Tampilkan postingan dengan label Flash Fiction. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Flash Fiction. Tampilkan semua postingan

Panggilan Telepon (with Extra) | AndraxNindi Story

bakuman from burninglizardstudios.blogspot.com


Panggilan Telepon

Andra berkali-kali mengusap layar ponselnya. Sebuah nama tertera di situ dengan tombol hijau menyala yang membuat Andra sakit kepala. Lewat 30 detik, layar ponselnya masuk ke mode screenlock, lalu jarinya membuka pola kunci dan dia kembali memandangi tampilan itu lagi. Berkali-kali hingga dia lupa kalau sudah hampir waktunya dia berangkat ke tempat salah satu kliennya.
Setelah membulatkan tekad, jempolnya yang kapalan mengetuk tombol hijau menyala itu. Layar ponselnya berganti ke tampilan mode panggilan. Secepat kilat Andra menempelkan ponsel itu ke telinga kanannya.

Nada sambung terdengar. Ritme-nya yang stagnan benar-benar tak seimbang dengan detak jantung Andra yang justru semakin cepat. Seolah secara otomatis memasuki mode akselerasi.

"Halo," ucap suara dari balik telepon tersebut. Andra menghirup napas terlalu dalam hingga dia terbatuk.
"Ndra, kamu nggak apa-apa?" Tersirat kekhawatiran dari nada suara lawan bicara Andra. Nindi.
"Nin, aku mau ngomong sesuatu sama kamu," kata Andra tegas.
"Iya, Ndra. Ada apa? Ngomong aja, nggak perlu izin," balas Nindi.
"Aku ...." Keraguan kembali menguasai Andra. Twit Nindi tempo hari tiba-tiba muncul di dalam kepalanya. Meski sempat merasa melayang, nyatanya Andra masih belum mampu menafsirkan makna dari kalimat yang tak lebih dari bentuk spontanitas dari Nindi. Begitu pikir Andra. Bentuk spontanitas.
"Aku suka sama kamu, Nin. Lebih dari sekedar teman. Kamu--" Andra berhenti sebelum kalimat yang sudah dia susun selesai diucapkan. Telinganya mendengar suara tak enak dari speaker ponselnya.

Andra memosisikan ponsel tersebut di depan mukanya. Terputus. Tekadnya yang tadi menggebu-gebu mendadak lenyap. Tepat sebelum tangannya memasukkan ponsel tersebut ke dalam saku celana, nada dering terdengar. Membuat Andra membatalkan niatnya lalu mengecek siapa yang menelpon. Nindi.

"Halo."
"Ndra, kamu tadi mau ngomong apa? Kok tiba-tiba putus? Kamu nggak apa-apa kan?" Nindi memberondong Andra dengan 3 pertanyaan langsung.
"Ek. Eh, enggak. Nggak jadi. Aku cuma mau nanya, buku catatanku ada di tempatku atau enggak, eh ternyata nyelip di tumpukan. Udah ketemu kok, sorry ya," jawab Andra sambil mengelus sampul sebuah buku di tepian meja.
"Oh, ya udah deh. Aku khawatir tau nggak. Udah dulu ya, aku mau berangkat ke kampus. Daa." Panggilan berakhir.

Tangan Andra lunglai. Dengan sisa tenaganya, dia menekan sebaris angka di layar ponselnya. Setelah sebuah bar warna biru selesai terisi, sebuah kotak dialog muncul. Membuat Andra terkekeh sendiri.

"Sial. Ternyata pulsaku habis."

***
#Extra
Di sebuah jalan beberapa kilometer dari tempat Andra berdiri dan masih meratapi pulsanya yang habis, seorang gadis berkacamata tak henti-hentinya menyunggingkan senyum. Sebuah earphone berwarna putih yang terhubung ke sebuah ponsel  nampak terpasang di kedua telinganya. Rupanya, sumber senyum itu berasal dari musik yang dia dengar dari ponsel itu.

