"Seseorang"
Sabtu pagi ini, langit terlihat cerah. Tak ada satu pun awan kelabu
yang beberapa hari kemarin bertengger menghalangi sinar matahari.
Bulir-bulir embun bening berkumpul di ujung-ujung daun. Hawa dingin
seolah menahan mereka untuk jatuh, seperti halnya Andra yang masih
bersembunyi di balik selimut tebal. Padahal alarm yang berada 1 hasta
darinya sudah meraung-raung sejak 1 jam yang lalu. Gravitasi kasurnya
begitu kuat, sebelum semuanya buyar oleh dering ponsel. Terutama karena
sebaris nama di layarnya.
"Ee ... halo?" Andra masih tak beranjak.
"Kamu udah nyampe mana?" tanya lawan bicara Andra.
"Aku masih di jalan nih. Tahu sendiri, kan aku nggak ada kendaraan, jadi agak lama," balas Andra. Kali ini dia sudah duduk.
"Kamu tahu, kan ini udah jam berapa? Kamu tuh ya, suka banget bikin orang nunggu."
"Iya iya. Tunggu bentar lagi." Andra menutup teleponnya lalu bergegas bersiap-siap.
"Kamu udah nyampe mana?" tanya lawan bicara Andra.
"Aku masih di jalan nih. Tahu sendiri, kan aku nggak ada kendaraan, jadi agak lama," balas Andra. Kali ini dia sudah duduk.
"Kamu tahu, kan ini udah jam berapa? Kamu tuh ya, suka banget bikin orang nunggu."
"Iya iya. Tunggu bentar lagi." Andra menutup teleponnya lalu bergegas bersiap-siap.
***
"Nin, kamu mau ke mana? Jam segini kok udah rapi banget?" tanya Mama
ketika melihat Nindi, putri kesayangannya sudah rapi dan wangi.
Nindi tersenyum. "Ada deh, Ma. Cuma mau main, kok."
"Sama Andra? Ciyee ... kapan kalian jadian? Papa cocok banget lho kalo kamu sama dia." Mendengar kalimat Papanya, Nindi tersipu. Dia yakin kalau beberapa hari ini, selepas 'insiden' telepon Andra, Papa dan Mama menyadari suasana hatinya yang sedang berbunga-bunga.
Nindi tersenyum. "Ada deh, Ma. Cuma mau main, kok."
"Sama Andra? Ciyee ... kapan kalian jadian? Papa cocok banget lho kalo kamu sama dia." Mendengar kalimat Papanya, Nindi tersipu. Dia yakin kalau beberapa hari ini, selepas 'insiden' telepon Andra, Papa dan Mama menyadari suasana hatinya yang sedang berbunga-bunga.
"Kami belum jadian kok, Pa. Hehehe."
"Lha? Buruan tembak aja. Dia kan orangnya baik. Sopan pula." Kali ini mama yang bersuara. Sementara papa dengan lahap menikmati semangkuk sup di hadapannya.
"Doain aja deh ya, Pa Ma. Soalnya Andra tuh orangnya kurang peka. Kalo enggak dipojokin dulu pasti nggak mau ngaku," terang Nindi.
"Ya udah, sarapan dulu sini," ajak mama.
"Enggak deh, Ma. Aku mau sarapan di luar."
"Sama Andra?" selidik papa.
"Papa apaan sih." Nindi pun berlalu di balik pintu.
"Lha? Buruan tembak aja. Dia kan orangnya baik. Sopan pula." Kali ini mama yang bersuara. Sementara papa dengan lahap menikmati semangkuk sup di hadapannya.
"Doain aja deh ya, Pa Ma. Soalnya Andra tuh orangnya kurang peka. Kalo enggak dipojokin dulu pasti nggak mau ngaku," terang Nindi.
"Ya udah, sarapan dulu sini," ajak mama.
"Enggak deh, Ma. Aku mau sarapan di luar."
"Sama Andra?" selidik papa.
"Papa apaan sih." Nindi pun berlalu di balik pintu.
Kaki-kaki Nindi menuntun pemiliknya ke sebuah area pertokoan. Karena
masih cukup pagi, beberapa kios nampak belum buka. Hanya beberapa kios
yang menjual kebutuhan sehari-hari serta satu dua kios yang menjual
makanan yang sudah stand by menunggu kedatangan pelanggan. Nindi
berjalan ke arah sebuah kios yang terletak di paling ujung barisan.
Warung nasi soto, tempat sarapan favorit Andra. Sebenarnya niat Nindi
bukan ingin sarapan, tapi ingin bertemu Andra. Bibirnya melengkung
melukiskan senyum.
"Eh, pagi Mbak Nindi. Mau pesen apa?" sapa seorang ibu paruh baya dengan nada ramah.
"Pagi, Bu Anti. Kayak biasanya deh." Nindi hendak berjalan mencari
tempat duduk ketika matanya melihat pemandangan tak biasa di salah satu
dari sekian meja yang ada.
Dari balik lensa kacamatanya, Nindi melihat Andra sedang
duduk berdua dengan seorang perempuan. Hanya berdua. Lebih dari itu, atmosfer
di antara mereka terasa hangat dengan kalimat-kalimat dan tawa yang
terdengar. Bahkan dia tidak pernah melihat Andra bisa tersenyum dan tertawa seperti itu ketika bersamanya.
Nindi menggigit bibir bawahnya. Ada yang tak beres di sini. Bukan
Andra, tapi sesuatu di dalam dirinya sendiri. Dadanya perlahan terasa sakit. Ada sesuatu yang memanas di dalamnya. Seolah lupa pada makanan yang tadi
dia pesan, Nindi berlari keluar dari situ.
"Mbak! Ini sotonya udah jadi!" Bu Anti berteriak berusaha memanggil Nindi yang sudah pergi cukup jauh.
Andra yang mendengar Bu Anti berteriak pun mendekat. "Ada apa, Bu kok teriak-teriak?"
Belum sempat Bu Anti menjawab, Andra sudah tahu jawabannya. Semangkuk
soto yang tak terlalu banyak, tanpa taburan bawang goreng dengan telur rebus yang diiris menjadi 4
bagian. Kesukaan Nindi. Andra menoleh ke tempatnya duduk tadi, berpikir sejenak,
lalu menghela napas.
"Bu, soto ini tolong bungkusin, ya. Biar saya antar ke rumah Nindi," kata Andra.
"Lho, beneran, Mas?" tanya Bu Anti. Andra mengacungkan jempol.
"Lho, beneran, Mas?" tanya Bu Anti. Andra mengacungkan jempol.
Andra berjalan kembali ke mejanya lalu duduk di kursinya dan meminum
teh hangatnya yang tinggal setengah hingga habis. Gadis di depan Andra
yang dari tadi sibuk mengutak-atik ponsel itu nampak heran.
"Ndra, buru-buru amat. Mau ke mana?" tanya gadis berambut sebahu itu.
"Ke rumah Nindi," jawab Andra singkat.
"Pacar kamu?"
"Calon. Eh--"
"Hahaha. Ya udah, sana. Lagian urusanku sama kamu juga udah selesai. Makanannya biar aku yang bayarin."
"Iya. Makasih ya, Kak."
"Ke rumah Nindi," jawab Andra singkat.
"Pacar kamu?"
"Calon. Eh--"
"Hahaha. Ya udah, sana. Lagian urusanku sama kamu juga udah selesai. Makanannya biar aku yang bayarin."
"Iya. Makasih ya, Kak."
Setelah menerima bungkusan plastik hitam dari Bu Anti, Andra segera
berlari menuju ke rumah Nindi. Kali ini dia hanya bisa memikirkan 1 hal,
Nindi pasti cemburu melihatnya duduk berdua bersama gadis tadi. "Aku
harus pinter-pinter pilih kalimat buat jelasin ke Nindi, nih," batin
Andra. Dia tak menyadari gadis yang tadi makan bersamanya, diam-diam membuntutinya.
===
~ bersambung
0 komentar:
Posting Komentar
Abis baca, jangan segan2 buat kasih komentarnya ya guys.. Supaya post selanjutnya bisa lebih bagus. Terimakasih... ^^,