"Dan kau hadir.. Merubah segalanya.. Menjadi lebih indah.. Kau bawa cintaku setinggi angkasa.. Dan buatku merasa sempurna.." ~ Adera - Lebih Indah.
“Rio! Awaaass!.” Kata Anna tiba-tiba. Dan saat aku
menoleh, Anna langsung menempelkan es krim yang ada di tangannya ke wajahku.
“Annaaaaa..” kataku kemudian reflek mengejar Anna yang
sudah berlari sambil tertawa.
“Rio jelek. Rio jelek.” Teriaknya mengejekku. Aku
semakin mempercepat lariku. Sampai tiba-tiba Anna berlari ke arah jalan, dan
kulihat ada mobil berkecepatan cukup tinggi melaju ke arah Anna.
“An! Awaaass!” aku berlari berusaha menyelamatkan
Anna, namun kemudian…
“Annaaaa!!!”
teriakku. Tapi pandangan di depanku mendadak berubah. Seketika aku kembali merasakan
sakit di kepalaku.
“Rio, kamu udah
siuman ternyata.” Kata Ira yang ternyata ada di sampingku.
“Kamu Ra. Anna
di mana?” tanyaku.
“Dia ikut
pelajaran di kelas.” Jawab Ira singkat.
Setelah
kuperhatikan dengan seksama, ternyata aku berada di ruang UKS. Aku berusaha
turun dari tempat tidur dan mencoba berjalan meskipun kepalaku masih cukup
sakit. Bukan karena pukulan Denis, tapi benturan lantai.
“Kamu gakpapa
Yo? Izin pulang aja deh kalo masih sakit.” Kata Ira cemas.
“Gakpapa kok
Ra.” Ucapku sambil tersenyum, kemudian melangkah keluar dari UKS.
Baru saja
melangkah dari UKS, aku dikagetkan dengan Anna yang ada beberapa langkah
dariku. Kulihat wajah manisnya itu nampak murung. Aneh sekali, karena biasanya
hanya wajah cemberut atau galak yang akan dia pamerkan jika dalam kondisi
seperti ini. Tiba-tiba saja dia mulai berjalan mendekatiku. Aku tak berusaha
bergerak, hanya mencoba menyembunyikan tanganku agar tak menjadi sasaran
cubitannya.
“Ampun An,
ampuun!” teriakku sambil menutup mata ketika Anna semakin mendekat. Tapi aneh,
aku merasakan tangan Anna memelukku. Saat aku mencoba membuka mataku, ternyata
benar. Anna sedang memelukku.
“Rio, kamu hobi
banget sih bikin aku khawatir.” Kata Anna lirih. Aku mendengar isakan tangis
tertahan. Terdengar olehku meskipun aku tahu, Anna berusaha menyembunyikannya.
“Anna.”
“Kenapa Yo.”
“Kita mau
pelukan sampe kapan? Gak enak nih kita lagi di sekolahan lho ini.” Kataku.
Tiba-tiba saja Anna sedikit mendorongku. Pipinya memerah. Aku tersenyum.
“Hey, An.”
Tiba-tiba Ira muncul dari dalam UKS.
“Eh, ada Ira.
Makasih Ra, udah jagain Rio.” Kata Anna.
“Iya, sama-sama
Anna. Oiya, kok kamu di sini? Bukannya masih jam pelajaran?” tanya Ira.
“Aku bolos Ra.
Hehe, gurunya ngebosenin. Daripada ngantuk mending keluar aja.” Jawab Anna.
“Wah, berani
banget An.” Kata Ira.
“Aduh. Kepalaku
masih sakit lho ini.” Kataku sambil berakting memegang kepalaku, berusaha
menarik perhatian Anna dan Ira yang sedang asyik mengobrol.
“Dasar
cungkring.” Kata Anna kemudian mencubit tanganku.
“Aaaawwww!!”
teriakku. Anna dan Ira pun tertawa melihatku.
***
Bel pulang
sekolah sudah berbunyi beberapa waktu yang lalu. Anak-anak lain sudah pulang
menuju rumah masing-masing. Dan seperti biasanya, aku dan Anna masih berada di
lantai atas gedung sekolah sambil menikmati hembusan malas angin yang lembut
membelai wajah kami. Kepalaku sudah tak terlalu sakit seperti ketika di UKS
tadi, jadi tak perlu pulang cepat.
“Anna.”
Panggilku.
“Iya Rio, ada
apa?” Anna menoleh. Rambut panjangnya yang tak terikat melambai begitu indah.
Ah, sepertinya Anna sangat cocok menjadi bintang iklan sampo. (Ngaco kau,
writer!)
“Eng.. Bener ya,
kamu bakal nglanjutin kuliah ke luar negeri?” akhirnya aku menanyakannya karena
sudah tak sabar menunggu penuturan Anna langsung. Kulihat Anna menhela nafas panjang.
“Bener Yo. Papa
minta aku buat kuliah di Inggris.” Kata Anna singkat.
Ya, meskipun
sudah mengetahuinya dari bi Inah dan Ira, tapi penuturan langsung dari Anna
ternyata masih membuat hatiku tertusuk. Aku tak tahu bagaimana melanjutkan
obrolan ini. Beberapa kali menarik nafas untuk berbicara, tapi tak bisa.
Kulirik Anna, dia menatap kosong ke arah langit yang teduh, seteduh mata
sipitnya yang kini kehilangan objek untuk dipandang.
“Inggris? Jauh
dong An.” Kataku sedikit kikuk.
“Rioo..”
“Tapi di sana kan
keren. Kamu bisa masuk Cambridge, Oxford, atau Harvard.”
“Rio.”
“Pasti kamu bisa
dapet banyak ilmu di sana. Hard skill atau soft skill.”
“Rio!”
“Tapi kamu harus
jaga kesehatan An, kan di sana iklimnya beda sama di sini. Kamu harus…”
PLAKKK! Sebuah
tamparan yang cukup keras mendarat di pipi kiriku. Aku tercengang menerimanya.
Rasa sakitnya tak sebanding dengan rasa kagetku karena tamparan yang kuterima.
Tamparan dari Anna! Belum hilang rasa kaget dari pikiranku, tiba-tiba saja Anna
berjalan mendekatiku. Aku tak tahu apalagi yang akan dilakukan Anna. Dan
tiba-tiba aliran darah yang ada di tubuhku berhenti mendadak ketika bibir Anna
yang lembut menyentuh bibirku. Anna menciumku, dan ini adalah ciuman pertamaku!
Anna kemudian
memelukku. Dia tak lagi menciumku. Tapi tetap saja aku masih belum bisa
bereaksi menerima dua hal aneh yang tadi baru saja menimpaku secara beruntun.
Sebuah tamparan keras dan kemudian sebuah ciuman lembut. Dan lagi, hal itu dari
satu orang, Anna.
“Rio, aku gak
pengen jauh dari kamu.” Kata Anna. Aku kaget mendengarnya.
“Aku juga Anna.
Tapi gak mungkin menentang keinginan papa kamu.” Kataku lemah. Anna terisak.
“Tenang aja
Anna. Kita masih bisa habisin waktu bareng-bareng sampe waktu kamu berangkat.
Terus, kalo kamu udah pulang lagi ke Indonesia, kita bisa ketemu lagi.” Kataku
berusaha menenangkan Anna, meskipun sejujurnya hatiku sendiri tak tenang.
“Rio.”
“Iya, An. Ada
apa?”
“Aku laper. Ayo
cari makan.” Ujar Anna sambil memasang senyum memelas dan mengedip-kedipkan
matanya. Aku mendelik melihat perubahan Anna yang tiba-tiba. Tapi, untunglah,
aku menganggapnya sebagai kata ‘Iya’ atas kata-kataku tadi.
“Yuk.” Kataku
kemudian menggandeng tangannya.
Sepanjang jalan,
tangan kami berdua sama sekali tak terlepas. Berbincang dan bercanda serta tertawa
terbahak berdua. Ah, sepertinya baru kali ini kami bisa seperti ini. Ingin
rasanya setiap hari bisa seperti ini, tapi jelas tak mungkin. Sudahlah, mungkin
saja garis takdir sudah tergores dan menuntunku dan Anna untuk bisa bersama
kini namun berpisah nanti.
“Rio, makan itu
yuk.” Kata Anna sambil menunjuk ke arah gerobak tukang bakso.
“Ha? Serius An?
Biasanya kalo aku ajak makan di tempat kayak gitu kamu nolak terus. Emang
doyan?” Tanyaku heran.
“Sekali-sekali
deh Yo. Penasaran nih. Yaa?” kata Anna manja. Dan sekali lagi aku dibuat
tertegun oleh Anna. Baru kali ini dia tidak marah dan justru bersikap manja.
“Yaudah deh,
yuk.”
Segera kami
berjalan ke tempat tukang bakso kemudian memesan 2 porsi bakso. Setelah bakso
pesanan kami datang, kami pun memakannya. Beberapa kali kulirik Anna yang asyik
dengan bakso yang ada di hadapannya. Dia terlihat begitu lahap memakannya. Dan
karena terlalu asyik memperhatikan Anna, aku lupa dengan semangkuk bakso yang
ada di tanganku.
“Yo, kok gak
dimakan? Gak doyan ya?” tanya Anna tiba-tiba mengagetkanku.
“Ah, eng. Doyan
kok An. Dihabisin gih, nanti nambah lagi.” Kataku kemudian mulai memakan
baksoku.
“Udah ah Rio,
aku udah kenyang nih makan seporsi aja.”
“Rio, coba
bilang aaa..” kata Anna.
“Kenapa An?”
tanyaku heran.
“Aku udah
kenyang, ini baksonya masih satu. Kamu makan ya. Coba deh, aaa…” kata Anna
lagi.
“Hmm.. Iya deh.
Aaa..” aku segera membuka mulutku. Anna pun perlahan mendekatkan bakso yang
sudah tertancap di garpu yang dia pegang ke mulutku. Sampai ketika sudah hampir
masuk.
“Yam.. Gak jadi
ding Yo. Hahaha.” Anna pun segera memakan bakso itu sendiri, meninggalkan aku
dan mulutku yang masih mangap gak jelas.
“Dasar sipit,
jail ko gak ilang-ilang sih.” Aku menggerutu kemudian menghabiskan baksoku.
“Apaa?! Iiih,
cungkriiiing. Manggil-manggil aku sipit lagiiii!!!” teriak Anna kemudian
menghujaniku dengan cubitan-cubitan pedasnya ke lenganku yang.. Cungkring.
“Aww!! Ampun
sipit.. Eh, ampun Annaa.” Ujarku berusaha berlindung dari cubitan Anna.
“Iiih, cungkring
nyebeliiin.” Kata Anna sambil terus mencubitiku.
Setelah membayar pada abang penjual bakso, aku dan Anna kembali melanjutkan
langkah kaki kami untuk pulang. Sepanjang perjalanan, kami tak henti-hentinya
beradu argumen tentang ‘sipit’ dan ‘cungkring’ yang sebenarnya sudah seringkali
kami debatkan tapi tetap saja tak ada yang mau mengalah.
“Hiih, dasar Rio. Kalo cungkring ya cungkring aja.” Kata Anna kesal.
“Biarin dong sipiitt. Cungkring gini kan mukaku cakep. Hahaha.” Bibir Anna
semakin manyun mendengar tawaku.
“Dasar. Udah cungkring, nyebelin.” Kata Anna masih dengan wajahnya yang
menampakkan raut kesal. Aku menghela nafas sejenak.
“Biarpun nyebelin, tapi gak mau jauh-jauh dari aku kan?” ujarku kemudian
meraih bahu Anna. Dan Anna tak menjawab kata-kataku barusan. Kurasakan
tangannya mendekap pinggangku. Saat kulirik wajahnya, terlihat senyum malu-malu
tampak menghiasi wajahnya. Ah, tiba-tiba saja aku sendiri yang canggung karena
situasi yang aku ciptakan.
“Rio, kepengen makan es krim nih.” Rengek Anna tiba-tiba.
“Hah? Tumben?” tanyaku keheranan.
“Hehe. Beli es krim yuk, Rio.” Ajak Anna.
“Hmm. Iya deh, tuh ada minimarket. Yuk.” Aku segera memegang tangan Anna
menyeberang jalan raya menuju mini market. Dan tak lama, kami berdua sudah
kembali di luar sambil menikmati es krim di tangan kami.
“Riooo!!” teriak Anna. Aku pun segera menoleh saat sebuah es krim mendarat
telak di wajahku.
“Hahahahaha.” Anna tertawa kemudian berlari menjauh dariku. Aku tak segera
mengejarnya. Seperti ada hal aneh yang sedang terjadi, seolah aku pernah mengalami
kejadian ini. Tapi aku tak bisa mengingatnya. Ah, sudahlah.
“Anna, siniii!!” teriakku kemudian berlari mengejar Anna.
“Ayo Rio, tangkap aku kalo bisa.” Kata Anna sambil terus berlari.
Aku terus berlari dan akhirnya berhasil menangkap Anna. Tapi kemudian Anna
mengelak dan menghindariku. Dan tanpa dia sadari, Anna berlari menuju jalan
raya.
“Anna, cepetan minggir ke trotoar!” teriakku sambil masih berlari.
“Apa Yo?!” tanya Anna. Dan kulihat dari arah lain, datang mobil dengan
kecepatan cukup tinggi sedang melaju ke arah Anna berdiri.
“Annaaa!!” teriakku kemudian mendorong tubuh Anna.
Ada hantaman cukup keras yang mengenai tubuhku. Cukup sakit. Kepalaku pun
membentur aspal seiring tubuhku yang roboh. Mataku masih menangkap sosok Anna
yang sedang bangkit berdiri dan menuju ke arahku. Dia baik-baik saja, pikirku.
“Riooo!!” teriak Anna yang sudah berada di dekatku. Aku ingin menyampaikan
sesuatu, tapi entah kenapa suaraku tak bisa keluar. Pandanganku pun semakin
kabur. Cahaya senja pun semakin menyilaukan pandanganku sebelum kemudian
kegelapan mulai datang memenuhi seluruh aku.