ada kesibukan, akhirnya aku menemani Dinda. Di sana, aku membantu Dinda untuk mendapatkan beberapa judul buku yang dicarinya. Setelah terkumpul semua, kami mulai membacanya dan mencatat hal – hal penting di dalamnya. Setelah memperoleh apa yang kami cari, kami kembali ke kelas.
Kedekatanku dengan Dinda ternyata mendapat reaksi dari teman – teman sekelasku. Berkali – kali setiap melihatku berjalan dengan Dinda, mereka berteriak menggodaku. Pernah saat Dinda tidak masuk, aku melontarkan pertanyaan saat sedang berkumpul dengan teman – temanku.
“Kok Dinda nggak masuk ya?” ucapku sambil setengah melamun.
“Ciee.. ciee… yang lagi mikirin Dinda..” goda teman – temanku.
“Eh, Ndra. Kenapa nggak kamu tembak aja si Dinda? Kalian kan udah deket banget tuh.” Celetuk salah seorang temanku yang bernama Putra.
“Ha? Ditembak? Ntar mati gimana?” jawabku sambil kebingungan.
“Ya ampun. Cakep – cakep ternyata bego ya.” Ejek Tian, temanku yang lain.
“Maksudku tu kamu ungkapin perasaan kamu ke Dinda. Ntar kamu pacaran deh sama Dinda. Gitu Indra.” Kata Putra menjelaskan maksudnya.
“Eng… gimana ya.. aku nggak tahu caranya.” kataku polos.
“Hmmm… Dasar temen kita yang satu ini kayaknya butuh kursus buat nembak cewek nih.” Ujar Fandi. Tawa teman – teman yang sedang berkumpul pun meledak. Aku bingung sendiri dengan apa yang sedang dibicarakan teman – temanku.
Setelah ngobrol dengan teman – temanku, aku mulai sadar kalau aku dan Dinda memang sangat dekat. Mungkin, bila orang – orang melihatku dengan Dinda, mereka akan berpikir kalau kami adalah sepasang kekasih. Aku sendiri sadar, kalau di balik rasa kagumku yang besar kepada sosok Dinda, aku menyimpan rasa lain yang kata teman – temanku bernama cinta yang masih terpendam di dalam hatiku. Ingin rasanya aku ingin mengungkapkannya. Tapi, aku tak punya cukup keberanian untuk mengungkapkannya.
Hari – hariku pun ku jalani seperti biasa. Perasaanku kepada Dinda tetap ku simpan di dalam hati. Teman – temanku semakin sering menggodaku saat aku sedang bersama Dinda. Berkali – kali mereka mendorongku untuk mengungkapkan perasaanku. Tapi aku menolaknya karena aku lebih nyaman menjalaninya seperti ini. Aku takut, apabila Dinda tahu perasaanku yang sebenarnya, dia justru akan menjauhiku. Jadi, aku lebih memilih memendam rasa cintaku ini di dalam hati, agar aku bisa selalu dekat dengan Dinda.
 
-selesai-

Komentarnya yakk ^^,
Share:

#DearKamu | Hanya Rangkai Kata Biasa


#DearKamu …. Pernahkah kau tau? Bahwa jiwaku telah terlelap dalam dekap hatimu.. Teduh awan senja menggulung, indah pelangi memudar melihat hadirmu.. Ya, karena semua ini tentangmu. Tentang arti adamu…

Aku masih duduk di sini bersama banyak orang yang sama sekali tak kukenal. Hanya beberapa wajah yang sempat kuingat adalah wajah-wajah yang pernah kutemui semasa aku berada di bangku sekolah dulu. Aku tak begitu mengenal mereka. Bagaimana dengan mereka? Apakah mereka mengenalku? Ah… Aku tak peduli akan hal itu.

Sebuah layar LCD berukuran cukup besar yang ada di depan mulai menampilkan adegan sakral. Meskipun berada di tempat duduk paling belakang, aku masih bisa menatapnya dengan jelas dari balik kacamata minus-ku. Ya, sebuah adegan yang entah mengapa justru membuat dadaku sesak dan perih. Ada yang tak beres dengan semua ini, pikirku.

#DearKamu …. Aku ingin bertanya.. Aku  merasakan sebuah rasa. Rasa yang terasa.. Ah, aku tak tau. Aku tak mampu berkata dan mengungkapkannya. Namun seorang memberitahuku, rasa itu bernama cinta. Benarkah itu?

Frame demi frame, scene demi scene tak satupun lepas dari mataku. Ketegangan dari masing-masing pelakunya begitu terasa. Suasana yang begitu hening dan kata demi kata yang terdengar sangatlah nyata. Sejurus kemudian titik air mata menghiasi ending-nya. Dan layar LCD itu perlahan berganti kembali menjadi biru hampa.

Selesai. Tak ada lagi adegan itu. Tapi sesak dan perih masih terasa. Aneh, pikirku. Tanpa sadar ternyata aku tengah menggenggam dadaku. Ingin kulepas, tapi justru makin sakit ketika coba kulepas. Nafasku sedikit tertahan karena menahannya. Mataku pedih, meski aku tahu sama sekali tak ada debu yang menusuk mataku. Tapi ada bulir air yang terasa hampir tumpah dari sudut mata.

#DearKamu …. Janji adalah sebuah sebuah hutang. Dan aku sedang mengurai tenaga demi tenagaku membayar janjiku. Aku bertahan. Untuk janji itu. Untuk rasa yang mereka bilang bernama cinta…

Terduduk dan tertunduk lesu dalam bisu. Ada berbagai kata dari mulut orang-orang di sekitarku. Kata-kata yang sama sekali samar dan sulit kudengar. Ada apa denganku? Pikirku. Namun tetap kembali tanpa jawaban dan tanya itu tetap mengambang. Aku merasa, panca indraku seperti kehilangan fungsinya. Perlahan, tapi pasti.

Aku menegakkan pandanganku. Bergeser pelan ke arah kanan. Terhenti pada sosok wajah seorang wanita yang rasanya pernah kukenal. Berjalan pelan dengan seorang lelaki di sisi kanannya. Mereka berdua berjalan dengan padu menuju singgasana yang memang disiapkan untuk mereka. Mataku lelah dan mulai meneteskan keringat, tapi masih enggan untuk berhenti menatap wajah itu. Hey! Kenapa aku?

#DearKamu …. Lihat aku! Aku di sini berdiri dan bertahan untuk berbagi hidup denganmu. Aku lelah, tapi aku tetap di sini untukmu. Mengertilah!

Tanganku meraih sebuah benda dari saku kiri celanaku. Mataku memandang lekat. Dan… Ada aku bersama seorang wanita yang wajahnya sangat mirip dengan wanita di singgasana itu. Ada apa? Seharusnya mereka berbeda! Tapi apakah mungkin mereka sama? AAARRGHH!! Dadaku sesak menahan teriakanku yang tak kuasa melompat keluar dari kerongkonganku.

Sial! Aku tak sanggup terus berada di sini! ..pikirku. Segera aku berdiri, dan mulai melangkahkan kaki meninggalkan tempat itu. Sempat sesaat kumemandang ke arah wanita itu. Dan… Entah kenapa mata kami saling beradu. Hanya 3 detik, tapi cukup untuk menguras habis segenap darah yang ada di dalam tubuhku. AAARRGHH!!

Tubuhku terasa lemah tapi kupaksakan untuk terus berlari menjauh. Dan aku menangis.. Sial! Kenapa aku menangis? Kenapa aku harus merasa sedih? Kenapa aku merasakan rasa sakit yang sangat dalam? Kenapa?!

#DearKamu …. Aku ingin merasa bahagia. Tapi aku lebih ingin kamu merasa bahagia. Tak apa jika aku harus merasa sakit. Namun, sakit ini terlalu dan aku sudah tak mampu..

Nyanyian seorang pengamen menghentikan langkahku. Suaranya parau menyanyikan sebuah lagu yang sepertinya pernah kudengar dan begitu familiar di telingaku. Tertunduk meresapi tiap lirik dan nada yang mengalun. Makin dalam.. Makin dalam rasa sakitku. AAARRGHH!!

Ah.. Bagian refrain lagu itu. Ada apa ini? Tiba-tiba saja aku teringat pada sesuatu yang seharusnya sudah kulupakan. Kenangan itu. Kenangan yang sangat indah. Sungguh indah. Bahkan, terlalu indah dan terlalu menyakitkan. Semuanya kembali masuk dan mulai merongrong seisi otakku. Mencabik segenap jantung dan hatiku yang sudah tersayat dan hampir kehabisan darah.

Aku berjalan lesu. Dia… Sovia Larissa. Yang dulu sering kupanggil ‘Via’. Yang dulu pernah mencintaiku. Yang aku cintai… Sampai detik ini. Yang, bahkan, masih saja kurindukan dan kuharapkan. AAARRGHH!! Dan baru saja kulihat dia bersama seseorang yang lain. Mengikat diri dalam janji suci nan sakral bernama ‘pernikahan’. Ah, sial! Bodohnya aku mengharapkan dia. Semua terlambat untukku…

#DearKamu …. Aku lelah. Lelah merasakan rasa bodoh bernama cinta ini. Karena rasa ini telah menenggelamkanku pada ilusi rasa sakit yang nyata. Yang perlahan membunuhku…

Senja menaungiku. Tersenyum hangat berusaha menghibur aku. Semburat jingganya seolah berusaha menyentuh jiwa lelahku. Meski berat, aku berusaha tersenyum. Tak mungkin selamanya begini, pikirku. Ya.. Senja mengingatkanku untuk tetap berdiri dan terjaga dari lamunan tanpa tujuan. Via.. Ya, kuharap bersama lelaki itu, dia dapat meraih bahagia yang dia impikan…

 http://whitedolphinwoo.files.wordpress.com/2012/02/wpid-21437-punya-google.jpg

Senja…

Datangmu tak pernah kunyana..

Kilau jinggamu begitu sederhana..

Namun, hadirmu begitu bermakna..

Senja.. Terima kasih….
Share: