“An! Anna!”
panggilku, tapi Anna sama sekali tak berhenti.
“Aneh.” Pikirku
melihat sikap Anna. Tanpa pikir panjang, aku segera berlari berusaha
mengejarnya ke kelas.
Tak lama
kemudian aku sudah sampai di kelas. Ku lihat Anna sedang duduk diam di
bangkunya sendirian. Dengan langkah perlahan, aku berjalan mendekatinya
kemudian duduk di sampingnya. Dia nampak menyadari kehadiranku dan hendak
menghindariku. Tapi segera kuraih pergelangan tangannya. Anna pun kembali
duduk, meskipun dengan gestur ‘menolak’ keberadaanku.
“Anna. Dari tadi
pagi sikapmu aneh banget loh. Ada apa sih? Kamu ada masalah?” tanyaku. Kulihat
Anna masih terdiam.
“An…” panggilku
lirih. Dan sepertinya dia memang sama sekali tak ingin bicara.
“Ya udah. Oiya,
aku tadi ketemu Ira. Dia pindah ke sini.” Aku bergegas bangkit kemudian pindah
ke tempat dudukku yang letaknya di belakang Anna.
Aku masih
mengamati Anna, ya lebih tepatnya mengamatinya dari belakang. Meski tak dapat
terlihat olehu raut wajahnya, aku bisa tahu kalau dia menyembunyikan sesuatu
dariku. Tapi, apakah hanya karena dia akan pergi setelah lulus nanti? Itu
terlalu berlebihan kalau Anna harus bersikap seperti ini padaku. Sial…
***
Ulangan kali ini
terasa begitu lama. Entah karena aku sedang tidak konsentrasi atau memang ada
yang salah dengan waktu hari ini. Tapi yang jelas terasa begitu cepat aku
selesai mengerjakan soal di hadapanku ketika kusadari masih ada 30 menit waktu
yang tersisa sebelum bel istirahat berbunyi. Baiklah, lebih baik aku keluar
duluan.
Aku berdiri,
kemudian berjalan ke meja guru, tempat Bu Vera duduk dengan tampang nenek
sihirnya. Tampak ada senyum jahat yang terlempar dari mulutnya ketika aku
menyerahkan lembar jawabku. Kemudian aku berlalu keluar kelas. Kusempatkan
melirik Anna, tampak dia masih berkutat dengan soal di hadapannya. Sudahlah,
lebih baik aku menunggunya di kantin.
“Rio!” teriak
seseorang yang tiba-tiba saja sudah berada di sampingku. Ah, ternyata Ira.
“Hey, Ra. Lho, kok
kamu di luar? Gak pelajaran?” tanyaku.
“Kosong Yo,
daripada di kelas mending ke kantin.” Jawabnya sambil tersenyum. Aku ikut
tersenyum, tapi tak menanggapinya. Huh! Seandainya yang tersenyum itu adalah
Anna..
Sesampainya di
kantin, aku dan Ira langsung memesan makanan dan duduk. Tak lama kemudian bakso
dan es teh pesanan kami datang. Kami makan tanpa berbicara satu sama lain. Aku
merasa tak enak hati pada Ira, tapi aku memang sedang malas berbicara. Dan
sepertinya Ira menyadarinya.
“Yo, lagi ada
masalah ya? Cerita dong.” Ujar Ira.
Aku menghela
nafas, kemudian mulai bercerita, “Anna dari tadi pagi aneh banget Ra. Dia gak
mau ngomong sama aku. Pas jemput dia tadi sih, pembantunya bilang kalo Anna
bakal pindah ke luar negeri buat ngelanjutin kuliah di sana. Aku pura-pura diem
dan berharap dia bakal cerita. Tapi sampai sekarang dia sama sekali gak cerita.
Padahal biasanya kalau dia punya masalah, atau ada sesuatu, dia pasti cerita.”
Ya, dan tanpa
sadar aku nyerocos panjang lebar kepada Ira. Dan Ira pun tersenyum mendengar
ceritaku.
“Kamu khawatir
kehilangan Anna ya, Yo?” Tanya Ira kepadaku. Hampir aku tersedak mendengar
pertanyaan itu. Kehilangan Anna?
“Ah.. Eng.. Itu,
bukan gitu Ra.. Tapi…” aku tergagap menjawab pertanyaan Ira tadi.
“Kamu suka kan
sama Anna?” Tanya Ira lagi. Tapi kali ini mimik mukanya berubah, seperti
menyimpan kesedihan yang dalam.
“Ya, mungkin.”
Jawabku singkat.
“Perjuangkan
perasaanmu Yo, jangan sampai kamu nyesel karena memendamnya kelamaan.” Kata Ira
sambil memegang tanganku. Aku mengangguk sebagai jawaban.
“Rio..”
terdengar suara lirih di sebelahku. Aku menoleh, dan ternyata…
“Anna…” ujarku.
Aku segera melepaskan genggaman tangan Ira ketika Anna melihatnya. Tapi Anna
lagi-lagi berlari menghindariku. Ah, sial! Tanpa permisi pada Ira aku langsung
berlari mengejar Anna. Kali ini aku tak boleh memendam perasaanku terlalu lama
lagi padanya, pikirku.
Aku masih
berlari, tapi setelah berbelok di koridor yang mengarah ke laboratorium, aku
kehilangan Anna. Ke mana dia? Aku berjalan perlahan, ketika langkahku kaki
terhenti dan kakiku seolah terpasak di tempatku berdiri ketika aku melihat Anna
sedang menangis tersedu di pelukan Denis. Hey! Bukankah Denis sudah memutuskan
hubungan dengan Anna? Kenapa malah seperti ini? Aku tak sanggup melihatnya lebih
lama, tapi tubuhku enggan beranjak. Wajahku terasa panas, entah karena rasa
marah atau apalah aku sendiri tak tahu.
Tak lama
kemudian Denis melepaskan pelukan Anna kemudian berjalan.. Ke arahku! Tanpa
mampu berbuat apa-apa, aku melihat Denis merangkul Anna berjalan melewatiku.
Ada seringai kemenangan di wajah Denis yang menyebalkan. Tatapanku sempat
bertemu dengan tatapan mata Anna, tapi hanya sekilas dan kemudian bersama Denis
melewatiku yang masih berdiri mematung. Tak mampu bergerak.
***
Mataku terbatas memandang batas. Terikat kuat oleh goresan luka menyayat. Hening suasana pilu yang tak bergeming. Terluka oleh ilusi yang melintas begitu saja.
***
Jam-jam pelajaran
berikutnya, aku menghabiskan waktuku mengotori buku tulisku dengan
gambar-gambar abstrak tak bermakna sebagai pelampiasan rasa marah, sedih, dan
gundahku. Sama sekali tak ada materi pelajaran yang bisa kuserap. Mataku enggan
melihat ke depan, karena tentu saja ada Anna yang ada tepat di depan mataku.
ARRGHHH!!!
Dan setelah bel
pulang sekolah berbunyi, aku bergegas pergi keluar kelas. Tak sanggup rasanya
berlama-lama di dalam sana. Kuputuskan untuk pergi ke taman belakang sekolah.
Sesampainya di sana, aku langsung duduk di bangku yang kosong. Memasang headset
dan memutar music dari ponselku dengan volume yang kuat sehingga aku tak
mendengar apapun kecuali music dari ponselku.
Mataku menatap
kosong ke arah langit yang sedikit berawan. Gerak lambat segerombol besar awan
putih menghipnotisku untuk mengamatinya. Pelan.. Lamban.. Dilengkapi dengan
alunan music bertempo rendah dari headset-ku, tanpa sadar aku mengantuk dan
tertidur.
“Yo. Rio,
bangun! Hey!” sayup-sayup terdengar suara yang makin lama makin keras diiringi
sentuhan di wajahku. Saat kubuka mataku, aku terkejut karena ada Ira yang sudah
duduk di sampingku. Dan lagi, wajahnya begitu dekat dengan wajahku.
“Eh, Ira.”
Ujarku kemudian bergerak agak menjauhinya. Nampak Ira tertawa kecil melihat
tingkahku.
“Gak pulang Yo?”
Tanya Ira.
“Bentar lagi deh
Ra. Oiya, kamu sendiri kenapa belum pulang?”
“Aku tadi habis
ketemu sama Bu Sinta gara-gara aku membolos waktu jam-nya.”
“Ha? Hahahah,
berani banget Ra bolos pas jam-nya Bu Sinta. Ati-ati lho.”
“Hehe, iya iya
Rio.”
“Eh, pulang yuk
Ra. Udah mau jam 6.” Ajakku. Ira pun mengangguk tanda setuju.
Kami berdua
berjalan keluar sekolah berdampingan. Ada keanehan yang kurasakan saat ini. Ya,
seharusnya aku berjalan bersama Anna! Bukan Ira. Tapi, tak apalah karena sudah
terlanjur begini. Mungkin besok aku masih punya kesempatan untuk meluruskan
permasalahanku dengan Anna agar tak berlarut-larut, pikirku.
“Eh, Yo temenin
aku makan yuk. Laper nih.” Kata Ira tiba-tiba sambil tersenyum ke arahku.
“Hah? Jam
segini? Makan di mana?” tanyaku sambil mengernyitkan dahi.
“Tuh.” Tunjuk
Ira ke sebuah kafe di sudut jalan. Aku hanya mengangguk.
Segera aku
berjalan mengikuti Ira masuk ke dalam kafe. Suasananya cukup nyaman. Tempatnya
tidak terlalu luas. Dengan desain interior yang minimalis namun rapi dan
bersih. Terdengar pula alunan music klasik memenuhi seisi kafe tersebut. Yah,
lumayanlah, pikirku. Setelah memesan makanan, kami segera duduk dan
menikmatinya.
“Rio, itu Anna
kan?” ujar Ira tiba-tiba sehingga membuatku menghentikan makanku tiba-tiba. Aku
segera melihat ke arah Ira menunjuk. Setelah kulihat, ternyata benar Anna. Tapi
apa yang dia lakukan di sini.
“Aku ajak gabung
ke sini ya Yo, biar kita bisa kumpul lagi kayak dulu.” Kata Ira. Aku hampir
tersedak mendengarnya. Tapi aku tak bisa menahan Ira karena Ira keburu berlari
ke arah Anna. Aku pun segera mengalihkan fokusku ke makanan di hadapanku yang
belum habis. Tak berapa lama, Ira sudah kembali duduk ke tempatnya tadi. Dan
Anna duduk, tepat di hadapanku.
“Nah, sekarang
kita udah ngumpul lagi.” Kata Ira dengan nada senang. Aku tak menanggapinya dan
masih terus mengunyah kentang goreng dan memainkan gelas minumku. Kulihat, Anna
masih tertunduk diam. Sedangkan Ira terlihat kebingungan melihat sikapku dan
Anna.
“Aku permisi ke
kamar kecil ya.” Ujarku kemudian pergi meninggalkan Ira dan Anna berdua.
Sesampainya di
kamar kecil, segera kubasuh tanganku dengan air. Namun aku sengaja berlama-lama
karena memang alasanku memang ingin menghindari Anna setelah aku melihatnya ada
di pelukan Denis tadi. Setelah kupikir cukup lama, segera aku kembali ke meja.
Kulihat Ira sudah sendirian. Itu berarti Anna sudah pergi.
“Lama banget sih
Yo, Anna keburu pergi.” Kata Ira mendengus kesal ke arahku.
“Iya iya maaf,
perutku sakit banget tadi. Jadinya ya lama.” Kataku beralasan sambil memasang
senyum polos.
“Rio..” panggil
Ira, kali ini dengan nada serius.
“Ada apa Ra?”
tanyaku.
“Anna tadi udah
cerita sama aku.” Jawab Ira.
“Cerita apa Ra?”
tanyaku semakin penasaran. Aku bertanya-tanya apa yang sudah Anna ceritakan kepada
Ira.
“Anna udah
cerita kalau dia mau nglanjutin kuliahnya ke luar negeri. Dia juga bilang, kalo
dia pengen minta maaf ke kamu karena udah diemin kamu seharian tadi.” Lanjut
Ira.
“Itu aja?”
tanyaku sambil memajukan badanku.
“Dia juga
berharap kamu gak salah paham pas dia nangis di pelukan.. Eng.. Denis, ya
Denis. Dia gak sengaja ketemu Denis dan gak bisa menghindar ketika Denis
berusaha nenangin dia karena Anna bilang kepalanya tiba-tiba sakit.” Ujar Ira
kemudian.
Aku
menghempaskan punggungku ke sandaran kursi. Aku menunduk lesu tak mampu berkata
apa-apa mendengar semua kata-kata Ira, bukan. Kata-kata Anna yang disampaikan
Ira. Menyebalkan rasanya tersangkut di dalam perangkap perasaan yang rumit ini.
“Udahlah Yo,
besok kan masih ketemu di sekolah. Pulang yuk, udah kenyang nih.” Kata Ira. Aku
hanya mengangguk kemudian keluar bersama Ira.
***
Di dalam kamar,
aku hanya rebahan sambil sesekali memeriksa ponselku. Berharap ada pesan atau
telepon dari Anna. Tapi sama sekali tak ada. Dan untuk pertama kalinya, aku
merindukan sosok Anna yang selalu marah-marah dan meneriakiku ‘cungkring’
ketika aku memanggilnya ‘sipit’. Momen sederhana yang sekarang sangat
kurindukan. Padahal belum tentu dia merindukanku. Lagi pula aku hanya
sahabatnya. Ah, benar-benar menyebalkan. Dan karena sudah tak tahan, aku pun
mengirim sebuah pesan singkat ke nomor Anna..
[to: ~sipit]
Sipit.. Marahin aku dong :D
Dengan sedikit
candaan, aku berharap dia membalasnya. Tapi sampai hampir tengah malam
kutunggu, tak ada balasan darinya. Ya sudahlah, aku akhirnya tidur.
Keesokan
harinya, aku mengecek ponsel dan tetap tak ada balasan dari Anna. Setelah
mempersiapkan diri, aku bergegas berangkat dan tempat pertama yang kutuju
adalah.. Rumah kediaman keluarga Anna.
Setelah sampai
di sana, aku segera masuk setelah pak satpam membukakan pintu gerbang. Dan
seperti biasa, ada bi Inah yang menyambutku dengan senyuman ramahnya.
“Eh, mas Rio.
Mau jemput non Anna ya?” tanyanya sambil menyirami tanaman.
“Iya bi.
Anna-nya udah berangkat belom?” tanyaku.
“Kayaknya belom
mas. Tunggu aja, mungkin bentar lagi keluar.” Jawab bi Inah.
Tak berapa lama,
kulihat Anna berjalan keluar dari pintu rumahnya. Jantung berdegup tak keruan
menunggu dia mendekat dan semakin mendekat ke arahku dan bi Inah. Dan, ya! Dia
sudah berada di hadapanku. Aku mendadak tak bisa bergerak.
“Berangkat dulu
ya bi Inah.” Kata Anna kemudian ngeloyor keluar. Dan setelah kudapatkan kembali
kesadaranku, segera aku berlari mengejar Anna.
“Anna.”
Panggilku setelah aku dapat menyusul langkahnya.
Ya, ada apa
Rio?” tanyanya ringan seolah tak terjadi apa-apa. Hah, ada apa ini? Kenapa
seperti ini tanggapannya? Begitu ringan. Seharusnya aku senang, tapi justru aku
merasa aneh dan canggung.
“Aku khawatir
sama kamu An.” Kataku sambil berdiri di hadapannya. Anna pun menghentikan
langkah kakinya. Dia terdiam tak menjawab kata-kataku.
“Tolong Anna,
cerita sama aku. Kamu kenapa?” tanyaku sambil memegang pundaknya. Tiba-tiba
saja Anna memelukku.
“Aku gak mau
jauh dari kamu Rio.” Kata Anna lirih. Ya, meskipun sangat lirih, aku masih
dapat mendengarnya. Reflek, tanganku langsung memeluk tubuh Anna.
“Aku juga gak
mau jauh dari kamu Anna. Aku sayang kamu.” Kata-kataku begitu saja meluncur
tanpa bisa kukendalikan karena aku sudah terbawa suasana. Dan yang kurasakan,
tangan Anna makin erat memelukku.
“Anna.” Kataku
pelan.
“Iya, Rio.”
“Kita mau
pelukan sampe kapan? Ini udah jam berapa? Nanti kita telat nyampe sekolah lho.”
“Eh, eng.. Iya
iya Yo, maaf.” Katanya kemudian melepaskan pelukannya. Pipinya memerah.
“Yuk, cepetan. Nanti
kita bisa telat lho, jam pertama jam-nya Bu Sinta.” Kataku sambil menarik
tangan Anna mengajaknya berlari.
“Yuk.” Ujar Anna
pelan kemudian mengikutiku berlari.
Entah kenapa pagi
ini begitu berbeda dari kemarin. Ada beban berat yang sepertinya sudah terlepas
dari punggungku sehingga aku bisa bergerak bebas. Tertawa lepas dan tersenyum
puas melihat Anna yang juga tampak tertawa riang.
***
“Teeett!!” Bel
istirahat baru saja berbunyi. Suasana kelas yang tadinya senyap mendadak
berubah riuh oleh suara siswa yang mulai mengobrol dan juga melangkah keluar
menuju ke kantin. Sedangkan aku masih tetap duduk di kursiku dan mengutak-atik
rumus matematika yang entah mengapa seolah menantangku dengan variable
mematikannya.
“Rio, ke kantin
yuk.” Ajak Anna tiba-tiba.
“Wesssss!!
Annaaa…” ujarku kaget. Nampak Anna terkekeh melihat tingkahku.
“Hahaha. Serius
banget sih Yo. Udah deh, itunya nanti aja. Sekarang ke kantin dulu yuk, laper
nih.” Kata Anna sambil mengelus-elus perutnya.
“Iya iya. Yuk.”
Aku bangkit berdiri.
Kami berjalan
berdua menuju ke kantin sambil sesekali membahas materi pelajaran. Sesekali ada
candaan diikuti tawa dari mulut kami. Sesampainya di kantin, kami langsung
memesan makanan dan mencari tempat duduk.
“Selamat
makaaan.” Ujar Anna ketika bakso dan es sirup pesanan kami datang. Tanpa
menunggu aba-aba, Anna langsung melahap bakso di hadapannya. Aku hanya bisa
melongo melihatnya.
“An, kamu laper
ya?” tanyaku masih tak mengalihkan pandangan dari Anna.
“Banget Yo, tadi
pagi gak sempet sarapan. Bangun kesiangan soalnya.” Kata Anna sambil nyengir.
“Makanya jangan
begadang terus dong Anna. Jaga kesehatan, jangan sampe gak sarapan. Sarapan itu
penting lho. Biar gak lemes kalo pagi-pagi ada aktivitas yang banyak.” Ujarku
panjang lebar tanpa sadar.
“Rio.” Kata Anna
pelan.
“Iya Anna.”
Jawabku. Kulihat raut mukanya berubah serius.
“Aku gak pengen
jauh dari kamu Yo. Cuma kamu yang selalu perhatian dan selalu ada buatku
bagaimana pun kondisiku.” Dan tangan Anna menggenggam tanganku.
“Aku gak bakal
jauh dari kamu An.” Ujarku sambil tersenyum. Namun sejujurnya aku ragu apakah
bisa tetap berada di dekat Anna. Karena aku tahu, dia akan pergi jauh selepas
lulus nanti. Ah! Semakin tak menentu saja.
“Anna, bisa
ngomong sebentar gak?” Tanya seseorang yang tiba-tiba ada di samping Anna.
“Ngomong apa
Denis?” Anna bertanya balik.
“Udah, ikut aku
dulu yuk.” Ujar Denis kemudian menarik tangan Anna.
“Enggak ah, aku
mau makan dulu.” Kata Anna menolak. Tapi Denis sama sekali tak melepaskan
tangan Anna.
“Ayolah An.”
Kata Denis lagi. Anna tak menjawabnya, hanya berusaha melepaskan tangannya dari
genggaman Denis, tapi tak mampu.
“Eh, jangan gitu
dong. Kalo Anna gak mau, ya jangan dipaksa.” Ujarku.
“Jangan ikut
campur. Ini urusan gue sama Anna.” Kata Denis tanpa menatapku. Anna masih
berusaha menarik tangannya walaupun itu tak mungkin karena tenaga Denis lebih
besar.
“Denis. Lepasin
Anna!” teriakku karena tak tahan melihat sikap Denis. Sontak, aku menjadi
perhatian semua orang yang ada di kantin.
Tanpa berkata
apapun, tiba-tiba Denis melepaskan tangan Anna kemudian berjalan ke arahku
kemudian.. BUGG!! Sebuah tinju yang cukup kuat melayang ke wajahku. Aku yang
tak siap karena masih duduk di kursi pun terjatuh. Kepalaku membentur lantai
cukup keras. Mendadak ada rasa sakit yang amat sangat menjalar memenuhi
kepalaku dan pandanganku mulai kabur.
“Rio!” aku masih mendengar suara Anna dan
melihatnya mendekatiku yang tak mampu bangun. Tapi semuanya semakin gelap dan
aku pun tak sadarkan diri.
~ to be continued ~
Yang lagi gak buru-buru, bisa dong ya ninggalin komen di kotak komentar. Gratis kok, gak usah bayar. :p