Tampilkan postingan dengan label Rangkaian Melodi Terakhir. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Rangkaian Melodi Terakhir. Tampilkan semua postingan

Rangkaian Melodi Terakhir | Nada Angin

‘Cinta itu seperti angin. Dia tak akan pernah berhembus dua kali di tempat yang sama.’

Rangkaian Melodi Terakhir
 

Alunan melodi ini tiba-tiba terhenti. Aku sendiri terhenyak karena senar gitarku putus tepat di bait terakhir. Bait dan melodi yang belum mampu aku lanjutkan. Semangatku pun ikut terputus, dan hilang. Senja perlahan mulai berpaling dariku. Meninggalkanku sendiri termenung, menatap nanar ke arah langit yang semakin gelap dan gelap.
Bulan perlahan muncul. Sinarnya begitu terang tapi.. Aku tak lagi menemukan bayang wajahmu yang dulu sangat lekat dalam ingatanku. Kekasih, seseorang yang begitu penting untukku, seseorang yang mengenalkanku pada cinta, kamu, kini telah pergi. Pergi ke sisi lain dunia. Ke ujung lain dari kehidupan. Hanya kepingan ingatan yang tertinggal di sini. Dan sebuah melodi yang tak mampu ku selesaikan karena kau, inspirasiku, telah lebih dulu pergi karena kehendak Sang Maha Cinta.
“Sheila.. Kamu pergi terlalu cepat. Melodi ini gak akan selesai tanpa ada kamu. Karena melodi ini adalah kamu.”
Aku tak mampu menahan air mata yang mulai jatuh dan mengalir. Air mata yang kembali terjatuh setelah mataku kehilangan sosok terindah yang pernah dilihatnya. Hanya sebuah pesan yang masih terngiang. Sebuah pesan agar aku mencari seorang yang akan mampu menggantikannya. Tapi.. Mampukah aku?

***

Semester 6. Seharusnya adalah semester paling krusial dalam siklus akademikku. Karena pada semester ini, aku dituntut untuk menciptakan karya yang nanti akan menjadi bagian konser tahunan akademi music ini. Tapi entah kenapa aku tak lagi menemukan gairah untuk mengarunginya. Langkahku begitu berat dan terseok-seok. Otakku enggan berputar menemukan ide-ide cerdas untuk berkarya. Mungkin teman-teman tak akan terlalu khawatir setelah melihat senyum palsuku yang sepertinya berhasil memperdayai mereka. Mungkin hanya Satria yang tahu keadaanku saat ini.
“Vin, ke kantin yuk. Laper nih.” Satria perlahan mendekatiku selepas kelas selesai.
“Loe duluan aja deh Sat, gue masih pengen di sini.” Aku masih termenung di hadapan buku not yang masih begitu bersih tanpa coretan. Satria menatapku dengan tatapan sedih.
“Yaudah, gue duluan ya.”
“Ya.” Kataku. Satria pun akhirnya pergi.
Aku menatap kosong ke luar jendela kelas. Masih saja cuaca cerah di luar sana tak mampu ku lihat dengan perasaan ceria seperti dulu. Tiba-tiba ku rasakan semilir angin yang entah dari mana datangnya membelai lembut rambutku. Aku menoleh dan hampir saja pingsan karena kaget. Di depanku, sosok yang sangat familiar bagiku sedang berdiri dengan senyum termanisnya. Dengan tatapannya yang sangat teduh. Sheila!
Aku ingin menyapanya tapi.. Mulutku seolah terkunci rapat. Aku tak mampu berkata apa-apa. Badanku pun serasa lemas dan tak bisa kugerakkan. Aku seperti tersihir dan berubah menjadi batu di hadapan sosok Sheila.
“Alvin. Maaf, aku pergi darimu terlalu cepat. Aku juga telah mengingkari janji kita untuk menyelesaikan melodi itu. Tapi aku sama sekali tak pernah menginginkannya. Dan aku sangat berharap, kamu bisa selesaikan melodi itu. Untukku.”
“S..she..sheila..” Aku belum mampu bicara dengan lancar.
“Aku percaya kamu akan mampu menyelesaikannya Vin. Karena kamu akan segera menyelesaikannya. Ketika kamu menemukan potongan akhir melodi itu. Melodi yang sangat dekat dengan kita.” Sosok itu kembali tersenyum kepadaku. Kali ini sebuah senyuman yang menyiratkan kepedihan yang sangat dalam. Dan sosok Sheila perlahan lenyap dari hadapanku. Diiringi belaian lembut angin yang menyisir sela rambutku.
Nafasku masih tak beraturan. Tanganku, tubuhku masih bergetar. Air mataku kembali leleh. Aku begitu menyesal karena hanya bisa terdiam kaku dan tak mampu berbuat apa-apa di hadapan Sheila tadi. Hanya pesannya yang mampu kudengar. Menyelesaikan rangkaian bait melodi itu. Melodi yang begitu dekat denganku dan Sheila.
Kini kualihkan perhatianku ke arah lembaran-lembaran buku not di hadapanku. Aku mulai menerka-nerka bagaimana lanjutan melodi itu. Tapi tetap saja tanganku masih tak mampu mencoretkan satu coretanpun. Otakku serasa mati. Intuisiku sama sekali tak mau berkreasi. Aku berpikir, aku tak akan mampu menyelesaikan keinginan terakhir Sheila.

***


Seperti biasa, aku berangkat ke kampus dengan berjalan kaki. Suasana hari terasa begitu berbeda. Aku tak lagi merasakan angin yang biasa menemani langkahku. Hanya terdengar deru kendaraan bermotor yang lalu lalang. Aku berusaha tak menghiraukannya. Aku tetap melangkah, dengan langkah lemah memasuki kampus dan kemudian berjalan menuju kelas.

Sebelum memulai kuliahnya, dosen mengenalkan seorang mahasiswa pindahan yang akan masuk kelasku. Ku dengar dari teman-teman sekelasku, mahasiswa itu adalah seorang gadis cantik yang sangat berbakat dalam musik. Tapi hal itu sama sekali tak mampu mengusik perhatianku, sampai aku melihat dia berdiri di samping dosen kemudian memperkenalkan diri. Membuat jantung tersentak dan hampir melompat keluar.
“Anak-anak, hari ini akan ada mahasiswa baru yang masuk kelas ini. Silakan kamu perkenalkan diri.” Dosen itu kemudian mempersilakan mahasiswa baru itu memperkenalkan dirinya.
“Selamat pagi teman-teman. Namaku Brigitta Silvya. Biasa dipanggil Gitta. Salam kenal.” Dia tersenyum dengan manis. Senyum yang hampir mencekikku dan membuatku kehilangan nafas. Senyum yang dulu hanya kulihat di wajah Sheila. Dan tampak, dia menatapku kemudian tersenyum.
“Baik Gitta, silakan kamu duduk di samping Alvin. Kita akan segera mulai kuliah hari ini.” Gitta langsung berjalan dan kemudian duduk di sampingku. Aku hanya tertegun memandangnya. Perasaanku campur aduk.
“Hai. Kamu Alvin kan?” pertanyaannya membuatku semakin ingin pingsan. Bagaimana dia tahu namaku? Aku pun mulai berpikir kalau dia adalah penjelmaan dari Sheila. Tapi, sepertinya hal itu tak mungkin terjadi. Aku pun berusaha menenangkan diri dan bersikap biasa di hadapannya.
“Iya. Aku Alvin. Tapi, kamu tahu aku darimana?” tanyaku. Tapi gadis bernama Gitta ini hanya tersenyum kemudian mengalihkan pandangannya ke arah dosen yang mulai memaparkan materi kuliah.

***


Seperti biasanya, aku masih duduk di bangkuku ketika kelas berakhir dan satu persatu mahasiswa lain berjalan keluar. Dan seperti biasa, Satria mendekatiku. Mengajakku keluar. Aku sangat menghargai kepeduliannya kepadaku, tapi aku masih belum bisa menjadi aku yang dulu.

“Alvin.” Panggil Gitta. Aku kaget mendapati dia masih duduk di sampingku dan belum beranjak.
“Eh, eng. Gitta. Belum keluar?” tanyaku dengan suara agak terputus.
“Ajarin aku nulis lagu dong. Kata anak-anak, kamu paling jago nyiptain lagu.”
“Hah? Gue? Eng.”
“Iya. Aku pengen belajar. Aku bakal belajar.”
“Maaf Gitta. Aku gak bisa.”
“Tapi Vin.”
Aku bergegas pergi meninggalkannya. Ada pergulatan yang terjadi dalam hatiku. Permintaan Gitta dan hatiku sendiri yang belum mampu menemukan kembali semangat dan sentuhan mencipta. Sebelum keluar, aku melirik Gitta yang kulihat masih duduk dan melihat kosong ke arah jendela. Jantungku hampir berhenti ketika melihat sosok di belakang Gitta. Sosok Sheila yang tersenyum ke arahku.
Aku jatuh terduduk. Sepertinya Gitta mendengarnya dan dia pun berlari ke arahku yang masih belum bisa mengendalikan diri.
“Alvin. Kamu gakpapa?” dia berusaha menolongku.
Dengan susah payah, aku segera berdiri dan berlari meninggalkannya. Berlari dengan pikiran dan perasaan yang terus menggerogoti seluruh hatiku. Melahap habis seluruh logikaku. Menguras semua emosi yang tersisa dalam diriku. Berlari dengan membawa beribu tanya tentang apa yang harus aku lakukan untuk memenuhi permintaan terakhir Sheila.

***


“Gitta.”

“Ya Vin. Ada apa?”
“Kapan mau mulai kuajarin?”
“Ha? Serius mau ngajarin?”
“Iya.”
“Nanti sore aja gimana?”
“Oke. Nanti sore, di ruang musik ya.”
“Sip. Makasih ya Alvin.”
Ya, akhirnya kuputuskan untuk mau memenuhi permintaan Gitta untuk mengajarinya. Meskipun dengan berat hati. Aku berpikir, mungkin dengan mengajari Gitta aku bisa menemukan lagi semangat dan kreasiku yang kini hilang.
Sesuai janji kami sebelumnya, kami bertemu di ruang musik untuk mulai belajar. Sebelumnya, aku menerangkannya tentang nada. Aku mulai menyukai semangatnya dalam mendengarkan sepotong demi sepotong penjelasan yang kuberikan. Kemampuannya memahami pun tergolong cepat.
“Alvin. Kamu hebat lho. Berbakat jadi musisi.”
“Ah, kamu bisa aja Ta. Aku dulu kan juga belajar kayak kamu.”
“Belajar sama siapa Vin? Pasti orangnya jago ya?”
Pertanyaan terakhir Gitta membuat dadaku sesak. Aku tak mampu menjawab pertanyaannya. Satu nama yang sangat sulit aku sebut. Membuat seisi tubuhku lemah dan aku pun roboh. Gitta segera menolongku untuk duduk. Pandangan mataku kosong menatap liar tak menentu. Kesedihan kembali menggelayuti tubuhku. Aku pun kembali teringat bagaimana dulu Sheila mengenalkanku pada dunia musik yang mampu mencuri jiwaku. Dan bagaimana Sheila mampu mencuri hatiku. Tapi itu semua hanya jadi melodi usang yang tak akan mampu ku ingat lagi rangkaian nadanya.
Gitta mulai memberanikan diri bertanya padaku. Dan dengan perlahan pula, aku menceritakan kepada Gitta tentang aku dan tentu saja, kisah tentang melodi terindahku, Sheila. Dari awal sejak kami masih menjadi sahabat kecil, ketika kami saling membuka perasaan, hingga akhirnya takdir berkata lain. Maut lebih dulu menjemput Sheila sebelum kami mampu menyelesaikan rangkaian melodi pertama kami. Hanya sebuah pesan yang sama sekali tak ku mengerti artinya, yang selama ini membayangi hidupku.
“Vin, boleh aku lihat pesan itu?”
“Ini. Pesan terakhir Sheila. Dia nulis, kalo aku mampu memahaminya, melodi ini akan selesai.”
Aku melihat Gitta dengan serius membaca kata demi kata dari pesan itu. Beberapa kali dia mengernyitkan dahinya. Kemudian menggenggam erat kertas pesan itu.
“Vin, aku akan bantu kamu cari potongan terakhir melodi kamu.”
“Maksud kamu apa Ta?”
Ada raut penuh kepastian di wajahnya. Kembali, wajahnya mengingatkanku pada Sheila yang begitu menggebu-gebu ketika menulis lagu. Gitta beranjak pergi meninggalkanku sendiri. Aku hanya mampu melihat kelebatannya ketika berlari meninggalkan ruangan ini.
“Sheila.” Kataku lirih ketika kulihat Sheila yang berdiri di depan pintu sambil tersenyum memandangku. Dia hanya mengangguk pelan, kemudian lenyap.

***


Kuliah hari ini berakhir lebih cepat. Masih siang dan mentari tampak begitu bersemangat membakar udara kota. Tak seperti biasanya, Gitta menarik tanganku mengajakku segera keluar. Aku pun enggan mengikutinya.

“Alvin. Ayo ikut aku.”
“Ngapain sih Gitta?”
“Maksud pesan itu.”
Aku tercekat mendengarnya. Apa mungkin Gitta telah mengetahui arti pesan dari Sheila? Tapi apa? Akhirnya aku pun memutuskan untuk mengikuti Gitta.
Perjalanan yang cukup jauh dan melelahkan. Tapi sama sekali tak ada rasa lelah yang tampak di wajah Gitta. Hingga akhirnya Gitta menghentikan langkahnya di sebuah padang rumput yang cukup luas. Begitu sejuk meskipun sinar mentari sangat terik. Sunyi, namun sangat menenangkan hati.
“Gitta.”
“Alvin, sekarang coba tutup mata kamu dan dengerin alunan angin ini.”
Aku segera menuruti kata-kata Gitta. Aku berjalan pelan sambil menutup kedua mataku. Angin samar-samar mulai menelisik sela rambutku. Langkahku terhenti ketika kurasakan angin seolah membisikkan sesuatu ke telingaku. Aku mulai mempertajam telingaku. Merasakan apa yang ada di sekitarku saat ini.
Bisikan angin itu lambat laun berubah menjadi sebuah suara yang sangat jelas kudengar. Sebuah alunan musik yang begitu indah. Aku mulai menikmatinya. Aku serasa menemukan kembali jiwa dan semangatku yang lama hilang. Dan nada-nada angin itu pula yang akhirnya membuatku tersadar dari lamunan dan mulai menyadari kata-kata Sheila. Mengingat kembali masa lalu. Mendengarkan kembali nada usang yang kini menari-nari di telingaku.

**flashback**


“Alvin, kamu denger gak?”

“Apaan sih Sheila?”

“Musik yang dimainin sama angin.” Kata Sheila kecil sambil tersenyum.

“Ha? Angin?” Alvin kecil pun kebingungan.

Sheila kecil mulai mendendangkan nada demi nada yang didengarnya agar Alvin juga bisa mendengarnya. Alvin kecil pun terpesona dengan nada itu. Dan ikut berdendang bersama Sheila kecil.


***


Ingatan itu kemudian muncul dengan jelas. Aku tak mampu lagi menahan perasaanku. Aku terjatuh kemudian menangis. Gitta bergegas mendekatiku. Aku tak menghiraukan panggilannya kepadaku.

“Sheila! Kenapa kamu kasih aku teka teki yang terlalu sulit! Aku terlalu bodoh untuk bisa menemukan jawabannya!”
Aku menangis keras. Gitta yang melihatku hanya membiarkanku. Entah apa yang terjadi, tapi aku seolah berubah menjadi anak kecil yang kehilangan ibunya. Perasaan bahagia bercampur dengan rasa sedih yang dalam. Bercampur aduk menjadi satu.
Potongan melodi itu telah kutemukan. Dan melodi kami pun akhirnya lengkap oleh melodi angin yang pernah Sheila nyanyikan dulu. Sebuah melodi usang yang indah. Melodi yang muncul dari hembusan merdu angin.
Aku memainkan lagu itu bersama Gitta. Dan sepertinya Gitta dengan baik menyanyikannya. Aku senang meskipun ada rasa kehilangan karena bukan Sheila yang menyanyikannya. Saat kulihat Gitta yang sedang bernyanyi, tiba-tiba sosoknya berubah menjadi sosok Sheila. Aku menghentikan permainanku kemudian berlari ke arah Gitta yang kulihat sebagai Sheila dan memeluknya.
“Alvin. Kamu kenapa?” Gitta nampak gugup ketika kupeluk. Dan saat mendengar suara Gitta, aku tersadar kalau tadi hanya halusinasiku.
“Alvin, terima kasih kamu sudah berhasil menyelesaikannya. Aku akan pergi. Cintailah Gitta yang kini ada untukmu. Dialah sebenarnya potongan melodi terakhir itu. Biarkan melodi angin ini menjadi tanda perpisahan kita.” Suara itu mendadak terdengar di telingaku. Suara Sheila. Tepatnya salam perpisahan darinya.
Sebuah melodi yang tercipta dari angin. Sebuah melodi yang terdengar di masa lalu. Sebuah melodi yang akan menjadi kenangan bagiku. Sebuah melodi terindah dari sosok terindah yang pernah ada di sampingku. Sheila…

~


Udah ya, udah selesai tuh. Pengen nambah? Bentar ya, ane nulis yang baru lagi. Kapan? Kapan-kapan aja deh.

Gimana? Kasih komentar dong. Kalo jelek, bilang aja jelek. Gakpapa kok. Ane bakal trima. Eh, tapi harus komen lho yaa. Awas kalo enggak! *ngasahgolok*
Share: