Tampilkan postingan dengan label AndraxNindi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label AndraxNindi. Tampilkan semua postingan

Dilema | AndraxNindi Story

"Dilema"

Jalanan pagi ini masih nampak lengang. Sepertinya kebanyakan orang masih terlelap dalam tidur setelah menikmati long weekend kemarin. Hanya sesekali ada satu dua mobil atau sepeda motor yang lewat dengan kecepatan cukup tinggi. Sepertinya, bagi beberapa orang, seolah menjadi berkah tersendiri ketika jalan yang termasuk salah satu jalur utama kota ini berubah sepi. Tapi tidak bagi Andra yang tak pernah menggunakan kendaraan, hanya berjalan kaki ke manapun dia pergi.

Langkah kakinya secara perlahan berubah sedikit lebih cepat. Matanya yang biasa menyorotkan rasa malas yang penuh kegelapan saat ini sedang memancarkan sesuatu yang tak biasa. Dia sedikit gelisah. Apalagi ini menyangkut seorang Nindi. Ditambah karena Nindi salah paham. Dan Andra paham betul bagaimana seorang Nindi jika sedang salah paham.

Pernah suatu waktu Nindi tanpa sengaja melihatnya keluar dari rumah salah seorang teman mahasiswa Nindi. Kebetulan, Nindi dan orang itu sedang tidak akur. Nindi yang sudah kepalang kesal menuduhnya ini-itu. Dan karena hal itu, Nindi sama sekali tak mau bicara dengannya selama satu minggu. Bukan ketika Nindi tidak mau bicara yang membuat Andra gelisah, tapi suasana yang terasa ketika mereka berjalan berdua tetapi tanpa ada suara. Dia benar-benar tidak menyukainya. Dan kali ini dia harus segera berbuat sesuatu.

Setelah berjalan sekitar 15 menit, Andra menghentikan langkahnya. Bukan karena dia sudah sampai di rumah Nindi, tapi karena ekor matanya menangkap sosok Nindi yang sedang berada di taman. Andra membuang napas, lalu kembali menggerakkan kakinya untuk ke arah Nindi.

"Nih, Nin." Seorang pemuda seumuran Nindi tiba-tiba datang sambil mengulurkan tangannya yang menggenggam sebotol minuman dingin.
"Thank, Man," ucap Nindi menerimanya sambil tersenyum. Andra mengurungkan niatnya untuk mendekat.

Dia tahu siapa pemuda itu. Arman, ketua BEM di kampus Nindi. Meskipun tidak satu kampus dan juga tak terlalu kenal, Andra cukup tahu seperti apa sepak terjang Arman karena dia termasuk salah satu sosok yang cukup terkenal. Dan tak jarang, Nindi sesekali bercerita tentangnya. Tak ada sama sekali tanda ketika bercerita kalau Nindi mengenal Arman cukup dekat. Tapi saat ini Andra mulai khawatir. Dari balik sebuah pohon, Andra menyimak apa yang sedang dibicarakan oleh mereka berdua.

"Kamu tadi darimana, Nin?" tanya Arman.
"Dari pujasera," jawab Nindi singkat tanpa menoleh.
"Ngapain? Habis beli apa?" tanya Arman lagi. Pertanyaan Arman membuat Nindi teringat sesuatu. Dia lupa kalau sedang memesan makanan dan tiba-tiba saja lari.
"Ah, aduh. Aku lupa makananku." Nindi menghela napas.
"Jadi kamu belum makan? Gimana kalau makan bareng aku? Hitung-hitung kencan, hehehe," ajak Arman. Andra tersekat.
"Kencan?" tanya Nindi. Dia masih belum mengerti arah pembicaraan Arman.
"Ups." Arman terdiam sejenak, lalu tiba-tiba berdiri di depan Nindi. Dia menarik napas dalam-dalam lalu membuangnya.
"Nin, aku udah lama suka sama kamu. Mau nggak kamu jadi pacarku?" Kalimat itu mengalir mulus tanpa ada kegugupan sedikit pun. Nindi, yang sedang dalam keadaan tidak baik, justru merasa gugup dan aneh.

Jadi selama ini Arman, salah satu mahasiswa populer di kampus, jatuh cinta kepadanya? Sungguh sesuatu yang tidak disangk-sangka. Sama seperti Andra yang saat ini tak bisa bergerak dari tempatnya. Dadanya tiba-tiba terasa panas. Ada sesuatu yang terasa mengancamnya. Mengiris tipis-tipis jantungnya.

Belum sempat Nindi menyampaikan jawaban, tiba-tiba terdengar suara ranting patah dari arah belakang. Nindi dan Arman menoleh. Ekspresi terkejut di wajah Nindi tak bisa disembunyikan. Matanya tidak menatap ke sebuah ranting kering yang seolah sengaja berada di bawah sepatu Andra, tetapi ke arah Andra yang juga memasang ekspresi terkejut.

"Ndra ak-- Andra!" Andra sudah berlari menjauh sebelum suara Nindi dapat menjangkaunya. Dia berusaha bangkit dan ingin mengejarnya, tetapi lengannya ditahan oleh Arman.
"Nindi. Dia siapa? Pacar kamu?" tanya Arman.
"Maaf, Man. Aku harus ngejar dia." Nindi segera berlari meninggalkan Arman yang hanya bisa diam menyusun satu demi satu rangkaian kejadian yang berlangsung baru saja.

Sepertinya Nindi masih tidak bisa mengalahkan Andra untuk urusan berlari. Dia sudah hampir kehabisan napas dan memutuskan untuk mengistirahatkan tubuhnya ke sebuah bangku. Tanpa sepengetahuannya, seorang wanita mendekat. Dengan ramah mengulurkan tangannya.

"Hai. Benar kamu yang namanya Nindi?" Suara itu sontak mengagetkan Nindi.
"Eh, i-iya. Benar." Nindi mencoba menerka siapa wanita yang ada di hadapannya saat ini, tapi tidak mendapatkan petunjuk apapun.
"Kenalin, aku Nayla. Sepupu Andra," ucap Nayla memperkenalkan diri.
"Nindi," balas Nindi singkat.

Perkenalan singkat itu awalnya hanya membawa aura canggung karena masing-masing dari mereka lebih memilih bertanya tentang hal-hal yang tergolong 'aman' untuk ditanyakan. Tapi berkat kelihaian Nayla, suasana itu berangsur cair hingga mulai terdengar canda dan tawa di sela-sela pembicaraan mereka. Terlebih setelah Nayla menjelaskan kalau apa yang Nindi lihat di warung beberapa waktu yang lalu adalah dirinya.

"Ah, jadi aku yang salah sangka. Duh, maaf ya Nay."
"Nin, aku mau minta tolong sama kamu," pinta Nayla tiba-tiba.
"Minta tolong apa, Nay?" Nindi mengernyitkan dahinya yang masih sedikit berkeringat.
"Tolong bujuk Andra supaya mau nerima tawaran kerja di Inggris." Nindi tidak bisa langsung merespon kalimat itu. Kepalanya tiba-tiba berusaha mengeja ulang kalimat tersebut dari awal. Dan di beberapa kata, ada sesuatu yang seperti menghantamnya. Andra, kerja di Inggris.
"Maksud kamu apa, Nay? Andra ke Inggris?"
"Iya, Nin. Papaku, om-nya Andra punya sahabat di sana yang butuh banget tenaga IT. Dan papaku langsung keinget sama Andra. Aku datang ke sini buat ngebujuk Andra, tapi dia bersikukuh nolak tawaran itu." Nayla menjelaskan panjang lebar.
"Lalu, kenapa kamu minta tolong ke aku, Nay?" tanya Nindi lagi. Nayla tak langsung menjawab. Dia seolah berusaha mencari kata-kata yang tepat.
"Alasan Andra menolak tawaran itu, dia bilang kalau di sini, dia punya seseorang yang sangat dia cintai. Dan nggak mungkin dia tinggal pergi, Nin. Dan setelah melihat kalian tadi, aku jadi tahu kalau seseorang yang dimaksud Andra itu kamu."

Dada Nindi terasa sesak. Dia sudah tahu kalau Andra memiliki perasaan kepadanya. Tapi kenyataan kalau dia belum benar-benar jujur pada perasaannya sendiri di saat Andra akan pergi sangat memukulnya. Terlebih kali ini, dia harus bisa meyakinkan Andra agar mau pergi. Apakah dia mampu?

Hampir setiap hari dia selalu bersama Andra. Dan sebentar lagi, akan ada waktu ketika kebersamaan itu berlalu. Nindi sepenuhnya sadar, kalau dia bisa saja dengan egois menolak permintaan Nayla agar Andra tidak pergi. Agar dia bisa selalu berada di sampingnya. Tapi di sudut kecil di dalam dirinya, dia sangat menginginkan yang terbaik bagi Andra. Dan Inggris sepertinya menjanjikan hal itu. Dilema dalam pilihan yang tidak pernah dia alami sebelumnya.

"Oke, Nay. Aku akan bujuk Andra," ujar Nindi sambil menahan air mata yang sudah menggantung di ujung matanya. 

~ to be continued
Share:

Index Cerita : AndraxNindi

Oke, berhubung cerpen maupun flashfic dari AndraxNindi udah lumayan meskipun nggak banyak, saya memutuskan untuk membuat index post kumpulan cerita AndraxNindi. FYI, cerpen pertama dari kumpulan cerita ini ditulis secara absurd karena alur dan ending-nya sendiri sama sekali nggak saya rencanakan. Tiba-tiba mengalir gitu aja menjadi sebuah cerita. Dan karena saya sendiri jatuh hati pada pasangan ini, maka jadilah beberapa cerita tentang karakter Andra dengan sikap pura-pura nggak pekanya dan Nindi yang cenderung manja, agak temperamen tapi sensitif.

Ps. Cerita AndraxNindi sebenarnya ditulis tanpa urutan waktu yang sengaja diatur, jadi ada beberapa cerita yang memang nggak nyambung, atau punya alur sendiri. Tapi ada beberapa cerita atau bagian cerita yang terpakai di cerita lain.

Enjoy!

Index :
#6 : Seseorang
#7 : Coming soon~
Share:

Seseorang | AndraxNindi Story

"Seseorang"

Sabtu pagi ini, langit terlihat cerah. Tak ada satu pun awan kelabu yang beberapa hari kemarin bertengger menghalangi sinar matahari. Bulir-bulir embun bening berkumpul di ujung-ujung daun. Hawa dingin seolah menahan mereka untuk jatuh, seperti halnya Andra yang masih bersembunyi di balik selimut tebal. Padahal alarm yang berada 1 hasta darinya sudah meraung-raung sejak 1 jam yang lalu. Gravitasi kasurnya begitu kuat, sebelum semuanya buyar oleh dering ponsel. Terutama karena sebaris nama di layarnya.

"Ee ... halo?" Andra masih tak beranjak.
"Kamu udah nyampe mana?" tanya lawan bicara Andra.
"Aku masih di jalan nih. Tahu sendiri, kan aku nggak ada kendaraan, jadi agak lama," balas Andra. Kali ini dia sudah duduk.
"Kamu tahu, kan ini udah jam berapa? Kamu tuh ya, suka banget bikin orang nunggu."
"Iya iya. Tunggu bentar lagi." Andra menutup teleponnya lalu bergegas bersiap-siap.

***

"Nin, kamu mau ke mana? Jam segini kok udah rapi banget?" tanya Mama ketika melihat Nindi, putri kesayangannya sudah rapi dan wangi.
Nindi tersenyum. "Ada deh, Ma. Cuma mau main, kok."
"Sama Andra? Ciyee ... kapan kalian jadian? Papa cocok banget lho kalo kamu sama dia." Mendengar kalimat Papanya, Nindi tersipu. Dia yakin kalau beberapa hari ini, selepas 'insiden' telepon Andra, Papa dan Mama menyadari suasana hatinya yang sedang berbunga-bunga.
"Kami belum jadian kok, Pa. Hehehe."
"Lha? Buruan tembak aja. Dia kan orangnya baik. Sopan pula." Kali ini mama yang bersuara. Sementara papa dengan lahap menikmati semangkuk sup di hadapannya.
"Doain aja deh ya, Pa Ma. Soalnya Andra tuh orangnya kurang peka. Kalo enggak dipojokin dulu pasti nggak mau ngaku," terang Nindi.
"Ya udah, sarapan dulu sini," ajak mama.
"Enggak deh, Ma. Aku mau sarapan di luar."
"Sama Andra?" selidik papa.
"Papa apaan sih." Nindi pun berlalu di balik pintu.

Kaki-kaki Nindi menuntun pemiliknya ke sebuah area pertokoan. Karena masih cukup pagi, beberapa kios nampak belum buka. Hanya beberapa kios yang menjual kebutuhan sehari-hari serta satu dua kios yang menjual makanan yang sudah stand by menunggu kedatangan pelanggan. Nindi berjalan ke arah sebuah kios yang terletak di paling ujung barisan. Warung nasi soto, tempat sarapan favorit Andra. Sebenarnya niat Nindi bukan ingin sarapan, tapi ingin bertemu Andra. Bibirnya melengkung melukiskan senyum.

"Eh, pagi Mbak Nindi. Mau pesen apa?" sapa seorang ibu paruh baya dengan nada ramah.
"Pagi, Bu Anti. Kayak biasanya deh." Nindi hendak berjalan mencari tempat duduk ketika matanya melihat pemandangan tak biasa di salah satu dari sekian meja yang ada.

Dari balik lensa kacamatanya, Nindi melihat Andra sedang duduk berdua dengan seorang perempuan. Hanya berdua. Lebih dari itu, atmosfer di antara mereka terasa hangat dengan kalimat-kalimat dan tawa yang terdengar. Bahkan dia tidak pernah melihat Andra bisa tersenyum dan tertawa seperti itu ketika bersamanya.

Nindi menggigit bibir bawahnya. Ada yang tak beres di sini. Bukan Andra, tapi sesuatu di dalam dirinya sendiri. Dadanya perlahan terasa sakit. Ada sesuatu yang memanas di dalamnya. Seolah lupa pada makanan yang tadi dia pesan, Nindi berlari keluar dari situ.

"Mbak! Ini sotonya udah jadi!" Bu Anti berteriak berusaha memanggil Nindi yang sudah pergi cukup jauh.

Andra yang mendengar Bu Anti berteriak pun mendekat. "Ada apa, Bu kok teriak-teriak?"

Belum sempat Bu Anti menjawab, Andra sudah tahu jawabannya. Semangkuk soto yang tak terlalu banyak, tanpa taburan bawang goreng dengan telur rebus yang diiris menjadi 4 bagian. Kesukaan Nindi. Andra menoleh ke tempatnya duduk tadi, berpikir sejenak, lalu menghela napas.

"Bu, soto ini tolong bungkusin, ya. Biar saya antar ke rumah Nindi," kata Andra.
"Lho, beneran, Mas?" tanya Bu Anti. Andra mengacungkan jempol.

Andra berjalan kembali ke mejanya lalu duduk di kursinya dan meminum teh hangatnya yang tinggal setengah hingga habis. Gadis di depan Andra yang dari tadi sibuk mengutak-atik ponsel itu nampak heran.

"Ndra, buru-buru amat. Mau ke mana?" tanya gadis berambut sebahu itu.
"Ke rumah Nindi," jawab Andra singkat.
"Pacar kamu?"
"Calon. Eh--"
"Hahaha. Ya udah, sana. Lagian urusanku sama kamu juga udah selesai. Makanannya biar aku yang bayarin."
"Iya. Makasih ya, Kak."

Setelah menerima bungkusan plastik hitam dari Bu Anti, Andra segera berlari menuju ke rumah Nindi. Kali ini dia hanya bisa memikirkan 1 hal, Nindi pasti cemburu melihatnya duduk berdua bersama gadis tadi. "Aku harus pinter-pinter pilih kalimat buat jelasin ke Nindi, nih," batin Andra. Dia tak menyadari gadis yang tadi makan bersamanya, diam-diam membuntutinya.


===

~ bersambung
Share:

Panggilan Telepon (with Extra) | AndraxNindi Story

bakuman from burninglizardstudios.blogspot.com


Panggilan Telepon

Andra berkali-kali mengusap layar ponselnya. Sebuah nama tertera di situ dengan tombol hijau menyala yang membuat Andra sakit kepala. Lewat 30 detik, layar ponselnya masuk ke mode screenlock, lalu jarinya membuka pola kunci dan dia kembali memandangi tampilan itu lagi. Berkali-kali hingga dia lupa kalau sudah hampir waktunya dia berangkat ke tempat salah satu kliennya.
Setelah membulatkan tekad, jempolnya yang kapalan mengetuk tombol hijau menyala itu. Layar ponselnya berganti ke tampilan mode panggilan. Secepat kilat Andra menempelkan ponsel itu ke telinga kanannya.

Nada sambung terdengar. Ritme-nya yang stagnan benar-benar tak seimbang dengan detak jantung Andra yang justru semakin cepat. Seolah secara otomatis memasuki mode akselerasi.

"Halo," ucap suara dari balik telepon tersebut. Andra menghirup napas terlalu dalam hingga dia terbatuk.
"Ndra, kamu nggak apa-apa?" Tersirat kekhawatiran dari nada suara lawan bicara Andra. Nindi.
"Nin, aku mau ngomong sesuatu sama kamu," kata Andra tegas.
"Iya, Ndra. Ada apa? Ngomong aja, nggak perlu izin," balas Nindi.
"Aku ...." Keraguan kembali menguasai Andra. Twit Nindi tempo hari tiba-tiba muncul di dalam kepalanya. Meski sempat merasa melayang, nyatanya Andra masih belum mampu menafsirkan makna dari kalimat yang tak lebih dari bentuk spontanitas dari Nindi. Begitu pikir Andra. Bentuk spontanitas.
"Aku suka sama kamu, Nin. Lebih dari sekedar teman. Kamu--" Andra berhenti sebelum kalimat yang sudah dia susun selesai diucapkan. Telinganya mendengar suara tak enak dari speaker ponselnya.

Andra memosisikan ponsel tersebut di depan mukanya. Terputus. Tekadnya yang tadi menggebu-gebu mendadak lenyap. Tepat sebelum tangannya memasukkan ponsel tersebut ke dalam saku celana, nada dering terdengar. Membuat Andra membatalkan niatnya lalu mengecek siapa yang menelpon. Nindi.

"Halo."
"Ndra, kamu tadi mau ngomong apa? Kok tiba-tiba putus? Kamu nggak apa-apa kan?" Nindi memberondong Andra dengan 3 pertanyaan langsung.
"Ek. Eh, enggak. Nggak jadi. Aku cuma mau nanya, buku catatanku ada di tempatku atau enggak, eh ternyata nyelip di tumpukan. Udah ketemu kok, sorry ya," jawab Andra sambil mengelus sampul sebuah buku di tepian meja.
"Oh, ya udah deh. Aku khawatir tau nggak. Udah dulu ya, aku mau berangkat ke kampus. Daa." Panggilan berakhir.

Tangan Andra lunglai. Dengan sisa tenaganya, dia menekan sebaris angka di layar ponselnya. Setelah sebuah bar warna biru selesai terisi, sebuah kotak dialog muncul. Membuat Andra terkekeh sendiri.

"Sial. Ternyata pulsaku habis."

***
#Extra
Di sebuah jalan beberapa kilometer dari tempat Andra berdiri dan masih meratapi pulsanya yang habis, seorang gadis berkacamata tak henti-hentinya menyunggingkan senyum. Sebuah earphone berwarna putih yang terhubung ke sebuah ponsel  nampak terpasang di kedua telinganya. Rupanya, sumber senyum itu berasal dari musik yang dia dengar dari ponsel itu.

Setibanya di depan zebra cross sebuah perempatan jalan, gadis bertubuh mungil itu berdiri menunggu isyarat lampu lalu lintas untuk memperbolehkan dia dan beberapa orang di sekitarnya untuk menyeberang. Saat itulah dia mengeluarkan ponsel yang dari tadi bersembunyi di dalam saku jaketnya. Dia kembali tersenyum melihat layar ponsel yang menampilkan sebuah media player yang sedang memainkan lagu yang sama dan berulang-ulang sejak si gadis keluar dari kamarnya. Lagu?

"Aku suka sama kamu, Nin. Lebih dari sekedar teman. Kamu--" Rangkaian kalimat tak lengkap yang tersimpan dalam sebuah file dengan nama recording001.wav yang sudah dia dengarkan berulang-ulang ini benar-benar menjadi moodbooster bagi Nindi hari ini.

"Untung aku sempat merekamnya," bisik Nindi.


~ fin
Share:

Selepas Hujan | AndraxNindi Story

https://lamifidel.files.wordpress.com/2011/09/sun-rays-after-rain.jpg
pic from lamfidel.wordpress.com
 
"Selepas Hujan"


"Yuk pulang," ajakku kepada Nindi yang masih berkutat dengan ponselnya. Dia bergeming.

"Cantiiik~" Kali ini jari-jariku memerangkap hidung mancung Nindi. Memaksanya menengadah. Mengalihkan pandangannya kepadaku.

Tangan kanannya langsung menampik udara. Gagal mengenai tanganku yang sudah duluan menghindar. "Aku udah cantik dari lahir, Ndra." Nindi menjulurkan lidahnya.

Aku tersenyum. Tanpa bicara apa pun, aku bangkit dan mulai melangkah meninggalkan halte. Setelah melangkah sejauh 5 meter, dari ekor mataku, aku melihat Nindi yang berlari mengejarku.

"Andra! Kok aku ditinggal." Nindi cemberut.

"Kamu dari tadi sibuk sendiri, sih," balasku sambil menunjuk ponsel dengan softcase warna biru di genggamannya. Nindi tersenyum.

Hujan baru saja reda beberapa menit yang lalu. Jalan aspal dan trotoar yang kami lewati masih basah menyisakan jejak air yang tadi sempat bergemuruh. Namun hawa dingin yang sejak tadi menyergap masih tertinggal. Beberapa kali kulirik Nindi yang nampak menggigil. Jaketnya terlalu tipis untuk menangkis dingin.

"Nin."

"Hm?" Matanya masih terpaku di layar ponselnya. Lalu memasukkan ponsel tersebut ke dalam tas.

"Dingin nggak?" tanyaku.

"Iya, nih. Mana jaketku tipis lagi." Nindi menyilangkan tangannya. Mendekap tubuhnya sendiri. Ah, ingin rasanya aku menggantikan kedua tangannya yang kurus itu.

"Nih." Kupakaikan jaketku yang cukup tebal ke tubuhnya yang mungil. Kedua tangannya reflek menerimanya. Dia hanya diam.

"Udah nggak dingin, kan?" tanyaku memastikan. Nindi hanya menjawabnya dengan anggukan. Tangannya yang sudah masuk ke dalam lengan jaket tebalku kembali meraih ponsel lagi. Jemarinya dengan lincah menari di atas layar.

Kami berjalan dalam diam. Karena kehabisan bahan ngobrol, aku ikut-ikutan mengeluarkan ponsel hitam yang sudah baret-baret di sana sini. Dengan beberapa kali ketukan, layar selebar 4 inchi di genggamanku sudah menampilkan sebuah halaman berisi baris-baris kalimat dengan sebuah logo burung berwarna biru. Twitter.

Jariku berhenti men-scroll layar ketika mataku menangkap sebuah tweet di halaman tersebut.