Setibanya di depan zebra cross sebuah perempatan jalan, gadis bertubuh mungil itu berdiri menunggu isyarat lampu lalu lintas untuk memperbolehkan dia dan beberapa orang di sekitarnya untuk menyeberang. Saat itulah dia mengeluarkan ponsel yang dari tadi bersembunyi di dalam saku jaketnya. Dia kembali tersenyum melihat layar ponsel yang menampilkan sebuah media player yang sedang memainkan lagu yang sama dan berulang-ulang sejak si gadis keluar dari kamarnya. Lagu?

"Aku suka sama kamu, Nin. Lebih dari sekedar teman. Kamu--" Rangkaian kalimat tak lengkap yang tersimpan dalam sebuah file dengan nama recording001.wav yang sudah dia dengarkan berulang-ulang ini benar-benar menjadi moodbooster bagi Nindi hari ini.

"Untung aku sempat merekamnya," bisik Nindi.


~ fin
Share:

Belum Saatnya | Flash Fiction

from alicekat.com


Belum Saatnya

 Mata gadis itu menatap tajam sosok yang ada di hadapannya. Seolah sebuah pisau bedah, tatapan itu menusuk jauh dan membelah dalam setiap senti rasa takut milik orang yang saat ini dipandangnya.

"Ini. Kukembalikan." Tangan gadis itu terulur ke depan. Menyerahkan sesuatu yang ada di telapak tangannya yang terbuka di depan dada pemuda itu.

"Kenapa? Bukankah aku sudah katakan padamu kalau kau bisa membuangnya jika tak mau?" Dari suara tegasnya, si pemuda nampak berusaha melawan ketakutan akibat tatapan tajam gadis yang berdiri 2 meter di depannya.

Gadis itu meraih tangan si pemuda. Lalu memberikan benda yang ada di tangannya kepada si pemuda itu. "Aku tak tega jika membuangnya. Benda ini terlalu indah jika harus dibuang. Lagi pula, kau lebih membutuhkannya daripada aku."

Pemuda itu terdiam. Matanya beralih ke benda yang memancarkan kilatan warna merah di tangannya. Matanya sembab.

"Maaf."

"Kau tidak salah, kak. Apa yang terjadi padaku adalah akibat dari tindakanku sendiri. Jika kau terlibat di dalamnya, aku tahu, itu karena kau sangat peduli padaku. Semua yang sudah kaulakukan bagiku sudah cukup untuk membuatku yakin. Sekarang, aku ingin membalasnya." Gadis itu menggenggam tangan si pemuda. Membimbingnya ke dada pemuda yang kini tak bisa lagi menahan panas di matanya.

Pandangan mereka saling beradu. Kali ini tatapan tajam itu mulai meredup, beralih menjadi tatapan teduh. Dalam satu kedipan, tangan si gadis bergerak menusuk dada si pemuda yang kemudian mengerang kesakitan. Perlahan kemudian, pemuda itu tumbang.

"Belum saatnya kau ada di sini, kak," ujar lirih gadis itu setelah melempar tubuh si pemuda ke dalam pusaran hitam. "Kau harus tetap hidup."


~ fin
Share:

Selepas Hujan | AndraxNindi Story

https://lamifidel.files.wordpress.com/2011/09/sun-rays-after-rain.jpg
pic from lamfidel.wordpress.com
 
"Selepas Hujan"


"Yuk pulang," ajakku kepada Nindi yang masih berkutat dengan ponselnya. Dia bergeming.

"Cantiiik~" Kali ini jari-jariku memerangkap hidung mancung Nindi. Memaksanya menengadah. Mengalihkan pandangannya kepadaku.

Tangan kanannya langsung menampik udara. Gagal mengenai tanganku yang sudah duluan menghindar. "Aku udah cantik dari lahir, Ndra." Nindi menjulurkan lidahnya.

Aku tersenyum. Tanpa bicara apa pun, aku bangkit dan mulai melangkah meninggalkan halte. Setelah melangkah sejauh 5 meter, dari ekor mataku, aku melihat Nindi yang berlari mengejarku.

"Andra! Kok aku ditinggal." Nindi cemberut.

"Kamu dari tadi sibuk sendiri, sih," balasku sambil menunjuk ponsel dengan softcase warna biru di genggamannya. Nindi tersenyum.

Hujan baru saja reda beberapa menit yang lalu. Jalan aspal dan trotoar yang kami lewati masih basah menyisakan jejak air yang tadi sempat bergemuruh. Namun hawa dingin yang sejak tadi menyergap masih tertinggal. Beberapa kali kulirik Nindi yang nampak menggigil. Jaketnya terlalu tipis untuk menangkis dingin.

"Nin."

"Hm?" Matanya masih terpaku di layar ponselnya. Lalu memasukkan ponsel tersebut ke dalam tas.

"Dingin nggak?" tanyaku.

"Iya, nih. Mana jaketku tipis lagi." Nindi menyilangkan tangannya. Mendekap tubuhnya sendiri. Ah, ingin rasanya aku menggantikan kedua tangannya yang kurus itu.

"Nih." Kupakaikan jaketku yang cukup tebal ke tubuhnya yang mungil. Kedua tangannya reflek menerimanya. Dia hanya diam.

"Udah nggak dingin, kan?" tanyaku memastikan. Nindi hanya menjawabnya dengan anggukan. Tangannya yang sudah masuk ke dalam lengan jaket tebalku kembali meraih ponsel lagi. Jemarinya dengan lincah menari di atas layar.

Kami berjalan dalam diam. Karena kehabisan bahan ngobrol, aku ikut-ikutan mengeluarkan ponsel hitam yang sudah baret-baret di sana sini. Dengan beberapa kali ketukan, layar selebar 4 inchi di genggamanku sudah menampilkan sebuah halaman berisi baris-baris kalimat dengan sebuah logo burung berwarna biru. Twitter.

Jariku berhenti men-scroll layar ketika mataku menangkap sebuah tweet di halaman tersebut.

"Aku menyukai hujan, seperti aku menyukaimu. Memang seringkali terasa dingin, tapi selalu ada kejutan yang bisa menghangatkanku."

Tweet dari sebuah akun dengan avatar sebuah kacamata ber-frame hitam dengan username yang sangat kukenal.

Jantungku seolah tersengat listrik. Tersentak, hampir membuatku pingsan. Mataku beralih dari ponselku. Melirik pemilik akun yang saat ini sedang senyum-senyum sendiri di sebelahku. Apa-apaan ini?

 ~ fin
Share:

Seandainya | AndraxNindi Story

http://vignette1.wikia.nocookie.net/devil-survivor-2-the-animation/images/8/8d/Airi_punches_Jungo.png/revision/latest?cb=20130519082317
ilustrasi dari anime Devil Survivor 2 The Animation

'Seandainya'


"Nin, nanya boleh?" tanya Andra.

"Boleh, tapi bayar," jawab Nindi sambil menahan tawa.

"Ya udah, nggak jadi. Dasar matre." Andra mendengus kesal.

Kalimat itu dibalas dengan jitakan tepat di ubun-ubun Andra. Dia mengusap kepalanya sambil meringis kesakitan. Sementara Nindi nampak memasang tampang cemberut andalan. Pipi yang menggembung dan bibir manyun. Pose yang selalu muncul tiap kali Andra membuatnya kesal. Dia tidak menyadari kalau ada mata yang menikmatinya. Ya, siapa lagi kalau bukan Andra.

"Aku rela deh Nin, kamu jitakin sampe botak asal bisa lihat tampang cemberut kamu yang menawan itu," ucap Andra sambil membalik halaman buku di hadapannya.

"Bodo!" bentak Nindi. Wajahnya memerah. "Kamu mau tanya apa, tadi?"

"Gini. Andai suatu saat nanti, kamu dinyatakan punya penyakit yang nggak bisa sembuh lalu divonis bakal mati nggak lama lagi, apa yang akan kamu lakukan?" Pertanyaan itu terlontar tanpa Andra sedikit pun berpaling dari bukunya. Entah kenapa Nindi tiba-tiba merasa khawatir.

"Ndra, kenapa kamu--"

"Udah, jawab aja," potong Andra. Nindi menelan ludah.

"Aku ... bakal ... menghabiskan sisa waktuku sama keluarga dan melakukan hal-hal yang menyenangkan bareng orang yang kucintai." Pipi Nindi kembali memerah.

"Indahnya. Kalau aku apa ya?" Kali ini Andra menutup bukunya. Dari ekor matanya, Nindi melihat Andra yang mendongak dengan tatapan menerawang jauh.

"Kamu ... nggak papa kan, Ndra?" Kali ini kekhawatiran Nindi tak bisa disembunyikan. Dari balik kacamata ber-frame hitamnya, Nindi menatap lekat Andra.

"Hiii! Nin, kenapa?" Andra kaget melihat cara Nindi menatapnya.

"Eh, nggak." Nindi berusaha menyembunyikan sikap kikuknya yang, sayangnya, sudah terbaca Andra.

"Kalo aku ... mungkin bakalan nraktir kamu bakso sampe warungnya tutup," kata Andra diirungi senyuman yang memamerkan barisan gigi yang putih menawan. Kali ini, Nindi yang diam-diam menikmati senyuman itu.

"Ndra."

"Apaan?"

"Kapan kamu mau kena penyakit yang parah terus nggak bisa sembuh?" tanya Nindi. Membuat Andra merinding. Dia bingung kemana pergi kekhawatiran Nindi tadi. Ah, pasti karena bakso.

"Dasar penggila bakso. Tega amat mentingin bakso daripada nyawa teman sendiri. Lagi pula ...." Kalimat Andra tertahan di ujung lidah.

"Lagi pula?"

"Kalau emang suatu saat nanti tiba-tiba waktuku diperpendek Tuhan, yang bakal aku lakukan adalah ngungkapin perasaanku ke kamu. Dan aku nggak bakal mati sebelum melakukannya," ucap Andra. Di dalam hatinya. Membuat Nindi merinding melihat Andra senyum-senyum sendiri.

"Ndra?"

"Aku lapar. Ke tempatnya pak Aji, yuk. Aku yang traktir," kata Andra sambil berdiri merapikan barang-barangnya.

"Sampe warungnya tutup?" tanya Nindi dengan tampang polos. Andra bereaksi dengan menjulurkan tangannya ke wajah Nindi lalu mencubit kuat-kuat hidung mancungnya hingga memerah. Membuat pemiliknya meronta kesakitan.

"Kamu beneran mau aku mati?!"
 
~ fin
 
Yay! Cerita AndraxNindi baru nih. Review-nya ^^ 
Share:

A Secret Admirer's Admirer | Flash Fiction

Yak! Flash Fiction lagi~ kenapa flashfic lagi? Well, saya masih belajar bikin konflik. Nah, daripada bikin konflik di dunia nyata dengan ngompor-ngomporin orang, kan mending bikinnya di dunia tulis yang fiktik. Kan? Hoehehe

Title : A Secret Admirer's Admirer
Terinspirasi dari buku Relationshit-nya bang @shitlicious


A Secret Admirer's Admirer
"Cinta yang tak diungkapkan ibarat pedang bermata dua. Dia mampu membunuh dua hati sekaligus."
pic from "Ao Haru Ride" anime
Dia masih berdiri terpaku di tempatnya kini berdiri. Kalimat yang baru saja dia dengar dari seseorang yang sangat berarti baginya begitu lancar menusuk jantungnya. Sorot matanya kosong, meski ada bulir-bulir air tertahan di ujungnya. Terulas senyum getir di ujung bibirnya yang gemetar menahan kalut di dalam dadanya.

"Jadi begitu ... ya? Ah, aku benar-benar bodoh."

***

Seorang gadis dengan sweater rajut warna biru muda nampak berdiri cemas di depan pintu lusuh sebuah kost-kostan. Di tangan kirinya tergantung kantong plastik hitam berisi buah-buahan. Tangan kanannya, dengan sedikit ragu, dia angkat lalu mengetuk pintu yang warnanya memudar itu. Sesaat kemudian, pintu itu ditarik ke arah dalam. Muncul sosok pemuda yang lehernya terbelit syal dan tubuhnya terbungkus jaket tebal.

"Rara! Eh, kok di sini?" Pemuda itu kaget dengan kedatangan tamu itu. Tubuhnya menjadi terasa lebih panas.
"Hai, Rio. Aku dengar kamu sakit. Kebetulan juga aku lewat sini, jadi sekalian mampir deh." Rara menyerahkan bungkusan buah itu sambil tersenyum.
"Duh, bisa pingsan aku kalau kelamaan melihat senyum Rara," batin Rio.
"Eh, sini masuk tapi ruangannya berantakan. Hehe." Rio segera mempersilakan Rara masuk. "Mau minum apa? Biar aku pesan di warung depan."
"Aduh, jangan deh. Nanti ngrepotin. Kamu kan juga lagi sakit." Rara mencoba menolak.
"Ra, aku udah agak baikan kok," tegas Rio.
"Ya udah, teh botol aja," jawab Rara pasrah. Rio pun bergegas keluar.

Mata Rara tak henti-hentinya memandangi ruangan berukuran 3x4 meter itu beserta berbagai interior serta atribut dindingnya. Dia tersenyum simpul menyadari bahwa teman barunya ini tidak terlalu pintar dalam menata ruangan seprivat kamar. Pandangannya tiba-tiba tertuju ke tumpukan kertas di dekat kaki meja. Rasa penasarannya membuatnya meraih selembar kertas berwarna kuning pucat. Kertas itu nampak lusuh.

Rara mulai membaca kata demi kata pada kertas itu. Semakin lama dia membaca, semakin kuat pula tekanan yang dia rasakan dalam dadanya. Dia kenal betul dengan kalimat-kalimat indah itu. Dia pun hampir hafal separuhnya, karena ... dia memiliki versi utuh puisi itu yang tersimpan rapi di salah satu laci kamarnya. Air matanya mulai menetes ketika Rio tiba-tiba muncul.

"Ra ... kamu kenapa?" Tapi Rio langsung bungkam tak mengharap jawaban apapun ketika melihat apa yang sedang berada di tangan Rara saat ini. Hening datang. Mereka terdiam.
"Rara. Sebenarnya aku--"
"Kamu jahat, Rio. Kamu jahat!" Rara memotong kalimat Rio. "Kenapa harus sekarang?"
"Aku cuma nggak tahu bagaimana caranya, Ra. Kupikir dengan puisi-puisi anonim itu, aku bisa bikin kamu bahagia dan--"
"Bahagia kamu bilang? Mungkin di mata kamu aku bahagia, Rio. Tapi pernah nggak kamu berpikir lebih jauh? Di dalam sini aku tersiksa! Kamu di posisi yang lebh baik karena bisa tahu kepada siapa kamu mencurahkan cinta. Tapi bisa nggak kamu mengerti posisiku? Tiap malam aku dibuat bertanya-tanya siapa pemilik kalimat-kalimat indah itu, Rio. Aku jatuh cinta. Tapi aku nggak tahu seperti apa sosoknya. Itu benar-benar bikin aku tersiksa sendirian, Rio!" Dada Rio terasa lega sekaligus sesak mendengar kalimat-kalimat Rara. Pengakuan yang tak disangka-sangka.
"Maafin aku, Ra. Aku memang sudah lama jatuh cinta kepadamu. Aku--" Rio lagi-lagi tak sempat menyelesaikan kalimatnya.
"Tapi semuanya sudah terlambat. Aku nggak mungkin menerima perasaan kamu, Rio. Terlebih setelah dengan seenaknya kamu menguburku dalam rasa penasaran yang akhirnya membunuhku. Permisi." Dengan mata sembab, Rara pergi melewati Rio yang sama sekali tak bergerak. Langkah kakinya perlahan mulai menghilang dari jangkauan indera dengar Rio. Dia pergi. Sangat jauh.

***

Dia masih berdiri terpaku di tempatnya kini berdiri. Minuman teh botol yang dia bawa terjatuh begitu saja. Menggenang di sekitar kakinya. Kalimat yang baru saja dia dengar dari seseorang yang sangat berarti baginya begitu lancar menusuk jantungnya. Sesalnya kini tak ada arti. Merutuki kebodohannya pun tak akan membuat waktu terulang kembali.

"Sepertinya menjadi seorang pemuja rahasia bukan hal yang bagus. Aku membuat dua hati yang seharusnya saling mengenal pada akhirnya mati di tempat yang saling berjauhan." Rio terduduk lesu. Malam ini dia tak bisa lagi menulis puisi untuk Rara. Dia sudah membunuh hati Rara ... dan hatinya sendiri. Mati dalam sesal yang tak seharunya terjadi, andai dia mengakui perasaannya jauh-jauh hari.

~ fin


Review-nya kak
Share:

Suatu Hari di Musim Dingin | A Flash Fan Fiction

Yosh! Ini adalah fanfict pertama saya. Kebetulan ini adalah fanfict dari fandom Hyouka, fandom yang mungkin nggak se-mainstream fandom lainnya. Dan karena ini adalah fanfict pertama yang sukses ditulis setelah cari inspirasi sambil goleran di atas kasur, pasti bakal ada banyak kesalahan. Entah itu cerita yang ngawur, typo, serta karakter yang OOC. Jadi, dengan penuh kerendahan hati, saya mohon review-nya.

Title : Suatu Hari di Musim Dingin
Type : Flash Fan Fiction
Genre : Romance, One-shot
Fandom : Hyouka
Pairing : SatoshixMayaka
Disclaimer : karakter pada cerita ini sepenuhnya milik dari sang kreatornya.


Suatu Hari di Musim Dingin

http://stuffpoint.com/hyouka/image/94988-hyouka-fukube-satoshi-ibara-mayaka.jpg
#Fukube Satoshi #Ibara Mayaka from stuffpoint.com


"Apa kau merasakannya?" Sebuah tanya terdengar dari seorang gadis berjaket pink tebal.

Tapi karena tubuhnya yang mungil, gadis itu nampak sedang dimakan oleh jaketnya sendiri.

"Fuku-chan! Apa kau mendengarku?!" Gadis berambut pendek itu menyenggol pemuda yang saat ini berjalan di sebelahnya. Membuat pemuda beriris coklat cerah itu tersentak dari lamunannya.

"Ah, maaf Mayaka. Aku tidak mendengarmu." Pemuda itu tersenyum menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal. Membuat wajah Mayaka memerah.

"Selalu saja begitu," gerutu Mayaka lirih. Membuat pemuda bersyal kuning itu kebingungan dengan sikap Mayaka.

Mereka kembali berjalan dalam diam. Musim dingin kali ini entah kenapa terasa lebih dingin dari tahun-tahun sebelumnya. Terutama bagi Mayaka yang hampir dibuat membeku oleh Fukube Satoshi, cinta pertamanya, yang tak pernah mau menanggapinya dengan serius.

"Mayaka!" Terdengar teriakan yang membuat Mayaka menoleh, kembali dari lamunan. Tapi apa yang dia dapatinya adalah sekaleng kopi hangat yang mendarat tepat di dahinya yang terhalang poni. Dia meraih minuman itu, lalu mendelik ke arah Satoshi yang tak bisa menahan tawa dan terbahak sambil bersandar di mesin penjual minuman.

Segera dia mengalihkan pandangannya dari Satoshi, kemudian memegang kopi itu dengan kedua tangannya. Dia meresapi sensasi yang dia rasakan dari balik sarung tangan warna putihnya. "Tidak bisakah kau sehangat kopi ini?" bisik Mayaka, "sedikit saja ... untukku."

"Mayaka, apa kau tahu?" Satoshi menahan kalimatnya. Membuat Mayaka memperhatikannya. "Aku sedang menyukai seseorang. Sudah lama sekali, tapi aku tak punya keberanian untuk mengungkapkan perasaanku padanya."

Nafas Mayaka tertahan dan udara dingin semakin membuatnya tersekat. Dia baru saja mendengar sesuatu yang tak biasanya dari sosok Satoshi yang dia kenal tak pernah serius dan selalu bercanda. Dan kali ini, pemuda berambut spike itu memberitahunya kalau dia sedang menyukai seseorang. Dan, lagi, sama sekali tak nampak candaan dari wajah, kalimat, maupun intonasi bicaranya. Dia merasa aneh. Terlebih ketika dia merasa ada yang sedang menghantam dadanya. Sesak. Membuat matanya panas.

"Jadi ... Mayaka. Maukah kau membantuku ... berlatih?" Kali ini mereka berdiri berhadapan. Saling menatap satu sama lain dengan pengharapan yang berbeda.

"Fuku-chan bodoh." Bisikan lirih yang hampir tak terdengar dari Mayaka. Dia kemudian tertunduk. Menggeretakkan gigi agar dia tidak menangis adalah satu hal yang bisa dilakukannya saat ini.

Tanpa menghiraukan Mayaka, Satoshi nampak mengeluarkan sesuatu dari tas rajut warna kuning bergaris oranye yang selalu menggantung di tangannya. Lalu mengenakan benda itu kepada Mayaka. Sebuah topeng dengan wajah gadis yang dia sukai. Wajah Satoshi pun langsung merona merah melihat wajah pada topeng itu. Mayaka dapat dengan jelas melihatnya dari balik lubang kecil pada topeng itu.

Satoshi menarik nafas panjang. Tangannya meraih kedua tangan Mayaka, yang saat ini adalah tangan gadis yang dia suka. "Aku ... sudah lama ... menyukaimu."

Hentikan.

"Maukah kau ..."

Kumohon, Fuku-chan. Aku tak sanggup. Air mata Mayaka pun tumpah. Dia tak sanggup lagi menahannya.

"Maukah kau pergi berkencan ... denganku?" Suara Satoshi terdengar gemetar dan gugup namun begitu terasa ketulusannya. Setidaknya itulah yang dirasakan oleh Mayaka yang sedetik kemudian melepas paksa genggaman tangan Satoshi. Dia segera melepas topeng konyol itu dan berniat menghempaskannya ke salju di bawah kakinya ketika dia melihat wajah yang ada di topeng itu. Wajah yang sangat dia kenali.

"Fuku … -chan? Apa ... ini? Apa kau … sedang menjahiliku? Kau ... benar-benar keterlaluan!" Tangisan Mayaka tak lagi bisa terbendung. Seolah seluruh perasaannya kepada Satoshi tengah ikut mengalir keluar. Membuat Satoshi terpaku di tempatnya. Lalu tanpa kata meraih tubuh mungil relawan penjaga perpustakaan itu dan menariknya ke dalam pelukannya. Membuat tangisan Mayaka yang sempat terhenti semakin deras.

"Maaf, satu-satunya hal yang bisa kupikirkan adalah ini," kata Satoshi lembut seiring tangis Mayaka yang perlahan reda.

"Fuku-chan bodoh. Kau harus membayarnya dengan secangkir cokelat panas. Lagipula ...."

"Hm?"

"Aku tak terlalu suka kopi … apa lagi yang sudah dingin," kata Mayaka lirih sambil menatap sekaleng kopi yang hampir beku. Membuat Satoshi tertawa.

Musim dingin kali ini entah kenapa terasa lebih dingin dari tahun-tahun sebelumnya. Tapi beberapa menit lalu sepertinya berubah menjadi musim dingin terhangat bagi Mayaka. Dia tak lagi harus membeku dan menahan perasaannya kepada Fukube Satoshi, cinta pertamanya, yang saat ini duduk di hadapannya bersama sepasang cokelat hangat. Yang beberapa menit lalu mengajaknya berkencan dengan cara yang ... agak ... pengecut. Menggunakan topeng dengan wajah gadis yang disukainya. Membuat Mayaka seperti hampir terhempas ke ujung semesta ketika tahu siapa wajah di topeng itu. Wajah seorang gadis relawan perpustakaan yang suka bicara blak-blakan dan selama 3 tahun memendam perasaannya kepada orang yang dia suka. Ibara Mayaka.

===

Maaf, cuma dikit karena emang baru bisa segitu. Gimana? Mohon kritik dan sarannya ya? ^^,
Share:

Meleleh... Hati dan Mentega yang Tertukar | Flash Fiction

Karakternya masih Andra-Nindi. Entah kenapa lagi suka bikin cerita dari kombi dua karakter ini. Andra yang agak "nggak nyambung" tapi sebenernya pinter dan Nindi si cantik yang diam-diam ditaksir Andra, yang suka banget bakso dan sering nggak sabaran sama "nggak nyambung"nya si Andra.

Meleleh... Hati dan Mentega yang Tertukar | A Flash Fiction by @NVRstepback

Aku menghela nafas. Kejadian yang beberapa menit lalu seolah berlalu tak tercatat waktu. Aku berbalik dan mulai melangkahkan kaki untuk pergi. Ada beberapa rasa yang memberontak memintaku untuk berteriak. Ah, tapi tak etis jika berteriak di jalanan yang ramai dengan lalu lalang orang bukan? Heh.
Sesampainya di depan sebuah kedai kopi, langkahku terhenti oleh dering ponsel di saku celanaku. Aku sedikit kaget melihat nama yang tertera di layar ponselku. Setelah mengatur nafas, aku menerima panggilan itu.
"Ha-"
"Andra bego! Dari tadi ke mana aja?! Aku udah nungguin sejam lebih sampe kopiku dingin tau!" Bentak suara dari seberang ponsel. Tapi, entah kenapa terdengar begitu dekat.
Pletak! Ada sesuatu yang mengenai kepalaku. Dan saat menoleh ke arah benda itu berasal, aku mendapati seorang gadis berkacamata dengan ponsel yang menempel di telinga kanannya.
"Nin, kamu lagi di kedai kopi bukan?" Tanyaku pada orang yang menelponku mengabaikan gadis berambut lurus sebahu yang nampak menatapku dengan penuh amarah.
"Ati-ati, ada cewek aneh lagi ngamuk-ngamuk." Lanjutku sambil sedikit berbisik. Aku tak ingin Nindi sampai bertemu gadis aneh yang entah kenapa aku merasa dia sedang mendekatiku.
"ANDRA!!! INI AKU! NINDI!!!" Bentak suara dari ponselku. Dan aku merasa suara itu sama persis dengan suara yang kudengar di sebelahku. Jangan-jangan...
"Kamu... Nindi?" Tanyaku tidak percaya. Gadis bersweater putih itu tidak menjawab pertanyaanku. Wajahnya nampak marah dengan pipinya yang menggembung dan bibir yang manyun.
"Nin, sorry aku nggak kenalin kamu. Soalnya kamu..." Aku berbisik di ponsel.
"Apa?!" Bentaknya lagi.
"Cantik banget." Kututup telepon dan kumasukkan kembali ke dalam saku.
"Sorry, tadi ada nenek-nenek minta disebrangin. Pas udah nyampe di sebrang eh ada orang bawa kamera terus bilang kalo aku masuk acara tv gitu. Aku kecewa ternyata mereka manfaatin ketulusanku buat nolongin nenek itu untuk acara mereka. Huh." Aku segera melangkah masuk ke dalam kedai, tapi sesampainya di pintu kedai aku berhenti. Nindi masih berdiri dan diam saja.
"Nin?" Panggilku. Nindi berbalik.
"Andra aneh." Ucapnya sambil tertunduk dan berjalan melewatiku. Kulihat kepalanya sedikit berasap.
"Tapi Nin..." ucapku menyusul Nindi, "kamu beneran cantik."
"Bodo amat." Kata Nindi lirih. Ah, wajahnya nampak merah. Benar-benar membuatku meleleh. Hm... jangan-jangan saat ini hatiku tertukar dengan mentega. Serem.

-----
Share: