Sekarang Giliranmu

dream by headlinebox.com

Sekarang Giliranmu


Setiap orang pasti punya mimpi. Namun, tak banyak yang memiliki cukup keberanian untuk berusaha mewujudkannya. Sebagian besar orang akan meletakkan mimpinya di sudut ingatan paling dalam lalu perlahan melupakannya. Orang-orang seperti itu lebih memilih hidup mengikuti arus, mencari situasi teraman yang minim risiko. Tapi ada sebagian kecil yang tetap gigih mewujudkan mimpinya di tengah kesulitan dan cercaan. Melawan arus. Bukan berarti ingin mencari sensasi, tapi karena mereka tahu, mimpi terlalu berharga jika hanya dibiarkan berlalu.


Dan sebagian lagi berpikir, mereka tak akan bisa hidup tanpa mimpi.


“Na. Bangun, Na. Sebentar lagi kita berangkat.” Pemuda berambut jabrik yang dari tadi tertidur itu perlahan mulai membuka matanya setelah keempat rekannya mengguncang-guncangkan tubuhnya.


Dengan mata yang masih tampak mengantuk, dia memandangi satu per satu wajah-wajah yang kini berdiri di hadapannya. Dia tersenyum sambil mengacungkan kedua jempolnya. “Good luck ya, guys. Gue masih ngantuk. Mau tidur dulu.”


“Arjunaaa!” pekik keempat orang itu sambil menyeret paksa tubuh yang jiwanya sudah terlempar jauh ke alam mimpi itu. Memasukkannya ke dalam mobil setelah sebelumnya mengganti pakaiannya dan berangkat menuju ke tempat tujuan mereka. Lokasi final ajang kompetisi grup band, Music Heroes.


“Ini anak makannya apa sih, kalo tidur gampang amat,” celetuk Fandi, si penggebuk drum, yang duduk tepat di sebelah Arjuna yang saat ini sedang tertidur.


“Tau tuh. Kalo lagi tidur sering bikin jantungan,” timpal Arka, gitaris, yang saat ini sedang bertugas sebagai sopir.


“Lho, emang kenapa, Ka?”


“Soalnya kalo lagi tidur, dia kayak orang mati! Susahnya minta ampun buat dibangunin. Hahahaha,” sela Genta, bassist, diikuti tawa teman-temannya.


Tawa menggelegar itu perlahan kehilangan intensitasnya dan mulai kembali berubah menjadi suasana hening. Hanya suara gitar Jo Satriani yang terdengar meraung di sela-sela deru mesin mobil yang dikendalikan Arka yang meluncur mulus membelah jalanan kota yang lengang.


Dari ekor matanya, Vina ,sang vokalis, menatap dalam-dalam wajah Arjuna yang terlihat menikmati waktu tidurnya. Dibandingkan ketiga laki-laki yang saat ini ada di mobil tersebut, sebagai perempuan, Vina memiliki perasaan yang lebih peka dan sensitif. Oleh karenanya, dia sering, entah secara sengaja atau tidak, diam-diam memperhatikan kegiatan Arjuna ketika tidak bersama mereka untuk mengurus band dan musik. Dan semalam pun, sesuai dengan jadwal “stalking”-nya, Vina datang ke kamar Arjuna. Mengamati pemuda bertubuh kurus itu berkutat di depan komputer dua layar dan sibuk berhadapan dengan berbagai aplikasi multimedia. Beberapa potongan video dan juga suara-suara hasil rekaman yang diputar berkali-kali.


“Menurut kalian, Arjuna benar-benar suka musik nggak sih?” Tiba-tiba Vina, sang vokalis, satu-satunya perempuan di dalam mobil itu bersuara.


“Suka lah, kalo nggak suka, mana mungkin dia ngumpulin kita?” Arka balik bertanya.


“Yah, gue cuma tahu kalau Juna ngajakin gue buat main musik dan wujudin mimpi gue. Heh, entah kenapa gue jadi ngerasa kalau selama ini gue nggak benar-benar kenal sama dia,” timpal Fandi.


“Menurut lo gimana, Ta?” Vina melempar pertanyaan kepada Genta yang nampak bertopang dagu mengingat-ingat sesuatu.


“Juna sebenarnya nggak benar-benar suka musik. Jauh di dalam hatinya, dia punya mimpinya sendiri. Tapi dia lebih suka melihat mimpi orang lain terwujud. Dia bukan tipe orang egois dan juga terobsesi pada mimpinya. Dia orang yang terlalu baik.” Genta menghentikan kalimatnya. Arka, Fandi, dan Vina melongo mendengar Genta yang biasanya paling sering berdebat dengan Arjuna, kali ini memujinya. “Kalian tahu kan video-video kita yang ada di Youtube? Gimana menurut kalian tentang video-video itu?”


“Keren banget, Ta,” Arka langsung menjawab.


“Iya, gue yang kuliah di jurusan Multimedia juga belum tentu bikin video yang sekeren itu.” Fandi menambahi.


“Mungkin, kalau bisa disebut sebagai bentuk keegoisan, video kita itu adalah salah satu bentuk keegoisan yang dimiliki Juna … yang nggak pernah dia pamerin ke kita,” ujar Genta.


“Jadi, sebenarnya Juna lebih suka video? Lebih tepatnya bikin video?” tanya Arka memastikan. Genta menjawabnya dengan anggukan.


“Mungkin lebih tepatnya, dia suka film. Suka banget,” kata Vina. 2 kata terakhir dia ucapkan dengan lirih, hampir tak terdengar. Arka, Genta, dan Fandi menghela napas panjang.


“Dasar tukang tidur,” ujar Fandi sambil menoyor kepala Juna. Dan suasana kembali hening.


“Kalian masih ingat nggak pertama kali kita ketemu terus sampai sekarang bisa main musik bareng?” Tiba-tiba Vina kembali bersuara. Seolah dapat saling membaca pikiran satu sama lain, keempat orang yang masih terjaga itu tersenyum. Masing-masing dari mereka mulai tenggelam dalam angan dan ingatan mereka sendiri. Dalam diam, angan-angan mereka seperti sepakat tertuju ke satu orang. Orang yang saat ini terlihat paling tenang karena sedang tenggelam dalam mimpi indahnya sendiri.


***


“Ta, nge-band yok,” ajak Arjuna kepada Genta yang masih sibuk berkutat dengan buku-buku materi di hadapannya. Dan sesuai perkiraan Arjuna, Genta seolah tenggelam di dalam lautan rumus dan peribahasa yang saat ini sedang dipelajarinya.


Tak mau lelah bersuara, Arjuna meraih gitar berwarna hitam yang bersandar di sudut kamar. Jari jemarinya mulai memposisikan diri di masing-masing kolom. Lalu, setelah memperoleh pose terbaik, dengan kaki kanannya menginjak meja kecil yang biasa mereka gunakan untuk bermalas-malasan di lantai, tangan kanan Arjuna mulai memetik satu demi satu senar gitar tersebut. Dan usaha itu berhasil. Wajah Genta mulai terangkat dan menoleh. Bukan hanya itu, dia pun berdiri dari kursinya dan mulai berjalan ke arah Arjuna.


Tepat di hadapan Arjuna, Genta berdiri. Tangan kanannya dengan sigap menggenggam lengan gitar yang sedang dimainkan oleh Arjuna, membuat suara gitarnya hilang. Lalu dengan mimik muka datar berkata,”Juna, berisik. Lo nggak bakat main gitar.”


“Emang gue nggak bisa main gitar, Ta. Lo sendiri tahu nilai seni musik gue waktu SMP dulu,” kata Arjuna setelah meletakkan gitar ke tempat semula.


“Terus, kenapa lo ngajak gue nge-band?” tanya Genta. Sepertinya dia mulai tertarik dengan ajakan Arjuna tadi.


“Ayo ikut aja dulu. Nggak bakal nyesel, deh.” Genta masih tidak mengerti apa mau Arjuna. Terlebih setelah melihat seringai di wajah Arjuna, dia mulai sedikit merasa takut. Wah, ada yang nggak beres nih.


Setelah bersiap-siap, Genta yang sudah menggendong bass kesayangannya yang terbungkus dalam tas hitam berjalan keluar mengikuti Arjuna ke arah motor MX hitamnya. Semenit kemudian, mereka sudah meluncur di jalan, menuju ke sebuah tempat yang Genta tidak tahu. Yang dia ingat, setelah mendapat sebuah pesan di ponselnya, Arjuna nampak bersemangat dan mengajaknya untuk segera berangkat.


“Sebentar lagi kita sampai,” ucap Arjuna kepada Genta ketika melewati sebuah pertigaan yang sepi dengan bangunan kosong di sekitarnya.


***


“Sumpah deh, kalo gue nggak temenan sama dia dari kecil, gue nggak bakal mau diajak ke tempat sepi kayak gitu. Berasa mau diculik,” tutup Genta sambil bergidik ngeri. Teman-temannya tertawa.


“Lo masih mending Ta, udah kenal dia dari kecil. Lah gue? Kenal cuma dari FB, eh tiba-tiba diajak main band. Berasa jadi target om-om pedofil deh gue,” kenang Arka. Lalu sebuah sepatu mengenai kepalanya. Membuat konsentrasi Arka sedikit terganggu dan mobil oleng sejenak sebelum bisa kembali ke jalur.


“Dilihat dari sisi mana pun, lo tuh sama sekali nggak imut, Ka,” ledek Fandi disambut tawa yang pecah di dalam mobil. Membuat suara melengking Axl Rose dari music player di dasbor mobil tak terdengar.


“Kampret lo.”


“Nah, lo sendiri gimana, Fan bisa kenal sama si Juna?” tanya Genta. Fandi tak langsung menjawabnya. Dia menghirup lalu menghela napas cukup panjang.


“Gara-gara dia, gue nggak jadi mati.” Kalimat itu sukses mengubah atmosfer di dalam mobil. Genta dan Vina menoleh ke arah Fandi yang berada di kursi paling belakang. Sementara Arka hanya memasang telinga. Mereka bertiga hanya mengenal Fandi tepat setelah dia diajak oleh Arjuna untuk mengisi posisi drummer yang kosong tanpa tahu seperti apa latar belakangnya. Itu pun karena Arjuna yang meminta mereka untuk tidak menanyakan masa lalu seseorang yang tidak ingin menceritakannya.


“Maksud lo, Fan?” selidik Vina. Fandi kembali menghela napas.


“Kalian pernah dengar insiden bullying di salah satu SMA ternama di kota kita?” Fandi melemparkan sebuah pertanyaan. Membuat Arka, Genta, dan Vina berpikir sejenak. Lalu dalam waktu yang hampir bersamaan mengucapkan kata “Ya.”


“Iya, Fan gue tahu. Beberapa tahun lalu, sempat ada insiden bullying ke seorang siswa yang menurut gue lumayan parah. Sampai korbannya gue dengar mutusin buat bunuh diri.” Vina menyampaikan jawabannya. Mendengarnya, Fandi tersenyum.


“Siswa malang itu … gue,” kata Fandi singkat. Genta, Vina, dan juga Arka tercekat. Mobil lagi-lagi hampir keluar dari jalan aspal.


“Somplak, nyetir yang benar,” bentak Genta kepada Arka.


“Sorry,” balas Arka sambil nyengir.


Fandi menyadari kekagetan teman-temannya itu. Sudah lama dia menyembunyikan masa lalu yang menyakitkan itu, tapi dia merasa sekarang adalah saat yang tepat untuk mengungkapkannya. Karena dia merasa orang-orang yang sedang duduk semobil dengannya saat ini adalah orang-orang yang dapat dia percaya.


“Jadi waktu itu …”


***


Fandi memasuki gerbang sekolah dengan raut wajah penuh kegelisahan. Semalaman dia tidak bisa tidur memikirkan seperti apa nasibnya hari ini. Ada ketakutan yang membayangi setiap langkah yang dia ambil. Semakin jauh dia masuk ke dalam sekolah, semakin berat tubuhnya dia rasakan. Semakin lama dia berjalan di koridor sekolah, semakin mencekam pula tekanan yang mencengkeramnya. Terlebih setelah dia memasuki kelas yang seharusnya bisa menyambutnya dengan baik layaknya seorang siswa SMA yang menyambut temannya. 

Tapi dia tidak mendapatkannya.


“Oy, si drummer busuk udah datang!” teriak salah seorang siswa laki-laki bertubuh besar dari tempat duduk yang berada di barisan paling depan. Bersamaan dengan itu, sorakan mulai terdengar.


Telinga Fandi terasa panas karena lagi-lagi harus menghabiskan harinya di sekolah dengan mendengar cemoohan itu. Tangan kirinya menggenggam erat tas punggung hitam yang ada di pelukannya. Sementara tangan kanannya memegang erat sepasang stik drum dengan warna yang sudah kusam.


Kepalanya yang dari tadi tertunduk terpaksa dia angkat ketika tiba-tiba ada tangan yang mengambil dengan seenaknya stik itu dari genggamannya. Anak laki-laki yang tadi meneriakinya. Saat ini sedang menggunakan stik drum kesayangannya untuk mengaduk-aduk tempat sampah setelah sebelumnya menggunakannya untuk  memukul-mukul meja dengan seenaknya.


“Benda ini nggak cocok dipakai buat mukul drum. Tapi lebih cocok buat ngaduk-aduk sampah. Hahahaha!” Tawa dan olok-olok yang di dengar Fandi hampir setiap harinya sama. Karenanya, dia dapat menahan dirinya.

Tapi hari ini berbeda.


Anak laki-laki bertubuh gempal itu berjalan mendekati Fandi. Lalu berbicara tepat di sebelah telinganya, “Apalagi pernah dipakai sama seorang pembunuh.”


Pembunuh. Kata terakhir yang diucapkan dengan penekanan itu sukses membuat dada Fandi mendidih. Pertahanan yang dia bangun selama berbulan-bulan akhirnya jebol. Tanpa berkata apa-apa lagi, sebuah bogem mentah berhasil mendarat di dagu pembully-nya. Membuat tubuh gempal itu tumbang hanya dengan satu pukulan. Dengan sigap, Fandi merebut stik drum itu dari tangan tubuh yang masih tergeletak kesakitan itu. Dia tidak menghiraukan teriakan histeris seisi kelasnya. Dia meraih ranselnya kemudian berlari keluar dari kelas.


***


“Tepat saat itu, hati gue benar-benar hancur. Entah kenapa gue nggak sanggup membalas ejekan itu. Mungkin karena ejekan itu benar. Setelah pergi dari kelas, satu-satunya yang gue pikirin cuma gimana caranya supaya gue bisa nggak perlu lagi dengar ejekan-ejekan itu lagi. Gue gelap mata. Dan satu-satunya solusi yang bisa gue dapat adalah … bunuh diri.” Fandi menarik napas dalam-dalam. Ada bulir-bulir air di sudut matanya. Genta, Vina, dan Arka masih diam. Mereka mempersilakan Fandi untuk bercerita, melepas semua beban yang ada di dalam dadanya.


“Hari di mana gue berencana mengakhiri hidup gue, gue ketemu sama tukang tidur satu ini,” kata Fandi sambil menunjuk muka Arjuna yang ilernya kian bertambah. “Ketika gue berencana buat lompat dari atap gedung tertinggi sekolah, suasana sedih gue dirusak sama Juna dengan suara gitarnya yang fals dan suara cempreng dia yang bikin telinga sakit.”


“Juna banget,” celetuk Genta. Diikuti tawa Arka dan Vina.


“Terus, Fan?” pinta Vina. Tiba-tiba Fandi tertawa, membuat pendengarnya kebingungan.


“Gue gagal bunuh diri, Vin. Yang ada, gue malah ngasih ceramah panjang lebar ke Juna soal musik dan lain sebagainya.” Fandi kembali tertawa. Lalu kembali melanjutkan. “Dan satu kalimat balasan dari dia setelah gue ceramah berhasil nampar gue sangat keras.”


Genta dan Vina menoleh ke arahnya, sementara mata Arka nampak melirik dari cermin dasbor. Meminta kelanjutan cerita itu. Fandi nampak menikmati raut muka penasaran ketiga pendengarnya tersebut. Dia pun tersenyum. “Juna bilang, ‘kalau lo masih sebegitu cintanya sama musik, kenapa lo pengen bunuh diri?’”


“Dan harusnya lo malu sama diri lo sendiri. Kenapa kalimat-kalimat dari orang luar bisa mengusik mimpi yang lo punya. Padahal cuma diri lo sendiri yang lebih tahu betapa hebatnya mimpi itu dari orang lain.” Tiba-tiba terdengar suara yang bukan dari milik keempat orang itu.


“Junaaa?!” pekik keempat orang itu mendapati si tukang tidur ternyata sudah bangun dan dengan wajah tak berdosa ikut nimbrung dalam perbincangan mereka.


***


Malam ini, The Sophomores, band yang digawangi oleh Vina, Arka, Genta, dan Fandi sukses menghibur pecinta musik yang menghadiri acara final Music Heroes sebagai bintang tamu. Lagu-lagu yang mereka bawakan berhasil menyihir para penonton untuk melompat dalam beat cepat dan melambaikan tangan kala terbawa dalam alunan ballad. Dan setelah menyanyikan 3 lagu, mereka turun. Setibanya di belakang panggung, mereka berempat sudah ditunggu oleh seseorang.


“Kalian luar biasaaa~” ucap Arjuna sambil mengacungkan kedua jempolnya. Genta, Arka, dan Fandi merangkul Arjuna. Hanya Vina yang nampak enggan bergabung dengan keempat pemuda itu. Wajar, karena dia satu-satunya perempuan di antara mereka.


“Juna,” panggil Vina. Yang dipanggil pun melepaskan diri dari teman-temannya. Mendekat ke tempat Vina berdiri.


“Kenapa, Vin?” tanya Arjuna sesampainya di hadapan Vina.


Vina tak langsung menjawab pertanyaan itu. Kepalanya masih tertunduk. Setelah menghela napas panjang, dia mengulurkan sesuatu kepada Arjuna. Sebuah map warna merah marun dengan sebuah logo universitas di sampulnya. Hal itu ternyata tak hanya menarik perhatian Arjuna, tetapi juga ketiga temannya.


“Apa ini?” tanya Arjuna ketika menerima map itu.


“Juna, gue tahu sebenarnya lo punya mimpi yang lebih besar dari gue dan teman-teman. Gue juga tahu selama ini lo berusaha dukung kita dengan kebohongan lo tentang kecintaan terhadap musik. Diam-diam gue selalu ngelihat lo sibuk di depan komputer setiap malam.” Kalimat Vina tertahan.


“Tanpa sepengetahuan lo, gue ngirim salah satu film yang lo bikin buat ujian masuk akademi perfilman itu. Maafin gue, Na. Tapi gue … gue pengen lo mulai berpikir buat menggapai mimpi lo sendiri. Sekarang giliran lo Na, setelah selama ini ngebantu kami untuk mewujudkan mimpi kami. Jadi--”


Vina tak butuh kalimat dan kata untuk mengetahui jawaban Arjuna. Karena sebuah pelukan erat dan hangat sudah cukup untuk menggambarkan jawaban Arjuna saat itu juga. Tak mau ketinggalan, Genta, Arka, dan Fandi pun ikut membaur. Berbagi kebahagiaan tentang bagaimana sebuah mimpi yang akhirnya dapat terwujud.


Setiap orang pasti punya mimpi. Namun, tak banyak yang memiliki cukup keberanian untuk berusaha mewujudkannya. Sebagian besar orang akan meletakkan mimpinya di sudut ingatan paling dalam lalu perlahan melupakannya. Tapi ada sebagian kecil yang tetap gigih mewujudkan mimpinya di tengah kesulitan dan cercaan. Melawan arus. Bukan berarti ingin mencari sensasi, tapi karena mereka tahu, mimpi terlalu berharga jika hanya dibiarkan berlalu.


Ada pula yang berpikir, mereka tak akan bisa hidup tanpa mimpi. Sementara ada beberapa yang berpikir bahwa sebuah mimpi mampu menyelamatkan hidup seseorang.


Dan mungkin nanti, kau akan menemukannya. Seseorang yang cukup tulus untuk membohongi diri dan mimpinya sendiri demi orang lain. Karena dia tahu betapa membahagiakannya dapat melihat sebuah mimpi yang terwujud, sekalipun itu bukan miliknya.

~ fin

Okay, mohon review-nya yaaa ^^ 
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Abis baca, jangan segan2 buat kasih komentarnya ya guys.. Supaya post selanjutnya bisa lebih bagus. Terimakasih... ^^,