Tampilkan postingan dengan label Family. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Family. Tampilkan semua postingan

Rindu yang Kusimpan Untukmu


https://45.media.tumblr.com/4a369230a50af62235571628ab23ebc3/tumblr_nclvp8RfUK1tfluxko2_500.gif

Rindu yang Kusimpan Untukmu

Hujan baru saja reda seiring langkah ringan milik seorang gadis yang membawa tubuh ramping itu melewati sebuah gerbang masuk yang terbuat dari kayu. Di balik gerbang setinggi 3 meter itu terhampar sebuah pekarangan dengan bangunan rumah megah di ujungnya. Payung putih yang masih basah sudah terlipat dan tergenggam erat di tangan kiri. Setelah berjalan beberapa meter dari gerbang, melewati taman dengan kolam di sebelah kiri dan barisan pepohonan di sebelah kanan, gadis yang masih memakai seragam sekolah itu berhenti tepat di depan beranda. Selepas berganti alas kaki dari sepasang sepatu hitam menjadi sandal dalam ruangan, dengan kaos kaki yang masih terpakai, dia berjalan menyusuri koridor yang mengarah ke bagian sebelah kiri rumah besar tersebut. Menuju ke sebuah ruangan berukuran 4x5 meter yang terletak di ujung koridor.
“Ah, hari ini sungguh melelahkan,” gumam gadis itu sambil merebahkan diri. Rambutnya yang panjang sudah terurai setelah tangannya dengan cekatan melepaskan ikat rambut yang dari tadi pagi mengubah rambut hitam berkilau itu menjadi gaya ekor kuda.
Setelah beberapa menit tak bergeser dari atas kasur, tangannya meraih sesuatu dari atas meja. Sebuah ponsel berwarna hitam yang langsung dia serang dengan hentakan kedua jempolnya. Sebuah pesan baru saja terkirim ke salah satu ID yang ada di daftar kontaknya.

To : Rka
Text : Apakah kau sudah sampai rumah?
Tak butuh waktu lama, ponsel itu bergetar. Sebuah pesan baru telah masuk.
From : Rka
Text : Ya, baru saja. Masih rebahan di atas tempat tidur. Bagaimana denganmu?
To : Rka
Text : Aku juga. Sedikit malas untuk beraktivitas. Hari ini aku benar-benar lelah.
From : Rka
Text : Dasar, hari ini kau terlalu bersemangat. Beristirahatlah. =]
To : Rka
Text : Ah, soalnya tadi benar-benar menyenangkan. Ya, terima kasih. ^_^

“Dasar,” ucap gadis itu lirih. Ada senyum ditambah rona merah di wajahnya.

Sesi obrolan singkat itu berakhir. Ponsel hitam itu tak lagi bergetar tanda tak ada lagi pesan masuk, sementara pemiliknya nampak mulai kehilangan kesadaran. Rasa kantuk mulai menyergap gadis itu dan perlahan menariknya ke alam mimpi.

Airin yang nampak begitu tenang dalam tidurnya tak menyadari kehadiran seseorang yang dari tadi memperhatikannya sejak memasuki pekarangan. Sosok yang tak lebih tinggi dari Airin itu berjalan mendekat ke tempat tidur Airin. Mengusap pucuk rambut Airin sambil tersenyum. Dengan lembut, sebuah kecupan menyentuh dahi Airin yang tak tertutup poni. Membuat Airin terbangun.

“Hah?” Airin mengucek kedua matanya. Perlahan, tangan kanannya bergerak mengusap dahi yang kini tertutup poni panjangnya yang menjulur turun. Ada sesuatu yang tiba-tiba mengganggu perasaannya. Dia tersenyum. “Mungkin hanya perasaanku saja.”

***
“Selamat siang,” sapa seseorang dari arah pintu. Seorang pemuda yang dari tadi duduk sendirian di dalam ruangan itu menoleh sembari menutup buku di hadapannya.
“Siang, Airin. Kau sendirian?”
“Hai, Raka. Andi mendapatkan tugas piket perpustakaan hari ini, jadi dia akan terlambat.” Airin mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan sambil duduk tepat di hadapan Raka yang perlahan mulai membuka kembali buku bersampul hijau di hadapannya.
“Kau sudah cukup beristirahat bukan?”
“Ah, iya. Praktek olahraga kemarin benar-benar melelahkan. Tapi menyenangkan.” Airin menunduk berusaha menyembunyikan rona merah di wajahnya.
Mata Raka melirik ke arah Airin yang tiba-tiba terlihat gelisah sambil sesekali mencuri pandang ke arahnya. Seolah mengerti jalan pikiran Airin, pemuda itu mengeluarkan sesuatu dari tas ransel yang bersandar di kaki kursinya. Sebuah kotak berwarna merah dengan plastik bening yang masih membungkusnya dengan rapi. Dengan cekatan, dia merobek plastik itu lalu membuka kotak tersebut. Memamerkan bagian bersekat yang masing-masing terisi oleh bentuk-bentuk menarik.
“Camilan. Kau mau?” Raka menggesernya sedikit ke hadapan Airin.
“Coklat!” pekik Airin.

Raka tersenyum melihat mata Airin yang berbinar ditambah senyum yang terlukis di wajahnya. Jika sudah seperti ini, dia bisa dengan tenang membaca karena Airin tidak akan merespon pembicaraan apapun ketika sudah berhadapan dengan coklat. Kecuali jika dia sendiri yang mengajak bicara. Tapi sepertinya, kali ini perkiraan Raka meleset. Senyum Airin yang tadi mengembang tiba-tiba surut berubah menjadi raut murung. Raka kembali menutup bukunya.

“Ada apa? Tumben sekali tidak bersemangat di hadapan sekotak coklat?” Raka dapat melihat kesedihan yang sedang Airin coba sembunyikan.
“Ah, tidak. Coklat ini enak sekali, seperti yang selalu kau bawa ke sini. Hanya saja ….” Kalimat Airin menggantung. Dia menghela napas lalu melanjutkan, “aku rindu ibuku.”

Suasana berubah hening. Terdengar helaan napas Raka selepas mendengar pernyataan Airin. Raka teringat, sebentar lagi adalah hari ulang tahun ibu Airin, sekaligus hari di mana 5 tahun yang lalu beliau, ibunda Airin, meninggal dalam sebuah kecelakaan lalu lintas. Jantung Raka serasa diperas ketika melihat mata Airin yang mulai sembab. Terlebih ketika dia ingat bagaimana perubahan sikap Airin yang cukup kontras selepas kehilangan ibunya. Raka harus meluangkan waktu sepulang sekolah menunggu Airin duduk diam di depan nisan ibunya tanpa berbuat apa pun lalu mengajaknya untuk pulang. Begitu seterusnya hingga keluarga besar Airin memutuskan untuk membuatnya tinggal di tempat kakeknya.

“Kau ingin mengunjungi makam beliau?” tanya Raka. Mata Airin melebar.
“Ya! Aku ingin ke sana! Tapi ….”
“Tenang saja, aku yang akan bicara kepada kakekmu,” ujar Raka menenangkan.
“Terima kasih, Raka,” kata Airin senang. Raka tersenyum.
“Apa coklatnya enak?” tanya Raka sambil mengambil sebuah coklat berbentuk hati. Airin yang sibuk mengunyah coklat di mulutnya hanya memberikan anggukan sebagai jawaban.

***
Sudah sejak pagi Raka dan Airin duduk di ruang tunggu stasiun kota. Sesuai dengan rencana, hari ini mereka akan pergi ke tempat ibu Airin dimakamkan. Sudah 3 tahun sejak Airin pindah dan dia belum pernah kembali untuk mengunjungi makam ibundanya. Meski sudah berkali-kali berusaha meyakinkan kakeknya yang kolot agar mengizinkannya pergi, berkali-kali pula kakeknya dengan tegas melarang Airin untuk pergi. Dan hari ini, berkat Raka, dia dapat pergi berkunjung.

Raka dan Airin berjalan bersisihan menuju ke sebuah kereta yang baru saja datang. Mereka kemudian masuk ke dalam gerbong yang nampak tidak terlalu sesak. Raka segera mencari tempat duduk yang kosong untuk mereka berdua. Perlahan, kereta tersebut mulai berjalan. Kaki-kaki kokohnya mulai berderap di atas lintasan baja dengan mantap.

Raka dan Airin yang duduk berhadapan lebih banyak menghabiskan waktu dengan memandang ke luar jendela. Ada banyak hal yang saat ini berkelebat di dalam kepala mereka masing-masing. Sesekali mereka mengobrol, tapi kemudian kembali dalam hening. Airin terlihat senang, tapi juga terlihat tak tenang. Sementara Raka yang sesekali melirik ke arah Airin juga memikirkan sesuatu yang mengganggunya sejak pagi tadi.

“Rin, kau mau?” Raka menyodorkan sebuah kotak bekal berisi bermacam-macam kue kering kepada Airin.
“Ah, ya. Terima kasih.” Tangan Airin segera mengambil sebuah kue lalu memakannya.
“Sebentar lagi sampai.”
“Iya.”

***
Setelah berganti kendaraan dengan naik sebuah bus kemudian berjalan beberapa ratus meter dari sebuah halte, Raka dan Airin tiba di depan sebuah komplek pemakaman umum. Sebuah gapura besi yang berdiri angkuh terasa menyambut kedua tamunya dengan tatapan dingin. Setelah memantapkan hati, Airin melangkah melewati gapura itu diikuti Raka yang segera menyesuaikan langkah dan berjalan di sebelahnya.

Langkah Raka dan Airin terhenti di depan sebuah nisan yang terbuat dari marmer putih. Sebuah nama dan tanggal terukir di atasnya. Dengan perlahan, Airin membungkuk lalu duduk di hadapan nisan tersebut. Diikuti Raka yang sudah duduk di sebelahnya, Airin memejamkan kedua mata lalu mulai memanjatkan doa. Kemudian menaburkan bunga yang sudah dia siapkan sebelumnya.

Setelah merasa cukup, Airin berdiri dan berniat berjalan pergi sebelum pergelangan tangannya terasa ditarik. Raka menahannya.

“Airin. Sudah 3 tahun sejak terakhir kali kau ke sini. Apakah kau tidak ingin berada di sini sedikit lebih lama?” tanya Raka sambil menatap punggung kecil Airin.
“Aku hanya tidak ingin lagi larut dalam kesedihan, Ka. Itu saja.”
“Kau yakin ingin begitu?” tanya Raka lagi. Dia sudah melepaskan tangan Airin dari genggamannya.
“Ya. Bukankah akan merepotkan jika kau harus menunggu dan merayuku agar mau pulang seperti dulu?” Lagi-lagi ada sesuatu yang terasa menekan dari dalam dada Raka. Terlebih ketika dia melihat air mata Airin yang sudah jatuh saat Airin menoleh ke arahnya.
“Jangan bohong! Hanya dengan sekali lihat pun aku bisa tahu kalau kau sangat ingin berada di sini lebih lama!” Raka tak dapat menahan dirinya untuk tidak meluapkan perasaannya. Membuat Airin tersentak kaget.
“Kenapa kau memarahiku? Apakah salah jika aku tidak ingin merepotkanmu? Aku sudah dewasa! Aku berhak melakukan apa yang ingin kulakukan!kata Airin tak mau kalah. Kali ini dia sepenuhnya berdiri menghadap Raka. Kesedihan, kemarahan, keraguan, kepedihan, semua tergerus menjadi satu di suara paraunya.

“Lalu, apakah salah jika aku mempedulikanmu? Hanya ini yang bisa kulakukan untukmu,” ucap Raka lirih. Dia tertunduk. Airin terdiam.
“Aku … hanya merasa … kesepian,” ucap Airin terbata-bata.
“Aku ada di sini, Airin. Apa kau juga ingin membuangku?” Mendengar pertanyaan Raka, Airin tercekat. Kali ini dia yang merasakan jantungnya ditekan kuat-kuat.
“Tidak! Aku hanya … aku ….” Airin mendekat satu langkah ke arah Raka. Suasana berubah hening.
“Bolehkah aku … memanggilmu seperti dulu?”
“Aku tidak keberatan.”

Seolah adegan lambat dalam sebuah film, tangan Airin menyentuh dada bidang Raka lalu membenamkan wajahnya di situ. Isak tangisnya perlahan terdengar jelas. Seiring bisikan lirih yang juga berubah menjadi suara penuh kepedihan.

“Aku … aku merindukan ibu, kak! Aku merindukan ibu. Kak Raka, aku ingin bertemu lagi dengan Ibu!” Suara penuh kerinduan yang putus asa itu memecah kesunyian.

Tanpa kata, Raka meraih tubuh mungil Airin lalu mendekapnya dengan erat. Tak ada yang bisa dia lakukan selain mencurahkan seluruh waktu yang dia punya untuk adik yang paling dia sayangi. Apalagi setelah seluruh keluarganya menyalahkan dirinya akibat kecelakaan yang menghilangkan nyawa ibu Airin, yang juga ibunya. Seluang apa pun waktu, dia akan habiskan untuk berada di dekat Airin.

“Maafkan kakak, Rin. Seharusnya kakak yang terbaring di sini, bukan ibu. Maafkan kakak,” ucap Raka sambil memeluk erat Airin.
“Kak, kau tidak salah. Ini sudah takdir yang tidak bisa dihindari. Terima kasih karena selama ini sudah dengan tulus menjagaku.” Airin menyeka air mata Raka.
“Terima kasih, Rin. Kau benar-benar tumbuh menjadi gadis yang baik,” ucap Raka sambil tersenyum. Pipi Airin memerah mendengar pujian Raka.

Dengan mata yang masih merah dan wajah yang masih basah dengan air mata, dua orang yang selama ini menyembunyikan kenyataan bahwa mereka adalah kakak beradik tersebut saling tersenyum satu sama lain. Tapi senyum di wajah salah satu dari mereka tiba-tiba lenyap.

“Maafkan Ibu yang tiba-tiba pergi meninggalkanmu, Raka. Terima kasih kau sudah menjaga Airin dengan seluruh waktumu. Kau menepati janji yang pernah kau buat, Nak. Kau benar-benar anak lelaki kebanggaan Ibu.”

Dari sudut matanya, tepat di belakang Airin, Raka tercekat tak percaya dengan apa yang dia lihat. Sosok yang sangat dia cintai dan rindukan lebih dari siapapun kini muncul di hadapannya. Ibu yang sudah pergi dari sisinya beserta kenangan yang selama ini dia buang jauh-jauh tiba-tiba menampakkan diri di depan mata kepalanya.

Raka kecil berlarian di dalam rumah sambil membawa pesawat mainannya. Tanpa dia sengaja, dia menabrak lego berbentuk rumah yang sedang disusun oleh seorang gadis kecil. Airin kecil yang melihat rumah yang tadi dia susun rusak menangis sejadi-jadinya. Hal itu mengundang ibu mereka segera berlari mendekat.
“Raka, kenapa Airin menangis? Apa yang sudah kau lakukan?” selidik Ibu kepada Raka. Meski nampak sedang memarahi putranya, tapi nada suara wanita berpakaian sederhana itu sangatlah lembut. Terdengar begitu bersahaja.
“Aku … aku. Aku merusak rumah yang dibuat Airin! Maafkan aku, Bu,” jawab Raka kecil sambil sesenggukan.
Dengan tatapan teduh, Ibu dengan lembut menarik kedua buah hatinya yang masih menangis ke dalam pelukannya lalu mengusap dengan penuh kasih sayang kepala mereka. “Raka, berjanjilah kepada Ibu jika nanti Ibu tidak bisa lagi menjaga kalian, kau harus menjaga Airin. Kau menyayangi Airin, bukan?”
“Tentu saja, Bu! Aku berjanji, aku akan menjaga Airin dengan seluruh kekuatanku!” kata Raka kecil sambil menepuk dadanya dengan kepalan tangan kecilnya. Hal itu mengundang tawa Ibu. Juga Airin yang nampak kagum dengan suara lantang dan mantap kakaknya, Raka.
“Kau adalah anak lelaki kebanggaan Ibu, Raka.”

Senyum menenangkan dari wajah yang sangat dia rindukan itu membuat Raka tak kuasa menahan air matanya. Dia menangis hingga jatuh bertumpu lutut. Beban yang selama ini menumpuk di dalam dadanya perlahan luruh bersama isak tangis dan air matanya yang jatuh berderai.

Airin yang terkejut menoleh ke arah Raka memandang. Di sana, meski tak terlalu ingat, Airin dapat mengenali wajah itu. Dia tersenyum. Sambil mengusap dahinya, Airin berkata, “Jadi, waktu itu Ibu yang mengecup dahiku?”

Anggukan kecil cukup memberikan Airin jawaban. Dia berbalik kemudian memeluk erat kakaknya yang masih menangis. “Terima kasih, kak. Sekarang, menangislah untuk dirimu sendiri. Lepaskanlah semua beban yang selama ini kau simpan sendiri.”

Bersamaan dengan Raka yang mulai menegakkan kepalanya, sosok wanita paruh baya yang tersenyum penuh kedamaian itu perlahan mulai memudar menjadi bayang. Dengan tangan saling menggenggam erat, Raka dan Airin melepas kepergian itu dengan air mata yang masih mengambang, tapi juga dengan senyum penuh keikhlasan.

Menanggung beban seorang diri untuk waktu yang lama bukanlah hal yang mudah, tapi demi seseorang yang berarti, hal tanpa terasa akan begitu saja terlewati. Sementara memendam kesedihan akibat ditinggal pergi seseorang yang dicintai akan membuat seseorang kehilangan dirinya sendiri. Hanya dengan keikhlasan, beban dan kesedihan yang terpendam akan menghilang. Jadi, sudahkah kau mengikhlaskan kehilangan yang kau dapatkan?

~ fin

Share:

Cerita di Akhir November | Sebuah Cerpen


Title : Cerita di Akhir November
Author : Nur Rochman | @NVRstepback
Genre : Family, Slice of Life


November sebentar lagi berakhir. Dendang suara merdu melengking milik Axl Rose masih mengalun dari pengeras suara kafe. Meski cukup keras terdengar, tapi tampaknya tak cukup keras karena suasana kafe yang memang sedang ramai oleh pengunjung. Lagu November Rain pun mulai terdengar mengganti lagu Don't You Cry yang sebelumnya dimainkan. Tiba-tiba seorang pria di depan Rama tertawa.
"Ada apa yah? Kok ketawa?" Tanya Rama heran melihat sikap ayahnya.
"Ini lagu bersejarah buat ayah, Ram." Jawab sang ayah sambil memejamkan matanya. Menikmati lagu itu.
"Bersejarah? Critain dong yah." Rama yang penasaran pun meminta ayahnya untuk bercerita.
"Hahaha. Kamu kalo penasaran balik lagi jadi anak-anak ya." Ayah Rama tergelak.
"Buruan yah." Rama merajuk.
"Iya iya. Jadi lagu itu adalah lagu pertama yang ayah nyanyiin pas pertama kali ketemu sama Ibu kamu." Terang ayah.
"He? Itu aja?" Tanya Rama.
"Iya. Tapi ceritanya gak cuma segitu." Kata ayah misterius.
"Terus?"
"Itu lagu pertama yang ayah nyanyiin pas ketemu sama Ibu kamu. Momennya itu lho... nyesss banget. Apalagi waktu itu pas hujan." Ujar ayah. Pandangannya menerawang seolah mencoba menggali ingatan lama.
"Tunggu bentar deh, yah. Bukannya November Rain itu lagunya tentang perpisahan?" Tanya Rama dengan kening mengkerut.
"Makanya dengerin cerita ayah." Rama pun diam dan mulai menyimak cerita nostalgia ayahnya.



++

Malam terasa dingin setelah hujan semenjak sore mengguyur. Di bawah pohon angsana yang ujungnya tertutup sinar lampu, seorang pria memainkan gitarnya dengan melodi sendu. Kejadian beberapa jam ketika hujan mengguyur membuat senar gitarnya mengeluarkan suara aneh. Pilu. Sama seperti hatinya yang juga pilu karena diguyur kata-kata penuh sembilu.
Rintik gerimis mulai terdengar. Satu-satu mulai mengenai permukaan yang ditemuinya. Dan satu-satu mulai mengenai tubuh dan gitar pria itu. Namun dia sama sekali tak beranjak dari tempatnya. Justru denting dawai gitarnya terdengar makin jelas diiringi ritmik gerimis tak beraturan. Perlahan, dia membuka mulutnya. Mulai bersuara.



When I look into your eyes
I can see a love restrained
But darlin' when I hold you
Don't you know I feel the same
'Cause nothin' lasts forever
And we both know hearts can change
And it's hard to hold a candle
In the cold November rain
We've been through this such a long long time
Just tryin' to kill the pain
But lovers always come and lovers always go
An no one's really sure who's lettin' go today
Walking away
If we could take the time
to lay it on the line
I could rest my head
Just knowin' that you were mine
All mine
So if you want to love me
then darlin' don't refrain
Or I'll just end up walkin'
In the cold November rain
Do you need some time...on your own
Do you need some time...all alone
Everybody needs some time... on their own
Don't you know you need some time...all alone
I know it's hard to keep an open heart
When even friends seem out to harm you
But if you could heal a broken heart
Wouldn't time be out to charm you
Sometimes I need some time...on my own
Sometimes I need some time...



Lagunya terhenti ketika dia mendapati rintik gerimis mulai berubah menjadi hujan di hadapannya, tapi tak lagi mengenai dirinya. Dan ketika menengadah, dia mendapati payung berwarna hijau bermotif bunga sedang menaungi dirinya.
"Lagunya bagus. Sayang sekali isinya begitu sedih." Ujar seseorang yang tiba-tiba duduk di sebelah pria itu.
"Apa kau menyukai lagu tadi?" Ujar pria itu.
"Ya, aku sering mendengarkannya. Tapi menerjemahkannya dengan cara yang berbeda." Mendengar pernyataan itu, si pria pun mulai mengalihkan perhatiannya.
"Maksudmu?" Tanya pria itu masih belum mengerti.
"Aku menerjemahkan lagu itu sebagai cara menanyakan keseriusan untuk terus bersama. Bukan menanyakan keinginan untuk berpisah. Bukankah itu lebih baik?" Terang gadis itu sambil tersenyum.
"Dunia ini berjalan sesuai dengan bagaimana cara kita melihatnya." Lanjut gadis itu.
"Oh. Ya, kupikir begitu." Ujar pria itu.
"Aku Mawar." Gadis mengulurkan tangannya.
"Ah. Aku Raya." Pria bernama Raya itu pun menyambut uluran tangan Mawar.
Di bawah payung kuning itu, Raya dan Mawar melanjutkan perbincangan mereka. Kadang diselingi dengan suara gitar Raya dan suara Mawar yang bersahutan dengan suara Raya. Dan perlahan, hujan seperti terlupakan oleh mereka.

++



"Gitu, Ram. Gimana?" Ayah bertanya kepada Rama yang nampak menikmati cerita itu.
"Lumayan sih, yah." Ujar Rama singkat. Ayahnya nampak sedikit kecewa mendengar reaksi singkat dari Rama.
"Dasar anak jaman sekarang. Keseringan cinta-cintaan dari kecil jadi gak ngerti apa dan bagaimana nikmatnya momen romantis." Ujar ayah sambil menepuk dahinya.
"Dih, ayah udah tua pake acara tepuk jidat segala. Hahaha." Rama tergelak melihat kelakuan ayahnya.
Mereka berhenti berbincang sejenak untuk meminum cappuccino hangat yang sudah tersaji di hadapan mereka. Hujan yang beberapa jam lalu turun mulai reda. Nampak suasana kafe mulai sedikit lengang karena beberapa pengunjung yang memang menunggu hujan reda mulai keluar dari kafe. Hanya beberapa orang saja yang masih betah duduk di dalam kafe. Itu pun dengan jarak yang cukup jauh satu sama lain.
"Yah. Menurut ayah, Rissa orangnya gimana?" Rama mulai membuka topik baru.
"Rissa? Pacar kamu yang mana lagi, Ram? Kamu keseringan bawa perempuan ke rumah sih. Ingatan Ayah kan udah gak kayak dulu." Tanya Ayah sambil berusaha mengingat sesuatu. Rama mendengus mendengar pertanyaan ayahnya.
"Yang dulu makan malam sama kita, yah." Kata Rama dengan perlahan, berharap agar ayahnya ingat.
"Oh. Gadis yang rambutnya diikat kuncir kuda itu?" Tanya ayah mengkonfirmasi. Mata Rama berbinar.
"Nah! Iya, yah. Tuh Ayah masih inget. Gimana yah?" Rama bertanya lagi.
"Orangnya cantik. Orangnya pinter, juga baik dan sabar. Tiap ngobrol sama Ayah selalu bisa milih dan milah topik yang pas, dan ngobrolnya pun nyambung. Perhatian juga sama Ayah. Mirip ibu kamu waktu masih muda. Kamu sendiri ngrasa cocok enggak sama dia?" Ayah balik bertanya.
"Kalo aku sih emang udah ngrasa cocok sama dia yah. Udah kenal dan deket lumayan lama juga." Ujar Rama.
"Nak, kamu masih inget kan apa pesan ayah tentang jodoh?" Tanya ayah.
"Orang baik dijodohkan Tuhan dengan orang yang baik pula, begitu pun sebaliknya. Karena jodoh adalah cerminan dari diri kita." Ujar Rama sambil menirukan suara ayahnya. Sang ayah pun tertawa mendengar suara Rama yang justru terdengar lucu.
"Dan menurut ayah, kamu sekarang udah jadi laki-laki yang baik dan bertanggung jawab. Kalo Ibumu masih ada, pasti dia berpikir hal yang sama kayak ayah." Terang ayah bijak. Rama pun tersenyum penuh arti mendengar perkataan ayahnya.
"Hmmm... gara-gara kamu, ayah jadi inget gimana susahnya ayah waktu mau nglamar ibu kamu dulu." Pandangan ayah kembali menerawang jauh. Mengurai simpul-simpul ingatannya yang sudah termakan oleh usia.
"He? Emang kenapa yah?" Tanya Rama penasaran.
"Pas ayah udah punya pekerjaan yang mapan dan udah siap buat nglamar Ibu kamu, ada masalah yang datang. Tepatnya cuma kesalahpahaman. Tapi bisa bikin hubungan ayah dengan ibumu hampir aja rusak.' Jelas ayah.



++

"Mawar. Aku ingin membicarakan sesuatu." Raya terengah-engah karena harus berlari menaiki tangga mengejar Mawar.
"Tidak ada yang perlu kamu jelaskan, mas. Aku sudah lihat dengan mata kepalaku sendiri apa yang terjadi tadi di depan kantormu." Ada bulir air mata yang jatuh dari pelupuk mata Mawar.
"Tapi Mawar. Apa yang kamu lihat itu berbeda dengan apa yang kamu pikirkan. Aku dengan dia tidak ada apa-apa. Ini cuma salah paham. Tolong perc..."
"Sudah mas, aku ingin sendiri dulu. Permisi." Mawar berbalik dan melangkah pergi. Raya hanya bisa melihat sosoknya menghilang di belokan di ujung lorong kampus.
Raya terdiam tak bergerak. Tangannya yang dari tadi menggenggam kotak kecil berbalut warna merah tetap diam tersembunyi di balik punggungnya. Kejutan yang sudah dia siapkan gagal terwujud. Dia pun mulai berbalik dan berjalan menuruni tangga dengan langkah lemah. Ketika sampai di ujung bawah tangga, sudah ada seseorang yang menunggunya.
"Jadi dia adalah perempuan beruntung yang kamu pilih untuk mendampingimu ya, mas?" Tanya sosok wanita berambut pendek itu.
"Ya. Aku berencana untuk melamarnya hari ini. Sepertinya aku harus melakukan sesuatu." Ujar Raya.
"Mas. Memang benar ada beberapa hal yang hanya bisa dimengerti lewat tindakan. Tapi ada beberapa hal yang hanya bisa dimengerti dengan kata-kata." Kata wanita itu bijak. Raya terdiam mendengar apa yang dikatakan oleh wanita itu.
"Di mana cincinmu tadi? Biar aku yang mengurusnya." Wanita itu mengulurkan tangannya sebagai isyarat meminta.
"Tapi..." Raya sedikit ragu dengan apa yang akan dilakukan oleh wanita yang ada di hadapannya.
"Percayalah. Yang paling mengerti perasaan seorang wanita adalah seorang wanita." Dengan sedikit ragu, Raya pun mengulurkan tangannya yang dari tadi bersembunyi menggenggam kotak merah ke arah tangan wanita di hadapannya.
"Sekarang pulanglah dan tunggu di rumah. Siapkan kejutan kecil untuk dia." Wanita itu perlahan berjalan menaiki tangga.

++



"Wanita itu siapa yah? Jangan-jangan... wah, ternyata ayah nakal ya." Rama menyandarkan punggungnya ke kursi.
"Heh, dengerin dulu ceritanya sampe selesai." Ayah pun menyruput cappuccino yang hampir dingin kemudian meneruskan ceritanya.



++

Raya masih gelisah dengan apa yang beberapa saat lalu dialaminya. Kaki kanannya masih menghentak-hentak cepat. Sementara kedua tangannya menutupi mulutnya yang tak henti mengucapkan berbagai harapan. Dan tiba-tiba sudut matanya menangkap sebentuk gitar yang dengan penuh debu bersandar di samping lemari. Tanpa pikir panjang, Raya mengambil gitar itu dan mulai memetik dawai demi dawainya.


I know it's hard to keep an open heart
When even friends seem out to harm you
But if you could heal a broken heart
Wouldn't time be out to charm you
Sometimes I need some time...on my own
Sometimes I need some...


Lagunya terhenti. Atau lebih tepatnya Raya tak bisa melanjutkannya. Tangannya melepaskan genggaman dari gitar itu lalu menyandarkannya di samping kursi tempat dia duduk. Tiba-tiba, terdengar suara ketukan pintu. Raya baru saja bangkit berdiri ketika pintu terbuka dan dari baliknya muncul seseorang yang dari tadi membuatnya gelisah. Mawar.
"Mas..." suara Mawar terdengar lirih. Kepalanya tertunduk.
Raya mendekatinya lalu meraih tangan Mawar. Dia terkejut melihat kotak merah yang ada di genggaman Mawar. Kotak merah yang belum sempat tersampaikan karena kendala keadaan.
"Ini..." Raya belum sempat menyelesaikan kalimatnya karena Mawar sudah keburu memeluknya. Erat.
"Maaf aku sudah salah paham. Aku tidak mau mendengarkan penjelasanmu terlebih dahulu." Kata Mawar sambil terisak. Raya pun tersenyum. Tangannya meraih punggung Mawar dan mengusap rambutnya.
"Jadi..." Raya melepaskan pelukan Mawar lalu mengambil kotak merah itu dari tangan Mawar. Raya lalu membuka kotak itu.
"Maukah kau menikah denganku?" Raya berlutut dengan satu lutut sebagai sandaran.
Sekalipun sudah tahu apa yang akan terjadi, Mawar tetap terkejut. Kebahagiaan memenuhi dirinya. Air mata sesalnya berubah menjadi air mata bahagia. Tanpa ragu, dia mengangguk lalu kembali memeluk Raya. Lebih erat.
Dari balik pintu, wanita yang dari tadi memperhatikan adegan emosional itu pun tersenyum. Happy ending seperti yang diharapkan.
"Intan, ayo kita pergi. Bukankah kita harus memberitahu ayah dan ibumu tentang kabar bahagia ini?" Ujar laki-laki di sebelahnya.
"Iya mas, akhirnya kakakku akan menikah." Ujar Intan bahagia.

++



"Gitu..." Ayah mengakhiri ceritanya.
"Ayah ternyata so sweet banget ya." Ujar Rama sambil tertawa kecil. Tapi di dalam hatinya, dia merasa bangga.
"Maka dari itu, kalo kamu memang udah ngrasa cocok sama Rissa, lebih baik segera diresmikan. Ayah percaya kalian pasti akan jadi pasangan yang serasi. Dan bisa saling menjaga sampai tua." Ayah tersenyum.
Rama tak membalas kalimat ayahnya dengan kata-kata, tapi hanya dengan sesungging senyum bahagia. Dia senang karena ayahnya sudah memberikan restu kepada hubungannya dengan Rissa. Dan dia pun semakin mantap untuk menikahi Rissa.


***


Lagu November Rain kembali terdengar memenuhi ruangan kafe yang cukup penuh. Hujan di luar yang kembali deras kembali menahan beberapa orang untuk beranjak dari tempat duduknya. Termasuk seseorang yang sedang duduk termenung di salah satu sudut.
"Sayang." Suara lembut diikuti belaian di pundaknya membuat Rama kaget.
"Ah, Rissa sayang. Maaf aku melamun. Aku sedang mengingat-ingat obrolan terakhirku dengan ayah di sini." Kata Rama sambil tersenyum.
"Hari ini 1 tahun meninggalnya ayah kam? Ayo kita berziarah ke makam beliau." Kata Rissa sambil meletakkan tangannya ke pundak Rama.
"Ya." Jawab Rama singkat.
Berjalan beriringan, Rama dan Rissa terlihat serasi. Masing-masing di jari manis kanan mereka, melingkar cincin yang serupa. Outro lagu November Rain mengantar mereka keluar dari kafe itu. Tempat yang bagi Rama tak hanya bermakna, tapi juga berharga. Tempat dia berbagi bersama ayahnya, juga tempat di mana dia menyampaikan perasaan pada Rissa. Juga 1 lagu yang akan selalu dia nanti untuk dimainkan. Lagu favoritnya. Lagu kenangan milik dan tentang ayahnya, November Rain. Dan penghujung November pun terlewati dengan berbagai cerita menuju Desember baru yang menanti untuk ditulis.


###
Share:

Cerita Tentang Kita | CHAPTER - 10, 'Sayonara..'


Title : Cerita Tentang Kita
Author : Nur Rochman | @NVRstepback
Genre : Life, Romantis, Family

Kepergian Kenzo, dan ikatan yang disebut keluarga dan cinta.. Sedih sebenernya kalo harus nyampe sini aja..


Final CHAPTER, 'Sayonara..'

“Papa?” tanya Alea. Kenzo mengangguk. Dengan perlahan, dibukanya kotak itu. Isinya sebuah foto yang nampaknya telah disimpan cukup lama karena warnanya nampak sedikit memudar. Di foto itu terlihat sosok Alea kecil yang masih TK, sedang digendong oleh Papa. Tiba-tiba Alea memeluk Kenzo yang berdiri di depannya. Kenzo dapat mendengar suara lirih Alea yang sedang menangis.
“Ada apa Al?” tanya Kenzo lembut sambil melepas pelukan Alea.
“Alea kangen sama Papa kak.” Jawab Alea lirih di sela-sela isak tangisnya.
“Papa lagi sakit Al. Makanya Papa gak bisa dateng buat Alea.” Kata Kenzo. Alea berusaha mengusap air matanya.
“Sakit apa kak?” tanya Alea.
“Demam biasa aja kok sayang. Mama yang cerita. Eng..” Kenzo ragu melanjutkan kata-katanya.
“Ada apa kak?” tanya Alea.
“Kakak harus ke Jepang buat bantuin Papa di sana Al.” kata Kenzo dengan nada berat. Alea tak berkata apa-apa. Dia menunduk berusaha menyembunyikan air matanya.
“Kenapa kak? Kenapa kakak ninggalin Alea? Kalo Kakak sama Mama ke Jepang, Alea di sini sama siapa?” tanya Alea.
“Alea sayang. Yang ke sana cuma kakak. Mama bakal di sini nemenin Alea.” Jawab Kenzo. Mendengar jawaban Kenzo, Alea pun dapat menerima meskipun sedikit berat.
“Kak Kenzo mau pergi?” tanya Emily yang tiba-tiba muncul dari belakang Kenzo.
“Eh. Eng. I..iya Emily. Papaku butuh aku di sana.” Jawab Kenzo sedikit gugup.
Suasana hening. Alea menarik tangan Kenzo dan Emily, kemudian menyatukannya. Kenzo dan Emily pun kaget dengan apa yang dilakukan Alea.
“Kakak, sebelum kak Kenzo pergi, kakak harus jujur sama perasaan kakak. Perasaan kakak ke Emily. Begitu pula sebaliknya.” Kata Alea. Hal ini membuat Kenzo dan juga Emily terhenyak. Tiba-tiba muncul Evan diikuti Tara, dan Rara. Dan orang yang paling shock melihat pemandangan ini adalah, Rara. Akhirnya, Kenzo pun menarik nafas panjang. Kemudian mulai berbicara.
“Mily, apa yang bikin aku gak berani ngungkapin perasaanku adalah sebuah kejadian di masa lalu yang membuatku kehilangan keinginan untuk mencintai. Rasa sakit karena sesuatu yang orang sebut ‘rasa cinta’.” Kata Kenzo mengawali. Hal ini membuat Evan dan Tara kaget. Mereka berdua pun saling pandang. Masa lalu?
“Kenzo..” kata Evan. Kenzo menoleh ke arah Evan kemudian tersenyum.
“Ingatanku udah pulih Van. Aku udah inget semuanya dengan jelas.” Kata Kenzo.
“Tapi.. Sejak kapan?” tanya Evan.
“Setelah keluar dari rumah sakit. Ingatanku berangsur pulih seperti sedia kala. Lukisan itu, hujan deras. Dan semua tentang Rara. Aku inget semuanya. Gakpapa. Anggap semua itu sebagai masa lalu dan pelajaran buat kita.” Jawab Kenzo panjang lebar. Evan dan Tara pun tersenyum mengetahui kebesaran hati Kenzo. Rara yang tak mampu menahan perasaannya pun menangis dan kemudian memilih pergi.
“Mily, aku gak ingin kamu terbutakan oleh perasaan ini. Jujur, aku menemukan lagi rasa cinta dalam diriku setelah ketemu kamu. Tapi aku gak ingin kasih kamu janji-janji yang tinggi sedangkan aku belum mampu wujudkan.” Kata Kenzo ke Emily.
“Kak, aku akan nunggu kakak kembali ke sini lagi. Aku akan jaga perasaanku ke kakak.” Kata Emily. Kenzo dan Emiy pun saling berpandangan dan tersenyum satu sama lain. Ciuman hangat mendarat di kening Emily. Semua yang ada di situ pun tertegun melihatnya, Emily pun sampai tak berani bergerak.
“Ehem. Kenzo udah nih Van. Sekarang giliran loe.” Kata Tara sambil menyenggol Evan yang dari tadi bengong.
“Apa-apaan sih loe kunyuk.” Kata Evan. Kenzo, Tara, dan Emily pun tersenyum melihat ekspresi Evan.
“Van, tolong jagain Alea.” Kata Kenzo. Evan menoleh ke arah Kenzo. Kenzo pun tersenyum dan mengangguk. Tapi Evan masih tampak malu-malu untuk mendekati Alea yang berdiri di samping Emily.
“Nunggu apaan lagi sih loe Van? Udah peluk aja gak usah malu-malu. Entar gue embat duluan lho. Haha.” Kata Tara kemudian berlari menjauh.
“Kunyuuuk!! Ke sini loe!!” teriak Evan berlari mengejar Tara. Hal itu pun membuat Kenzo, Emily, dan Alea tertawa terbahak.
***
Mentari hari ini tampak cerah bersinar. Awan tipis menggantung di langit dengan anggun. Entah kenapa, jalanan tampak begitu lengang sehingga mobil Mama dapat berjalan dengan lancar hingga bandara. Hari ini adalah hari di mana Kenzo akan berangkat ke Jepang. Mama, Alea, Emily, dan Evan mengantar Kenzo hingga ke bandara. Suasana tampak sunyi. Hanya alunan music mp3 dari player yang memenuhi seisi mobil. Tak ada satupun suara yang keluar dari mulut mereka. Hingga tiba di bandara.
“Ma, Kenzo berangkat dulu.” Kata Kenzo berpamitan kepada Mama, kemudian mencium tangan beliau dan memeluknya.
“Emily.” Panggil Kenzo ke Emily yang hanya tertunduk. Dengan gugup, Emily menengadahkan kepalanya.
“Iya kak Kenzo.” Jawab Emily. Kenzo langsung memeluknya. Emily pun memeluk tubuh Kenzo dan tersenyum. Ada bulir air mata yang tertahan di ujung matanya.
“Van. Tolong janji ke gue, loe bakal jagain Alea sampai gue balik ke sini lagi.” Kata Kenzo ke Evan sambil memegang kedua pundak Evan. Evan pun mengangguk dengan mantap.
“Kenzo, loe bisa pegang janji gue.” Kata Evan kemudian menjabat tangan Kenzo. Kenzo pun tersenyum. Dia kemudian berhadapan dengan Alea.
“Alea.” Kata Kenzo sambil membungkukkan badannya. Dia ingin melihat wajah adik yang sangat dia sayangi itu sebelum berangkat. Tapi Alea memalingkan wajahnya. Dengan segera, Kenzo membalik badan Alea. Tampak air mata Alea yang mengalir begitu deras. Tanpa terasa, air mata Kenzo pun ikut mengalir.
“Kakak!” Teriak Alea sambil memeluk Kenzo hingga Kenzo hampir saja terjatuh.
“Kakak gak akan lama Al.” kata Kenzo berusaha membesarkan hati Alea. Pelukan Alea makin erat.
“Janji?” tanya Alea.
“Janji.” Jawab Kenzo. Alea pun melepaskan pelukannya. Tiba-tiba Kenzo menyerahkan sesuatu kepada Alea. Sebuah surat. Saat Alea akan membukanya, Kenzo melarang.
“Kenapa kak?” tanya Alea heran.
“Buka kalo Alea udah gak bisa nahan kangen Alea ke kakak ya.” Jawab Kenzo. Alea pun mengangguk pelan. Dengan langkah berat, Kenzo mulai berjalan pergi.
Lambaian tangan terakhir Kenzo, menandai kepergiannya. Mama dan Evan tersenyum. Alea dan Emily berpelukan, berusaha saling menguatkan hati melihat orang yang begitu berharga bagi mereka akan pergi untuk waktu yang lama. Alea menggenggam erat surat pemberian Kenzo dan berjanji akan menyimpannya.
Kini Alea harus bisa berjalan tanpa Kenzo. Meskipun ada Evan dan Emily yang selalu ada untuknya, namun sosok Kenzo yang begitu hangat dan sangat berarti di hidupnya tak akan pernah dia lupakan. Seorang kakak yang selalu menjadi sinar fajar yang begitu hangat di kala dia terjebak dingin malam. Seorang kakak yang seperti sapu tangan, selalu menyeka keringatnya ketika lelah dan menghapus air matanya ketika sedih. Seorang kakak yang selalu dia rindukan, selalu dia nantikan kepulangannya, untuk dapat berkumpul lagi, menemaninya, menuntunnya, mengajarinya... apa arti hidup ini.


~ selesai ? ~

Selesaikah? Tapi kayaknya gak asik deh kalo perjuangannya Kenzo gak dicritain.. Tapi.. Pembacanya sendiri gimana nih.. Udah bosen belum yak?? Kasih komentarnya dong... ^^.
Share: