Dilema | AndraxNindi Story

"Dilema"

Jalanan pagi ini masih nampak lengang. Sepertinya kebanyakan orang masih terlelap dalam tidur setelah menikmati long weekend kemarin. Hanya sesekali ada satu dua mobil atau sepeda motor yang lewat dengan kecepatan cukup tinggi. Sepertinya, bagi beberapa orang, seolah menjadi berkah tersendiri ketika jalan yang termasuk salah satu jalur utama kota ini berubah sepi. Tapi tidak bagi Andra yang tak pernah menggunakan kendaraan, hanya berjalan kaki ke manapun dia pergi.

Langkah kakinya secara perlahan berubah sedikit lebih cepat. Matanya yang biasa menyorotkan rasa malas yang penuh kegelapan saat ini sedang memancarkan sesuatu yang tak biasa. Dia sedikit gelisah. Apalagi ini menyangkut seorang Nindi. Ditambah karena Nindi salah paham. Dan Andra paham betul bagaimana seorang Nindi jika sedang salah paham.

Pernah suatu waktu Nindi tanpa sengaja melihatnya keluar dari rumah salah seorang teman mahasiswa Nindi. Kebetulan, Nindi dan orang itu sedang tidak akur. Nindi yang sudah kepalang kesal menuduhnya ini-itu. Dan karena hal itu, Nindi sama sekali tak mau bicara dengannya selama satu minggu. Bukan ketika Nindi tidak mau bicara yang membuat Andra gelisah, tapi suasana yang terasa ketika mereka berjalan berdua tetapi tanpa ada suara. Dia benar-benar tidak menyukainya. Dan kali ini dia harus segera berbuat sesuatu.

Setelah berjalan sekitar 15 menit, Andra menghentikan langkahnya. Bukan karena dia sudah sampai di rumah Nindi, tapi karena ekor matanya menangkap sosok Nindi yang sedang berada di taman. Andra membuang napas, lalu kembali menggerakkan kakinya untuk ke arah Nindi.

"Nih, Nin." Seorang pemuda seumuran Nindi tiba-tiba datang sambil mengulurkan tangannya yang menggenggam sebotol minuman dingin.
"Thank, Man," ucap Nindi menerimanya sambil tersenyum. Andra mengurungkan niatnya untuk mendekat.

Dia tahu siapa pemuda itu. Arman, ketua BEM di kampus Nindi. Meskipun tidak satu kampus dan juga tak terlalu kenal, Andra cukup tahu seperti apa sepak terjang Arman karena dia termasuk salah satu sosok yang cukup terkenal. Dan tak jarang, Nindi sesekali bercerita tentangnya. Tak ada sama sekali tanda ketika bercerita kalau Nindi mengenal Arman cukup dekat. Tapi saat ini Andra mulai khawatir. Dari balik sebuah pohon, Andra menyimak apa yang sedang dibicarakan oleh mereka berdua.

"Kamu tadi darimana, Nin?" tanya Arman.
"Dari pujasera," jawab Nindi singkat tanpa menoleh.
"Ngapain? Habis beli apa?" tanya Arman lagi. Pertanyaan Arman membuat Nindi teringat sesuatu. Dia lupa kalau sedang memesan makanan dan tiba-tiba saja lari.
"Ah, aduh. Aku lupa makananku." Nindi menghela napas.
"Jadi kamu belum makan? Gimana kalau makan bareng aku? Hitung-hitung kencan, hehehe," ajak Arman. Andra tersekat.
"Kencan?" tanya Nindi. Dia masih belum mengerti arah pembicaraan Arman.
"Ups." Arman terdiam sejenak, lalu tiba-tiba berdiri di depan Nindi. Dia menarik napas dalam-dalam lalu membuangnya.
"Nin, aku udah lama suka sama kamu. Mau nggak kamu jadi pacarku?" Kalimat itu mengalir mulus tanpa ada kegugupan sedikit pun. Nindi, yang sedang dalam keadaan tidak baik, justru merasa gugup dan aneh.

Jadi selama ini Arman, salah satu mahasiswa populer di kampus, jatuh cinta kepadanya? Sungguh sesuatu yang tidak disangk-sangka. Sama seperti Andra yang saat ini tak bisa bergerak dari tempatnya. Dadanya tiba-tiba terasa panas. Ada sesuatu yang terasa mengancamnya. Mengiris tipis-tipis jantungnya.

Belum sempat Nindi menyampaikan jawaban, tiba-tiba terdengar suara ranting patah dari arah belakang. Nindi dan Arman menoleh. Ekspresi terkejut di wajah Nindi tak bisa disembunyikan. Matanya tidak menatap ke sebuah ranting kering yang seolah sengaja berada di bawah sepatu Andra, tetapi ke arah Andra yang juga memasang ekspresi terkejut.

"Ndra ak-- Andra!" Andra sudah berlari menjauh sebelum suara Nindi dapat menjangkaunya. Dia berusaha bangkit dan ingin mengejarnya, tetapi lengannya ditahan oleh Arman.
"Nindi. Dia siapa? Pacar kamu?" tanya Arman.
"Maaf, Man. Aku harus ngejar dia." Nindi segera berlari meninggalkan Arman yang hanya bisa diam menyusun satu demi satu rangkaian kejadian yang berlangsung baru saja.

Sepertinya Nindi masih tidak bisa mengalahkan Andra untuk urusan berlari. Dia sudah hampir kehabisan napas dan memutuskan untuk mengistirahatkan tubuhnya ke sebuah bangku. Tanpa sepengetahuannya, seorang wanita mendekat. Dengan ramah mengulurkan tangannya.

"Hai. Benar kamu yang namanya Nindi?" Suara itu sontak mengagetkan Nindi.
"Eh, i-iya. Benar." Nindi mencoba menerka siapa wanita yang ada di hadapannya saat ini, tapi tidak mendapatkan petunjuk apapun.
"Kenalin, aku Nayla. Sepupu Andra," ucap Nayla memperkenalkan diri.
"Nindi," balas Nindi singkat.

Perkenalan singkat itu awalnya hanya membawa aura canggung karena masing-masing dari mereka lebih memilih bertanya tentang hal-hal yang tergolong 'aman' untuk ditanyakan. Tapi berkat kelihaian Nayla, suasana itu berangsur cair hingga mulai terdengar canda dan tawa di sela-sela pembicaraan mereka. Terlebih setelah Nayla menjelaskan kalau apa yang Nindi lihat di warung beberapa waktu yang lalu adalah dirinya.

"Ah, jadi aku yang salah sangka. Duh, maaf ya Nay."
"Nin, aku mau minta tolong sama kamu," pinta Nayla tiba-tiba.
"Minta tolong apa, Nay?" Nindi mengernyitkan dahinya yang masih sedikit berkeringat.
"Tolong bujuk Andra supaya mau nerima tawaran kerja di Inggris." Nindi tidak bisa langsung merespon kalimat itu. Kepalanya tiba-tiba berusaha mengeja ulang kalimat tersebut dari awal. Dan di beberapa kata, ada sesuatu yang seperti menghantamnya. Andra, kerja di Inggris.
"Maksud kamu apa, Nay? Andra ke Inggris?"
"Iya, Nin. Papaku, om-nya Andra punya sahabat di sana yang butuh banget tenaga IT. Dan papaku langsung keinget sama Andra. Aku datang ke sini buat ngebujuk Andra, tapi dia bersikukuh nolak tawaran itu." Nayla menjelaskan panjang lebar.
"Lalu, kenapa kamu minta tolong ke aku, Nay?" tanya Nindi lagi. Nayla tak langsung menjawab. Dia seolah berusaha mencari kata-kata yang tepat.
"Alasan Andra menolak tawaran itu, dia bilang kalau di sini, dia punya seseorang yang sangat dia cintai. Dan nggak mungkin dia tinggal pergi, Nin. Dan setelah melihat kalian tadi, aku jadi tahu kalau seseorang yang dimaksud Andra itu kamu."

Dada Nindi terasa sesak. Dia sudah tahu kalau Andra memiliki perasaan kepadanya. Tapi kenyataan kalau dia belum benar-benar jujur pada perasaannya sendiri di saat Andra akan pergi sangat memukulnya. Terlebih kali ini, dia harus bisa meyakinkan Andra agar mau pergi. Apakah dia mampu?

Hampir setiap hari dia selalu bersama Andra. Dan sebentar lagi, akan ada waktu ketika kebersamaan itu berlalu. Nindi sepenuhnya sadar, kalau dia bisa saja dengan egois menolak permintaan Nayla agar Andra tidak pergi. Agar dia bisa selalu berada di sampingnya. Tapi di sudut kecil di dalam dirinya, dia sangat menginginkan yang terbaik bagi Andra. Dan Inggris sepertinya menjanjikan hal itu. Dilema dalam pilihan yang tidak pernah dia alami sebelumnya.

"Oke, Nay. Aku akan bujuk Andra," ujar Nindi sambil menahan air mata yang sudah menggantung di ujung matanya. 

~ to be continued
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Abis baca, jangan segan2 buat kasih komentarnya ya guys.. Supaya post selanjutnya bisa lebih bagus. Terimakasih... ^^,