Tampilkan postingan dengan label Hyouka. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Hyouka. Tampilkan semua postingan

Gloomy Spring | A Hyouka FanFiction

Gloomy Spring

“Ini teh anda, o hime-sama,” ucap seorang pemuda berpakaian pelayan sambil meletakkan sebuah nampan dengan secangkir teh di atasnya.
“Oreki, kita hanya berdua. Apa kau lupa dengan permintaanku waktu itu?” Seorang gadis dengan rambut panjang yang hitam berkilau nampak merajuk. Memasang wajah yang ditekuk.
Oreki Houtarou, pemuda itu, hanya bisa menghela napas mendengarnya. “Baik-baik. Maafkan aku, Chintanda.” Chintanda Eru, tersenyum. Dia meraih cangkir itu lalu meminumnya hingga tersisa setengah, lalu meletakkannya lagi.
“Jadi, bagaimana perkembangan terakhir dari novel yang kau tulis? Aku dengar sudah memasuki bab terakhir?” Oreki sudah bisa menduganya. Sebuah pertanyaan pembuka yang akan menarik lebih banyak pertanyaan baru jika dia tidak pandai-pandai mencari jawaban yang ‘tepat’.
“Hampir selesai. Tinggal memasukkan unsur kejutan sebagai pukulan terakhir lalu membuat ending yang sesuai agar tidak menghancurkan keseluruhan cerita.” Oreki menjatuhkan dirinya di teras kayu di depan pintu kamar Chitanda. Matanya menatap kosong halaman belakang yang luasnya hampir setara dengan rumahnya.
“Unsur kejutan? Pukulan terakhir?” Chitanda tak henti-hentinya menggumamkan kata-kata itu. Sesuatu yang asing bagi orang sepertinya. Tanpa disadari Oreki yang masih menikmati kekosongan dalam lamunan, Chitanda merangsek mendekati pintu. Mendekatinya.

Oreki menoleh, mendapati Chitanda yang kepayahan bergerak dengan selimut yang masih membungkus tubuhnya. Reflek, dia bangkit kemudian meraih tubuh lemah itu ke dalam pelukannya. Menuntunnya kembali ke futon yang masih hangat karena baru saja ditinggalkan beberapa menit saja.

“Jangan sembrono, Chitanda! Lain kali panggil saja aku! Kau tidak perlu susah payah bergerak seperti ini!” Nampak kegusaran di wajah Oreki yang biasanya hanya menampilkan ekspresi datar seperti kayu dengan mata seperti milik ikan mati. Dan semua itu tertangkap jelas oleh iris ungu Chitanda yang pelupuknya mulai terasa panas. Sementara Oreki, dengan lembut membantu Chitanda rebah lalu menyelimutinya.

Hening memasuki kamar luas itu. Mengubah musim semi yang seharusnya terasa hangat menjadi dingin dan menusuk. Setidaknya di antara Oreki dan Chitanda. Membawa mereka ke dalam lamunan masing-masing. Namun, apa yang mereka pikirkan kurang lebih sama

Mereka bertemu di awal musim dingin ketika keluarga Chitanda sedang mencari pelayan pribadi untuk merawat Chitanda yang memiliki kondisi tubuh yang lemah. Di saat itulah Irisu Fuyumi, putri dari salah satu kenalan keluarga Chitanda mengenalkan sosok Oreki Houtarou kepada mereka.

Awalnya, keluarga Chitanda kurang menerima karena mereka menghendaki pelayan wanita. Tapi setelah diyakinkan oleh Irisu, mereka pun luluh. Akhirnya, Oreki pun bekerja sebagai pelayan pribadi sekaligus penjaga Chitanda Eru, sang tuan putri. Dan ketika mereka hanya berdua saja, Oreki akan berubah menjadi sosok yang lain. Seorang teman. Seorang yang selalu menceritakan hal-hal menarik. Seorang yang tak pernah jemu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dia tanyakan sekalipun itu membosankan. Dan, yang tidak diketahui oleh banyak orang, bahkan oleh Oreki, Chitanda sudah menganggapnya sebagai sosok yang sangat dia kagumi. Yang dia cintai.

Yang belum lama ini terjadi, adalah ketika pohon sakura di halaman belakang mekar. Mata ungu Chitanda tiba-tiba bersinar dan sama sekali tidak menyiratkan sorot mata seseorang dengan keadaan yang sangat lemah. Dan dengan rasa keingintahuannya yang sangat besar, Chitanda memberondongnya dengan berbagai pertanyaan tentang sakura.

“Oreki, kenapa pohon itu baru mekar di musim semi?”
“Oreki, apakah dia bisa mekar di musim lain?”
“Oreki, kenapa warnanya bisa seindah itu?”
“Oreki, bagaimana rasanya duduk di bawah sana?”
“Oreki, maukah kau duduk di sana denganku?”

Ah, pertanyaan terakhir itu sepertinya hanya ada di dalam ruang imaji Oreki yang saat ini tiba-tiba terkekeh. Dia sudah kembali dari lamunannya. Dari ekor mata, dia dapat melihat wajah Chitanda yang nampak sedang tertidur. Dia menghela napas. Memerintahkan kepanikan yang tadi sempat merayapinya agar segera pergi dan menghilang. Lalu dia teringat sesi penutup tanya jawab saat itu. Perubahan peran. Oreki menjadi bagian penanya.
***
“Chitanda. Apakah kau merasa bahagia menjalani hidup seperti ini?” Sebuah pertanyaan yang langsung mengenai sasaran. Chitanda seperti tertohok. Ada rasa menyesal yang muncul di hati Oreki. Ingin sekali dia meralat pertanyaan itu, tapi buru-buru dia batalkan ketika Chitanda sudah mulai bicara.
“Aku tidak bahagia.” Oreki tercekat.
“Chitanda, maaf. Kau tidak harus-“
“Hanya bisa terbaring di sini menunggu belas kasihan orang lain. Tidak bisa menjalani hidup layaknya orang normal. Aku sama sekali tidak bahagia, Oreki. Terkadang, aku benar-benar ingin mati.” Chitanda tersenyum. Sebuah senyum penuh kegetiran.
“Tapi … baru-baru ini aku mulai merasa bahagia. Terlebih setelah kau hadir.” Kalimat terakhir diucapkan dengan suara yang amat lirih. Membuat Oreki harus memelengkan kepalanya untuk berusaha menangkap suara itu.
“Ha?”
“Oreki. Aku ingin menjadi seperti sakura. Meskipun hanya mekar di musim semi dan lenyap bahkan sebelum musim semi berakhir, sakura selalu bisa terlihat indah. Begitu hidup. Dan saat ini, aku merasa benar-benar hidup, Oreki. Terima kasih.” Chitanda menutup kalimatnya dengan sebuah senyuman yang nampak begitu bersinar di mata Oreki.
“Terima kasih?” Oreki tidak mengerti. Chitanda seolah enggan menjawab ketidakmengertian Oreki dan hanya tertawa kecil.

***

“Kau belum menghabiskan tehmu,” ucap Oreki lirih sambil menarik nampan dengan secangkir teh di atasnya. Yang sudah dingin.

Tepat sebelum dia bangkit dan beranjak dari sisi Chitanda, Oreki merasakan sesuatu yang menarik ujung lengan panjang bajunya. Tangan mungil Chitanda. Sebuah tarikan yang sangat lemah, yang meskipun dapat dengan mudah dilepas, Oreki memilih untuk kembali duduk. Meraih tangan itu lalu menggenggamnya. Erat.

“Maafkan aku, hime. Mungkin ini adalah pertemuan terakhir kita.” Oreki mengangkat tangan itu ke depan wajahnya lalu menciumnya. Lembut. Membuat Chitanda terbangun tanpa disadari.
“Oreki?” ucap Chitanda lirih. Oreki menyambut wajah yang masih dikuasai kantuk itu dengan sebuah senyuman. Berusaha menyamarkan air mata yang tadi sempat jatuh.
“Maaf sudah membangunkanmu.”
“Oreki, bolehkah aku meminta kau melakukan sesuatu?” tanya Chitanda. Ada keraguan yang tersirat di dalam suara itu. Juga kelemahan.
“Kenapa kau harus bertanya? Apapun akan kulakukan untukmu hime- Chitanda. Apa itu?” Oreki membantu Chitanda untuk duduk.
“Tolong bawa aku keluar. Ke bawah pohon sakura itu.” Sebuah permintaan sederhana yang terlontar dengan suara yang seolah sedang meminta kehidupan. Oreki merasakan ada yang tidak beres. Tapi dengan segenap tenaga, dia berusaha mengabaikannya.

Tanpa mengucapkan sepatah katapun, Oreki mengangkat tubuh Chitanda dari futon. Membawanya dengan perlahan keluar dari ruangan luas yang terasa sunyi itu. Tubuh lemah itu terasa begitu ringan dan juga rapuh. Dengan mantap, Oreki terus berjalan melewati pintu, menuju jalan setapak di halaman belakang itu, lalu berhenti di bawah kelopak-kelopak sakura.

“Kita sudah sampai.” Dengan perlahan, Oreki menurunkan Chitanda. Membiarkannya duduk bersandar di batang kokoh sakura. Lalu dia jongkok bertumpu satu lutut di hadapannya.
“Oreki, maukah kau mendengarkan permintaanku?”
“Tentu, akan kudengarkan.”
“Tapi … tolong dengarkan permintaan ini sebagai sebuah permintaan dari seorang Chitanda Eru, seorang gadis biasa bukan seorang tuan putri. Dan aku meminta jawaban dari seorang Oreki, bukan seorang pelayan tuan putri. Bisa?”

Napas Oreki tertahan. Sebuah permintaan bersifat personal!

“Y-Ya.” Oreki tidak bisa menyembunyikan kegugupannya.
“Oreki Houtarou. Aku …”
Sesak mulai memenuhi seisi dada Oreki. Terlebih ketika tubuh Chitanda mulai condong ke arahnya. Tak lagi bersandar.
“… selama ini …”
Detak jantungnya mulai berakselerasi.
“… aku men-“

Chitanda ambruk di pelukannya. Tepat sebelum kalimat itu selesai diucapkan. Jantung Oreki seperti hendak melompat keluar. Dengan sigap dia meraih bahu Chitanda dan memeriksa raut mukanya. Sangat pucat dengan napas yang tersengal. Denyut nadinya juga sangat lemah. Dan semakin lemah.

“Chitanda! Bertahanlah! Chitanda!!”

***

Oreki yang masih dibalut setelan hitam-hitam duduk sendirian di teras kayu di depan kamar Chitanda. Matanya menatap kosong halaman luas yang kini terasa jauh lebih kosong. Hanya pohon sakura yang saat ini sedang mekar, satu-satunya entitas tersisa yang bisa dia nikmati. Meskipun, tidak dapat dipungkir, warna sakura yang mekar musim semi kali ini jauh berbeda. Terlihat kusam. Abu-abu. Itulah yang ditangkap oleh mata sembab Oreki.

Di tangan kanannya, sebuah buku berukuran sedang dengan halaman yang tak terlalu tebal terbuka tepat di bagian tengahnya. Mata Oreki sudah beralih dari sakura kusam di hadapannya ke sebuah kertas kecil berisi pesan singkat yang ada di halaman itu.

Terima kasih atas peran yang kau mainkan.
Dengan ini, kau dan keluargamu bebas dari semua hutang dan hukuman.
Kau boleh pergi sekarang.

Oreki menggigit bibirnya. Mengambil kertas kecil itu lalu meremasnya. Dengan langkah gontai, dia berjalan mendekati pohon sakura yang masih mekar. “Novel” yang dia tulis benar-benar selesai. Dengan kematian sang putri sebagai puncak cerita, kisah roman itu benar-benar akan menjadi sebuah kisah yang menyentuh. Tidak hanya menyentuh, tetapi juga mencabik-cabik dan membuat hati setiap pembacanya hancur. Dan kini, Oreki sedang mempersiapkan ending-nya.

Dengan tatapan mata yang kosong, Oreki mengeluarkan sebuah pisau dari saku jaketnya. Kepalanya mendongak. Mengizinkan matanya menatap kelopak-kelopak sakura itu terakhir kali dengan bulir-bulir air mata yang menetes. Dengan satu gerakan, dia menghujamkan pisau itu ke dada kirinya. Tepat mengenai jantungnya. Beberapa detik kemudian, tubuhnya terhempas ke tanah. Sebuah kelopak sakura jatuh di atas wajahnya yang tersenyum bahagia.


Maafkan aku, cinta
Seharusnya aku meminum teh beracun yang tersisa saat itu juga
Agar aku bisa menghadapi kematian bersamamu
Bukan menghadapinya sendirian seperti ini
Semoga di kehidupan berikutnya nanti, aku bisa kembali bertemu denganmu
Bukan sebagai sosok yang berperan sebagai pencabut nyawa
Tapi menjadi seseorang yang mencintaimu
Tanpa kebohongan
Tanpa motif
Tanpa kepura-puraan
Murni sebuah kejujuran
Mencintaimu karena … aku mencintaimu

~ fin ~
Share:

Suatu Hari di Musim Dingin | A Flash Fan Fiction

Yosh! Ini adalah fanfict pertama saya. Kebetulan ini adalah fanfict dari fandom Hyouka, fandom yang mungkin nggak se-mainstream fandom lainnya. Dan karena ini adalah fanfict pertama yang sukses ditulis setelah cari inspirasi sambil goleran di atas kasur, pasti bakal ada banyak kesalahan. Entah itu cerita yang ngawur, typo, serta karakter yang OOC. Jadi, dengan penuh kerendahan hati, saya mohon review-nya.

Title : Suatu Hari di Musim Dingin
Type : Flash Fan Fiction
Genre : Romance, One-shot
Fandom : Hyouka
Pairing : SatoshixMayaka
Disclaimer : karakter pada cerita ini sepenuhnya milik dari sang kreatornya.


Suatu Hari di Musim Dingin

http://stuffpoint.com/hyouka/image/94988-hyouka-fukube-satoshi-ibara-mayaka.jpg
#Fukube Satoshi #Ibara Mayaka from stuffpoint.com


"Apa kau merasakannya?" Sebuah tanya terdengar dari seorang gadis berjaket pink tebal.

Tapi karena tubuhnya yang mungil, gadis itu nampak sedang dimakan oleh jaketnya sendiri.

"Fuku-chan! Apa kau mendengarku?!" Gadis berambut pendek itu menyenggol pemuda yang saat ini berjalan di sebelahnya. Membuat pemuda beriris coklat cerah itu tersentak dari lamunannya.

"Ah, maaf Mayaka. Aku tidak mendengarmu." Pemuda itu tersenyum menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal. Membuat wajah Mayaka memerah.

"Selalu saja begitu," gerutu Mayaka lirih. Membuat pemuda bersyal kuning itu kebingungan dengan sikap Mayaka.

Mereka kembali berjalan dalam diam. Musim dingin kali ini entah kenapa terasa lebih dingin dari tahun-tahun sebelumnya. Terutama bagi Mayaka yang hampir dibuat membeku oleh Fukube Satoshi, cinta pertamanya, yang tak pernah mau menanggapinya dengan serius.

"Mayaka!" Terdengar teriakan yang membuat Mayaka menoleh, kembali dari lamunan. Tapi apa yang dia dapatinya adalah sekaleng kopi hangat yang mendarat tepat di dahinya yang terhalang poni. Dia meraih minuman itu, lalu mendelik ke arah Satoshi yang tak bisa menahan tawa dan terbahak sambil bersandar di mesin penjual minuman.

Segera dia mengalihkan pandangannya dari Satoshi, kemudian memegang kopi itu dengan kedua tangannya. Dia meresapi sensasi yang dia rasakan dari balik sarung tangan warna putihnya. "Tidak bisakah kau sehangat kopi ini?" bisik Mayaka, "sedikit saja ... untukku."

"Mayaka, apa kau tahu?" Satoshi menahan kalimatnya. Membuat Mayaka memperhatikannya. "Aku sedang menyukai seseorang. Sudah lama sekali, tapi aku tak punya keberanian untuk mengungkapkan perasaanku padanya."

Nafas Mayaka tertahan dan udara dingin semakin membuatnya tersekat. Dia baru saja mendengar sesuatu yang tak biasanya dari sosok Satoshi yang dia kenal tak pernah serius dan selalu bercanda. Dan kali ini, pemuda berambut spike itu memberitahunya kalau dia sedang menyukai seseorang. Dan, lagi, sama sekali tak nampak candaan dari wajah, kalimat, maupun intonasi bicaranya. Dia merasa aneh. Terlebih ketika dia merasa ada yang sedang menghantam dadanya. Sesak. Membuat matanya panas.

"Jadi ... Mayaka. Maukah kau membantuku ... berlatih?" Kali ini mereka berdiri berhadapan. Saling menatap satu sama lain dengan pengharapan yang berbeda.

"Fuku-chan bodoh." Bisikan lirih yang hampir tak terdengar dari Mayaka. Dia kemudian tertunduk. Menggeretakkan gigi agar dia tidak menangis adalah satu hal yang bisa dilakukannya saat ini.

Tanpa menghiraukan Mayaka, Satoshi nampak mengeluarkan sesuatu dari tas rajut warna kuning bergaris oranye yang selalu menggantung di tangannya. Lalu mengenakan benda itu kepada Mayaka. Sebuah topeng dengan wajah gadis yang dia sukai. Wajah Satoshi pun langsung merona merah melihat wajah pada topeng itu. Mayaka dapat dengan jelas melihatnya dari balik lubang kecil pada topeng itu.

Satoshi menarik nafas panjang. Tangannya meraih kedua tangan Mayaka, yang saat ini adalah tangan gadis yang dia suka. "Aku ... sudah lama ... menyukaimu."

Hentikan.

"Maukah kau ..."

Kumohon, Fuku-chan. Aku tak sanggup. Air mata Mayaka pun tumpah. Dia tak sanggup lagi menahannya.

"Maukah kau pergi berkencan ... denganku?" Suara Satoshi terdengar gemetar dan gugup namun begitu terasa ketulusannya. Setidaknya itulah yang dirasakan oleh Mayaka yang sedetik kemudian melepas paksa genggaman tangan Satoshi. Dia segera melepas topeng konyol itu dan berniat menghempaskannya ke salju di bawah kakinya ketika dia melihat wajah yang ada di topeng itu. Wajah yang sangat dia kenali.

"Fuku … -chan? Apa ... ini? Apa kau … sedang menjahiliku? Kau ... benar-benar keterlaluan!" Tangisan Mayaka tak lagi bisa terbendung. Seolah seluruh perasaannya kepada Satoshi tengah ikut mengalir keluar. Membuat Satoshi terpaku di tempatnya. Lalu tanpa kata meraih tubuh mungil relawan penjaga perpustakaan itu dan menariknya ke dalam pelukannya. Membuat tangisan Mayaka yang sempat terhenti semakin deras.

"Maaf, satu-satunya hal yang bisa kupikirkan adalah ini," kata Satoshi lembut seiring tangis Mayaka yang perlahan reda.

"Fuku-chan bodoh. Kau harus membayarnya dengan secangkir cokelat panas. Lagipula ...."

"Hm?"

"Aku tak terlalu suka kopi … apa lagi yang sudah dingin," kata Mayaka lirih sambil menatap sekaleng kopi yang hampir beku. Membuat Satoshi tertawa.

Musim dingin kali ini entah kenapa terasa lebih dingin dari tahun-tahun sebelumnya. Tapi beberapa menit lalu sepertinya berubah menjadi musim dingin terhangat bagi Mayaka. Dia tak lagi harus membeku dan menahan perasaannya kepada Fukube Satoshi, cinta pertamanya, yang saat ini duduk di hadapannya bersama sepasang cokelat hangat. Yang beberapa menit lalu mengajaknya berkencan dengan cara yang ... agak ... pengecut. Menggunakan topeng dengan wajah gadis yang disukainya. Membuat Mayaka seperti hampir terhempas ke ujung semesta ketika tahu siapa wajah di topeng itu. Wajah seorang gadis relawan perpustakaan yang suka bicara blak-blakan dan selama 3 tahun memendam perasaannya kepada orang yang dia suka. Ibara Mayaka.

===

Maaf, cuma dikit karena emang baru bisa segitu. Gimana? Mohon kritik dan sarannya ya? ^^,
Share: