Yak! Flash Fiction lagi~ kenapa flashfic lagi? Well, saya masih belajar bikin konflik. Nah, daripada bikin konflik di dunia nyata dengan ngompor-ngomporin orang, kan mending bikinnya di dunia tulis yang fiktik. Kan? Hoehehe
Title : A Secret Admirer's Admirer
Terinspirasi dari buku Relationshit-nya bang @shitlicious
A Secret Admirer's Admirer
"Cinta yang tak diungkapkan ibarat pedang bermata dua. Dia mampu membunuh dua hati sekaligus."
pic from "Ao Haru Ride" anime |
Dia masih berdiri terpaku di tempatnya kini berdiri. Kalimat yang baru
saja dia dengar dari seseorang yang sangat berarti baginya begitu lancar
menusuk jantungnya. Sorot matanya kosong, meski ada bulir-bulir air
tertahan di ujungnya. Terulas senyum getir di ujung bibirnya yang
gemetar menahan kalut di dalam dadanya.
"Jadi begitu ... ya? Ah, aku benar-benar bodoh."
***
Seorang gadis dengan sweater rajut warna biru muda nampak berdiri cemas
di depan pintu lusuh sebuah kost-kostan. Di tangan kirinya tergantung
kantong plastik hitam berisi buah-buahan. Tangan kanannya, dengan
sedikit ragu, dia angkat lalu mengetuk pintu yang warnanya memudar itu.
Sesaat kemudian, pintu itu ditarik ke arah dalam. Muncul sosok pemuda
yang lehernya terbelit syal dan tubuhnya terbungkus jaket tebal.
"Rara! Eh, kok di sini?" Pemuda itu kaget dengan kedatangan tamu itu. Tubuhnya menjadi terasa lebih panas.
"Hai, Rio. Aku dengar kamu sakit. Kebetulan juga aku lewat sini, jadi
sekalian mampir deh." Rara menyerahkan bungkusan buah itu sambil
tersenyum.
"Duh, bisa pingsan aku kalau kelamaan melihat senyum Rara," batin Rio.
"Eh, sini masuk tapi ruangannya berantakan. Hehe." Rio segera
mempersilakan Rara masuk. "Mau minum apa? Biar aku pesan di warung
depan."
"Aduh, jangan deh. Nanti ngrepotin. Kamu kan juga lagi sakit." Rara mencoba menolak.
"Ra, aku udah agak baikan kok," tegas Rio.
"Ya udah, teh botol aja," jawab Rara pasrah. Rio pun bergegas keluar.
Mata Rara tak henti-hentinya memandangi ruangan berukuran 3x4 meter itu
beserta berbagai interior serta atribut dindingnya. Dia tersenyum
simpul menyadari bahwa teman barunya ini tidak terlalu pintar dalam
menata ruangan seprivat kamar. Pandangannya tiba-tiba tertuju ke
tumpukan kertas di dekat kaki meja. Rasa penasarannya membuatnya meraih
selembar kertas berwarna kuning pucat. Kertas itu nampak lusuh.
Rara mulai membaca kata demi kata pada kertas itu. Semakin lama dia
membaca, semakin kuat pula tekanan yang dia rasakan dalam dadanya. Dia
kenal betul dengan kalimat-kalimat indah itu. Dia pun hampir hafal separuhnya, karena ... dia memiliki
versi utuh puisi itu yang tersimpan rapi di salah satu laci kamarnya.
Air matanya mulai menetes ketika Rio tiba-tiba muncul.
"Ra ... kamu
kenapa?" Tapi Rio langsung bungkam tak mengharap jawaban apapun ketika
melihat apa yang sedang berada di tangan Rara saat ini. Hening datang.
Mereka terdiam.
"Rara. Sebenarnya aku--"
"Kamu jahat, Rio. Kamu jahat!" Rara memotong kalimat Rio. "Kenapa harus sekarang?"
"Aku cuma nggak tahu bagaimana caranya, Ra. Kupikir dengan puisi-puisi anonim itu, aku bisa bikin kamu bahagia dan--"
"Bahagia kamu bilang? Mungkin di mata kamu aku bahagia, Rio. Tapi
pernah nggak kamu berpikir lebih jauh? Di dalam sini aku tersiksa! Kamu
di posisi yang lebh baik karena bisa tahu kepada siapa kamu mencurahkan
cinta. Tapi bisa nggak kamu mengerti posisiku? Tiap malam aku dibuat
bertanya-tanya siapa pemilik kalimat-kalimat
indah itu, Rio. Aku jatuh cinta. Tapi aku nggak tahu seperti apa
sosoknya. Itu benar-benar bikin aku tersiksa sendirian, Rio!" Dada Rio
terasa lega sekaligus sesak mendengar kalimat-kalimat Rara. Pengakuan yang tak disangka-sangka .
"Maafin aku, Ra. Aku memang sudah lama jatuh cinta kepadamu. Aku--" Rio lagi-lagi tak sempat menyelesaikan kalimatnya.
"Tapi semuanya sudah terlambat. Aku nggak mungkin menerima perasaan
kamu, Rio. Terlebih setelah dengan seenaknya kamu menguburku dalam rasa
penasaran yang akhirnya membunuhku. Permisi." Dengan mata sembab, Rara
pergi melewati Rio yang sama sekali tak bergerak. Langkah kakinya
perlahan mulai menghilang dari jangkauan indera dengar Rio. Dia pergi.
Sangat jauh.
***
Dia masih berdiri terpaku di tempatnya kini
berdiri. Minuman teh botol yang dia bawa terjatuh begitu saja.
Menggenang di sekitar kakinya. Kalimat yang baru saja dia dengar dari
seseorang yang sangat berarti baginya begitu lancar menusuk jantungnya.
Sesalnya kini tak ada arti. Merutuki kebodohannya pun tak akan membuat
waktu terulang kembali.
"Sepertinya menjadi seorang pemuja rahasia
bukan hal yang bagus. Aku membuat dua hati yang seharusnya saling
mengenal pada akhirnya mati di tempat yang saling berjauhan." Rio
terduduk lesu. Malam ini dia tak bisa lagi menulis puisi untuk Rara. Dia
sudah membunuh hati Rara ... dan hatinya sendiri. Mati dalam sesal yang
tak seharunya terjadi, andai dia mengakui perasaannya jauh-jauh hari.
~ fin
Review-nya kak