Tampilkan postingan dengan label Romance. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Romance. Tampilkan semua postingan

Dilema | AndraxNindi Story

"Dilema"

Jalanan pagi ini masih nampak lengang. Sepertinya kebanyakan orang masih terlelap dalam tidur setelah menikmati long weekend kemarin. Hanya sesekali ada satu dua mobil atau sepeda motor yang lewat dengan kecepatan cukup tinggi. Sepertinya, bagi beberapa orang, seolah menjadi berkah tersendiri ketika jalan yang termasuk salah satu jalur utama kota ini berubah sepi. Tapi tidak bagi Andra yang tak pernah menggunakan kendaraan, hanya berjalan kaki ke manapun dia pergi.

Langkah kakinya secara perlahan berubah sedikit lebih cepat. Matanya yang biasa menyorotkan rasa malas yang penuh kegelapan saat ini sedang memancarkan sesuatu yang tak biasa. Dia sedikit gelisah. Apalagi ini menyangkut seorang Nindi. Ditambah karena Nindi salah paham. Dan Andra paham betul bagaimana seorang Nindi jika sedang salah paham.

Pernah suatu waktu Nindi tanpa sengaja melihatnya keluar dari rumah salah seorang teman mahasiswa Nindi. Kebetulan, Nindi dan orang itu sedang tidak akur. Nindi yang sudah kepalang kesal menuduhnya ini-itu. Dan karena hal itu, Nindi sama sekali tak mau bicara dengannya selama satu minggu. Bukan ketika Nindi tidak mau bicara yang membuat Andra gelisah, tapi suasana yang terasa ketika mereka berjalan berdua tetapi tanpa ada suara. Dia benar-benar tidak menyukainya. Dan kali ini dia harus segera berbuat sesuatu.

Setelah berjalan sekitar 15 menit, Andra menghentikan langkahnya. Bukan karena dia sudah sampai di rumah Nindi, tapi karena ekor matanya menangkap sosok Nindi yang sedang berada di taman. Andra membuang napas, lalu kembali menggerakkan kakinya untuk ke arah Nindi.

"Nih, Nin." Seorang pemuda seumuran Nindi tiba-tiba datang sambil mengulurkan tangannya yang menggenggam sebotol minuman dingin.
"Thank, Man," ucap Nindi menerimanya sambil tersenyum. Andra mengurungkan niatnya untuk mendekat.

Dia tahu siapa pemuda itu. Arman, ketua BEM di kampus Nindi. Meskipun tidak satu kampus dan juga tak terlalu kenal, Andra cukup tahu seperti apa sepak terjang Arman karena dia termasuk salah satu sosok yang cukup terkenal. Dan tak jarang, Nindi sesekali bercerita tentangnya. Tak ada sama sekali tanda ketika bercerita kalau Nindi mengenal Arman cukup dekat. Tapi saat ini Andra mulai khawatir. Dari balik sebuah pohon, Andra menyimak apa yang sedang dibicarakan oleh mereka berdua.

"Kamu tadi darimana, Nin?" tanya Arman.
"Dari pujasera," jawab Nindi singkat tanpa menoleh.
"Ngapain? Habis beli apa?" tanya Arman lagi. Pertanyaan Arman membuat Nindi teringat sesuatu. Dia lupa kalau sedang memesan makanan dan tiba-tiba saja lari.
"Ah, aduh. Aku lupa makananku." Nindi menghela napas.
"Jadi kamu belum makan? Gimana kalau makan bareng aku? Hitung-hitung kencan, hehehe," ajak Arman. Andra tersekat.
"Kencan?" tanya Nindi. Dia masih belum mengerti arah pembicaraan Arman.
"Ups." Arman terdiam sejenak, lalu tiba-tiba berdiri di depan Nindi. Dia menarik napas dalam-dalam lalu membuangnya.
"Nin, aku udah lama suka sama kamu. Mau nggak kamu jadi pacarku?" Kalimat itu mengalir mulus tanpa ada kegugupan sedikit pun. Nindi, yang sedang dalam keadaan tidak baik, justru merasa gugup dan aneh.

Jadi selama ini Arman, salah satu mahasiswa populer di kampus, jatuh cinta kepadanya? Sungguh sesuatu yang tidak disangk-sangka. Sama seperti Andra yang saat ini tak bisa bergerak dari tempatnya. Dadanya tiba-tiba terasa panas. Ada sesuatu yang terasa mengancamnya. Mengiris tipis-tipis jantungnya.

Belum sempat Nindi menyampaikan jawaban, tiba-tiba terdengar suara ranting patah dari arah belakang. Nindi dan Arman menoleh. Ekspresi terkejut di wajah Nindi tak bisa disembunyikan. Matanya tidak menatap ke sebuah ranting kering yang seolah sengaja berada di bawah sepatu Andra, tetapi ke arah Andra yang juga memasang ekspresi terkejut.

"Ndra ak-- Andra!" Andra sudah berlari menjauh sebelum suara Nindi dapat menjangkaunya. Dia berusaha bangkit dan ingin mengejarnya, tetapi lengannya ditahan oleh Arman.
"Nindi. Dia siapa? Pacar kamu?" tanya Arman.
"Maaf, Man. Aku harus ngejar dia." Nindi segera berlari meninggalkan Arman yang hanya bisa diam menyusun satu demi satu rangkaian kejadian yang berlangsung baru saja.

Sepertinya Nindi masih tidak bisa mengalahkan Andra untuk urusan berlari. Dia sudah hampir kehabisan napas dan memutuskan untuk mengistirahatkan tubuhnya ke sebuah bangku. Tanpa sepengetahuannya, seorang wanita mendekat. Dengan ramah mengulurkan tangannya.

"Hai. Benar kamu yang namanya Nindi?" Suara itu sontak mengagetkan Nindi.
"Eh, i-iya. Benar." Nindi mencoba menerka siapa wanita yang ada di hadapannya saat ini, tapi tidak mendapatkan petunjuk apapun.
"Kenalin, aku Nayla. Sepupu Andra," ucap Nayla memperkenalkan diri.
"Nindi," balas Nindi singkat.

Perkenalan singkat itu awalnya hanya membawa aura canggung karena masing-masing dari mereka lebih memilih bertanya tentang hal-hal yang tergolong 'aman' untuk ditanyakan. Tapi berkat kelihaian Nayla, suasana itu berangsur cair hingga mulai terdengar canda dan tawa di sela-sela pembicaraan mereka. Terlebih setelah Nayla menjelaskan kalau apa yang Nindi lihat di warung beberapa waktu yang lalu adalah dirinya.

"Ah, jadi aku yang salah sangka. Duh, maaf ya Nay."
"Nin, aku mau minta tolong sama kamu," pinta Nayla tiba-tiba.
"Minta tolong apa, Nay?" Nindi mengernyitkan dahinya yang masih sedikit berkeringat.
"Tolong bujuk Andra supaya mau nerima tawaran kerja di Inggris." Nindi tidak bisa langsung merespon kalimat itu. Kepalanya tiba-tiba berusaha mengeja ulang kalimat tersebut dari awal. Dan di beberapa kata, ada sesuatu yang seperti menghantamnya. Andra, kerja di Inggris.
"Maksud kamu apa, Nay? Andra ke Inggris?"
"Iya, Nin. Papaku, om-nya Andra punya sahabat di sana yang butuh banget tenaga IT. Dan papaku langsung keinget sama Andra. Aku datang ke sini buat ngebujuk Andra, tapi dia bersikukuh nolak tawaran itu." Nayla menjelaskan panjang lebar.
"Lalu, kenapa kamu minta tolong ke aku, Nay?" tanya Nindi lagi. Nayla tak langsung menjawab. Dia seolah berusaha mencari kata-kata yang tepat.
"Alasan Andra menolak tawaran itu, dia bilang kalau di sini, dia punya seseorang yang sangat dia cintai. Dan nggak mungkin dia tinggal pergi, Nin. Dan setelah melihat kalian tadi, aku jadi tahu kalau seseorang yang dimaksud Andra itu kamu."

Dada Nindi terasa sesak. Dia sudah tahu kalau Andra memiliki perasaan kepadanya. Tapi kenyataan kalau dia belum benar-benar jujur pada perasaannya sendiri di saat Andra akan pergi sangat memukulnya. Terlebih kali ini, dia harus bisa meyakinkan Andra agar mau pergi. Apakah dia mampu?

Hampir setiap hari dia selalu bersama Andra. Dan sebentar lagi, akan ada waktu ketika kebersamaan itu berlalu. Nindi sepenuhnya sadar, kalau dia bisa saja dengan egois menolak permintaan Nayla agar Andra tidak pergi. Agar dia bisa selalu berada di sampingnya. Tapi di sudut kecil di dalam dirinya, dia sangat menginginkan yang terbaik bagi Andra. Dan Inggris sepertinya menjanjikan hal itu. Dilema dalam pilihan yang tidak pernah dia alami sebelumnya.

"Oke, Nay. Aku akan bujuk Andra," ujar Nindi sambil menahan air mata yang sudah menggantung di ujung matanya. 

~ to be continued
Share:

Seseorang | AndraxNindi Story

"Seseorang"

Sabtu pagi ini, langit terlihat cerah. Tak ada satu pun awan kelabu yang beberapa hari kemarin bertengger menghalangi sinar matahari. Bulir-bulir embun bening berkumpul di ujung-ujung daun. Hawa dingin seolah menahan mereka untuk jatuh, seperti halnya Andra yang masih bersembunyi di balik selimut tebal. Padahal alarm yang berada 1 hasta darinya sudah meraung-raung sejak 1 jam yang lalu. Gravitasi kasurnya begitu kuat, sebelum semuanya buyar oleh dering ponsel. Terutama karena sebaris nama di layarnya.

"Ee ... halo?" Andra masih tak beranjak.
"Kamu udah nyampe mana?" tanya lawan bicara Andra.
"Aku masih di jalan nih. Tahu sendiri, kan aku nggak ada kendaraan, jadi agak lama," balas Andra. Kali ini dia sudah duduk.
"Kamu tahu, kan ini udah jam berapa? Kamu tuh ya, suka banget bikin orang nunggu."
"Iya iya. Tunggu bentar lagi." Andra menutup teleponnya lalu bergegas bersiap-siap.

***

"Nin, kamu mau ke mana? Jam segini kok udah rapi banget?" tanya Mama ketika melihat Nindi, putri kesayangannya sudah rapi dan wangi.
Nindi tersenyum. "Ada deh, Ma. Cuma mau main, kok."
"Sama Andra? Ciyee ... kapan kalian jadian? Papa cocok banget lho kalo kamu sama dia." Mendengar kalimat Papanya, Nindi tersipu. Dia yakin kalau beberapa hari ini, selepas 'insiden' telepon Andra, Papa dan Mama menyadari suasana hatinya yang sedang berbunga-bunga.
"Kami belum jadian kok, Pa. Hehehe."
"Lha? Buruan tembak aja. Dia kan orangnya baik. Sopan pula." Kali ini mama yang bersuara. Sementara papa dengan lahap menikmati semangkuk sup di hadapannya.
"Doain aja deh ya, Pa Ma. Soalnya Andra tuh orangnya kurang peka. Kalo enggak dipojokin dulu pasti nggak mau ngaku," terang Nindi.
"Ya udah, sarapan dulu sini," ajak mama.
"Enggak deh, Ma. Aku mau sarapan di luar."
"Sama Andra?" selidik papa.
"Papa apaan sih." Nindi pun berlalu di balik pintu.

Kaki-kaki Nindi menuntun pemiliknya ke sebuah area pertokoan. Karena masih cukup pagi, beberapa kios nampak belum buka. Hanya beberapa kios yang menjual kebutuhan sehari-hari serta satu dua kios yang menjual makanan yang sudah stand by menunggu kedatangan pelanggan. Nindi berjalan ke arah sebuah kios yang terletak di paling ujung barisan. Warung nasi soto, tempat sarapan favorit Andra. Sebenarnya niat Nindi bukan ingin sarapan, tapi ingin bertemu Andra. Bibirnya melengkung melukiskan senyum.

"Eh, pagi Mbak Nindi. Mau pesen apa?" sapa seorang ibu paruh baya dengan nada ramah.
"Pagi, Bu Anti. Kayak biasanya deh." Nindi hendak berjalan mencari tempat duduk ketika matanya melihat pemandangan tak biasa di salah satu dari sekian meja yang ada.

Dari balik lensa kacamatanya, Nindi melihat Andra sedang duduk berdua dengan seorang perempuan. Hanya berdua. Lebih dari itu, atmosfer di antara mereka terasa hangat dengan kalimat-kalimat dan tawa yang terdengar. Bahkan dia tidak pernah melihat Andra bisa tersenyum dan tertawa seperti itu ketika bersamanya.

Nindi menggigit bibir bawahnya. Ada yang tak beres di sini. Bukan Andra, tapi sesuatu di dalam dirinya sendiri. Dadanya perlahan terasa sakit. Ada sesuatu yang memanas di dalamnya. Seolah lupa pada makanan yang tadi dia pesan, Nindi berlari keluar dari situ.

"Mbak! Ini sotonya udah jadi!" Bu Anti berteriak berusaha memanggil Nindi yang sudah pergi cukup jauh.

Andra yang mendengar Bu Anti berteriak pun mendekat. "Ada apa, Bu kok teriak-teriak?"

Belum sempat Bu Anti menjawab, Andra sudah tahu jawabannya. Semangkuk soto yang tak terlalu banyak, tanpa taburan bawang goreng dengan telur rebus yang diiris menjadi 4 bagian. Kesukaan Nindi. Andra menoleh ke tempatnya duduk tadi, berpikir sejenak, lalu menghela napas.

"Bu, soto ini tolong bungkusin, ya. Biar saya antar ke rumah Nindi," kata Andra.
"Lho, beneran, Mas?" tanya Bu Anti. Andra mengacungkan jempol.

Andra berjalan kembali ke mejanya lalu duduk di kursinya dan meminum teh hangatnya yang tinggal setengah hingga habis. Gadis di depan Andra yang dari tadi sibuk mengutak-atik ponsel itu nampak heran.

"Ndra, buru-buru amat. Mau ke mana?" tanya gadis berambut sebahu itu.
"Ke rumah Nindi," jawab Andra singkat.
"Pacar kamu?"
"Calon. Eh--"
"Hahaha. Ya udah, sana. Lagian urusanku sama kamu juga udah selesai. Makanannya biar aku yang bayarin."
"Iya. Makasih ya, Kak."

Setelah menerima bungkusan plastik hitam dari Bu Anti, Andra segera berlari menuju ke rumah Nindi. Kali ini dia hanya bisa memikirkan 1 hal, Nindi pasti cemburu melihatnya duduk berdua bersama gadis tadi. "Aku harus pinter-pinter pilih kalimat buat jelasin ke Nindi, nih," batin Andra. Dia tak menyadari gadis yang tadi makan bersamanya, diam-diam membuntutinya.


===

~ bersambung
Share:

Rindu yang Kusimpan Untukmu


https://45.media.tumblr.com/4a369230a50af62235571628ab23ebc3/tumblr_nclvp8RfUK1tfluxko2_500.gif

Rindu yang Kusimpan Untukmu

Hujan baru saja reda seiring langkah ringan milik seorang gadis yang membawa tubuh ramping itu melewati sebuah gerbang masuk yang terbuat dari kayu. Di balik gerbang setinggi 3 meter itu terhampar sebuah pekarangan dengan bangunan rumah megah di ujungnya. Payung putih yang masih basah sudah terlipat dan tergenggam erat di tangan kiri. Setelah berjalan beberapa meter dari gerbang, melewati taman dengan kolam di sebelah kiri dan barisan pepohonan di sebelah kanan, gadis yang masih memakai seragam sekolah itu berhenti tepat di depan beranda. Selepas berganti alas kaki dari sepasang sepatu hitam menjadi sandal dalam ruangan, dengan kaos kaki yang masih terpakai, dia berjalan menyusuri koridor yang mengarah ke bagian sebelah kiri rumah besar tersebut. Menuju ke sebuah ruangan berukuran 4x5 meter yang terletak di ujung koridor.
“Ah, hari ini sungguh melelahkan,” gumam gadis itu sambil merebahkan diri. Rambutnya yang panjang sudah terurai setelah tangannya dengan cekatan melepaskan ikat rambut yang dari tadi pagi mengubah rambut hitam berkilau itu menjadi gaya ekor kuda.
Setelah beberapa menit tak bergeser dari atas kasur, tangannya meraih sesuatu dari atas meja. Sebuah ponsel berwarna hitam yang langsung dia serang dengan hentakan kedua jempolnya. Sebuah pesan baru saja terkirim ke salah satu ID yang ada di daftar kontaknya.

To : Rka
Text : Apakah kau sudah sampai rumah?
Tak butuh waktu lama, ponsel itu bergetar. Sebuah pesan baru telah masuk.
From : Rka
Text : Ya, baru saja. Masih rebahan di atas tempat tidur. Bagaimana denganmu?
To : Rka
Text : Aku juga. Sedikit malas untuk beraktivitas. Hari ini aku benar-benar lelah.
From : Rka
Text : Dasar, hari ini kau terlalu bersemangat. Beristirahatlah. =]
To : Rka
Text : Ah, soalnya tadi benar-benar menyenangkan. Ya, terima kasih. ^_^

“Dasar,” ucap gadis itu lirih. Ada senyum ditambah rona merah di wajahnya.

Sesi obrolan singkat itu berakhir. Ponsel hitam itu tak lagi bergetar tanda tak ada lagi pesan masuk, sementara pemiliknya nampak mulai kehilangan kesadaran. Rasa kantuk mulai menyergap gadis itu dan perlahan menariknya ke alam mimpi.

Airin yang nampak begitu tenang dalam tidurnya tak menyadari kehadiran seseorang yang dari tadi memperhatikannya sejak memasuki pekarangan. Sosok yang tak lebih tinggi dari Airin itu berjalan mendekat ke tempat tidur Airin. Mengusap pucuk rambut Airin sambil tersenyum. Dengan lembut, sebuah kecupan menyentuh dahi Airin yang tak tertutup poni. Membuat Airin terbangun.

“Hah?” Airin mengucek kedua matanya. Perlahan, tangan kanannya bergerak mengusap dahi yang kini tertutup poni panjangnya yang menjulur turun. Ada sesuatu yang tiba-tiba mengganggu perasaannya. Dia tersenyum. “Mungkin hanya perasaanku saja.”

***
“Selamat siang,” sapa seseorang dari arah pintu. Seorang pemuda yang dari tadi duduk sendirian di dalam ruangan itu menoleh sembari menutup buku di hadapannya.
“Siang, Airin. Kau sendirian?”
“Hai, Raka. Andi mendapatkan tugas piket perpustakaan hari ini, jadi dia akan terlambat.” Airin mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan sambil duduk tepat di hadapan Raka yang perlahan mulai membuka kembali buku bersampul hijau di hadapannya.
“Kau sudah cukup beristirahat bukan?”
“Ah, iya. Praktek olahraga kemarin benar-benar melelahkan. Tapi menyenangkan.” Airin menunduk berusaha menyembunyikan rona merah di wajahnya.
Mata Raka melirik ke arah Airin yang tiba-tiba terlihat gelisah sambil sesekali mencuri pandang ke arahnya. Seolah mengerti jalan pikiran Airin, pemuda itu mengeluarkan sesuatu dari tas ransel yang bersandar di kaki kursinya. Sebuah kotak berwarna merah dengan plastik bening yang masih membungkusnya dengan rapi. Dengan cekatan, dia merobek plastik itu lalu membuka kotak tersebut. Memamerkan bagian bersekat yang masing-masing terisi oleh bentuk-bentuk menarik.
“Camilan. Kau mau?” Raka menggesernya sedikit ke hadapan Airin.
“Coklat!” pekik Airin.

Raka tersenyum melihat mata Airin yang berbinar ditambah senyum yang terlukis di wajahnya. Jika sudah seperti ini, dia bisa dengan tenang membaca karena Airin tidak akan merespon pembicaraan apapun ketika sudah berhadapan dengan coklat. Kecuali jika dia sendiri yang mengajak bicara. Tapi sepertinya, kali ini perkiraan Raka meleset. Senyum Airin yang tadi mengembang tiba-tiba surut berubah menjadi raut murung. Raka kembali menutup bukunya.

“Ada apa? Tumben sekali tidak bersemangat di hadapan sekotak coklat?” Raka dapat melihat kesedihan yang sedang Airin coba sembunyikan.
“Ah, tidak. Coklat ini enak sekali, seperti yang selalu kau bawa ke sini. Hanya saja ….” Kalimat Airin menggantung. Dia menghela napas lalu melanjutkan, “aku rindu ibuku.”

Suasana berubah hening. Terdengar helaan napas Raka selepas mendengar pernyataan Airin. Raka teringat, sebentar lagi adalah hari ulang tahun ibu Airin, sekaligus hari di mana 5 tahun yang lalu beliau, ibunda Airin, meninggal dalam sebuah kecelakaan lalu lintas. Jantung Raka serasa diperas ketika melihat mata Airin yang mulai sembab. Terlebih ketika dia ingat bagaimana perubahan sikap Airin yang cukup kontras selepas kehilangan ibunya. Raka harus meluangkan waktu sepulang sekolah menunggu Airin duduk diam di depan nisan ibunya tanpa berbuat apa pun lalu mengajaknya untuk pulang. Begitu seterusnya hingga keluarga besar Airin memutuskan untuk membuatnya tinggal di tempat kakeknya.

“Kau ingin mengunjungi makam beliau?” tanya Raka. Mata Airin melebar.
“Ya! Aku ingin ke sana! Tapi ….”
“Tenang saja, aku yang akan bicara kepada kakekmu,” ujar Raka menenangkan.
“Terima kasih, Raka,” kata Airin senang. Raka tersenyum.
“Apa coklatnya enak?” tanya Raka sambil mengambil sebuah coklat berbentuk hati. Airin yang sibuk mengunyah coklat di mulutnya hanya memberikan anggukan sebagai jawaban.

***
Sudah sejak pagi Raka dan Airin duduk di ruang tunggu stasiun kota. Sesuai dengan rencana, hari ini mereka akan pergi ke tempat ibu Airin dimakamkan. Sudah 3 tahun sejak Airin pindah dan dia belum pernah kembali untuk mengunjungi makam ibundanya. Meski sudah berkali-kali berusaha meyakinkan kakeknya yang kolot agar mengizinkannya pergi, berkali-kali pula kakeknya dengan tegas melarang Airin untuk pergi. Dan hari ini, berkat Raka, dia dapat pergi berkunjung.

Raka dan Airin berjalan bersisihan menuju ke sebuah kereta yang baru saja datang. Mereka kemudian masuk ke dalam gerbong yang nampak tidak terlalu sesak. Raka segera mencari tempat duduk yang kosong untuk mereka berdua. Perlahan, kereta tersebut mulai berjalan. Kaki-kaki kokohnya mulai berderap di atas lintasan baja dengan mantap.

Raka dan Airin yang duduk berhadapan lebih banyak menghabiskan waktu dengan memandang ke luar jendela. Ada banyak hal yang saat ini berkelebat di dalam kepala mereka masing-masing. Sesekali mereka mengobrol, tapi kemudian kembali dalam hening. Airin terlihat senang, tapi juga terlihat tak tenang. Sementara Raka yang sesekali melirik ke arah Airin juga memikirkan sesuatu yang mengganggunya sejak pagi tadi.

“Rin, kau mau?” Raka menyodorkan sebuah kotak bekal berisi bermacam-macam kue kering kepada Airin.
“Ah, ya. Terima kasih.” Tangan Airin segera mengambil sebuah kue lalu memakannya.
“Sebentar lagi sampai.”
“Iya.”

***
Setelah berganti kendaraan dengan naik sebuah bus kemudian berjalan beberapa ratus meter dari sebuah halte, Raka dan Airin tiba di depan sebuah komplek pemakaman umum. Sebuah gapura besi yang berdiri angkuh terasa menyambut kedua tamunya dengan tatapan dingin. Setelah memantapkan hati, Airin melangkah melewati gapura itu diikuti Raka yang segera menyesuaikan langkah dan berjalan di sebelahnya.

Langkah Raka dan Airin terhenti di depan sebuah nisan yang terbuat dari marmer putih. Sebuah nama dan tanggal terukir di atasnya. Dengan perlahan, Airin membungkuk lalu duduk di hadapan nisan tersebut. Diikuti Raka yang sudah duduk di sebelahnya, Airin memejamkan kedua mata lalu mulai memanjatkan doa. Kemudian menaburkan bunga yang sudah dia siapkan sebelumnya.

Setelah merasa cukup, Airin berdiri dan berniat berjalan pergi sebelum pergelangan tangannya terasa ditarik. Raka menahannya.

“Airin. Sudah 3 tahun sejak terakhir kali kau ke sini. Apakah kau tidak ingin berada di sini sedikit lebih lama?” tanya Raka sambil menatap punggung kecil Airin.
“Aku hanya tidak ingin lagi larut dalam kesedihan, Ka. Itu saja.”
“Kau yakin ingin begitu?” tanya Raka lagi. Dia sudah melepaskan tangan Airin dari genggamannya.
“Ya. Bukankah akan merepotkan jika kau harus menunggu dan merayuku agar mau pulang seperti dulu?” Lagi-lagi ada sesuatu yang terasa menekan dari dalam dada Raka. Terlebih ketika dia melihat air mata Airin yang sudah jatuh saat Airin menoleh ke arahnya.
“Jangan bohong! Hanya dengan sekali lihat pun aku bisa tahu kalau kau sangat ingin berada di sini lebih lama!” Raka tak dapat menahan dirinya untuk tidak meluapkan perasaannya. Membuat Airin tersentak kaget.
“Kenapa kau memarahiku? Apakah salah jika aku tidak ingin merepotkanmu? Aku sudah dewasa! Aku berhak melakukan apa yang ingin kulakukan!kata Airin tak mau kalah. Kali ini dia sepenuhnya berdiri menghadap Raka. Kesedihan, kemarahan, keraguan, kepedihan, semua tergerus menjadi satu di suara paraunya.

“Lalu, apakah salah jika aku mempedulikanmu? Hanya ini yang bisa kulakukan untukmu,” ucap Raka lirih. Dia tertunduk. Airin terdiam.
“Aku … hanya merasa … kesepian,” ucap Airin terbata-bata.
“Aku ada di sini, Airin. Apa kau juga ingin membuangku?” Mendengar pertanyaan Raka, Airin tercekat. Kali ini dia yang merasakan jantungnya ditekan kuat-kuat.
“Tidak! Aku hanya … aku ….” Airin mendekat satu langkah ke arah Raka. Suasana berubah hening.
“Bolehkah aku … memanggilmu seperti dulu?”
“Aku tidak keberatan.”

Seolah adegan lambat dalam sebuah film, tangan Airin menyentuh dada bidang Raka lalu membenamkan wajahnya di situ. Isak tangisnya perlahan terdengar jelas. Seiring bisikan lirih yang juga berubah menjadi suara penuh kepedihan.

“Aku … aku merindukan ibu, kak! Aku merindukan ibu. Kak Raka, aku ingin bertemu lagi dengan Ibu!” Suara penuh kerinduan yang putus asa itu memecah kesunyian.

Tanpa kata, Raka meraih tubuh mungil Airin lalu mendekapnya dengan erat. Tak ada yang bisa dia lakukan selain mencurahkan seluruh waktu yang dia punya untuk adik yang paling dia sayangi. Apalagi setelah seluruh keluarganya menyalahkan dirinya akibat kecelakaan yang menghilangkan nyawa ibu Airin, yang juga ibunya. Seluang apa pun waktu, dia akan habiskan untuk berada di dekat Airin.

“Maafkan kakak, Rin. Seharusnya kakak yang terbaring di sini, bukan ibu. Maafkan kakak,” ucap Raka sambil memeluk erat Airin.
“Kak, kau tidak salah. Ini sudah takdir yang tidak bisa dihindari. Terima kasih karena selama ini sudah dengan tulus menjagaku.” Airin menyeka air mata Raka.
“Terima kasih, Rin. Kau benar-benar tumbuh menjadi gadis yang baik,” ucap Raka sambil tersenyum. Pipi Airin memerah mendengar pujian Raka.

Dengan mata yang masih merah dan wajah yang masih basah dengan air mata, dua orang yang selama ini menyembunyikan kenyataan bahwa mereka adalah kakak beradik tersebut saling tersenyum satu sama lain. Tapi senyum di wajah salah satu dari mereka tiba-tiba lenyap.

“Maafkan Ibu yang tiba-tiba pergi meninggalkanmu, Raka. Terima kasih kau sudah menjaga Airin dengan seluruh waktumu. Kau menepati janji yang pernah kau buat, Nak. Kau benar-benar anak lelaki kebanggaan Ibu.”

Dari sudut matanya, tepat di belakang Airin, Raka tercekat tak percaya dengan apa yang dia lihat. Sosok yang sangat dia cintai dan rindukan lebih dari siapapun kini muncul di hadapannya. Ibu yang sudah pergi dari sisinya beserta kenangan yang selama ini dia buang jauh-jauh tiba-tiba menampakkan diri di depan mata kepalanya.

Raka kecil berlarian di dalam rumah sambil membawa pesawat mainannya. Tanpa dia sengaja, dia menabrak lego berbentuk rumah yang sedang disusun oleh seorang gadis kecil. Airin kecil yang melihat rumah yang tadi dia susun rusak menangis sejadi-jadinya. Hal itu mengundang ibu mereka segera berlari mendekat.
“Raka, kenapa Airin menangis? Apa yang sudah kau lakukan?” selidik Ibu kepada Raka. Meski nampak sedang memarahi putranya, tapi nada suara wanita berpakaian sederhana itu sangatlah lembut. Terdengar begitu bersahaja.
“Aku … aku. Aku merusak rumah yang dibuat Airin! Maafkan aku, Bu,” jawab Raka kecil sambil sesenggukan.
Dengan tatapan teduh, Ibu dengan lembut menarik kedua buah hatinya yang masih menangis ke dalam pelukannya lalu mengusap dengan penuh kasih sayang kepala mereka. “Raka, berjanjilah kepada Ibu jika nanti Ibu tidak bisa lagi menjaga kalian, kau harus menjaga Airin. Kau menyayangi Airin, bukan?”
“Tentu saja, Bu! Aku berjanji, aku akan menjaga Airin dengan seluruh kekuatanku!” kata Raka kecil sambil menepuk dadanya dengan kepalan tangan kecilnya. Hal itu mengundang tawa Ibu. Juga Airin yang nampak kagum dengan suara lantang dan mantap kakaknya, Raka.
“Kau adalah anak lelaki kebanggaan Ibu, Raka.”

Senyum menenangkan dari wajah yang sangat dia rindukan itu membuat Raka tak kuasa menahan air matanya. Dia menangis hingga jatuh bertumpu lutut. Beban yang selama ini menumpuk di dalam dadanya perlahan luruh bersama isak tangis dan air matanya yang jatuh berderai.

Airin yang terkejut menoleh ke arah Raka memandang. Di sana, meski tak terlalu ingat, Airin dapat mengenali wajah itu. Dia tersenyum. Sambil mengusap dahinya, Airin berkata, “Jadi, waktu itu Ibu yang mengecup dahiku?”

Anggukan kecil cukup memberikan Airin jawaban. Dia berbalik kemudian memeluk erat kakaknya yang masih menangis. “Terima kasih, kak. Sekarang, menangislah untuk dirimu sendiri. Lepaskanlah semua beban yang selama ini kau simpan sendiri.”

Bersamaan dengan Raka yang mulai menegakkan kepalanya, sosok wanita paruh baya yang tersenyum penuh kedamaian itu perlahan mulai memudar menjadi bayang. Dengan tangan saling menggenggam erat, Raka dan Airin melepas kepergian itu dengan air mata yang masih mengambang, tapi juga dengan senyum penuh keikhlasan.

Menanggung beban seorang diri untuk waktu yang lama bukanlah hal yang mudah, tapi demi seseorang yang berarti, hal tanpa terasa akan begitu saja terlewati. Sementara memendam kesedihan akibat ditinggal pergi seseorang yang dicintai akan membuat seseorang kehilangan dirinya sendiri. Hanya dengan keikhlasan, beban dan kesedihan yang terpendam akan menghilang. Jadi, sudahkah kau mengikhlaskan kehilangan yang kau dapatkan?

~ fin

Share:

Panggilan Telepon (with Extra) | AndraxNindi Story

bakuman from burninglizardstudios.blogspot.com


Panggilan Telepon

Andra berkali-kali mengusap layar ponselnya. Sebuah nama tertera di situ dengan tombol hijau menyala yang membuat Andra sakit kepala. Lewat 30 detik, layar ponselnya masuk ke mode screenlock, lalu jarinya membuka pola kunci dan dia kembali memandangi tampilan itu lagi. Berkali-kali hingga dia lupa kalau sudah hampir waktunya dia berangkat ke tempat salah satu kliennya.
Setelah membulatkan tekad, jempolnya yang kapalan mengetuk tombol hijau menyala itu. Layar ponselnya berganti ke tampilan mode panggilan. Secepat kilat Andra menempelkan ponsel itu ke telinga kanannya.

Nada sambung terdengar. Ritme-nya yang stagnan benar-benar tak seimbang dengan detak jantung Andra yang justru semakin cepat. Seolah secara otomatis memasuki mode akselerasi.

"Halo," ucap suara dari balik telepon tersebut. Andra menghirup napas terlalu dalam hingga dia terbatuk.
"Ndra, kamu nggak apa-apa?" Tersirat kekhawatiran dari nada suara lawan bicara Andra. Nindi.
"Nin, aku mau ngomong sesuatu sama kamu," kata Andra tegas.
"Iya, Ndra. Ada apa? Ngomong aja, nggak perlu izin," balas Nindi.
"Aku ...." Keraguan kembali menguasai Andra. Twit Nindi tempo hari tiba-tiba muncul di dalam kepalanya. Meski sempat merasa melayang, nyatanya Andra masih belum mampu menafsirkan makna dari kalimat yang tak lebih dari bentuk spontanitas dari Nindi. Begitu pikir Andra. Bentuk spontanitas.
"Aku suka sama kamu, Nin. Lebih dari sekedar teman. Kamu--" Andra berhenti sebelum kalimat yang sudah dia susun selesai diucapkan. Telinganya mendengar suara tak enak dari speaker ponselnya.

Andra memosisikan ponsel tersebut di depan mukanya. Terputus. Tekadnya yang tadi menggebu-gebu mendadak lenyap. Tepat sebelum tangannya memasukkan ponsel tersebut ke dalam saku celana, nada dering terdengar. Membuat Andra membatalkan niatnya lalu mengecek siapa yang menelpon. Nindi.

"Halo."
"Ndra, kamu tadi mau ngomong apa? Kok tiba-tiba putus? Kamu nggak apa-apa kan?" Nindi memberondong Andra dengan 3 pertanyaan langsung.
"Ek. Eh, enggak. Nggak jadi. Aku cuma mau nanya, buku catatanku ada di tempatku atau enggak, eh ternyata nyelip di tumpukan. Udah ketemu kok, sorry ya," jawab Andra sambil mengelus sampul sebuah buku di tepian meja.
"Oh, ya udah deh. Aku khawatir tau nggak. Udah dulu ya, aku mau berangkat ke kampus. Daa." Panggilan berakhir.

Tangan Andra lunglai. Dengan sisa tenaganya, dia menekan sebaris angka di layar ponselnya. Setelah sebuah bar warna biru selesai terisi, sebuah kotak dialog muncul. Membuat Andra terkekeh sendiri.

"Sial. Ternyata pulsaku habis."

***
#Extra
Di sebuah jalan beberapa kilometer dari tempat Andra berdiri dan masih meratapi pulsanya yang habis, seorang gadis berkacamata tak henti-hentinya menyunggingkan senyum. Sebuah earphone berwarna putih yang terhubung ke sebuah ponsel  nampak terpasang di kedua telinganya. Rupanya, sumber senyum itu berasal dari musik yang dia dengar dari ponsel itu.

Setibanya di depan zebra cross sebuah perempatan jalan, gadis bertubuh mungil itu berdiri menunggu isyarat lampu lalu lintas untuk memperbolehkan dia dan beberapa orang di sekitarnya untuk menyeberang. Saat itulah dia mengeluarkan ponsel yang dari tadi bersembunyi di dalam saku jaketnya. Dia kembali tersenyum melihat layar ponsel yang menampilkan sebuah media player yang sedang memainkan lagu yang sama dan berulang-ulang sejak si gadis keluar dari kamarnya. Lagu?

"Aku suka sama kamu, Nin. Lebih dari sekedar teman. Kamu--" Rangkaian kalimat tak lengkap yang tersimpan dalam sebuah file dengan nama recording001.wav yang sudah dia dengarkan berulang-ulang ini benar-benar menjadi moodbooster bagi Nindi hari ini.

"Untung aku sempat merekamnya," bisik Nindi.


~ fin
Share:

Selepas Hujan | AndraxNindi Story

https://lamifidel.files.wordpress.com/2011/09/sun-rays-after-rain.jpg
pic from lamfidel.wordpress.com
 
"Selepas Hujan"


"Yuk pulang," ajakku kepada Nindi yang masih berkutat dengan ponselnya. Dia bergeming.

"Cantiiik~" Kali ini jari-jariku memerangkap hidung mancung Nindi. Memaksanya menengadah. Mengalihkan pandangannya kepadaku.

Tangan kanannya langsung menampik udara. Gagal mengenai tanganku yang sudah duluan menghindar. "Aku udah cantik dari lahir, Ndra." Nindi menjulurkan lidahnya.

Aku tersenyum. Tanpa bicara apa pun, aku bangkit dan mulai melangkah meninggalkan halte. Setelah melangkah sejauh 5 meter, dari ekor mataku, aku melihat Nindi yang berlari mengejarku.

"Andra! Kok aku ditinggal." Nindi cemberut.

"Kamu dari tadi sibuk sendiri, sih," balasku sambil menunjuk ponsel dengan softcase warna biru di genggamannya. Nindi tersenyum.

Hujan baru saja reda beberapa menit yang lalu. Jalan aspal dan trotoar yang kami lewati masih basah menyisakan jejak air yang tadi sempat bergemuruh. Namun hawa dingin yang sejak tadi menyergap masih tertinggal. Beberapa kali kulirik Nindi yang nampak menggigil. Jaketnya terlalu tipis untuk menangkis dingin.

"Nin."

"Hm?" Matanya masih terpaku di layar ponselnya. Lalu memasukkan ponsel tersebut ke dalam tas.

"Dingin nggak?" tanyaku.

"Iya, nih. Mana jaketku tipis lagi." Nindi menyilangkan tangannya. Mendekap tubuhnya sendiri. Ah, ingin rasanya aku menggantikan kedua tangannya yang kurus itu.

"Nih." Kupakaikan jaketku yang cukup tebal ke tubuhnya yang mungil. Kedua tangannya reflek menerimanya. Dia hanya diam.

"Udah nggak dingin, kan?" tanyaku memastikan. Nindi hanya menjawabnya dengan anggukan. Tangannya yang sudah masuk ke dalam lengan jaket tebalku kembali meraih ponsel lagi. Jemarinya dengan lincah menari di atas layar.

Kami berjalan dalam diam. Karena kehabisan bahan ngobrol, aku ikut-ikutan mengeluarkan ponsel hitam yang sudah baret-baret di sana sini. Dengan beberapa kali ketukan, layar selebar 4 inchi di genggamanku sudah menampilkan sebuah halaman berisi baris-baris kalimat dengan sebuah logo burung berwarna biru. Twitter.

Jariku berhenti men-scroll layar ketika mataku menangkap sebuah tweet di halaman tersebut.

"Aku menyukai hujan, seperti aku menyukaimu. Memang seringkali terasa dingin, tapi selalu ada kejutan yang bisa menghangatkanku."

Tweet dari sebuah akun dengan avatar sebuah kacamata ber-frame hitam dengan username yang sangat kukenal.

Jantungku seolah tersengat listrik. Tersentak, hampir membuatku pingsan. Mataku beralih dari ponselku. Melirik pemilik akun yang saat ini sedang senyum-senyum sendiri di sebelahku. Apa-apaan ini?

 ~ fin
Share:

Heartbeat Memory #4 - Daybreak

daybreak cerbung
daybreak from wikinut.com

Daybreak

Bersamaan dengan itu, cahaya yang sedari tadi menyelubungi Saga dan Emilia mulai memudar dan perlahan lenyap. Meninggalkan Emilia yang kemudian jatuh terduduk. Tangannya tergenggam erat di depan dadanya.

“Emi!” Rika dan Ren bergegas mendekati Emilia.


“Rika … aku berhasil mengungkapkan perasaanku kepada Saga,” diikuti sebuah senyum.

Tangis Rika meledak. Dia menghambur memeluk Emilia yang pada akhirnya tak dapat menahan tangisnya. Ren memandang jauh ke langit. Ke titik terang yang memancarkan sinar perak. Lalu tersenyum dan berjalan menjauh. Memberikan waktu bagi dua wanita yang saat ini sedang saling menguatkan satu sama lain.


***


“Terima kasih, kau sudah membebaskanku.” Saga mengusap pucuk rambut Emilia. “Sudah saatnya aku pergi.”


“Apa maksudmu? Kau akan pergi ke mana?” tanya Emilia.


“Emmm … aku harus pergi ke tempat seharusnya aku berada. Tempat yang cukup jauh,” kata Saga yang akan berbalik.


“Apakah kau akan kembali?” Tangan Emilia menarik ujung sweater Saga.


“Entahlah. Tapi jika kau merindukanku, kau bisa menunggu Venus muncul. Aku akan datang menemuimu.” Tangannya meraih tangan Emilia.


Saga berbalik. Dia berjalan menuju selubung cahaya yang menyilaukan mata Emilia. Semakin jauh, punggung itu dari pandangan mata. Rambut perak berkilau itu pun perlahan seolah memaksa Emilia untuk tak melihatnya untuk terakhir kalinya. Membuat Emilia ingin menjerit sekuatnya memanggil pemilik nama Saga itu agar kembali.


***


Emilia mengerjapkan matanya. Mimpi itu datang lagi. Sebenarnya bukan sekadar mimpi, tapi ingatan tentang kenangan terakhirnya bersama Saga. Jika dia pikir-pikir lagi, semua kejadian yang dia alami hari-hari sebelumnya memang benar-benar terasa seperti mimpi. Sebuah mimpi yang sangat nyata baginya.


“Pembohong,” gumam Emilia sambil memandang rona merah langit timur tanda matahari mulai naik melewati horizon. Dia berbalik, meninggalkan balkon rumahnya lalu bersiap untuk berangkat ke kampus.


“Emi, apa kau sudah menyelesaikan tugas essay dari Pak Darwin?” tanya Rika yang duduk di hadapannya.


“Ah, ya. Sudah selesai, ada apa? Kau ingin menconteknya?” tanya Emilia waspada.


“Ya ampun, aku hanya bertanya, Emi. Kau jahat sekali.” Rika cemberut. Pipinya memerah. Emilia yang melihatnya tertawa terbahak. Mendengar tawa itu, Rika mau tak mau harus merasa terharu. Sudah lama tawa itu tak dia dengar. Dan kini, setelah mencubit kedua pipinya sendiri dan merasa sakit, dia merasa lega kalau dia tidak bermimpi.


“Rika, kau tahu? Setiap pagi aku selalu menunggu Venus muncul. Tapi sampai langit cerah, aku tidak bisa bertemu dengan Saga. Ah, aku merindukannya.” Mata Emilia menerawang melewati kaca jendela kantin.


“Emilia,” panggil Rika, dengan lengkap. Ada kekhawatiran di suaranya.


“Hehehe, tenanglah Rika. Aku tahu kalau aku mungkin tidak bisa bertemu lagi dengan Saga, meskipun aku sangat merindukannya. Lagipula …” Emilia menggantung kalimatnya.


“Lagipula?”


“Apa yang akan kau lakukan dengan lelaki yang dari tadi duduk di sampingmu ini?” tanya Emilia sambil mengarahkan pandangannya ke sebelah Rika. Membuat Rika menoleh.


“Ren?!” Rika kaget dan sedikit bergeser dari duduknya semula.


“Hai, Rika. Emilia,” sapa Ren. Tiba-tiba saja atmosfer berubah kikuk.


“Ah, aku lupa. Aku ada janji untuk menjaga perpustakaan siang ini. Aku duluan, ya.” Emilia beranjak dari duduknya. Sebenarnya janji yang dia sebutkan bohong. Dia hanya ingin memberikan waktu kepada Ren dan Rika untuk berdua, karena dia tahu, sudah lama Rika menyukai Ren. Dan baru kemarin, Ren curhat kepadanya kalau dia jatuh cinta kepada Rika, setelah dia ditampar oleh Rika sewaktu di atap tempo hari. Masokis.

Dan sepertinya atmosfer kikuk justru semakin kuat seperginya Emilia.


“Ya ampun, mereka pandai menguatkan dan memberi semangat orang lain, tapi payah ketika menguatkan diri mereka sendiri,” gumam Emilia.

Kelas berikutnya masih sekitar 45 menit lagi. Karena tak ada yang bisa dia kerjakan, Emilia memutuskan untuk pergi ke ruang klub astronomi. Ada beberapa buku yang ingin dia baca di sana. Langkah ringannya membuat Emilia sudah hampir tiba di ruang klub, ketika tiba-tiba dia menabrak seseorang saat berbelok di sebuah koridor hingga terjatuh.


“Oh. Apa kau terluka?” Terdengar suara diikuti sebuah uluran tangan.


Emilia mendongak. Matanya terbelalak melihat wajah yang diliputi kecemasan itu. Bukan, bukan karena gurat kecemasan itu, tapi Emilia terkejut karena sosok yang tiba-tiba muncul di hadapannya saat ini memiliki wajah yang sangat mirip dengan seseorang yang sangat dia kenal. Terlebih rambut berwarna perak yang memikat itu.

~ END(?)
Share: