Tampilkan postingan dengan label Friends. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Friends. Tampilkan semua postingan

Sekarang Giliranmu

dream by headlinebox.com

Sekarang Giliranmu


Setiap orang pasti punya mimpi. Namun, tak banyak yang memiliki cukup keberanian untuk berusaha mewujudkannya. Sebagian besar orang akan meletakkan mimpinya di sudut ingatan paling dalam lalu perlahan melupakannya. Orang-orang seperti itu lebih memilih hidup mengikuti arus, mencari situasi teraman yang minim risiko. Tapi ada sebagian kecil yang tetap gigih mewujudkan mimpinya di tengah kesulitan dan cercaan. Melawan arus. Bukan berarti ingin mencari sensasi, tapi karena mereka tahu, mimpi terlalu berharga jika hanya dibiarkan berlalu.


Dan sebagian lagi berpikir, mereka tak akan bisa hidup tanpa mimpi.


“Na. Bangun, Na. Sebentar lagi kita berangkat.” Pemuda berambut jabrik yang dari tadi tertidur itu perlahan mulai membuka matanya setelah keempat rekannya mengguncang-guncangkan tubuhnya.


Dengan mata yang masih tampak mengantuk, dia memandangi satu per satu wajah-wajah yang kini berdiri di hadapannya. Dia tersenyum sambil mengacungkan kedua jempolnya. “Good luck ya, guys. Gue masih ngantuk. Mau tidur dulu.”


“Arjunaaa!” pekik keempat orang itu sambil menyeret paksa tubuh yang jiwanya sudah terlempar jauh ke alam mimpi itu. Memasukkannya ke dalam mobil setelah sebelumnya mengganti pakaiannya dan berangkat menuju ke tempat tujuan mereka. Lokasi final ajang kompetisi grup band, Music Heroes.


“Ini anak makannya apa sih, kalo tidur gampang amat,” celetuk Fandi, si penggebuk drum, yang duduk tepat di sebelah Arjuna yang saat ini sedang tertidur.


“Tau tuh. Kalo lagi tidur sering bikin jantungan,” timpal Arka, gitaris, yang saat ini sedang bertugas sebagai sopir.


“Lho, emang kenapa, Ka?”


“Soalnya kalo lagi tidur, dia kayak orang mati! Susahnya minta ampun buat dibangunin. Hahahaha,” sela Genta, bassist, diikuti tawa teman-temannya.


Tawa menggelegar itu perlahan kehilangan intensitasnya dan mulai kembali berubah menjadi suasana hening. Hanya suara gitar Jo Satriani yang terdengar meraung di sela-sela deru mesin mobil yang dikendalikan Arka yang meluncur mulus membelah jalanan kota yang lengang.


Dari ekor matanya, Vina ,sang vokalis, menatap dalam-dalam wajah Arjuna yang terlihat menikmati waktu tidurnya. Dibandingkan ketiga laki-laki yang saat ini ada di mobil tersebut, sebagai perempuan, Vina memiliki perasaan yang lebih peka dan sensitif. Oleh karenanya, dia sering, entah secara sengaja atau tidak, diam-diam memperhatikan kegiatan Arjuna ketika tidak bersama mereka untuk mengurus band dan musik. Dan semalam pun, sesuai dengan jadwal “stalking”-nya, Vina datang ke kamar Arjuna. Mengamati pemuda bertubuh kurus itu berkutat di depan komputer dua layar dan sibuk berhadapan dengan berbagai aplikasi multimedia. Beberapa potongan video dan juga suara-suara hasil rekaman yang diputar berkali-kali.


“Menurut kalian, Arjuna benar-benar suka musik nggak sih?” Tiba-tiba Vina, sang vokalis, satu-satunya perempuan di dalam mobil itu bersuara.


“Suka lah, kalo nggak suka, mana mungkin dia ngumpulin kita?” Arka balik bertanya.


“Yah, gue cuma tahu kalau Juna ngajakin gue buat main musik dan wujudin mimpi gue. Heh, entah kenapa gue jadi ngerasa kalau selama ini gue nggak benar-benar kenal sama dia,” timpal Fandi.


“Menurut lo gimana, Ta?” Vina melempar pertanyaan kepada Genta yang nampak bertopang dagu mengingat-ingat sesuatu.


“Juna sebenarnya nggak benar-benar suka musik. Jauh di dalam hatinya, dia punya mimpinya sendiri. Tapi dia lebih suka melihat mimpi orang lain terwujud. Dia bukan tipe orang egois dan juga terobsesi pada mimpinya. Dia orang yang terlalu baik.” Genta menghentikan kalimatnya. Arka, Fandi, dan Vina melongo mendengar Genta yang biasanya paling sering berdebat dengan Arjuna, kali ini memujinya. “Kalian tahu kan video-video kita yang ada di Youtube? Gimana menurut kalian tentang video-video itu?”


“Keren banget, Ta,” Arka langsung menjawab.


“Iya, gue yang kuliah di jurusan Multimedia juga belum tentu bikin video yang sekeren itu.” Fandi menambahi.


“Mungkin, kalau bisa disebut sebagai bentuk keegoisan, video kita itu adalah salah satu bentuk keegoisan yang dimiliki Juna … yang nggak pernah dia pamerin ke kita,” ujar Genta.


“Jadi, sebenarnya Juna lebih suka video? Lebih tepatnya bikin video?” tanya Arka memastikan. Genta menjawabnya dengan anggukan.


“Mungkin lebih tepatnya, dia suka film. Suka banget,” kata Vina. 2 kata terakhir dia ucapkan dengan lirih, hampir tak terdengar. Arka, Genta, dan Fandi menghela napas panjang.


“Dasar tukang tidur,” ujar Fandi sambil menoyor kepala Juna. Dan suasana kembali hening.


“Kalian masih ingat nggak pertama kali kita ketemu terus sampai sekarang bisa main musik bareng?” Tiba-tiba Vina kembali bersuara. Seolah dapat saling membaca pikiran satu sama lain, keempat orang yang masih terjaga itu tersenyum. Masing-masing dari mereka mulai tenggelam dalam angan dan ingatan mereka sendiri. Dalam diam, angan-angan mereka seperti sepakat tertuju ke satu orang. Orang yang saat ini terlihat paling tenang karena sedang tenggelam dalam mimpi indahnya sendiri.


***


“Ta, nge-band yok,” ajak Arjuna kepada Genta yang masih sibuk berkutat dengan buku-buku materi di hadapannya. Dan sesuai perkiraan Arjuna, Genta seolah tenggelam di dalam lautan rumus dan peribahasa yang saat ini sedang dipelajarinya.


Tak mau lelah bersuara, Arjuna meraih gitar berwarna hitam yang bersandar di sudut kamar. Jari jemarinya mulai memposisikan diri di masing-masing kolom. Lalu, setelah memperoleh pose terbaik, dengan kaki kanannya menginjak meja kecil yang biasa mereka gunakan untuk bermalas-malasan di lantai, tangan kanan Arjuna mulai memetik satu demi satu senar gitar tersebut. Dan usaha itu berhasil. Wajah Genta mulai terangkat dan menoleh. Bukan hanya itu, dia pun berdiri dari kursinya dan mulai berjalan ke arah Arjuna.


Tepat di hadapan Arjuna, Genta berdiri. Tangan kanannya dengan sigap menggenggam lengan gitar yang sedang dimainkan oleh Arjuna, membuat suara gitarnya hilang. Lalu dengan mimik muka datar berkata,”Juna, berisik. Lo nggak bakat main gitar.”


“Emang gue nggak bisa main gitar, Ta. Lo sendiri tahu nilai seni musik gue waktu SMP dulu,” kata Arjuna setelah meletakkan gitar ke tempat semula.


“Terus, kenapa lo ngajak gue nge-band?” tanya Genta. Sepertinya dia mulai tertarik dengan ajakan Arjuna tadi.


“Ayo ikut aja dulu. Nggak bakal nyesel, deh.” Genta masih tidak mengerti apa mau Arjuna. Terlebih setelah melihat seringai di wajah Arjuna, dia mulai sedikit merasa takut. Wah, ada yang nggak beres nih.


Setelah bersiap-siap, Genta yang sudah menggendong bass kesayangannya yang terbungkus dalam tas hitam berjalan keluar mengikuti Arjuna ke arah motor MX hitamnya. Semenit kemudian, mereka sudah meluncur di jalan, menuju ke sebuah tempat yang Genta tidak tahu. Yang dia ingat, setelah mendapat sebuah pesan di ponselnya, Arjuna nampak bersemangat dan mengajaknya untuk segera berangkat.


“Sebentar lagi kita sampai,” ucap Arjuna kepada Genta ketika melewati sebuah pertigaan yang sepi dengan bangunan kosong di sekitarnya.


***


“Sumpah deh, kalo gue nggak temenan sama dia dari kecil, gue nggak bakal mau diajak ke tempat sepi kayak gitu. Berasa mau diculik,” tutup Genta sambil bergidik ngeri. Teman-temannya tertawa.


“Lo masih mending Ta, udah kenal dia dari kecil. Lah gue? Kenal cuma dari FB, eh tiba-tiba diajak main band. Berasa jadi target om-om pedofil deh gue,” kenang Arka. Lalu sebuah sepatu mengenai kepalanya. Membuat konsentrasi Arka sedikit terganggu dan mobil oleng sejenak sebelum bisa kembali ke jalur.


“Dilihat dari sisi mana pun, lo tuh sama sekali nggak imut, Ka,” ledek Fandi disambut tawa yang pecah di dalam mobil. Membuat suara melengking Axl Rose dari music player di dasbor mobil tak terdengar.


“Kampret lo.”


“Nah, lo sendiri gimana, Fan bisa kenal sama si Juna?” tanya Genta. Fandi tak langsung menjawabnya. Dia menghirup lalu menghela napas cukup panjang.


“Gara-gara dia, gue nggak jadi mati.” Kalimat itu sukses mengubah atmosfer di dalam mobil. Genta dan Vina menoleh ke arah Fandi yang berada di kursi paling belakang. Sementara Arka hanya memasang telinga. Mereka bertiga hanya mengenal Fandi tepat setelah dia diajak oleh Arjuna untuk mengisi posisi drummer yang kosong tanpa tahu seperti apa latar belakangnya. Itu pun karena Arjuna yang meminta mereka untuk tidak menanyakan masa lalu seseorang yang tidak ingin menceritakannya.


“Maksud lo, Fan?” selidik Vina. Fandi kembali menghela napas.


“Kalian pernah dengar insiden bullying di salah satu SMA ternama di kota kita?” Fandi melemparkan sebuah pertanyaan. Membuat Arka, Genta, dan Vina berpikir sejenak. Lalu dalam waktu yang hampir bersamaan mengucapkan kata “Ya.”


“Iya, Fan gue tahu. Beberapa tahun lalu, sempat ada insiden bullying ke seorang siswa yang menurut gue lumayan parah. Sampai korbannya gue dengar mutusin buat bunuh diri.” Vina menyampaikan jawabannya. Mendengarnya, Fandi tersenyum.


“Siswa malang itu … gue,” kata Fandi singkat. Genta, Vina, dan juga Arka tercekat. Mobil lagi-lagi hampir keluar dari jalan aspal.


“Somplak, nyetir yang benar,” bentak Genta kepada Arka.


“Sorry,” balas Arka sambil nyengir.


Fandi menyadari kekagetan teman-temannya itu. Sudah lama dia menyembunyikan masa lalu yang menyakitkan itu, tapi dia merasa sekarang adalah saat yang tepat untuk mengungkapkannya. Karena dia merasa orang-orang yang sedang duduk semobil dengannya saat ini adalah orang-orang yang dapat dia percaya.


“Jadi waktu itu …”


***


Fandi memasuki gerbang sekolah dengan raut wajah penuh kegelisahan. Semalaman dia tidak bisa tidur memikirkan seperti apa nasibnya hari ini. Ada ketakutan yang membayangi setiap langkah yang dia ambil. Semakin jauh dia masuk ke dalam sekolah, semakin berat tubuhnya dia rasakan. Semakin lama dia berjalan di koridor sekolah, semakin mencekam pula tekanan yang mencengkeramnya. Terlebih setelah dia memasuki kelas yang seharusnya bisa menyambutnya dengan baik layaknya seorang siswa SMA yang menyambut temannya. 

Tapi dia tidak mendapatkannya.


“Oy, si drummer busuk udah datang!” teriak salah seorang siswa laki-laki bertubuh besar dari tempat duduk yang berada di barisan paling depan. Bersamaan dengan itu, sorakan mulai terdengar.


Telinga Fandi terasa panas karena lagi-lagi harus menghabiskan harinya di sekolah dengan mendengar cemoohan itu. Tangan kirinya menggenggam erat tas punggung hitam yang ada di pelukannya. Sementara tangan kanannya memegang erat sepasang stik drum dengan warna yang sudah kusam.


Kepalanya yang dari tadi tertunduk terpaksa dia angkat ketika tiba-tiba ada tangan yang mengambil dengan seenaknya stik itu dari genggamannya. Anak laki-laki yang tadi meneriakinya. Saat ini sedang menggunakan stik drum kesayangannya untuk mengaduk-aduk tempat sampah setelah sebelumnya menggunakannya untuk  memukul-mukul meja dengan seenaknya.


“Benda ini nggak cocok dipakai buat mukul drum. Tapi lebih cocok buat ngaduk-aduk sampah. Hahahaha!” Tawa dan olok-olok yang di dengar Fandi hampir setiap harinya sama. Karenanya, dia dapat menahan dirinya.

Tapi hari ini berbeda.


Anak laki-laki bertubuh gempal itu berjalan mendekati Fandi. Lalu berbicara tepat di sebelah telinganya, “Apalagi pernah dipakai sama seorang pembunuh.”


Pembunuh. Kata terakhir yang diucapkan dengan penekanan itu sukses membuat dada Fandi mendidih. Pertahanan yang dia bangun selama berbulan-bulan akhirnya jebol. Tanpa berkata apa-apa lagi, sebuah bogem mentah berhasil mendarat di dagu pembully-nya. Membuat tubuh gempal itu tumbang hanya dengan satu pukulan. Dengan sigap, Fandi merebut stik drum itu dari tangan tubuh yang masih tergeletak kesakitan itu. Dia tidak menghiraukan teriakan histeris seisi kelasnya. Dia meraih ranselnya kemudian berlari keluar dari kelas.


***


“Tepat saat itu, hati gue benar-benar hancur. Entah kenapa gue nggak sanggup membalas ejekan itu. Mungkin karena ejekan itu benar. Setelah pergi dari kelas, satu-satunya yang gue pikirin cuma gimana caranya supaya gue bisa nggak perlu lagi dengar ejekan-ejekan itu lagi. Gue gelap mata. Dan satu-satunya solusi yang bisa gue dapat adalah … bunuh diri.” Fandi menarik napas dalam-dalam. Ada bulir-bulir air di sudut matanya. Genta, Vina, dan Arka masih diam. Mereka mempersilakan Fandi untuk bercerita, melepas semua beban yang ada di dalam dadanya.


“Hari di mana gue berencana mengakhiri hidup gue, gue ketemu sama tukang tidur satu ini,” kata Fandi sambil menunjuk muka Arjuna yang ilernya kian bertambah. “Ketika gue berencana buat lompat dari atap gedung tertinggi sekolah, suasana sedih gue dirusak sama Juna dengan suara gitarnya yang fals dan suara cempreng dia yang bikin telinga sakit.”


“Juna banget,” celetuk Genta. Diikuti tawa Arka dan Vina.


“Terus, Fan?” pinta Vina. Tiba-tiba Fandi tertawa, membuat pendengarnya kebingungan.


“Gue gagal bunuh diri, Vin. Yang ada, gue malah ngasih ceramah panjang lebar ke Juna soal musik dan lain sebagainya.” Fandi kembali tertawa. Lalu kembali melanjutkan. “Dan satu kalimat balasan dari dia setelah gue ceramah berhasil nampar gue sangat keras.”


Genta dan Vina menoleh ke arahnya, sementara mata Arka nampak melirik dari cermin dasbor. Meminta kelanjutan cerita itu. Fandi nampak menikmati raut muka penasaran ketiga pendengarnya tersebut. Dia pun tersenyum. “Juna bilang, ‘kalau lo masih sebegitu cintanya sama musik, kenapa lo pengen bunuh diri?’”


“Dan harusnya lo malu sama diri lo sendiri. Kenapa kalimat-kalimat dari orang luar bisa mengusik mimpi yang lo punya. Padahal cuma diri lo sendiri yang lebih tahu betapa hebatnya mimpi itu dari orang lain.” Tiba-tiba terdengar suara yang bukan dari milik keempat orang itu.


“Junaaa?!” pekik keempat orang itu mendapati si tukang tidur ternyata sudah bangun dan dengan wajah tak berdosa ikut nimbrung dalam perbincangan mereka.


***


Malam ini, The Sophomores, band yang digawangi oleh Vina, Arka, Genta, dan Fandi sukses menghibur pecinta musik yang menghadiri acara final Music Heroes sebagai bintang tamu. Lagu-lagu yang mereka bawakan berhasil menyihir para penonton untuk melompat dalam beat cepat dan melambaikan tangan kala terbawa dalam alunan ballad. Dan setelah menyanyikan 3 lagu, mereka turun. Setibanya di belakang panggung, mereka berempat sudah ditunggu oleh seseorang.


“Kalian luar biasaaa~” ucap Arjuna sambil mengacungkan kedua jempolnya. Genta, Arka, dan Fandi merangkul Arjuna. Hanya Vina yang nampak enggan bergabung dengan keempat pemuda itu. Wajar, karena dia satu-satunya perempuan di antara mereka.


“Juna,” panggil Vina. Yang dipanggil pun melepaskan diri dari teman-temannya. Mendekat ke tempat Vina berdiri.


“Kenapa, Vin?” tanya Arjuna sesampainya di hadapan Vina.


Vina tak langsung menjawab pertanyaan itu. Kepalanya masih tertunduk. Setelah menghela napas panjang, dia mengulurkan sesuatu kepada Arjuna. Sebuah map warna merah marun dengan sebuah logo universitas di sampulnya. Hal itu ternyata tak hanya menarik perhatian Arjuna, tetapi juga ketiga temannya.


“Apa ini?” tanya Arjuna ketika menerima map itu.


“Juna, gue tahu sebenarnya lo punya mimpi yang lebih besar dari gue dan teman-teman. Gue juga tahu selama ini lo berusaha dukung kita dengan kebohongan lo tentang kecintaan terhadap musik. Diam-diam gue selalu ngelihat lo sibuk di depan komputer setiap malam.” Kalimat Vina tertahan.


“Tanpa sepengetahuan lo, gue ngirim salah satu film yang lo bikin buat ujian masuk akademi perfilman itu. Maafin gue, Na. Tapi gue … gue pengen lo mulai berpikir buat menggapai mimpi lo sendiri. Sekarang giliran lo Na, setelah selama ini ngebantu kami untuk mewujudkan mimpi kami. Jadi--”


Vina tak butuh kalimat dan kata untuk mengetahui jawaban Arjuna. Karena sebuah pelukan erat dan hangat sudah cukup untuk menggambarkan jawaban Arjuna saat itu juga. Tak mau ketinggalan, Genta, Arka, dan Fandi pun ikut membaur. Berbagi kebahagiaan tentang bagaimana sebuah mimpi yang akhirnya dapat terwujud.


Setiap orang pasti punya mimpi. Namun, tak banyak yang memiliki cukup keberanian untuk berusaha mewujudkannya. Sebagian besar orang akan meletakkan mimpinya di sudut ingatan paling dalam lalu perlahan melupakannya. Tapi ada sebagian kecil yang tetap gigih mewujudkan mimpinya di tengah kesulitan dan cercaan. Melawan arus. Bukan berarti ingin mencari sensasi, tapi karena mereka tahu, mimpi terlalu berharga jika hanya dibiarkan berlalu.


Ada pula yang berpikir, mereka tak akan bisa hidup tanpa mimpi. Sementara ada beberapa yang berpikir bahwa sebuah mimpi mampu menyelamatkan hidup seseorang.


Dan mungkin nanti, kau akan menemukannya. Seseorang yang cukup tulus untuk membohongi diri dan mimpinya sendiri demi orang lain. Karena dia tahu betapa membahagiakannya dapat melihat sebuah mimpi yang terwujud, sekalipun itu bukan miliknya.

~ fin

Okay, mohon review-nya yaaa ^^ 
Share:

Udah Jujur Aja... | CERPEN


Hey Ho! Selamat siang semuanyaa~ nih ada cerpen baru. Cerpen yang gagal kesaring di sayembara cerpen beberapa hari yang lalu *sedih*. Udah ah, yuk mari dibacaa~

Title : Udah Jujur Aja...
Author : Nur Rochman / @NVRstepback

Udah Jujur Aja...
Hujan masih setia mengalunkan nada sumbang yang seolah sedang mencoba meresonansi masa lalu . Di sebuah kafe, tampak 3 orang sedang duduk berbincang. Dika, Vina, dan Rara. Dan sepertinya di situ hanya ada mereka bertiga serta segelintir pengunjung yang duduk cukup jauh dari mereka. Sudah cukup lama mereka tidak beranjak karena hujan yang masih mengguyur ditambah Andra yang tak kunjung datang.
“Aduh ini si Andra kebiasaan banget ya, bikin orang nunggu.” Ujar Dika kesal.
“Sabar, Ka. Mungkin si Andra lagi kejebak macet.” Kata Rara berusaha menenangkan Dika yang uring-uringan.
“Sabar dong Dika, nih dia sms katanya jalanan macet.” Timpal Vina, pacar Andra, sambil menunjukkan ponselnya. Dika pun melongo dan membaca sms tersebut.
“Aduh, terus kita mau ngapain coba di sini? Mana sepi lagi.” Kata Dika sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi.
“Gimana kalo main Truth or Dare?” kata Vina menyampaikan idenya. Dika pun mengernyitkan dahi mendengar ide Vina.
“Seriusan mau main Truth or Dare di sini?” tanya Dika.
“Iya dong. Mumpung sepi, jadinya kan asyik.” Ujar Vina sambil tersenyum.
“Eng.. OK deh gue mau. Loe ikut nggak Ra?” tanya Dika kepada Rara yang tampak sedang melamun.
“Rara!” kata Vina setengah berteriak. Rara pun tersentak.
“Eh, anu. I.. Iya, gue ikut.” Kata Rara agak tergagap.
“Ada apa Ra? Kok dari tadi ngelamun mulu sih?” tanya Dika.
“Eh, masa sih dari tadi ngelamun? Nggak kok.. Hehe.“ Rara berusaha menjawab sekenanya.
“Udah udah. Karena udah pada setuju, kita mulai.” Kata Vina kemudian mengambil botol minuman kosong dari dalam tasnya.
“Putaran pertama, nentuin siapa yang bakal ngasih pertanyaan atau tantangan. Putaran kedua, nentuin siapa yang kena sial. Dia harus milih Truth atau Dare. Truth, berarti dia harus jawab jujur pertanyaan apapun yang dia dapet. Dare, berarti dia harus ngejalanin tantangan apapun yang dikasihin.” Terang Vina. Dika dan Rara mengangguk tanda mengerti.
Dika, Vina, dan Rara memajukan kursi mereka. Vina pun memutar botol yang dari tadi dia pegang. Botol berputar dengan lancar, kemudian perlahan melambat, melambat, dan akhirnya berhenti. Ujung botol itu menunjuk ke arah Rara.
“Yes!” ucap Rara sambil mengepalkan tangannya. Dika dan Vina mengeluh.
“Lanjut nentuin siapa yang kena sial.” Kata Vina lesu, kemudian memutar botol.
Botol nasib kembali berputar. Tak terlalu cepat, tapi cukup lama rasanya menunggu botol tersebut untuk berhenti. Vina dan Dika menahan nafas melihat kecepatan botol itu menurun, dan akhirnya.. Ujung botol itu mengarah kepada Vina. Dika menghela nafas lega.
“Aaahhh..” ucap Vina tidak terima.
“Yang sabar ya Na.. Hahaha.” Kata Dika sambil tertawa mengejek.
“Aduh, gue duluan. Sial banget sih gue..” Gerutu Vina.
 “Nah sekarang, loe pilih apa Na. Truth, or Dare?” tanya Rara sambil tersenyum. Dika pun memperhatikan Vina yang sedang berpikir.
“Gue pilih... Truth aja deh. Nanti kalo Dare pasti disuruh aneh-aneh.” Kata Vina setelah berpikir cukup lama. Rara berpikir sejenak, kemudian menemukan pertanyaan yang cocok.
“Vina.. Eng.. Pernah nggak loe selingkuh? Atau paling nggak berpikir buat selingkuh di belakang Andra?” tanya Rara. Vina mendelik mendengar pertanyaan Rara.
“Nggak ada pertanyaan lain Ra?” tanya Vina mencoba menawar. Raut wajahnya berubah sedikit memelas.
“Nggak ada Vina. Jawab gih.” Jawab Rara dengan senyuman jahil yang terpasang di wajahnya.
Vina sendiri tak langsung menjawabnya. Cukup lama dia terdiam. Menunduk, lalu menghela nafas panjang. Dika dan Rara ikut diam menunggu jawaban dari Vina. Dan perlahan, Vina pun mengangkat pandangannya dan mulai berbicara.
“Gue.. Pernah Ra. Bukan cuma berpikir, tapi gue pernah jalan sama cowok lain tanpa sepengetahuan Andra.” Terang Vina. Sejurus kemudian Vina kembali menunduk dan menutup wajahnya.
Dika dan Rara tentu saja kaget mendengar pernyataan Vina. Terlebih Rara yang merupakan sahabat dekat Vina, karena baru mengetahui rahasia ini. Ada sedikit penyesalan dalam hati Rara karena menanyakan hal tersebut. Dika sendiri juga tak habis pikir, karena selama ini dia melihat Andra dan Vina begitu mesra dan kompak ketika bersama.
“Vina...” ucap Rara lirih. Tangannya sedikit gemetar mencoba memegang pundak Vina.
“Tapi loe udah nggak jalan sama cowok itu kan, Na?” tanya Dika tiba-tiba. Rara menoleh kaget ke arah Dika. Vina sendiri tak lagi tertunduk. Dia berusaha mengangkat pandangannya untuk menjawab pertanyaan Dika.
“Udah enggak, Ka. Gue nyesel karena ngelakuin hal yang jahat banget sama Andra. Gue...” Kata-kata Vina terpotong oleh isak tangisnya.
“Dan gue janji, hal itu nggak bakal terulang lagi.” Lanjut Vina.
Rara langsung memeluk Vina yang tangisnya kini semakin terdengar. Dika hanya tersenyum melihat adegan cukup dramatis di hadapannya. Perlahan tapi pasti, senyum mulai nampak di wajah Vina. Entah apa yang dibisikkan oleh Rara. Mungkin kata-kata ajaib.
“Ladies... Dilanjut nggak nih game-nya?” terdengar suara Dika yang memecah keheningan. Rara langsung kembali ke tempat duduknya.
“Yuk dilanjut. Ok, Na?” tanya Rara. Vina tersenyum kemudian mengangguk tanda setuju.
Botol pun kembali berputar. Tinggal Dika dan Rara yang masih menahan nafas menanti giliran siapa yang akan mendapatkan tantangan. Vina, yang sebenarnya sudah mendapatkan giliran, ikut tegang karena dialah yang bertugas menyampaikan pertanyaan atau tantangan untuk si pesakitan.
Melambat dan semakin melambat. Ujung botol kosong itu menunjuk tepat ke arah Rara. Dika menghela nafas lega. Ternyata bukan dia yang mendapat giliran jadi pesakitan. Sedangkan Rara, dia hanya bisa pasrah menerima nasibnya saat ini.
“Nah.. Rara kena. Vina, waktunya balas dendam. Hahaha.” Kelakar Dika yang disambut dengan dengusan kesal Rara dan tawa Vina.
“Rara, loe pilih Truth atau Dare?” Vina bertanya.
“Gue pilih Dare aja deh. Ngeri kalo harus buka-bukaaan rahasia.” Kata Rara sambil bergidig.
Dika terbengong mendengar pilihan Rara. Sedangkan Vina langsung mengedarkan pandangannya ke seisi kafe sambil berpikir tantangan apa yang akan dia berikan kepada Rara. Dan tak terlalu lama, mata Vina langsung tertuju ke arah sepasang cowok dan cewek yang sedang duduk berbincang, agak jauh dari mereka.
“Karena loe milih Dare, sekarang loe harus... Nyamperin cowok sama cewek itu.” Ujar Vina sambil menunjuk ke pasangan yang dia maksud.
“Gitu doang? Itu sih gampang, Na.” Kata Rara sambil menjentikkan jarinya.
“Eitss, loe juga harus ngerayu si cowok sampe mereka berdua berantem.” Lanjut Vina sambil menyeringai. Rara terbelalak, begitu juga Dika.
“Gila, loe keren banget Na, bisa nemu ide gituan?” tanya Dika takjub.
“Gue gitu loh, Dika.” Vina pun tertawa.
“Vina, ada yang tantangan yang lebih gampang? Terlalu beresiko, Na.” Kata Rara memelas.
“Ra.. Loe takut? Setahu gue, Rara itu cewek yang nggak punya rasa takut lho. Masa iya sih, tantangan kayak gitu bikin seorang Rara takut.” Ujar Vina.
“Hmm.. Jangan ngeremehin keberanian gue ya Vina sayang. Nih, gue  buktiin kalo gue bukan penakut.” Kata Rara sambil berdiri kemudian berjalan diikuti tepuk tangan Vina dan Dika.
Awalnya, Rara melangkah dengan mantap dari tempat duduknya. Tapi semakin jauh, dia semakin sadar kalau dia sudah termakan oleh kata-kata Vina tadi. Langkahnya pun semakin lemah dan sempat terhenti. Tapi karena tidak mau kalah oleh kata-katanya sendiri, dengan bermodal nekat serta membuang rasa malu, dia berjalan semakin dekat dengan pasangan yang ditunjukkan oleh Vina tadi.
Sesampainya di depan kedua pasangan tersebut, Rara langsung mengalihkan matanya kepada si cowok yang perlahan menatapnya. Pandangan Rara dan cowok itu bertemu. Seketika, mulut Rara terkunci. Jantungnya yang dari tadi berdegup karena merasa sungkan, ragu, dan takut kini berubah menjadi perasaan sedih, marah, dan benci yang berbaur menjadi satu.
“Reza.. K..kamu..” ucap Rara terbata-bata sambil menatap Reza, orang yang sangat dia cintai atau lebih tepatnya, kekasihnya.
“Ra.. Aku.. Ng..ngapain kamu di sini?” tanya Reza terbata-bata melihat Rara kini ada di hadapannya.
“A..aku nggak nyangka Za. Udah dari tadi pagi aku hubungin kamu, tapi sama sekali nggak ada balesan. Ternyata.. I..ini..” Air mata Rara mulai menetes.
“Rara, tenang dulu.. Dia itu.. Dia..” kata Reza mencoba menjelaskan.
“Sayang, dia siapa? Kamu kenal?” cewek berwajah oriental itu tiba-tiba bertanya sambil berdiri.
Sayang?” batin Rara sambil menatap kaget cewek itu. Hatinya tertusuk seiring kata itu terdengar oleh telinganya. Pandangan Rara kembali beralih ke Reza. Pandangan penuh rasa kecewa dan rasa sakit.
“Rara.. Aku bisa jelasin Ra.” Kata Reza mencoba menenangkan Rara.
PLAKK!! Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Reza. Tanpa kata, Rara langsung pergi. Reza dan cewek itu pun terlibat pertengkaran. Sedangkan Dika dan Vina masih tampak shock melihat pemandangan tadi. Mereka bingung karena  hanya bisa melihat, tak bisa mendengar apa pembicaraan antara Rara, cowok, dan cewek itu.
“Na. Itu tadi kenapa? Kok heboh banget?” tanya Dika kepada Vina.
“Kayaknya gue tahu tuh cowok deh Ka.” Kata Vina sambil memicingkan matanya.
“Ah, itu kan Reza.” Kata Vina kemudian.
“Reza? Cowoknya Rara? Loe bilang dia lagi keluar kota sama keluarganya?” tanya Dika.
“Iya Ka. Rara sendiri yang cerita ke gue. Makanya kan dia sering ngelamun karena nggak ada Reza. Tapi... Gue nggak nyangka kok bisa jadi gini sih.” Kata Vina sambil meletakkan sikunya ke meja dan menutup wajahnya dengan kedua tangannya.
Dika terdiam. Dari tempat duduknya dia masih melihat bagaimana Reza dan cewek itu adu mulut. Karena tak tahan, Dika langsung bangkit dan berjalan ke tempat Reza dan cewek itu. Vina sendiri masih menutupi wajahnya, syok karena permainan yang dia tawarkan untuk sekedar mengisi waktu menunggu Andra justru membuat keadaan menjadi buruk. Tiba-tiba saja ada yang duduk di samping Vina kemudian langsung mengacak-acak rambut Vina.
“Sayaang..” ujar Vina manja begitu melihat Andra sudah ada di sampingnya.
“Ada apa? Lho, Dika sama Rara mana? Kok kamu sendirian?” tanya Andra.
“Truth or Dare’nya kacau..” kata Vina.
“Ha? Oh.. Kalian main Truth or Dare. Kacau gimana?” tanya Andra lagi.
“Gini sayang.. Tadi kan Rara yang dapet giliran. Terus dia pilih Dare. Trus aku kasih aja tantangan buat bikin pasangan yang ada di sebelah situ.. Dika!” cerita Vina terputus melihat Dika yang sedang adu mulut dengan Reza.
Tanpa komando, Andra langsung menuju tempat Dika.
“Dika! Lho.. Reza? Kata Rara loe lagi liburan sama keluarga loe?” ujar Andra. Wajah Reza langsung berubah kebingungan melihat kedatangan Andra.
“Liat tuh Ndra! Dia nggak sama keluarganya!” Kata Dika dengan penuh amarah.
“Aduuuhh! Ini ada apa sih?! Reza, mereka siapa? Terus Rara itu siapa? Cewek yang nampar kamu tadi? Dia siapa kamu? Pacar kamu?” pertanyaan beruntun ke arah Reza terlontar dari mulut cewek itu.
“Intan.. bukan gitu. Sebenernya..” kata-kata Reza terucap terbata-bata.
“Jadi bener? Yaudah, aku mau pulang! Dasar cowok buaya!” kata Intan kemudian menyiramkan lemon tea yang ada di atas meja ke muka Reza. Sejurus kemudian Intan pergi.
“Gue nggak nyangka Za. Loe tega banget ngebohongin Rara yang jelas-jelas selalu percaya sama loe. Mending loe sekarang pergi! Nggak usah deket-deket Rara lagi!” hardik Andra kemudian menarik Dika dari situ.
Tanpa banyak bicara, Reza nampak bergegas pergi meninggalkan tempat itu dengan rasa malu yang luar biasa besar.
Andra dan Dika sudah duduk di kursi mereka. Tak ada suara yang keluar, baik itu dari mulut Andra, Dika, ataupun Vina. Semuanya terdiam setelah kejadian itu. Dan tak lama kemudian, Rara datang dan duduk di kursi kosong di hadapan Dika.
“Rara.” Kata Andra kaget melihat Rara sudah ada di sebelahnya.
“Hi, Ndra. Udah lama ya.” Kata Rara mencoba berbasa basi kepada Andra.
“I.. Iya.” Kata Andra singkat.
“Loe nggak papa, Ra?” tanya Dika cemas. Rara hanya menjawabnya dengan sebuah senyuman. Senyum yang dipaksakan.
“Ra, maafin gue. Gue nggak bermaksud..” kata-kata Vina terpotong karena oleh kata-kata yang diucapkan oleh Rara.
“Vina.. Gue tahu kok, semua ini kan sekedar permainan. Jadi kejadian tadi adalah resiko permainan yang harus gue terima. Dan justru, gue berterima kasih sama loe Na. Karena gue jadi tahu gimana sebenernya sifat asli Reza. Dan gue bisa tahu, apa yang harus gue lakuin.” Terang Rara.
Vina tertegun dan tak bisa berkata apa-apa mendengar kata-kata Rara. Dika melongo melihat bagaimana Rara begitu cepat dapat mengendalikan hatinya setelah kejadian tadi. Sedangkan Andra pun tersenyum lega karena Rara tetap menjadi Rara yang selalu kuat dan tegar ketika menghadapi cobaan dan masalah seberapa pun besarnya. Suasana pun berubah hening sesaat setelah itu.
“Oiya, tadi kata Vina tinggal Dika nih yang belum dapet jatah Truth or Dare?” tanya Andra yang memecah keheningan.
“Ah, iya tuh. Si Dika belum.” Kata Vina mengiyakan pertanyaan Andra.
“Laaah, masih mau dilanjutin? Suasananya kan lagi nggak kondusif Ndra.” Kata Dika protes.
“Yang sportif dong Ka. Masa loe kalah sih sama para Ladies yang ada di sini.” Ejek Andra.
“Iya deh iya. Dasar loe Ndra.. Dateng telat, ngejek gue, sekarang ikut-ikutan ngasih Truth or Dare.” Gerutu Dika. Andra pun tertawa. Diikuti Vina juga Rara yang ikut tertawa.
“Jadi, Dika.. Loe pilih Truth atau Dare?” pertanyaan langsung terlontar dari mulut Andra. Dika langsung diam, begitu juga Vina dan Rara. Nampak Dika berpikir sejenak.
“Gue pilih... Dare!” ucap Dika mantap.
Andra pun terdiam sejenak. Dilihatnya Dika yang masih menunggu tantangan darinya. Pandangan Andra beralih kepada Rara yang sedang melamun, kemudian berpindah ke arah Vina. Pandangan mereka bertemu dan nampak Vina memberikan sebuah “kode” kepada Andra dengan mengerjapkan matanya ke arah Rara. Andra pun paham maksud dari “kode” yang diberikan oleh Vina.
“Oke, Dika. Karena loe pilih Dare, sekarang loe harus ngejalanin tantangan yang bakal gue kasih ke loe. Loe siap?” Andra bertanya.
“Iya Andra gue siap. Buruan kenapa sih. Lama banget.” Jawab Dika kesal.
“Sekarang, loe harus jujur sama perasaan loe tentang siapa orang yang selama ini loe sukai dan nyatain perasaan loe ke orang itu.” Kata Andra. Sesaat kemudian dia dan Vina melakukan tos. Dika sendiri mengernyitkan dahi mendengar tantangan yang baru saja disampaikan oleh Andra.
“Lho, gue kan pilih Dare Ndra. Kenapa gue harus jujur? Itu kan kalo gue milih Truth.” Protes Dika yang tidak terima.
“Lah, itu kan tantangan buat loe Ka. Tantangannya, loe harus jujur.” Terang Andra.
“Andra kan ngasih tantangannya gitu Dika. Buruan gih.” Kata Vina sambil cekikikan.
Dika pun tak bisa lagi membantah kata-kata Andra dan Vina. Dia melotot ke arah Andra yang dibalas dengan senyum dan acungan dua jari simbol “peace” ke arahnya. Setelah menarik nafas panjang dan menghela nafas, Dika pun mulai berbicara.
“Gue tahu, maksud tantangan loe Ndra. Tapi...” kata-kata Dika terhenti.
“Tapi kenapa Ka?” tanya Andra.
“Tapi gue rasa waktunya kurang tepat gara-gara kejadian tadi.” Lanjut Dika. Andra dan Vina sedikit kecewa mendengar ucapan Dika.
“Kejadian apa Ka?” Rara yang tidak mengerti maksud kata-kata Dika pun bertanya.
Dika tak langsung menjawabnya. Dia menghela nafas panjang sedang mengatur kata-kata yang akan diucapkannya. Ada beberapa bagian dari kata-kata tersebut yang masih dia ragukan untuk diucapkan. Tapi setelah memantapkan hatinya, dia pun kembali berbicara.
“Sebenernya, selama ini.. Atau lebih tepatnya semenjak awal masuk SMA dan sampai detik ini, sampai kita bakalan lulus, gue.. Gue suka sama loe.. Rara.” Kata-kata itu dengan sedikit tersendat meluncur dari mulut Dika.
Rara kaget bukan main mendengar penuturan Dika itu. Sedangkan Andra dan Vina tak terlalu kaget karena mereka memang mengetahui hal itu sudah sejak lama. Tapi karena Rara adalah salah satu siswi populer di sekolah, Dika yang sebenarnya sudah didorong oleh Andra dan Vina tak pernah berani menyatakan perasaannya kepada Rara.
“Jadi, selama ini Ka? Selama hampir 3 tahun?” tanya Rara tak percaya.
“Iya Ra. Gue sendiri bingung. Gue nggak tahu kenapa gue bisa kayak gini. Bertahan selama hampir 3 tahun dan memendam perasaan yang mungkin bagi orang lain udah basi. Tapi bagi gue, nggak.” Jawab Dika.
“Dika...” kata Rara.
“Tapi setelah kejadian tadi, gue pun sadar. Seberapa pun gue berusaha ngeyakinin loe tentang perasaan gue, gue nggak bakal bisa dapet jawaban ‘ya’ dari loe. Meskipun loe terlihat kuat, gue tahu loe masih ngrasain sakit karena kejadian tadi. Jadi nggak jadi masalah kalo loe nolak gue sekarang juga. Karena dengan nyatain perasaan gue aja, itu udah lebih dari cukup buat gue. Dan gue nggak bakal pergi setelah ini. Gue bakal tetep ada, meskipun hanya sebagai sahabat loe aja, Ra.” Ujar Dika panjang lebar.
Rara terkesima mendengar kata-kata Dika. Tak hanya Rara, Andra dan Vina juga takjub mendengar kata-kata Dika tadi. Rara, tak menyangka kalau Dika yang selama ini dia kenal sebagai seorang yang sangat cuek dan tak kenal kompromi dalam berbicara ternyata sekian lama memendam perasaan terhadapnya. Andra dan Vina pun takjub mendengar bagaimana kukuhnya keinginan Dika untuk tetap di samping Rara, apapun yang terjadi nanti.
Hening kembali hadir di tengah-tengah empat anak manusia ini. Kembali tak ada kata terucap, hanya suara nafas yang agak tertahan karena beradunya konflik dan perasaan yang seolah menemukan jalan. Keyakinan Vina kepada Andra untuk tetap mencintainya tanpa kembali berpaling. Dan ungkapan perasaan Dika yang tak disangka oleh Rara, serta jawaban yang harus Rara sampaikan demi kebaikan ikatan persahabatan.
“Dika..” ucap Rara agak lirih, namun masih terdengar oleh Dika, Andra, dan Vina.
“Ya, Ra..” jawab Dika berusaha tenang, padahal saat ini jantungnya sedang berdegup kencang. Hatinya tak karuan serta pikirannya tak lagi bisa berlogika mengira apa yang selanjutnya harus dia lakukan.
“Tau nggak? Gue udah lama berharap loe nyatain perasaan loe ke gue, Ka. Tapi kenapa baru sekarang? Setelah berulang kali gue mencari pelampiasan perasaan gue ke loe, yang selalu berakhir dengan rasa sakit?” kata-kata Rara yang mengandung retorika berhasil membungkam otak Dika untuk berusaha menjawabnya.
“Ra..” ucap Dika bingung.
“Berulang kali Dika.. Dan yang terakhir, baru aja loe liat sendiri, Reza.. Gue harus ngerasain sakit hati lagi Ka.” Kali ini kata-kata Rara diikuti oleh tetesan air mata.
Andra dan Vina terkejut mendengar penuturan Rara. Terlebih lagi Dika yang sangat terkejut mendengar pernyataan Rara. Ternyata sudah sejak lama pula Rara memendam rasa kepada Dika. Tapi, karena ego dan rasa takut itu lebih besar, Rara dan juga Dika harus rela menikmati rasa sakit yang sebenarnya tak ingin mereka rasakan.
“Rara.. Maafin gue.” Kata Dika kemudian bangkit berdiri dan berjalan tempat Rara duduk.
“Sekarang, loe boleh hukum gue, Ra. Karena udah begitu tega menutupi perasaan gue ke loe dengan jiwa pengecut gue.” Kata Dika sambil menarik tubuh Rara dan membawanya ke hadapannya. Andra dan Vina sedari tadi tak bisa berucap apa-apa kecuali hanya berharap yang terbaik bagi kedua sahabat mereka ini.
PLAKK! Suara tamparan terdengar dari pertemuan telapak tangan Rara dan pipi Dika. Dan selang beberapa detik kemudian, Rara langsung memeluk Dika. Begitu erat, hingga Dika sedikit merasa sesak, namun entah kenapa begitu nyaman baginya.
“Jangan jadi pengecut lagi Dika. Demi aku, demi kita. Supaya kita nggak perlu lagi berpura-pura dan berjumpa dengan rasa sakit. Jadilah orang yang berarti buatku. Aku pengen kita bisa sama-sama ngerasain bahagia Dika..” Kata Rara yang masih memeluk Dika.
“Ra, aku sayang kamu.. Aku bakal jadi yang terbaik buat kamu. Bahagia bersamamu.” bisik Dika ke telinga Rara. Rara mengangguk pelan. Tangan Dika pun memeluk erat tubuh Rara.
“Kacang.. Kacaaanggg.. Sebungkus tiga ribuuu..” teriak Andra dan Vina yang dari tadi merasa tidak diperhatikan. Dika dan Rara pun segera melepas pelukan mereka.
“Untung aja nih kafe sepi ya sayang, coba kalo rame..” kata Vina kepada Andra.
“Iya nih, yang lagi jatuh cinta. Serasa kafe punya mereka berdua, yang lain cuma numpang jajan..” sahut Andra.
“Iya, jajan kacaangg..” timpal Vina.
Dika dan Rara pun tertawa terbahak mendengar Andra dan Vina berceloteh.
“Udah udah, karena Andra udah dateng, yuk pulang. Udah malem nih.” Kata Rara menenangkan keadaan.
“Yaelah, nasib.. Baru aja dateng, udah diajak pergi lagi. Mana nonton drama cuma dapet ending-nya.” Gerutu Andra.
“Makanya jangan telat.” Kata Dika.
“Udah dong, Ka. Andra kan tadi kena macet.” Kata Vina membela Andra.
“Hahaha... Nanti tanya sama Vina aja Ndra, gimana cerita lengkapnya.” Kata Rara kemudian mengedipkan mata ke arah Vina. Sebuah senyuman tersungging di wajah Vina yang kemudian mendekap lengan Andra erat.
Dan mereka berempat bergegas meninggalkan kafe tersebut. Kafe dengan suasana berkelas yang cukup sepi pengunjung, namun sarat makna bagi mereka. Khususnya bagi Dika, Rara, dan Vina. Kisah baru yang akan ditulis oleh Dika dan Rara atas dasar cinta, serta rasa cinta yang makin bertumbuh di hati Vina untuk Andra. Bagaimana dengan Andra? Ah, biarkan dia tetap mencintai Vina dengan kekonyolannya dan tetap menjadi yang pertama di hati Vina.
Hey, bagaimana denganmu? Apa kau juga perlu sesuatu untuk memberikan setitik makna bagi hidupmu? Jika ya, siapkan hal-hal ini. Secangkir kejujuran, sepiring keberanian, dan beberapa putaran keajaiban. Tapi jangan lupakan satu hal... Sebuah botol nasib.
====


Komentar, kritik, & sarannya ya... =]
Share: