Still.. Stuck On You! -- Part - I



“Segenap asaku yang pedih tertahan oleh jiwa pengecutku, perlahan digerogoti oleh kenyataan yang dengan lantang mengungkapkan ketidakmampuanku menghapusmu dari alur kisah hidupku…”


Hujan masih setia bernyanyi menemaniku. Nada-nada tak beraturan itu saling bersahutan satu sama lain. Aku mendengarkannya sambil sesekali mengulurkan tanganku untuk menyentuh hujan. Beberapa kali tersenyum, beberapa kali tertawa. Yah, untung saja aku sendiri. Jika tidak, aku sudah diteriaki ‘orang gila!’ hahaha.
Sore ini memang terasa lain. Hujan seperti sedang betah untuk bersenandung. Langit yang sedari tadi murung bertopeng mendung. Entah ada apa dengan mereka. Tapi, sepertinya mereka sedang ikut merayakan kesedihanku. Benarkah? Aku pun tak tahu. Tapi aku berpikir begitu, agar aku tak semakin kalut hanyut dalam sepi.
“Rio!” tiba-tiba terdengar teriakan seseorang memanggil namaku. Aku menoleh, dan kulihat seorang gadis berambut hitam panjang sedang cemberut menatapku.
“Iya.” Jawabku pendek sambil melempar senyum. Dia pun berjalan ke arahku, sambil masih cemberut tentunya. Semakin dekat dan semakin dekat. Dan…
“Aaawwww!” sebuah cubitan yang cukup telak membuat lengan kiriku lebam dan sakit tentunya.
“Ke mana aja sih, dari tadi ditungguin di kantin malah ngilang gak tau ke mana.”  Kata gadis itu sambil masih cemberut. Kali ini ditambah berkacak pinggang.
“Gak ke mana-mana sipit.” Kataku sambil mengacak-acak rambutnya. Dan kulihat, level cemberutnya sudah mulai berkurang. Tapi masih belum mau tersenyum.
“Ih, manggil aku sipit. Dasar Rio tuh cungkring.” Balasnya kemudian menjulurkan lidah. Aku hanya tertawa melihat dia seperti itu.
“Iya iya. Udah sore nih. Ujannya juga udah reda. Yuk pulang, nanti papa kamu nyariin.” Ajakku kemudian menarik tangannya. Tanpa berkata apa-apa, dia mengikuti langkahku.
Verianna A… Nama gadis yang saat ini berjalan di sebelah kiriku. Seperti aku memanggilnya tadi, matanya cukup sipit karena dia memang keturunan Jepang. Kulitnya pun putih. Rambut hitam, panjang, lurus. Wajah oriental yang sangat manis bila sedang tersenyum. Tapi sayangnya dia sangat pelit untuk tersenyum. Tapi tak apalah, yang penting aku sudah pernah melihat senyum ‘langka’ seorang Verianna Azuka. Haha.
Sepanjang perjalanan menyusuri citiwalk, aku menghabiskan waktu untuk melihat sosok Anna, begitu aku biasa memanggilnya, yang masih cemberut dan tak mau bicara padaku. Ah sial, gadis ini memang menyusahkan kalau sedang marah.
***
Sampai di depan gerbang rumahnya, Anna menghentikan langkahnya. Cukup lama dia berdiri, tidak segera masuk ke rumahnya. Aku mencoba menengok melihat wajahnya. Dan.. Demi apapun yang jatuh dari langit, aku melihat seorang Anna menangis! Hal yang cukup.. langka.
“Kamu kenapa An?” tanyaku. Anna hanya terdiam dan tertunduk. Kelihat, kedua tangannya seperti menggenggam sesuatu. Dia seperti ingin menyembunyikan benda itu dariku.
“Anna… Ada apa?” tanyaku lagi. Kali ini Anna langsung memelukku. Dan.. Aku hanya bisa diam tak bergerak. Sesekali kudengar isak tangis Anna yang berusaha dia tahan. Beberapa detik kemudian, Anna melepaskan pelukannya.
“Denis mutusin aku Yo. Dia kasih surat ini tadi, tanpa ngomong apa-apa.” Kata-kata Anna yang cukup lancar meskipun terselip isak tangisnya.
Aku meraih secarik kertas yang disodorkan oleh Anna. Kubaca sebentar. Tapi isi surat itu sama sekali tak kubaca seluruhnya. Karena yang sekarang mengganggu pikiranku adalah Anna yang sedang sedih, sangat sedih. Kami bersahabat sejak kecil, karena orang tua kami memang rekan bisnis dan juga sangat saling mengenal. Dan memang aku sudah lama memendam rasa suka, cinta, atau apalah namanya pada Anna semenjak kami masih kelas 3 SMP, dan sialnya aku masih belum bisa menghilangkan rasa itu hingga kini, kelas 3 SMA, dan hampir lulus.
“Udah An, masih banyak kok cowok di dunia ini gak cuma Denis aja. Jangan sedih yaa.” Kataku berusaha menghibur kesedihan Anna.
“Tapi Rio…”
“Move On dong sipiiit. Masa iya semangat Bushido-nya seorang Anna tumbang gara-gara diputusin seorang cowok. Ganbatte!” kata-kataku yang begitu saja terlontar, sambil tersenyum. Senyum yang agak kupaksakan.
“Cungkriiing! Berapa kali aku bilang, jangan panggil aku sipiiit!!” teriaknya sambil mencubiti kedua lenganku. Ya, kata-kataku tadi ternyata cukup manjur. Kulihat Anna tak lagi murung seperti beberapa menit tadi.
“Udah udah. Masuk sana gih, mandi terus makan. Jangan lupa belajar, besok ada ulangan lho.”
“Siap Rio cungkriing.” Katanya sambil berlari masuk. Aku hanya tersenyum melihat sosok Anna hilang di balik gerbang tinggi itu.
Sepanjang perjalanan menuju rumah, aku masih merenungkan Anna dan perasaanku padanya. Apa aku harus mengungkapkannya, atau kutahan saja? Ah.. Sial, hampir saja aku menabrak tiang listrik karena memikirkan hal itu.
Sesampainya di rumah, setelah mandi, makan, dan sholat, aku langsung melahap materi-materi yang ada di dalam buku tebal di meja belajarku. Hampir muntah ketika aku mengerjakan soal latihan matematika yang ada di buku. Dan aku tak jadi muntah ketika kudengar handphoneku berdering. Ada SMS masuk.
[from: ~sipit]
Rio, mksh ya td ud ksih smngat buatku.. J
Lumayan, pikirku, aku bisa sedikit tersenyum karena SMS Anna, dan tak jadi muntah karena soal latihan matematika.
[to: ~sipit]
Sama2 An. Ud shrusnya seorg shbat, ksh smngat bwt shbatnya yg lg down.. ^^
[from: ~sipit]
Oiya Yo, bsok jgn lupa jmput lho ya. Awas klo lupa..
[to: ~sipit]
Siap sipiiit.. dijamin gak lupa kok.. :p
[from: ~sipit]
Aaakk! Cungkring nybeliiin.. dasarr.. :@
[to: ~sipit]
:p ud, bljar sana. Ingt, bsok ulangan..
[from: ~sipit]
Iya iya, siap bos cungkring.. :p
Aku tak membalas SMS terakhirnya. Pikiranku bisa sedikit tenang karena Anna sudah bisa bercanda seperti biasanya. Kulanjutkan lagi pergulatanku dengan soal ujicoba matematika.. Fighting!
***
Keesokan harinya, seperti biasa aku datang untuk menjemput Anna. Sesampainya di rumah Anna, aku sudah disambut bi Inah, pembantu di keluarga Anna, yang sedang menyapu halaman depan. Sambil menunggu, aku ngobrol dengan bi Inah, hingga aku mendapat kabar yang cukup tak mengenakkan hati dan perasaanku.
“Mas Rio udah tau belum?” tanya bi Inah di tengah obrolan. Sontak aku kaget dan bingung.
“Apaan bi?” aku balik bertanya.
“Non Anna mau pindah keluar negeri mas Rio. Mau kuliahnya di sana.” Terang bi Inah sambil terus menyapu. Jantungku seperti berhenti berdetak selama 2 detik mendengarnya. Anna akan pindah?
“Tapi kok Anna sama sekali gak cerita ke saya ya bi.” Aku mengucapkannya sambil berusaha menenangkan tubuhku yang bergetar.
“Emang baru tadi malam mas Rio, Tuan nyuruh non Anna nerusin kuliah di luar negeri. Mungkin nanti non Anna bakal cerita ke mas Rio.” Terang bi Inah.
“Iya bi.” Kataku lemah. Beberapa menit kemudian, kulihat Anna sudah keluar dari rumahnya. Wajahnya tampak sedikit murung. Dia berjalan ke arahku dan bi Inah.
“Yuk berangkat An. Mari bi Inah.” Bi Inah hanya tersenyum dan melambaikan tangannya.
Seperti biasa, aku berjalan di samping kanan Anna. Dan seperti kemarin sore, sama sekali tak ada suara dari mulutku maupun mulut Anna. Sedikit kulirik Anna, dia berjalan sambil menundukkan kepalanya. Rambut panjangnya seolah menolak pandangan mataku untuk menatap lebih jelas wajah Anna. Saat hampir sampai gerbang sekolah, karena tak tahan, aku pun menegur Anna.
“Anna.” Kataku sambil menghentikan langkahku. Anna ikut menghentikan langkahnya, tapi masih diam saja.
“Ada apa An? Kenapa diem aja? Masih ngambek gara-gara kemarin ya?” tanyaku. Tapi Anna justru semakin menunduk. Aku coba membungkuk dan menatap ke wajah Anna. Dan… Anna menangis lagi.
“Maaf Rio.” Kata Anna singkat kemudian berlari masuk ke sekolah meninggalkanku.
Aku pun melangkah pelan melewati gerbang sekolah, kemudian berjalan menuju kelas. Pikiranku tak henti-hentinya memikirkan Anna, hingga aku tak sadar ada seseorang yang berjalan di depanku.
“Buggg!!” tabrakan pun tak terhindarkan.
“Maaf, gak sengaja.” Kataku sambil membantunya merapikan buku-bukunya yang jatuh.
Aku berdiri dan menyerahkan buku-buku di tanganku. Saat kulihat, ternyata seorang gadis. Dan cukup familiar. Aku mengernyitkan dahi ketika gadis itu hanya cengar-cengir misterius kepadaku. Dia mengambil bukunya yang ada di tanganku.
“Rio lupa ya sama aku?” tanya gadis itu. Ha? Kenapa dia tahu namaku? Siapa gadis ini?
“Siapa ya?” tanyaku, sambil masih berusaha mengingat-ingat.
“Sahabat sejati adalah mereka yang selalu ada untukmu bagaimanapun keadaanmu. Mereka ikut tertawa melihat kebahagiaanmu, dan mereka memberi semangat melihat kesedihanmu.” Katanya sambil tersenyum.
“Ira?” Ira tersenyum dan mengangguk. Aku pun teringat pada gadis ini, Ira. Sahabat yang aku dan Anna kenal ketika sedang berlibur ke rumah kakek Anna di Bandung. Tapi, ada apa dia di sini? Bukankah jarak Bandung dan Jogja cukup jauh?
“Kamu ngapain di sini?” tanyaku penasaran.
“Aku pindah ke sini Rio.” Kata Ira sambil membetulkan tumpukan bukunya.
“Loh, kok tanggung banget? Kan tinggal beberapa bulan lagi ujian.” Tanyaku, kali ini kami berbincang sambil berjalan menyusuri koridor sekolah. Kemudian duduk di bangku taman sekolah.
“Orang tuaku dipindah tugas ke sini Yo. Dan karena aku pernah denger Anna sama kamu sekolah di sini, ya akhirnya aku memutuskan pindah ke sini.” Terang Ira sambil tersenyum.
“Oh, gitu.” Ujarku pendek sambil memencet-mencet handphone-ku asal-asalan.
“Anna mana Yo?” Tanya Ira tiba-tiba.
“Dia udah ke kelas tadi.” Jawabku dengan nada lesu.
“Udah lama nih, gak ketemu kalian berdua. Pengen maen bareng lagi.” Kata Ira.
“Hahaha, iya dong. Tapi kalo ujian udah kelar pastinya.” Timpalku. Ira tersenyum.
“Yaudah, aku duluan ya Yo. Mau ke ruang kepala sekolah.” Kata Ira yang kemudian bangkit berdiri.
“Ok, ati-ati ya Ra.” Ira pun tersenyum kemudian pergi.
Ira Adinda.. Tak kusangka bisa bertemu dengan gadis riang ini di sini. Masih tetap seperti dulu dan tak berubah. Selalu membawa atmosfer menyenangkan setiap kali ngobrol dengannya. Sudahlah, tak perlu terlalu lama dipikirkan.
Aku bergegas bangkit dari dudukku untuk lekas menuju ke kelas. Saat berbalik, aku hampir melompat ke belakang karena kaget. Ada Anna yang berdiri di situ.
“Eh, Anna. Dari kapan berdiri di situ?” tanyaku sambil melangkah ke arahnya. Tapi Anna hanya diam saja dan perlahan melangkah mundur kemudian berlari pergi.

“An! Anna!” panggilku, tapi Anna sama sekali tak berhenti.

***

to be continued...


Hey YO! Butuh komentar, kritik, dan saran untuk kelanjutannya... Ayolah, jangan pelit ngisi kotak komentar.. OK? ^^,
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Abis baca, jangan segan2 buat kasih komentarnya ya guys.. Supaya post selanjutnya bisa lebih bagus. Terimakasih... ^^,