pic from lamfidel.wordpress.com |
"Selepas Hujan"
"Yuk pulang," ajakku kepada Nindi yang masih berkutat dengan ponselnya. Dia bergeming.
"Cantiiik~" Kali ini jari-jariku memerangkap hidung mancung Nindi. Memaksanya menengadah. Mengalihkan pandangannya kepadaku.
Tangan kanannya langsung menampik udara. Gagal mengenai tanganku yang
sudah duluan menghindar. "Aku udah cantik dari lahir, Ndra." Nindi
menjulurkan lidahnya.
Aku tersenyum. Tanpa bicara apa pun, aku
bangkit dan mulai melangkah meninggalkan halte. Setelah melangkah sejauh
5 meter, dari ekor mataku, aku melihat Nindi yang berlari mengejarku.
"Andra! Kok aku ditinggal." Nindi cemberut.
"Kamu dari tadi sibuk sendiri, sih," balasku sambil menunjuk ponsel
dengan softcase warna biru di genggamannya. Nindi tersenyum.
Hujan baru saja reda beberapa menit yang lalu. Jalan aspal dan trotoar
yang kami lewati masih basah menyisakan jejak air yang tadi sempat
bergemuruh. Namun hawa dingin yang sejak tadi menyergap masih
tertinggal. Beberapa kali kulirik Nindi yang nampak menggigil. Jaketnya
terlalu tipis untuk menangkis dingin.
"Nin."
"Hm?" Matanya masih terpaku di layar ponselnya. Lalu memasukkan ponsel tersebut ke dalam tas.
"Dingin nggak?" tanyaku.
"Iya, nih. Mana jaketku tipis lagi." Nindi menyilangkan tangannya.
Mendekap tubuhnya sendiri. Ah, ingin rasanya aku menggantikan kedua
tangannya yang kurus itu.
"Nih." Kupakaikan jaketku yang cukup tebal ke tubuhnya yang mungil. Kedua tangannya reflek menerimanya. Dia hanya diam.
"Udah nggak dingin, kan?" tanyaku memastikan. Nindi hanya menjawabnya
dengan anggukan. Tangannya yang sudah masuk ke dalam lengan jaket
tebalku kembali meraih ponsel lagi. Jemarinya dengan lincah menari di
atas layar.
Kami berjalan dalam diam. Karena kehabisan bahan
ngobrol, aku ikut-ikutan mengeluarkan ponsel hitam yang sudah
baret-baret di sana sini. Dengan beberapa kali ketukan, layar selebar 4
inchi di genggamanku sudah menampilkan sebuah halaman berisi baris-baris
kalimat dengan sebuah logo burung berwarna biru. Twitter.
Jariku berhenti men-scroll layar ketika mataku menangkap sebuah tweet di halaman tersebut.
"Aku menyukai hujan, seperti aku menyukaimu. Memang seringkali terasa dingin, tapi selalu ada kejutan yang bisa menghangatkanku ."
Tweet dari sebuah akun dengan avatar sebuah kacamata ber-frame hitam dengan username yang sangat kukenal.
Jantungku seolah tersengat listrik. Tersentak, hampir membuatku
pingsan. Mataku beralih dari ponselku. Melirik pemilik akun yang saat
ini sedang senyum-senyum sendiri di sebelahku. Apa-apaan ini?
~ fin