"Aku menyukai hujan, seperti aku menyukaimu. Memang seringkali terasa dingin, tapi selalu ada kejutan yang bisa menghangatkanku."

Tweet dari sebuah akun dengan avatar sebuah kacamata ber-frame hitam dengan username yang sangat kukenal.

Jantungku seolah tersengat listrik. Tersentak, hampir membuatku pingsan. Mataku beralih dari ponselku. Melirik pemilik akun yang saat ini sedang senyum-senyum sendiri di sebelahku. Apa-apaan ini?

 ~ fin
Share:

Seandainya | AndraxNindi Story

http://vignette1.wikia.nocookie.net/devil-survivor-2-the-animation/images/8/8d/Airi_punches_Jungo.png/revision/latest?cb=20130519082317
ilustrasi dari anime Devil Survivor 2 The Animation

'Seandainya'


"Nin, nanya boleh?" tanya Andra.

"Boleh, tapi bayar," jawab Nindi sambil menahan tawa.

"Ya udah, nggak jadi. Dasar matre." Andra mendengus kesal.

Kalimat itu dibalas dengan jitakan tepat di ubun-ubun Andra. Dia mengusap kepalanya sambil meringis kesakitan. Sementara Nindi nampak memasang tampang cemberut andalan. Pipi yang menggembung dan bibir manyun. Pose yang selalu muncul tiap kali Andra membuatnya kesal. Dia tidak menyadari kalau ada mata yang menikmatinya. Ya, siapa lagi kalau bukan Andra.

"Aku rela deh Nin, kamu jitakin sampe botak asal bisa lihat tampang cemberut kamu yang menawan itu," ucap Andra sambil membalik halaman buku di hadapannya.

"Bodo!" bentak Nindi. Wajahnya memerah. "Kamu mau tanya apa, tadi?"

"Gini. Andai suatu saat nanti, kamu dinyatakan punya penyakit yang nggak bisa sembuh lalu divonis bakal mati nggak lama lagi, apa yang akan kamu lakukan?" Pertanyaan itu terlontar tanpa Andra sedikit pun berpaling dari bukunya. Entah kenapa Nindi tiba-tiba merasa khawatir.

"Ndra, kenapa kamu--"

"Udah, jawab aja," potong Andra. Nindi menelan ludah.

"Aku ... bakal ... menghabiskan sisa waktuku sama keluarga dan melakukan hal-hal yang menyenangkan bareng orang yang kucintai." Pipi Nindi kembali memerah.

"Indahnya. Kalau aku apa ya?" Kali ini Andra menutup bukunya. Dari ekor matanya, Nindi melihat Andra yang mendongak dengan tatapan menerawang jauh.

"Kamu ... nggak papa kan, Ndra?" Kali ini kekhawatiran Nindi tak bisa disembunyikan. Dari balik kacamata ber-frame hitamnya, Nindi menatap lekat Andra.

"Hiii! Nin, kenapa?" Andra kaget melihat cara Nindi menatapnya.

"Eh, nggak." Nindi berusaha menyembunyikan sikap kikuknya yang, sayangnya, sudah terbaca Andra.

"Kalo aku ... mungkin bakalan nraktir kamu bakso sampe warungnya tutup," kata Andra diirungi senyuman yang memamerkan barisan gigi yang putih menawan. Kali ini, Nindi yang diam-diam menikmati senyuman itu.

"Ndra."

"Apaan?"

"Kapan kamu mau kena penyakit yang parah terus nggak bisa sembuh?" tanya Nindi. Membuat Andra merinding. Dia bingung kemana pergi kekhawatiran Nindi tadi. Ah, pasti karena bakso.

"Dasar penggila bakso. Tega amat mentingin bakso daripada nyawa teman sendiri. Lagi pula ...." Kalimat Andra tertahan di ujung lidah.

"Lagi pula?"

"Kalau emang suatu saat nanti tiba-tiba waktuku diperpendek Tuhan, yang bakal aku lakukan adalah ngungkapin perasaanku ke kamu. Dan aku nggak bakal mati sebelum melakukannya," ucap Andra. Di dalam hatinya. Membuat Nindi merinding melihat Andra senyum-senyum sendiri.

"Ndra?"

"Aku lapar. Ke tempatnya pak Aji, yuk. Aku yang traktir," kata Andra sambil berdiri merapikan barang-barangnya.

"Sampe warungnya tutup?" tanya Nindi dengan tampang polos. Andra bereaksi dengan menjulurkan tangannya ke wajah Nindi lalu mencubit kuat-kuat hidung mancungnya hingga memerah. Membuat pemiliknya meronta kesakitan.

"Kamu beneran mau aku mati?!"
 
~ fin
 
Yay! Cerita AndraxNindi baru nih. Review-nya ^^ 
Share:

Meleleh... Hati dan Mentega yang Tertukar | Flash Fiction

Karakternya masih Andra-Nindi. Entah kenapa lagi suka bikin cerita dari kombi dua karakter ini. Andra yang agak "nggak nyambung" tapi sebenernya pinter dan Nindi si cantik yang diam-diam ditaksir Andra, yang suka banget bakso dan sering nggak sabaran sama "nggak nyambung"nya si Andra.

Meleleh... Hati dan Mentega yang Tertukar | A Flash Fiction by @NVRstepback

Aku menghela nafas. Kejadian yang beberapa menit lalu seolah berlalu tak tercatat waktu. Aku berbalik dan mulai melangkahkan kaki untuk pergi. Ada beberapa rasa yang memberontak memintaku untuk berteriak. Ah, tapi tak etis jika berteriak di jalanan yang ramai dengan lalu lalang orang bukan? Heh.
Sesampainya di depan sebuah kedai kopi, langkahku terhenti oleh dering ponsel di saku celanaku. Aku sedikit kaget melihat nama yang tertera di layar ponselku. Setelah mengatur nafas, aku menerima panggilan itu.
"Ha-"
"Andra bego! Dari tadi ke mana aja?! Aku udah nungguin sejam lebih sampe kopiku dingin tau!" Bentak suara dari seberang ponsel. Tapi, entah kenapa terdengar begitu dekat.
Pletak! Ada sesuatu yang mengenai kepalaku. Dan saat menoleh ke arah benda itu berasal, aku mendapati seorang gadis berkacamata dengan ponsel yang menempel di telinga kanannya.
"Nin, kamu lagi di kedai kopi bukan?" Tanyaku pada orang yang menelponku mengabaikan gadis berambut lurus sebahu yang nampak menatapku dengan penuh amarah.
"Ati-ati, ada cewek aneh lagi ngamuk-ngamuk." Lanjutku sambil sedikit berbisik. Aku tak ingin Nindi sampai bertemu gadis aneh yang entah kenapa aku merasa dia sedang mendekatiku.
"ANDRA!!! INI AKU! NINDI!!!" Bentak suara dari ponselku. Dan aku merasa suara itu sama persis dengan suara yang kudengar di sebelahku. Jangan-jangan...
"Kamu... Nindi?" Tanyaku tidak percaya. Gadis bersweater putih itu tidak menjawab pertanyaanku. Wajahnya nampak marah dengan pipinya yang menggembung dan bibir yang manyun.
"Nin, sorry aku nggak kenalin kamu. Soalnya kamu..." Aku berbisik di ponsel.
"Apa?!" Bentaknya lagi.
"Cantik banget." Kututup telepon dan kumasukkan kembali ke dalam saku.
"Sorry, tadi ada nenek-nenek minta disebrangin. Pas udah nyampe di sebrang eh ada orang bawa kamera terus bilang kalo aku masuk acara tv gitu. Aku kecewa ternyata mereka manfaatin ketulusanku buat nolongin nenek itu untuk acara mereka. Huh." Aku segera melangkah masuk ke dalam kedai, tapi sesampainya di pintu kedai aku berhenti. Nindi masih berdiri dan diam saja.
"Nin?" Panggilku. Nindi berbalik.
"Andra aneh." Ucapnya sambil tertunduk dan berjalan melewatiku. Kulihat kepalanya sedikit berasap.
"Tapi Nin..." ucapku menyusul Nindi, "kamu beneran cantik."
"Bodo amat." Kata Nindi lirih. Ah, wajahnya nampak merah. Benar-benar membuatku meleleh. Hm... jangan-jangan saat ini hatiku tertukar dengan mentega. Serem.

-----
Share:

Bakso, Laptop, dan Rasa

Yoho~

Ini tulisan yang awalnya pengen dibikin cerita dengan multiple jleb combo. Tapi entah kenapa bisa jadi berubah absurd. Jleb enggak, lucu juga enggak, plot-nya juga entahlah. Ah sudahlah itung-itung buat belajar. Seperti biasa, jangan lupa kasih feedback ya~

Title: Bakso, Laptop, dan Rasa
Genre: Slice of Life
Author: @NVRstepback


http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/2/28/Bakso_mi_bihun.jpg
bakso_mi_bihun.jpg by en.wikipedia.org

Hujan hari ini sepertinya sedikit lebih deras daripada hujan di hari-hari sebelumnya. Hanya saja angin yang tiba-tiba bernyanyi membuat hujan menari. Kesana kemari menyibak lengan dahan dan dedaunan dengan hawa dingin. Lembut tapi membuatnya menggigil. Aspal berlubang nampak diam menerawang sambil menadah segerombolan air hujan yang terjatuh. Memberi mereka tempat melepas penat.

Beberapa kali, secara tak sengaja, kakiku menginjak mereka yang sedang melepas penat. Membuat sepatuku yang baru tadi pagi kering kembali basah. Beruntung ada payung di genggaman tanganku. Jika tidak, bukan hanya sepatu. Jaket dan seluruh pakaian yang menempel di tubuhku pasti ikut basah. Membuat sekujur tubuhku kedinginan. Persis seperti lengan dahan dan dedaunan pohon-pohon di tepian jalan kiri-kanan ku.

Aku menyembunyikan tangan kiriku yang menganggur di saku jaketku. Jika kulihat tangan kananku yang menggenggam gagang payung, dia terlihat iri ingin ikut bersembunyi. Tapi apa daya, dia punya tanggung jawab besar melindungi seluruh tubuhku dari hujan. Dengan payung. Mungkin nanti si tangan kiri bisa kusuruh mengganti perannya. Nanti.

Di sebuah persimpangan jalan, aku memilih jalan sebelah kanan. Berjalan agak cepat lalu melompat ke atas trotoar. Sesegera mungkin menghindari sekumpulan air hujan yang tengah rehat di sebuah aspal yang berlubang. Setelah cukup jauh, aku kembali memelan langkah. Lalu berjalan perlahan memasuki pintu warung kecil, setelah sebelumnya menyibak kain hijau bertulis "Bakso Sapi Pak Aji" yang menggigil kebasahan.

Kulihat ruangan 5x5 meter itu cukup ramai. Beberapa nampak masih menikmati mangkok berisi bakso sambil meniupi kepul asap. Sementara ada yang hanya duduk mengobrol menghadapi mangkok kosong sambil mengepul asap rokok dari mulut mereka.

"Pak, bakso satu mangkok. Kayak biasa." Pintaku ke seorang bapak yang nampak menggerakkan kedua tangannya dengan cepat meracik satu, dua, tiga... lima mangkok bakso di depannya.

"Oh, mas Andra. Minumnya apa mas?" Tanya si bapak membuyarkan lamunanku. Lalu tak lama kukatakan apa minuman yang kuinginkan, "Jeruk anget ya pak."

7 menit setelah duduk di tempat agak pojok, seorang gadis datang ke arahku membawa sebuah nampan dengan semangkuk bakso, aku dapat melihat pucuk porsinya, dan sebuah gelas berisi jeruk hangat.

"Silakan dinikmati bakso dan jeruk angetnya." Kata gadis itu setelah meletakkan pesananku. Dia pun berbalik dan pergi setelah tersenyum kepadaku.

Ringtone lagu dari grup band Indonesia yang jaya di era 90-an mengalun dari saku celanaku. Setelah cukup kesulitan menariknya dari sakuku, ponsel warna putih yang sudah ada di genggaman tangan kiriku segera kuusap bagian layarnya. Lalu menempelkan bagian atasnya ke telingaku.

"Halo." Kataku dengan intonasi sedatar papan. Kudengar dengus nafas tanda kesal di speaker ponselku.

"Andra, kamu di mana? Aku mau minta tolong." Pinta suara yang kupastikan sebagai suara perempuan.

"Ee... siapa ya?" Tanyaku beberapa detik kemudian setelah berpikir sambil mengunyah butiran bakso berdiameter 2 cm. Ah, sial aku lupa memberikan saus, kecap, dan sambal.

"Iih! Dasar Andra bego! Ini aku, Nindi!" Bentak suara itu. Ya, setelah memberikan saus, kecap, dan sambal di atas baksoku, aku ingat kalau di kampus, aku memiliki seorang teman. Gadis yang cantik dan juga cerdas. Teman masa kecil yang mulai kusukai sejak kami bertengkar tentang siapa penemu bakso ketika SMP dulu.

"Ah, halo Nin. Kenapa?" Tanyaku dengan nada sepenasaran mungkin. Lagi-lagi kudengar dengusan kesal tepat setelah aku menelan bihun putih panjang.

"Iiih! Aku mau minta tolong. Laptopku error, padahal mau aku pake buat ngerjain tugas." Suara Nindi yang sedang kesal namun berusaha ditahan terdengar lucu. Aku tak langsung menjawabnya karena sedang mengunyah bulatan bakso keduaku.

"Oh, iya. Nanti aku ke tempatmu. Baksoku belum habis." Kataku kemudian.

"Iiiih! Kok makan bakso nggak ngajak-ngajak." Nindi merajuk. Oh iya, aku lupa kalau dia sangat suka bakso. Kalau saja aku adalah bakso, dia pasti akan berpacaran denganku. Saking sukanya. Pada bakso.

"Nin."

"Apa?"

"Iiih. Iya nanti aku bungkusin buat kamu." Kataku meniru gaya bicaranya, meskipun intonasiku masih sedatar papan. Lalu aku meneguk sedikit jeruk hangat. Samar-samar kudengar dia menahan tawa. Ya, kupikir tak masalah menahan tawa, asal tak menahan kentut. Karena kata kakek itu berbahaya.

"Hehe. Iya, cepetan ya." Katanya mengakhiri panggilan.

Setelah memasukkan ponsel ke dalam saku jaket, agar lebih mudah mengambilnya, aku segera menghabiskan baksoku secepat mungkin. Meski kenyataannya aku baru berhasil menyelesaikannya dalam waktu 20 menit. Aku meneguk habis jeruk hangat, yang kehilangan kehangatannya, lalu bangkit dan berjalan ke tempat bapak penjual bakso.

"Semuanya 35 ribu mas." Kata pak Aji setelah menghitung semua pesananku, termasuk bakso Nindi.

"Nih pak, ambil aja kembaliannya." Kataku sambil mengulurkan selembar uang 50ribuan berwarna biru yang tadi kutemukan di bawah meja tempatku. Aku tahu kalau itu uang mainan, tapi iseng kupakai untuk bercanda dengan pak Aji.

"Wah, beneran mas?" Tanya pak Aji sambil menyerahkan kresek hitam berisi bakso pesanan Nindi. Aku menjawabnya dengan acungan jempol. Lalu setelah membuka payung lipatku, aku bergegas menuju ke rumah Nindi. Tapi aku seperti melupakan sesuatu yang penting.

***

Setelah kembali berjalan menembus hujan yang semakin dingin dan deras selama 15 menit, akhirnya aku sampai di depan gerbang rumah Nindi. Kupencet bel berwarna putih yang dipasang di tembok sebelah kanan gerbang. Beberapa saat kemudian, muncul seseorang berwajah sangar dengan kumis selebat hutan amazon. Tatapan mata besarnya seolah menusuk keberanian orang yang dipandangnya.
"Halo pak bro." Sapaku.

"Oh, mas bro. Sini masuk, mau ketemu non Nindi?" Balas pak Jono, satpam rumah Nindi lalu membuka pintu kecil di bagian tepi gerbang itu. Mempersilakanku masuk. Aku tak langsung menuju rumah, tapi mampir dulu ke pos satpam.

"Mau kencan ya mas? Padahal kan lagi hujan." Tanya pak Jono sekembalinya dari mengunci pintu gerbang.

"Yakali pak hujan-hujan gini mau kencan, kurang kerjaan amat. Mending tidur. Eh lagian saya sama Nindi kan cuma temen." Jawabku sekenanya.

"APAA?! MAS BRO MAU NGAJAK NON NINDI JADI TEMEN TIDUR??!" Tanya pak Jono dengan gaya khas emak-emak di sinetron, plus begron musik berupa petir menyambar. Kebetulan ada petir, jadi bukan sekedar imajinasiku.

"Pak bro..." kataku sambil memegang pundak pak Jono, "jangan kebanyakan nonton sinetron. Inget umur pak. Yaudah saya masuk dulu." Kutinggalkan pak Jono yang cengar-cengir sendirian. Tebakanku dia pasti sedang nonton FTV.

Kulipat payungku lalu menggantungkannya di gantungan yang ada di sebelah kanan pintu masuk. Setelah menekan bel, aku berdiri di depan pintu sambil memainkan ponselku, mengirim pesan ke Nindi. Di tangan kiriku masih tergantung kresek hitam bakso pesanan Nindi yang sudah agak dingin. Beberapa saat menunggu, pintu kembar itu terbuka ke arah dalam. Menampakkan sesosok bidadari yang memakai tanktop putih dan hotpants jeans biru. Rambut panjang bergelombangnya diikat sekenanya. Sementara kulihat mata berbinar di balik kacamata minus ber-frame hitam.

"Uwaaa! Baksoo!" Teriaknya seperti anak kecil. Dia langsung menghambur ke arah tangan kiriku. Setelah berada tepat di depanku, dia tiba-tiba berhenti setelah kutempelkan telapak tanganku yang sedikit basah ke dahinya. Kedua tangannya berusaha meraih bakso yang kuangkat tinggi.

"Nindi. Pake baju kayak gitu emang nggak dingin?" Tanyaku kepada Nindi yang masih berusaha meraih baksonya.

"Aah, Andra. Nanti juga anget kalo udah makan bakso." Katanya berdalih. Tangannya masih menggapai-gapai bungkusan bakso yang ada di tangan kiriku. Ah, andai perasaanku seberuntung bakso di tanganku.

"Yaudah nih." Kataku lalu meletakkan bungkusannya di kepala Nindi. Dia tib-tiba diam.

"Kyaaa! Panas, Ndra!" Nindi melompat mundur sambil mengusap kepalanya. Wajahnya menunjukkan ekspresi kesal yang sangat kukenal. Bibirnya manyun dan pipinya menggembung. Mata beriris coklat khas lokalnya berkaca-kaca di balik kacamatanya. Ah, aku rela mati demi melihat hal ini selamanya. Tapi lamunanku buyar oleh suara dari dalam rumah.

"Ciyee... ciyee... ciyee... ciyee..." terdengar suara yang berciye-ciye dari dalam rumah.

"Mama Papa! Udah deh jangan godain." Teriak Nindi kepada ayah dan ibunya. Orang yang tadi berciye-ciye.

"Halo om, tante." Sapaku. Aku tak menyadari kalau bungkusan plastik bakso di tangan kiriku sudah berpindah ke tangan Nindi yang kemudian lari masuk ke dalam rumah.

"Udah sana masuk. Kalo perlu apa-apa tinggal bilang bi Inah." Kata ayah Nindi. Aku segera masuk lalu berjalan menuju ruang makan. Di situ kudapati anak kecil bertubuh dewasa yang sedang menikmati semangkok bakso.

"Nin, mana laptopnya?" Tanyaku langsung ke pokok permasalahan. Tangan kiri Nindi menunjuk ke arah depan. Aku mengikuti arah telunjuk Nindi yang mengarah ke sebuah laptop yang berada di atas meja.

"Error-nya kenapa?" Tanyaku setelah berada di hadapan laptop ASUS putih dengan back cover bergambar karakter anime.

"Nggak mau keluar gambarnya, Ndra. Padahal semalem masih bisa." Jawab Nindi memberi keterangan.

Setelah membalik posisi laptopnya, aku mengeluarkan set obeng dari tas pinggangku lalu mulai melepaskan sekrup yang ada di bagian bawah laptop. Hanya sekrup yang ada di bagian tengah. Kemudian perlahan aku menarik bidang kotak yang sekrupnya tadi kulepas. Dengan hati-hati, aku mengangkat SO-DIMM dari slot-nya lalu membersihkannya dengan penghapus yang ada di atas tumpukan kertas, yang kuyakini sebagai tugas-tugas Nindi.

Setelah kurasa cukup, aku kembali memasangnya dan mengembalikan penutup dan juga sekrupnya seperti semula. Kubalik laptopnya lalu kunyalakan. Mula-mula led indikator menyala hijau. Kemudian layar gelap laptop itu berpendar menampilkan tampilan loading OS. Aku menoleh ke arah Nindi bermaksud memberitahunya, tapi dia tidak ada. Aku menunggunya sambil menatap layar LCD laptop itu bertransisi dari tampilan gradasi biru hijau dan loading menuju desktop dengan wallpaper wajah Nindi bersama seorang lelaki. Sangat dekat.

"Waaah, udah jadi! Yay!" Pekik Nindi girang yang mengagetkanku.

"Udah nih. Tadi cuma RAM-nya aja yang kotor." Kataku dengan nada datar.

"Makasih ya Ndra, untung kamu. Tugasku bisa dilanjutin deh." Ucap Nindi sambil tersenyum. Aku juga menanggapinya dengan senyuman.

"Yaudah, balik dulu ya, Nin. Salam buat om sama tante." Aku mohon pamit.

"Kan masih hujan, Ndra. Nunggu di sini dulu aja kenapa." Kata Nindi dari balik laptopnya.

"Nggak ah, temenku dari luar kota ada yang mau dateng. Aku mau bersih-bersih kamar." Kataku beralasan.

"Oh, yaudah deh ati-ati. Makasih ya udah dibenerin laptopnya. Sama baksonya juga." Kata Nindi.

"Daa..."
   
***

Aku berjalan melewati gerbang setelah sebelumnya berusaha membangunkan pak Jono yang tertidur di pos satpam. Hujan sudah sedikit reda meski samar-samar gerimis masih berbisik menjatuhkan asa kepada bumi. Aku masih berjalan di bawah payung yang kali ini digenggam tangan kiri, mempersilakan tangan kananku istirahat dan bersembunyi.

Hujan hari ini sepertinya sedikit lebih keras daripada hujan di hari-hari sebelumnya. Kehangatan bakso yang tadi kumakan pun menguap karenanya. Ditambah angin dingin yang menusuk. Bertiup searah dengan emosi dan langkahku. Memintaku segera menuju tempat melepas penat. Mengistirahatkan hati yang tiba-tiba sesak. Namun tiba-tiba sebuah ringtone berbunyi. Ada SMS yang masuk. Dengan malas kubuka pesan itu. Pesan yang memutar balik arah emosiku.

From: Nindi
Text: Ndra, inget foto di wallpaper laptopku? Kamu skrg lebih cakep, tapi tetep aja konyol. =p

Ah, aku lupa. Wallpaper itu adalah foto kenangan beberapa tahun lalu ketika kami lulus SMA... di sebuah warung bakso.


===

Komennya plis~~~
Share: