Udah Jujur Aja... | CERPEN


Hey Ho! Selamat siang semuanyaa~ nih ada cerpen baru. Cerpen yang gagal kesaring di sayembara cerpen beberapa hari yang lalu *sedih*. Udah ah, yuk mari dibacaa~

Title : Udah Jujur Aja...
Author : Nur Rochman / @NVRstepback

Udah Jujur Aja...
Hujan masih setia mengalunkan nada sumbang yang seolah sedang mencoba meresonansi masa lalu . Di sebuah kafe, tampak 3 orang sedang duduk berbincang. Dika, Vina, dan Rara. Dan sepertinya di situ hanya ada mereka bertiga serta segelintir pengunjung yang duduk cukup jauh dari mereka. Sudah cukup lama mereka tidak beranjak karena hujan yang masih mengguyur ditambah Andra yang tak kunjung datang.
“Aduh ini si Andra kebiasaan banget ya, bikin orang nunggu.” Ujar Dika kesal.
“Sabar, Ka. Mungkin si Andra lagi kejebak macet.” Kata Rara berusaha menenangkan Dika yang uring-uringan.
“Sabar dong Dika, nih dia sms katanya jalanan macet.” Timpal Vina, pacar Andra, sambil menunjukkan ponselnya. Dika pun melongo dan membaca sms tersebut.
“Aduh, terus kita mau ngapain coba di sini? Mana sepi lagi.” Kata Dika sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi.
“Gimana kalo main Truth or Dare?” kata Vina menyampaikan idenya. Dika pun mengernyitkan dahi mendengar ide Vina.
“Seriusan mau main Truth or Dare di sini?” tanya Dika.
“Iya dong. Mumpung sepi, jadinya kan asyik.” Ujar Vina sambil tersenyum.
“Eng.. OK deh gue mau. Loe ikut nggak Ra?” tanya Dika kepada Rara yang tampak sedang melamun.
“Rara!” kata Vina setengah berteriak. Rara pun tersentak.
“Eh, anu. I.. Iya, gue ikut.” Kata Rara agak tergagap.
“Ada apa Ra? Kok dari tadi ngelamun mulu sih?” tanya Dika.
“Eh, masa sih dari tadi ngelamun? Nggak kok.. Hehe.“ Rara berusaha menjawab sekenanya.
“Udah udah. Karena udah pada setuju, kita mulai.” Kata Vina kemudian mengambil botol minuman kosong dari dalam tasnya.
“Putaran pertama, nentuin siapa yang bakal ngasih pertanyaan atau tantangan. Putaran kedua, nentuin siapa yang kena sial. Dia harus milih Truth atau Dare. Truth, berarti dia harus jawab jujur pertanyaan apapun yang dia dapet. Dare, berarti dia harus ngejalanin tantangan apapun yang dikasihin.” Terang Vina. Dika dan Rara mengangguk tanda mengerti.
Dika, Vina, dan Rara memajukan kursi mereka. Vina pun memutar botol yang dari tadi dia pegang. Botol berputar dengan lancar, kemudian perlahan melambat, melambat, dan akhirnya berhenti. Ujung botol itu menunjuk ke arah Rara.
“Yes!” ucap Rara sambil mengepalkan tangannya. Dika dan Vina mengeluh.
“Lanjut nentuin siapa yang kena sial.” Kata Vina lesu, kemudian memutar botol.
Botol nasib kembali berputar. Tak terlalu cepat, tapi cukup lama rasanya menunggu botol tersebut untuk berhenti. Vina dan Dika menahan nafas melihat kecepatan botol itu menurun, dan akhirnya.. Ujung botol itu mengarah kepada Vina. Dika menghela nafas lega.
“Aaahhh..” ucap Vina tidak terima.
“Yang sabar ya Na.. Hahaha.” Kata Dika sambil tertawa mengejek.
“Aduh, gue duluan. Sial banget sih gue..” Gerutu Vina.
 “Nah sekarang, loe pilih apa Na. Truth, or Dare?” tanya Rara sambil tersenyum. Dika pun memperhatikan Vina yang sedang berpikir.
“Gue pilih... Truth aja deh. Nanti kalo Dare pasti disuruh aneh-aneh.” Kata Vina setelah berpikir cukup lama. Rara berpikir sejenak, kemudian menemukan pertanyaan yang cocok.
“Vina.. Eng.. Pernah nggak loe selingkuh? Atau paling nggak berpikir buat selingkuh di belakang Andra?” tanya Rara. Vina mendelik mendengar pertanyaan Rara.
“Nggak ada pertanyaan lain Ra?” tanya Vina mencoba menawar. Raut wajahnya berubah sedikit memelas.
“Nggak ada Vina. Jawab gih.” Jawab Rara dengan senyuman jahil yang terpasang di wajahnya.
Vina sendiri tak langsung menjawabnya. Cukup lama dia terdiam. Menunduk, lalu menghela nafas panjang. Dika dan Rara ikut diam menunggu jawaban dari Vina. Dan perlahan, Vina pun mengangkat pandangannya dan mulai berbicara.
“Gue.. Pernah Ra. Bukan cuma berpikir, tapi gue pernah jalan sama cowok lain tanpa sepengetahuan Andra.” Terang Vina. Sejurus kemudian Vina kembali menunduk dan menutup wajahnya.
Dika dan Rara tentu saja kaget mendengar pernyataan Vina. Terlebih Rara yang merupakan sahabat dekat Vina, karena baru mengetahui rahasia ini. Ada sedikit penyesalan dalam hati Rara karena menanyakan hal tersebut. Dika sendiri juga tak habis pikir, karena selama ini dia melihat Andra dan Vina begitu mesra dan kompak ketika bersama.
“Vina...” ucap Rara lirih. Tangannya sedikit gemetar mencoba memegang pundak Vina.
“Tapi loe udah nggak jalan sama cowok itu kan, Na?” tanya Dika tiba-tiba. Rara menoleh kaget ke arah Dika. Vina sendiri tak lagi tertunduk. Dia berusaha mengangkat pandangannya untuk menjawab pertanyaan Dika.
“Udah enggak, Ka. Gue nyesel karena ngelakuin hal yang jahat banget sama Andra. Gue...” Kata-kata Vina terpotong oleh isak tangisnya.
“Dan gue janji, hal itu nggak bakal terulang lagi.” Lanjut Vina.
Rara langsung memeluk Vina yang tangisnya kini semakin terdengar. Dika hanya tersenyum melihat adegan cukup dramatis di hadapannya. Perlahan tapi pasti, senyum mulai nampak di wajah Vina. Entah apa yang dibisikkan oleh Rara. Mungkin kata-kata ajaib.
“Ladies... Dilanjut nggak nih game-nya?” terdengar suara Dika yang memecah keheningan. Rara langsung kembali ke tempat duduknya.
“Yuk dilanjut. Ok, Na?” tanya Rara. Vina tersenyum kemudian mengangguk tanda setuju.
Botol pun kembali berputar. Tinggal Dika dan Rara yang masih menahan nafas menanti giliran siapa yang akan mendapatkan tantangan. Vina, yang sebenarnya sudah mendapatkan giliran, ikut tegang karena dialah yang bertugas menyampaikan pertanyaan atau tantangan untuk si pesakitan.
Melambat dan semakin melambat. Ujung botol kosong itu menunjuk tepat ke arah Rara. Dika menghela nafas lega. Ternyata bukan dia yang mendapat giliran jadi pesakitan. Sedangkan Rara, dia hanya bisa pasrah menerima nasibnya saat ini.
“Nah.. Rara kena. Vina, waktunya balas dendam. Hahaha.” Kelakar Dika yang disambut dengan dengusan kesal Rara dan tawa Vina.
“Rara, loe pilih Truth atau Dare?” Vina bertanya.
“Gue pilih Dare aja deh. Ngeri kalo harus buka-bukaaan rahasia.” Kata Rara sambil bergidig.
Dika terbengong mendengar pilihan Rara. Sedangkan Vina langsung mengedarkan pandangannya ke seisi kafe sambil berpikir tantangan apa yang akan dia berikan kepada Rara. Dan tak terlalu lama, mata Vina langsung tertuju ke arah sepasang cowok dan cewek yang sedang duduk berbincang, agak jauh dari mereka.
“Karena loe milih Dare, sekarang loe harus... Nyamperin cowok sama cewek itu.” Ujar Vina sambil menunjuk ke pasangan yang dia maksud.
“Gitu doang? Itu sih gampang, Na.” Kata Rara sambil menjentikkan jarinya.
“Eitss, loe juga harus ngerayu si cowok sampe mereka berdua berantem.” Lanjut Vina sambil menyeringai. Rara terbelalak, begitu juga Dika.
“Gila, loe keren banget Na, bisa nemu ide gituan?” tanya Dika takjub.
“Gue gitu loh, Dika.” Vina pun tertawa.
“Vina, ada yang tantangan yang lebih gampang? Terlalu beresiko, Na.” Kata Rara memelas.
“Ra.. Loe takut? Setahu gue, Rara itu cewek yang nggak punya rasa takut lho. Masa iya sih, tantangan kayak gitu bikin seorang Rara takut.” Ujar Vina.
“Hmm.. Jangan ngeremehin keberanian gue ya Vina sayang. Nih, gue  buktiin kalo gue bukan penakut.” Kata Rara sambil berdiri kemudian berjalan diikuti tepuk tangan Vina dan Dika.
Awalnya, Rara melangkah dengan mantap dari tempat duduknya. Tapi semakin jauh, dia semakin sadar kalau dia sudah termakan oleh kata-kata Vina tadi. Langkahnya pun semakin lemah dan sempat terhenti. Tapi karena tidak mau kalah oleh kata-katanya sendiri, dengan bermodal nekat serta membuang rasa malu, dia berjalan semakin dekat dengan pasangan yang ditunjukkan oleh Vina tadi.
Sesampainya di depan kedua pasangan tersebut, Rara langsung mengalihkan matanya kepada si cowok yang perlahan menatapnya. Pandangan Rara dan cowok itu bertemu. Seketika, mulut Rara terkunci. Jantungnya yang dari tadi berdegup karena merasa sungkan, ragu, dan takut kini berubah menjadi perasaan sedih, marah, dan benci yang berbaur menjadi satu.
“Reza.. K..kamu..” ucap Rara terbata-bata sambil menatap Reza, orang yang sangat dia cintai atau lebih tepatnya, kekasihnya.
“Ra.. Aku.. Ng..ngapain kamu di sini?” tanya Reza terbata-bata melihat Rara kini ada di hadapannya.
“A..aku nggak nyangka Za. Udah dari tadi pagi aku hubungin kamu, tapi sama sekali nggak ada balesan. Ternyata.. I..ini..” Air mata Rara mulai menetes.
“Rara, tenang dulu.. Dia itu.. Dia..” kata Reza mencoba menjelaskan.
“Sayang, dia siapa? Kamu kenal?” cewek berwajah oriental itu tiba-tiba bertanya sambil berdiri.
Sayang?” batin Rara sambil menatap kaget cewek itu. Hatinya tertusuk seiring kata itu terdengar oleh telinganya. Pandangan Rara kembali beralih ke Reza. Pandangan penuh rasa kecewa dan rasa sakit.
“Rara.. Aku bisa jelasin Ra.” Kata Reza mencoba menenangkan Rara.
PLAKK!! Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Reza. Tanpa kata, Rara langsung pergi. Reza dan cewek itu pun terlibat pertengkaran. Sedangkan Dika dan Vina masih tampak shock melihat pemandangan tadi. Mereka bingung karena  hanya bisa melihat, tak bisa mendengar apa pembicaraan antara Rara, cowok, dan cewek itu.
“Na. Itu tadi kenapa? Kok heboh banget?” tanya Dika kepada Vina.
“Kayaknya gue tahu tuh cowok deh Ka.” Kata Vina sambil memicingkan matanya.
“Ah, itu kan Reza.” Kata Vina kemudian.
“Reza? Cowoknya Rara? Loe bilang dia lagi keluar kota sama keluarganya?” tanya Dika.
“Iya Ka. Rara sendiri yang cerita ke gue. Makanya kan dia sering ngelamun karena nggak ada Reza. Tapi... Gue nggak nyangka kok bisa jadi gini sih.” Kata Vina sambil meletakkan sikunya ke meja dan menutup wajahnya dengan kedua tangannya.
Dika terdiam. Dari tempat duduknya dia masih melihat bagaimana Reza dan cewek itu adu mulut. Karena tak tahan, Dika langsung bangkit dan berjalan ke tempat Reza dan cewek itu. Vina sendiri masih menutupi wajahnya, syok karena permainan yang dia tawarkan untuk sekedar mengisi waktu menunggu Andra justru membuat keadaan menjadi buruk. Tiba-tiba saja ada yang duduk di samping Vina kemudian langsung mengacak-acak rambut Vina.
“Sayaang..” ujar Vina manja begitu melihat Andra sudah ada di sampingnya.
“Ada apa? Lho, Dika sama Rara mana? Kok kamu sendirian?” tanya Andra.
“Truth or Dare’nya kacau..” kata Vina.
“Ha? Oh.. Kalian main Truth or Dare. Kacau gimana?” tanya Andra lagi.
“Gini sayang.. Tadi kan Rara yang dapet giliran. Terus dia pilih Dare. Trus aku kasih aja tantangan buat bikin pasangan yang ada di sebelah situ.. Dika!” cerita Vina terputus melihat Dika yang sedang adu mulut dengan Reza.
Tanpa komando, Andra langsung menuju tempat Dika.
“Dika! Lho.. Reza? Kata Rara loe lagi liburan sama keluarga loe?” ujar Andra. Wajah Reza langsung berubah kebingungan melihat kedatangan Andra.
“Liat tuh Ndra! Dia nggak sama keluarganya!” Kata Dika dengan penuh amarah.
“Aduuuhh! Ini ada apa sih?! Reza, mereka siapa? Terus Rara itu siapa? Cewek yang nampar kamu tadi? Dia siapa kamu? Pacar kamu?” pertanyaan beruntun ke arah Reza terlontar dari mulut cewek itu.
“Intan.. bukan gitu. Sebenernya..” kata-kata Reza terucap terbata-bata.
“Jadi bener? Yaudah, aku mau pulang! Dasar cowok buaya!” kata Intan kemudian menyiramkan lemon tea yang ada di atas meja ke muka Reza. Sejurus kemudian Intan pergi.
“Gue nggak nyangka Za. Loe tega banget ngebohongin Rara yang jelas-jelas selalu percaya sama loe. Mending loe sekarang pergi! Nggak usah deket-deket Rara lagi!” hardik Andra kemudian menarik Dika dari situ.
Tanpa banyak bicara, Reza nampak bergegas pergi meninggalkan tempat itu dengan rasa malu yang luar biasa besar.
Andra dan Dika sudah duduk di kursi mereka. Tak ada suara yang keluar, baik itu dari mulut Andra, Dika, ataupun Vina. Semuanya terdiam setelah kejadian itu. Dan tak lama kemudian, Rara datang dan duduk di kursi kosong di hadapan Dika.
“Rara.” Kata Andra kaget melihat Rara sudah ada di sebelahnya.
“Hi, Ndra. Udah lama ya.” Kata Rara mencoba berbasa basi kepada Andra.
“I.. Iya.” Kata Andra singkat.
“Loe nggak papa, Ra?” tanya Dika cemas. Rara hanya menjawabnya dengan sebuah senyuman. Senyum yang dipaksakan.
“Ra, maafin gue. Gue nggak bermaksud..” kata-kata Vina terpotong karena oleh kata-kata yang diucapkan oleh Rara.
“Vina.. Gue tahu kok, semua ini kan sekedar permainan. Jadi kejadian tadi adalah resiko permainan yang harus gue terima. Dan justru, gue berterima kasih sama loe Na. Karena gue jadi tahu gimana sebenernya sifat asli Reza. Dan gue bisa tahu, apa yang harus gue lakuin.” Terang Rara.
Vina tertegun dan tak bisa berkata apa-apa mendengar kata-kata Rara. Dika melongo melihat bagaimana Rara begitu cepat dapat mengendalikan hatinya setelah kejadian tadi. Sedangkan Andra pun tersenyum lega karena Rara tetap menjadi Rara yang selalu kuat dan tegar ketika menghadapi cobaan dan masalah seberapa pun besarnya. Suasana pun berubah hening sesaat setelah itu.
“Oiya, tadi kata Vina tinggal Dika nih yang belum dapet jatah Truth or Dare?” tanya Andra yang memecah keheningan.
“Ah, iya tuh. Si Dika belum.” Kata Vina mengiyakan pertanyaan Andra.
“Laaah, masih mau dilanjutin? Suasananya kan lagi nggak kondusif Ndra.” Kata Dika protes.
“Yang sportif dong Ka. Masa loe kalah sih sama para Ladies yang ada di sini.” Ejek Andra.
“Iya deh iya. Dasar loe Ndra.. Dateng telat, ngejek gue, sekarang ikut-ikutan ngasih Truth or Dare.” Gerutu Dika. Andra pun tertawa. Diikuti Vina juga Rara yang ikut tertawa.
“Jadi, Dika.. Loe pilih Truth atau Dare?” pertanyaan langsung terlontar dari mulut Andra. Dika langsung diam, begitu juga Vina dan Rara. Nampak Dika berpikir sejenak.
“Gue pilih... Dare!” ucap Dika mantap.
Andra pun terdiam sejenak. Dilihatnya Dika yang masih menunggu tantangan darinya. Pandangan Andra beralih kepada Rara yang sedang melamun, kemudian berpindah ke arah Vina. Pandangan mereka bertemu dan nampak Vina memberikan sebuah “kode” kepada Andra dengan mengerjapkan matanya ke arah Rara. Andra pun paham maksud dari “kode” yang diberikan oleh Vina.
“Oke, Dika. Karena loe pilih Dare, sekarang loe harus ngejalanin tantangan yang bakal gue kasih ke loe. Loe siap?” Andra bertanya.
“Iya Andra gue siap. Buruan kenapa sih. Lama banget.” Jawab Dika kesal.
“Sekarang, loe harus jujur sama perasaan loe tentang siapa orang yang selama ini loe sukai dan nyatain perasaan loe ke orang itu.” Kata Andra. Sesaat kemudian dia dan Vina melakukan tos. Dika sendiri mengernyitkan dahi mendengar tantangan yang baru saja disampaikan oleh Andra.
“Lho, gue kan pilih Dare Ndra. Kenapa gue harus jujur? Itu kan kalo gue milih Truth.” Protes Dika yang tidak terima.
“Lah, itu kan tantangan buat loe Ka. Tantangannya, loe harus jujur.” Terang Andra.
“Andra kan ngasih tantangannya gitu Dika. Buruan gih.” Kata Vina sambil cekikikan.
Dika pun tak bisa lagi membantah kata-kata Andra dan Vina. Dia melotot ke arah Andra yang dibalas dengan senyum dan acungan dua jari simbol “peace” ke arahnya. Setelah menarik nafas panjang dan menghela nafas, Dika pun mulai berbicara.
“Gue tahu, maksud tantangan loe Ndra. Tapi...” kata-kata Dika terhenti.
“Tapi kenapa Ka?” tanya Andra.
“Tapi gue rasa waktunya kurang tepat gara-gara kejadian tadi.” Lanjut Dika. Andra dan Vina sedikit kecewa mendengar ucapan Dika.
“Kejadian apa Ka?” Rara yang tidak mengerti maksud kata-kata Dika pun bertanya.
Dika tak langsung menjawabnya. Dia menghela nafas panjang sedang mengatur kata-kata yang akan diucapkannya. Ada beberapa bagian dari kata-kata tersebut yang masih dia ragukan untuk diucapkan. Tapi setelah memantapkan hatinya, dia pun kembali berbicara.
“Sebenernya, selama ini.. Atau lebih tepatnya semenjak awal masuk SMA dan sampai detik ini, sampai kita bakalan lulus, gue.. Gue suka sama loe.. Rara.” Kata-kata itu dengan sedikit tersendat meluncur dari mulut Dika.
Rara kaget bukan main mendengar penuturan Dika itu. Sedangkan Andra dan Vina tak terlalu kaget karena mereka memang mengetahui hal itu sudah sejak lama. Tapi karena Rara adalah salah satu siswi populer di sekolah, Dika yang sebenarnya sudah didorong oleh Andra dan Vina tak pernah berani menyatakan perasaannya kepada Rara.
“Jadi, selama ini Ka? Selama hampir 3 tahun?” tanya Rara tak percaya.
“Iya Ra. Gue sendiri bingung. Gue nggak tahu kenapa gue bisa kayak gini. Bertahan selama hampir 3 tahun dan memendam perasaan yang mungkin bagi orang lain udah basi. Tapi bagi gue, nggak.” Jawab Dika.
“Dika...” kata Rara.
“Tapi setelah kejadian tadi, gue pun sadar. Seberapa pun gue berusaha ngeyakinin loe tentang perasaan gue, gue nggak bakal bisa dapet jawaban ‘ya’ dari loe. Meskipun loe terlihat kuat, gue tahu loe masih ngrasain sakit karena kejadian tadi. Jadi nggak jadi masalah kalo loe nolak gue sekarang juga. Karena dengan nyatain perasaan gue aja, itu udah lebih dari cukup buat gue. Dan gue nggak bakal pergi setelah ini. Gue bakal tetep ada, meskipun hanya sebagai sahabat loe aja, Ra.” Ujar Dika panjang lebar.
Rara terkesima mendengar kata-kata Dika. Tak hanya Rara, Andra dan Vina juga takjub mendengar kata-kata Dika tadi. Rara, tak menyangka kalau Dika yang selama ini dia kenal sebagai seorang yang sangat cuek dan tak kenal kompromi dalam berbicara ternyata sekian lama memendam perasaan terhadapnya. Andra dan Vina pun takjub mendengar bagaimana kukuhnya keinginan Dika untuk tetap di samping Rara, apapun yang terjadi nanti.
Hening kembali hadir di tengah-tengah empat anak manusia ini. Kembali tak ada kata terucap, hanya suara nafas yang agak tertahan karena beradunya konflik dan perasaan yang seolah menemukan jalan. Keyakinan Vina kepada Andra untuk tetap mencintainya tanpa kembali berpaling. Dan ungkapan perasaan Dika yang tak disangka oleh Rara, serta jawaban yang harus Rara sampaikan demi kebaikan ikatan persahabatan.
“Dika..” ucap Rara agak lirih, namun masih terdengar oleh Dika, Andra, dan Vina.
“Ya, Ra..” jawab Dika berusaha tenang, padahal saat ini jantungnya sedang berdegup kencang. Hatinya tak karuan serta pikirannya tak lagi bisa berlogika mengira apa yang selanjutnya harus dia lakukan.
“Tau nggak? Gue udah lama berharap loe nyatain perasaan loe ke gue, Ka. Tapi kenapa baru sekarang? Setelah berulang kali gue mencari pelampiasan perasaan gue ke loe, yang selalu berakhir dengan rasa sakit?” kata-kata Rara yang mengandung retorika berhasil membungkam otak Dika untuk berusaha menjawabnya.
“Ra..” ucap Dika bingung.
“Berulang kali Dika.. Dan yang terakhir, baru aja loe liat sendiri, Reza.. Gue harus ngerasain sakit hati lagi Ka.” Kali ini kata-kata Rara diikuti oleh tetesan air mata.
Andra dan Vina terkejut mendengar penuturan Rara. Terlebih lagi Dika yang sangat terkejut mendengar pernyataan Rara. Ternyata sudah sejak lama pula Rara memendam rasa kepada Dika. Tapi, karena ego dan rasa takut itu lebih besar, Rara dan juga Dika harus rela menikmati rasa sakit yang sebenarnya tak ingin mereka rasakan.
“Rara.. Maafin gue.” Kata Dika kemudian bangkit berdiri dan berjalan tempat Rara duduk.
“Sekarang, loe boleh hukum gue, Ra. Karena udah begitu tega menutupi perasaan gue ke loe dengan jiwa pengecut gue.” Kata Dika sambil menarik tubuh Rara dan membawanya ke hadapannya. Andra dan Vina sedari tadi tak bisa berucap apa-apa kecuali hanya berharap yang terbaik bagi kedua sahabat mereka ini.
PLAKK! Suara tamparan terdengar dari pertemuan telapak tangan Rara dan pipi Dika. Dan selang beberapa detik kemudian, Rara langsung memeluk Dika. Begitu erat, hingga Dika sedikit merasa sesak, namun entah kenapa begitu nyaman baginya.
“Jangan jadi pengecut lagi Dika. Demi aku, demi kita. Supaya kita nggak perlu lagi berpura-pura dan berjumpa dengan rasa sakit. Jadilah orang yang berarti buatku. Aku pengen kita bisa sama-sama ngerasain bahagia Dika..” Kata Rara yang masih memeluk Dika.
“Ra, aku sayang kamu.. Aku bakal jadi yang terbaik buat kamu. Bahagia bersamamu.” bisik Dika ke telinga Rara. Rara mengangguk pelan. Tangan Dika pun memeluk erat tubuh Rara.
“Kacang.. Kacaaanggg.. Sebungkus tiga ribuuu..” teriak Andra dan Vina yang dari tadi merasa tidak diperhatikan. Dika dan Rara pun segera melepas pelukan mereka.
“Untung aja nih kafe sepi ya sayang, coba kalo rame..” kata Vina kepada Andra.
“Iya nih, yang lagi jatuh cinta. Serasa kafe punya mereka berdua, yang lain cuma numpang jajan..” sahut Andra.
“Iya, jajan kacaangg..” timpal Vina.
Dika dan Rara pun tertawa terbahak mendengar Andra dan Vina berceloteh.
“Udah udah, karena Andra udah dateng, yuk pulang. Udah malem nih.” Kata Rara menenangkan keadaan.
“Yaelah, nasib.. Baru aja dateng, udah diajak pergi lagi. Mana nonton drama cuma dapet ending-nya.” Gerutu Andra.
“Makanya jangan telat.” Kata Dika.
“Udah dong, Ka. Andra kan tadi kena macet.” Kata Vina membela Andra.
“Hahaha... Nanti tanya sama Vina aja Ndra, gimana cerita lengkapnya.” Kata Rara kemudian mengedipkan mata ke arah Vina. Sebuah senyuman tersungging di wajah Vina yang kemudian mendekap lengan Andra erat.
Dan mereka berempat bergegas meninggalkan kafe tersebut. Kafe dengan suasana berkelas yang cukup sepi pengunjung, namun sarat makna bagi mereka. Khususnya bagi Dika, Rara, dan Vina. Kisah baru yang akan ditulis oleh Dika dan Rara atas dasar cinta, serta rasa cinta yang makin bertumbuh di hati Vina untuk Andra. Bagaimana dengan Andra? Ah, biarkan dia tetap mencintai Vina dengan kekonyolannya dan tetap menjadi yang pertama di hati Vina.
Hey, bagaimana denganmu? Apa kau juga perlu sesuatu untuk memberikan setitik makna bagi hidupmu? Jika ya, siapkan hal-hal ini. Secangkir kejujuran, sepiring keberanian, dan beberapa putaran keajaiban. Tapi jangan lupakan satu hal... Sebuah botol nasib.
====


Komentar, kritik, & sarannya ya... =]
Share:

#RandomPost - N.U.M.B. | 2 Agustus 2013

img of cesnightmare.wordpress.com


Wonderful evening... =]
Baru bisa apdet posting di blog ini, gegara banyak kesibukan di dunia nyata (tsaaahh.. soksibuk! Pffft). Cerpennya kapan2 dulu yak, cerbungnya juga. Ini ada coret2an random yang super random.. Yuk cusss... =]

Aku masih berdiri dalam diam
Mataku pun masih menatap nanar redup cahaya
Pelan.. Nafasku berebaur dengan udara
Terdengar begitu keras kesunyian yang bersuara
Lidahku masih pula kelu tak mampu berkata

Sekelebat ingatan menarik pandangku
Perlahan menyeret aku.. Tenggelam
Namun terlalu gelap dan apapun tak bisa terlihat
Terlalu sepi, melebihi milikku sendiri
Terlalu sesak, hingga nafasku semakin terdesak

Datang lagi ingatan kembali merenggutku
Dan membubungkan aku.. Jauh tinggi
Menembus tabir langit, menuju bintang cahaya
Indah,namun terlalu terang dan menyilaukan
Tak sanggup aku.. Hampir buta mataku karenanya

Dan aku pun kembali ke sini
Tempat di mana sep adalah kekasih
Di mana alunan musikku adalah sunyi
Dan temaram.. Tempat pandangku bersemayam

Begitu nyaman... Ah, kehampaan

###


Butuh komeng, kripik, sarang... =]
Share:

Udah Jujur Aja... | CERPEN (Cooming Soon)

Title : Udah Jujur Aja...
Author : Nur Rochman

SINOPSIS
Hujan masih deras mengguyur. Dika, Rara, dan Vina masih terjebak di dalam kafe sepi menunggu Andra yang tak kunjung datang. Untuk mengusir rasa jenuh, serta meredam Dika yang dari tadi mengomel tak jelas, Vina mengajukan usul untuk memainkan sebuah permainan. Truth or Dare!
Permainan yang nampak begitu sederhana. Hanya sebuah botol kosong, keberanian, dan kejujuran yang diperlukan. Namun, ternyata yang terjadi jauh dari kata sederhana. Ketika satu demi satu dari mereka bertiga memperoleh Truth or Dare-nya. Ketika kejujuran yang terucap begitu mencengangkan karena telah lama tertahan. Dan ketika keberanian yang muncul berbenturan dengan kenyataan yang menyesakkan.
Bagaimana seorang Vina yang begitu polos dengan jujur mengakui sebuah hal yang tentu akan terdengar menyakitkan bagi Andra. Bagaimana Rara yang begitu berani dan selalu nampak tegar, akhirnya harus berubah menjadi seorang Rara yang berbeda, yang terluka oleh rasa sedih dan sakit. Serta Dika yang selalu cuek dan keras hati ternyata menyimpan rahasia yang Vina dan Andra tak pernah tahu. Rahasia tentang rasa yang begitu lama tertahan dan tak pernah mengemuka.

Hingga Andra datang dan perlahan mencairkan semuanya. Mengalir seperti air. Rahasia Vina? Biarkan saja tetap rahasia bagi Andra. Dika dan Rara? Ya, biarkan kisah mereka perlahan mengemuka.
Share:

TRUTH, LIE, & SECRET | Cerpen



Cerita lama. Mungkin udah banyak yang baca. Tapi daripada nganggur di dalem harddisk, mendingan di post di sini aja. Yaudah daripada kelamaan, silakan dibacaa... ^^,

TRUTH, LIE, & SECRET

Udara malam makin terasa dingin. Namun Tara, Choky, Gea, dan Riska masih asyik duduk bersama di dekat api unggun. Malam ini mereka sedang mengadakan kemah untuk mengisi liburan semester mereka. Meskipun hanya berempat, suasana terasa sangat ramai. Dari ngobrol, bercerita, bahkan bernyanyi bersama sudah mereka lakukan. Lama – lama, mereka pun merasa jenuh. Tiba – tiba Choky mendapatkan sebuah ide menarik.
“Eh guys, gue ada ide nih. Biar ngantuk ilang.” Celetuk Choky. Hal ini pun membuat yang lain penasaran.
“Ide apaan Chok? Tapi jangan yang aneh – aneh lho. Haha” Tanya Tara setengah meledek.
“Ya elah, loe suka ngeledek gue Tar. Ya nggak lah. Gimana nih, pada mau tahu nggak?” jawab Choky.
“Emmm. Emang apaan sih Chok? Jadi penasaran nih.” Timpal Riska.

“Iya. Tapi awas ya, kalo nggak asyik.” Gea menambahi.
“Oke lah. Loe gimana Tar?” Tanya Choky ke Tara.
“Iya deh iya. Gue mau tahu. Seberapa asyik sih ide loe.” Jawab Tara.
“Oke, gimana kalo malam ini, kita buka – bukaan nyeritain rahasia? Berani nggak?” Choky pun melontarkan idenya. Mendengarnya, Tara, Gea, dan Riska setengah terkejut. Beberapa kali mereka menoleh ke satu sama lain.
“Kok buka – bukaan rahasia sih? Nggak ada yang lain?” Tanya Tara. Mendengarnya, Choky langsung tersenyum.
“Ya, ini kan sekedar ide biar kita nggak jenuh.” Jawab Choky ringan.
“Terus maksudnya apaan?” Tanya Tara lagi.
“Maksudnya, ya biar kita bisa sharing, cerita sebuah rahasia yang selama ini kita pendam dalam hati. Biar bisa ngerasa plong. Kita kan udah sahabatan sejak lama. Jadi, nggak ada salahnya kan buka rahasia ke sahabat sendiri. Gimana?” jawab Choky.
“Wuih… asyik banget ide loe. Gue ikut deh.” Jawab Gea dengan penuh semangat.
“Gue juga deh. Kayaknya bakal seru nih.” Riska pun juga ikut.
“Oke, gue layanin deh. Yuk mulai.” Tara pun akhirnya mau ikut.
“Sip. Karena kalian udah pada mau, sekarang kita mulai. Dari siapa dulu nih?” Tanya Choky.
“Eh gimana kalo diundi aja?” kata Riska sambil melihat sekeliling. Dia pun mengambil sebuah botol kecap yang sudah kosong. “Pake ini nih.” Lanjut Riska.
“Semua siap?” Tanya Riska. Semuanya hanya mengangguk. Terlihat raut serius dari wajah mereka.
Tampaknya akan terjadi hal menarik. Riska pun memutar botol itu di tengah – tengah mereka berempat yang duduk melingkar. Botol berputar dengan cepat, tapi perlahan melambat dan terus melambat. Dan botol pun berhenti. Ujung botol itu mengarah ke Choky. Tara, Gea, dan Riska pun menghela nafas lega.
“Nah, giliran pertama loe, Chok. Ayo, rahasia apaan yang bakal loe buka ke kita.” Tantang Tara.
“Oke, karena gue dapet giliran pertama, gue bakal langsung ke intinya.” Kata Choky. Choky pun menghela nafas panjang. Dia sempat memejamkan mata sejenak sebelum kemudian melanjutkan ceritanya. Ketiga sahabatnya pun memperhatikan dengan penuh seksama.
“Gue pernah ngelari’in duit kuliah yang dikasih sama nyokap gue.” Choky pun memulai ceritanya.
“Wah, gila loe. Nyokap loe kan tinggal sendirian sama loe. Tega banget. Sih.” Gea berkomentar.
“Iya, emang buat apaan, Chok? Jangan bilang kalo tu duit loe pake buat beli drugs.” Tara pun ikut menyampaikan komentar.
“Ya nggak lah. Gila kali gue mau make barang kayak gituan.” Sanggah Choky.
“Terus tu duit loe pake buat apa dong?” Tanya Riska.
“Ya, kalian semua tau kan kalo gue tu penggila game. Nah, tu duit gue pake buat beli game – game yang baru keluar. Tapi akhirnya, gue nyesel juga karena udah ngelakuin hal itu.” Terang Choky sambil setengah menunduk.
“Ya udah lah. Kalo loe nyesel. Berarti, loe harus janji kalo loe nggak bakal make duit kuliah loe buat hal yang nggak perlu. Oke?” kata Riska menyemangati Choky. Tara dan Gea pun mengangguk membenarkan kata – kata Riska.
“Thanks ya guys. Gue janji, gue nggak bakal ngelakuin hal itu lagi. Kapok deh pokoknya.” Jawab Choky sambil tersenyum.
“Oke, sekarang kita lanjut lagi. Kata Choky yang kemudian memutar botol itu.
“Loe bener, Tar. Sebenernya, duit itu gue pake buat beli drugs. Gue sempet kejebak sama benda laknat itu. Tapi, karena ada kalian gue akhirnya sembuh dan berhenti jadi pemake. Dan gue janji, gue nggak bakal terjerumus lagi ke jurang itu. Demi kalian, sahabat – sahabat terbaik gue.” Bisik Choky dalam hati sambil tersenyum bahagia.
Botol pun kembali berputar. Mereka berempat kembali terdiam, menunggu giliran siapa selanjutnya. Secara perlahan, botol pun melambat, melambat, dan melambat. Dan berhenti. Gea yang mendapat giliran selanjutnya.
“Nah, sekarang giliran loe, Gea.” Kata Choky. Tara dan Riska mengelus dada mereka. Gea terlihat agak kebingungan.
“Ayo, Gea. Waktunya buka rahasia.” Goda Tara.
“Mmmm.. rahasia apa ya. Eng, oke deh.” Kata Gea. Gea menarik nafas panjang.
“Oke, gue bakal ngomongin rahasia gue. Rahasia yang mungkin memalukan.” Kata Gea memulai ceritanya. Tara, Riska, dan Choky pun mengernyitkan dahi.
“Memalukan? Emang apaan?” Tanya Riska.
“Iya. Gue pernah nge-date sama cowok yang udah punya cewek. Dan ceweknya cowok itu temen kuliah gue.” Terang Gea.
“Gila. Berani banget loe. Trus, cewek itu tahu nggak?” Tanya Choky. Gea menggelengkan kepalanya.
“Ceweknya nggak tahu. Ya, sebenernya gue ngerasa bersalah juga sih. Tapi, mau gimana lagi. Gue nggak bisa tahan perasaan gue tiap ketemu sama tu cowok. Dianya juga kasih respon positif ke gue.” Kata Gea.
“Wah, kalo jadi tu cewek, udah marah sampe ubun – ubun gue. Hahaha” kata Riska.
“Trus, hubungan loe sama tu cowok?” giliran Tara yang bertanya.
“Nggak tahu lah, guys. Sekarang gue lagi ngejauh dari dia. Kalo emang tu cowok emang bener - bener serius sama gue, mungkin bakal lanjut.” Jawab Gea.
“Emang tu cowok siapa sih?” Tanya RIska.
“Eng, ada lah. Kalo untuk yang satu itu gue nggak bisa kasih tahu. Sorry.” Jawab Gea sambil tersenyum.
“Huuu. Masih jadi rahasia dong. Ah, Gea nggak asyik nih.” Kata Choky. Gea hanya tersenyum mendengar perkataan Choky.
“Sorry banget, ya Riska. Sebenarnya, cowok yang gue maksud tu Anton, cowok loe. Dan cewek itu adalah loe Riska. Sorry banget kalo gue udah nusuk loe dari belakang. Tapi, gue nggak mau sampe loe tahu, karena gue nggak mau loe marah sama gue, karena loe adalah sahabat dekat gue sejak dulu.” kata Gea dalam hati, sambil melirik Riska yang sedang ngobrol dengan Choky dan Tara.
“Ya udah lah. Sekarang tinggal gue sama si Tara nih yang belum. Karena tinggal kita berdua, gue duluan aja deh.” Kata Riska.
“Wow, beneran nih Ris?” Tanya Tara.
“Iya, nggak papa kok.” Jawab Riska sambil tersenyum.
“Sip lah. Yuk, segera kita mulai. Hehe.” Kata Choky.
“Rahasia yang bakal gue certain ini tentang gue dan Anton.” Kata Riska.
“Hah? Loe sama Anton? Ada apa, Ris?” Tanya Gea.
“Iya, ternyata perasaan gue ke Anton tu semu.” Jawab Riska.
“Semu? Maksudnya apaan?” Tanya Tara. Riska menghela nafas.
“Iya, perasaan gue ke Anton selama ini cuma sesaat. Gue ngerasa kalo Anton nggak bisa ngisi hati gue. Hati gue masih diisi sama seseorang dari masa lalu gue.” Jawab Riska yang kemudian menunduk.
“Terus, si ‘seseorang’ itu gimana? Nggak loe kejar?” sekarang Choky yang bertanya.
“Sekarang dia udah punya cewek. Dan gue nggak pengen ngerusak hubungan dia sama ceweknya, meskipun sampe sekarang gue masih ngarepin dia.” Jawab Riska.
“Terus, si Anton mau loe apain?” Tara bertanya lagi.
“Gue bakal putusin dia. Toh, nggak ada gunanya pacaran sama orang yang nggak gue suka. Daripada dia terluka setelah tahu perasaan gue yang sebenarnya.” Jawab Riska. Gea terlihat agak kaget mendengar jawaban Riska.
“Ada apa, Gea? Kok loe kaget gitu?” Tanya Riska ke Gea.
“Eng, nggak kok. Gue kaget aja, kan kalian berdua udah mesra banget.” Jawab Gea agak kelabakan. Tapi, di dalam hatinya, dia merasa senang karena Riska ternyata tidak menyukai Anton.
“Oh, mungkin Anton bukan jodoh gue, Gea.” Kata Riska sambil tersenyum ke Gea.
“Gea, gue tau kok loe udah lama banget suka sama Anton. Tapi karena ada gue, akhirnya loe gagal deket sama dia. Dan kalo emang yang loe ceritain tadi adalah Anton dan gue, gue rela kok. Semoga kalian bisa segera jadian dan saling menjaga satu sama lain.” Kata Riska dalam hati sambil tersenyum melihat Gea.
“Terus, ‘seseorang dari masa lalu’ loe tu siapa, Ris?” Tanya Tara penasaran.
Mendengar pertanyaan Tara, Riska tak menjawabnya. Dia hanya melempar senyum ke Tara sebagai jawaban.
“Rahasia lagi, nih?” tiba – tiba Choky bersuara. Riska pun tersenyum.
“Yaah. Riska nggak asyik. Tapi Ris, kayaknya gue tahu deh siapa ‘seseorang dari masa lalu’ itu.” Kata Choky sambil melirik ke arah Tara.
“Ah, apaan sih loe, Chok. Ngaco aja.” Kata Riska sambil menepuk pundak Choky.
“Tapi, loe bener, Choky. ‘seseorang dari masa lalu’ itu emang Tara. Udah sekian lama gue gonta – ganti cowok buat ngelupain si Tara, tapi gue tetep nggak bisa ngilangin dia dari hati gue. Gue pengen banget bisa sama – sama dia lagi, lebih dari sekedar sahabat. Tapi, gue sadar kalo sekarang Tara udah sama Jessica. Sosok cewek yang sempurna banget buat cowok kayak Tara. Jadi, mungkin perasaan gue bakal terpendam selamanya di hati gue.” Kata Riska dalam hatinya.
“Udah udah. Sekarang giliran gue kan buat cerita?” kata Tara. Riska, Choky, dan Gea pun diam.
“Oke, sekarang gue bakal ceritain rahasia gue. Tentang hubungan gue sama Jessica.” Kata Tara memulai ceritanya.
“Loe sama Jessica ada apa, Tar?” Tanya Choky penasaran.
“Gue udah putus sama Jessica, Chok.” Jawab Tara.
Choky, Gea, dan Riska yang mendengar jawaban Tara pun sontak kaget. Tara putus dengan Jessica, padahal mereka sudah cukup lama menjalin hubungan. Tapi, mungkin yang paling kaget adalah Riska. Dalam hati Riska, kini muncul harapan untuk bisa bersama Tara seperti yang dia inginkan.
“Berarti sekarang loe ngejomblo, gitu?” Tanya Choky lagi.
“Iya, Choky.” Jawab Tara tenang.
“Ada kesempatan nih, Ris. Hahaha” Goda Choky ke Riska sambil berbisik. Mendengarnya, Riska hanya tersenyum malu.
“Tapi, Tar. Kok loe bisa putus sama Jessica sih? Dia kan cewek yang baik banget?” Tanya Riska.
“Jessica emang cewek yang sempurna. Pokoknya, dia tu cewek idaman para cowok. Tapi, apalah artinya cewek idaman kalo hati nggak mendukung. Gue nggak pernah bener – bener suka sama Jessica.” Jawab Tara.
“Terus, buat apa loe macarin Jessica kalo loe nggak suka sama Jessica?” Tanya Gea.
“Buat status doang. Gue kira perlahan – lahan gue bakal bisa suka beneran sama si Jessica. Tapi, kenyataannya lain. Gue nggak pernah bisa suka sama Jessica, betapapun baiknya dia ke gue. Akhirnya gue putusin dia. Sebelum semuanya terlambat.” Jawab Tara.
“Terlambat gimana maksud loe?” Tanya Gea lagi.
“Sebelum Jessica tahu kalo ada cewek lain di hati gue.” Jawab Tara sambil melihat ke arah Riska. Tanpa disadari, Riska pun melirik ke arah Tara. Tara pun sempat gelagapan, tapi akhirnya bisa mengendalikan dirinya lagi.
“Emang, cewek itu siapa sih, Tar? Kalo boleh tahu?” Tanya Choky sambil menyenggol Riska.
“Dia temen deket gue.” Jawab Tara sambil tertunduk malu.
“Temen deket? Siapa Tar? Apa yang loe maksud gue?” Tanya Riska dalam hati. Dia ingin melontarkan pertanyaan itu, tapi dia tak punya cukup keberanian untuk menanyakannya. Dia hanya bisa memandangi Tara yang ada di hadapannya.
“Tar, sebutin namanya dong. Penasaran nih gue. Tadi si Gea sama si Riska udah rahasia. Masa loe juga mau rahasia’in sih.” Kata Choky memohon ke Tara. Mendengar permohonan Choky itu, Tara hanya tersenyum.
“Iya, nih Tar. Kasih tau kita kenapa sih. Siapa tahu kita kenal.” Gea ikut bertanya.
“Tanpa harus gue kasih tahu, kalian nantinya bakal tahu siapa yang gue maksud.” Jawab Tara sambil memandang ke arah Riska.
Tatapan mata Tara bertemu dengan tatapan mata Riska yang dari tadi melihat ke arah Tara. Tampaknya, karena hal itu Tara dan Riska terlihat gelagapan tak mampu mengendalikan diri. Mereka pun jadi salah tingkah. Gea dan Choky yang melihat hal ini pun akhirnya tahu. Mereka pun hanya tersenyum.
“Tambah dingin aja ya.” Celetuk Tara sambil membenarkan jaket yang dipakainya.
“Bikin kopi aja yuk, pasti anget.” Kata Gea.
“Yuk. Gue ambil kopinya dulu.” Kata Choky yang kemudian pergi ke tenda mengambil beberapa sachet kopi instan.
“Tara, aku bikinin ya.” Kata Riska menawari Tara.
“Eh, iya deh Riska.” Jawab Tara sambil tersenyum ke Riska.
“Ciee.. ciee.. mesranya.” Kata Choky dan Gea kompak. Riska dan Tara pun hanya tersipu malu.

Malam ini makin terasa dingin menusuk tulang. Namun, hal itu tidak dirasakan oleh Tara, Choky, Gea, dan Riska. Di hati mereka kini yang ada hanyalah rasa lega karena telah menuturkan sebuah rahasia yang telah mereka pendam. Ya, meskipun masih ada rahasia besar dibaliknya yang tak ingin mereka sampaikan dan tetap mereka simpan sebagai rahasia. Tapi, itu sudah cukup membuat beban di dalam hati mereka sirna. Karena terkadang, rahasia harus tetap menjadi rahasia hingga rahasia itu sendiri yang muncul dan menampakkan dirinya.


[ENDED]
Share:

#RandomPost - RANDOMIZED | 22 Juni 2013



NVRstepback. Selamat menikmati akhir pekan semuanya... Lagi pengen nulis. Tapi ya cuma singkat aja. Jangan diketawain yaa~ :))


Angin berhembus mendaki hari ini
Baskara tersenyum menghempas dingin udara
Hujan tak muncul bersembunyi di balik awan
Dan aku? Ah.. Masih berdiam di sini

Masih berkutat dengan ceceran kata
Masih tersumpal ucapan ranum diksi
Masih menatap gambar abstrak kita
Abstrak?  Haha.. Absurd lebih tepatnya

Dan tetap saja aku menatapnya
Menuliskan majas dan diksi dalam kepala
Meskipun tersimpan dan terbaca
Oleh mereka yang ada di luar sana

Jadi, untuk apa aku menulis?
Pffft.. Dan baru sadar aku ternyata
Semua kebodohan ini terlanjur tertulis
Terangkai, tersusun, terjalin, dan terhubung

Ah, sudahlah...
Tetap saja aku seperti ini
Menikmati seluruh apa yang ada
Menangkap dan menulis tanda yang ada di seputar dunia

###
Share:

Terlarang... | Cerpen

Pic from somewhere around net


Ini cerpen repost-an. Pernah baca di mana yya? Lupa sih.. Yaudah terus aku tulis ulang aja di sini. Credit to Original Writer...

Terlarang...

Saudara kembar adalah pasangan yang diciptakan oleh Tuhan untuk selalu bersama, tetapi tak bisa saling memiliki. Ada hal terlarang bernama cinta yang menghalanginya. Mereka dapat saling mencintai antara satu dengan yang lain sebagai saudara. Tapi tidak sebagai individu. Apabila ada rasa cinta yang muncul, maka cinta itu tak akan pernah bisa bersatu. Sungguh sebuah ironi yang begitu tragis dan menyedihkan.
Venus dan Mars adalah kakak beradik. Mereka adalah saudara kembar. Wajah mereka sangat mirip. Venus yang begitu cantik dengan rambut panjang, dan senyumnya yang anggun. Dan juga Mars yang begitu tampan dan gagah, dengan wajah cerianya. Ke manapun, dan apapun mereka lakukan bersama. Sekolah di sekolah yang sama, merayakan ulang tahun di hari yang sama. Mereka pun saling menyayangi satu sama lain.
Di hari ulang taun mereka yang ke – 17. Ada yang berbeda dari Venus. Dia masih berada di dalam kamarnya, padahal acara ulang tahun akan segera dimulai. Ada sesuatu yang masih mengusik hati dan pikirannya. Dia masih termenung di depan cermin sambil terus memandang lekat-lekat wajahnya. Perlahan, air matanya menetes.
Tiba-tiba pintu kamarnya terbuka. Venus kaget. Belum sempat dia menyeka air matanya. Ternyata Mars yang masuk. Melihat kakak yang paling dia sayangi menangis, membuatnya khawatir.
“Kakak menangis?” Tanya Mars kepada Venus.
“Enggak kok Mars. Mata kakak tadi kemasukan debu.” Jawab Venus sambil berusaha menyeka air matanya.
“Kakak, tolong jangan bohong sama Mars. Mars tahu kalau kakak itu habis nangis. Mars tahu banget bagaimana kakak.” Kata Mars.
Venus hanya tersenyum. Sebuah senyum kecil yang dia munculkan untuk menutupi kegundahan hatinya yang begitu besar.
“Yuk kita keluar. Acaranya udah mau mulai.” Ajak Venus ke Mars.
Dengan langkah enggan karena kakaknya tak mau menjawab pertanyaan, Mars mengikuti langkah Venus. Tiba-tiba dia sudah berada di samping Venus dan menggandeng tangan Venus. Sontak Venus kaget. Dia kemudian melepaskan gandengan tangan Mars kemudian berlari menjauh. Langkah Mars pun terhenti. Dia bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi.
“Kak Venus kenapa ya?” gumam Mars kemudian segera pergi ke ruang utama.
Suasana ruang utama yang memang dipersiapkan sebagai tempat pesta terlihat nampak indah. Ada cukup banyak tamu yang hadir. Meskipun awalnya enggan, akhirnya Venus pun mau datang dan menyalami tamu yang hadir.
“Untung kakak mau nongol. Bisa dimarahi Papa dan Mama aku kalau kakak tidak ada.” Bisik Mars ke Venus.
“Sudahlah, nikmati aja pestanya.” Ujar Venus singkat.
“Dasar kak Venus judes.” Mars mendengus kesal.
Acara pesta ulang tahun berlangsung lancar. Tak ada kendala apapun yang terjadi, sehingga semua yang ada di situ dapat berbahagia bersama. Tapi tidak dengan Venus yang masih saja tidak bisa menikmati pesta yang seharusnya dia nikmati, karena ini adalah pesta ulang tahunnya.
“Venus sayang, kamu kenapa nak?” tanya Mama kepada putrinya.
“Venus gakpapa kok Ma.” Jawab Venus sambil berusaha tersenyum.
“Ya sudah. Sana temui teman-temanmu. Ajak mereka menikmati hidangan.” Kata Mama. Venus pun tersenyum kemudian berlari ke tempat teman-temannya berkumpul.
Saat sedang berjalan, tiba-tiba matanya tertuju ke arah Mars yang nampak sedang asyik bersenda gurau dengan seorang gadis. Langkah Venus pun terhenti. Dia menghela nafas panjang kemudian segera melanjutkan langkahnya. Hatinya semakin gundah.
***
Acara pesta semalam sama sekali tak membekaskan rasa bahagia di benak Venus. Hari ini, di sekolah dia lebih banyak melamun di dalam kelas. Tadi pagi saja dia buru-buru berangkat lebih dulu, tidak berangkat bersama Papa dan Mars.
Jam istirahat. Venus memutuskan untuk pergi ke ruang perpustakaan untuk membaca. Dia berjalan sendiri melewati koridor yang ramai dengan siswa-siswi lain. Tiba-tiba dari belakang ada tangan yang memegang pundaknya sehingga Venus pun menghentikan langkah kakinya. Saat menoleh, ternyata yang memegang pundaknya adalah..
“Kakak mau ke mana?” tanya Mars dengan senyum cerianya.
“Eh, kamu Mars. Eng.. Kakak mau ke perpustakaan.” Jawab Venus.
“Yes, kebetulan. Yuk barengan kak. Aku juga mau ke sana.” Kata Mars. Tanpa menunggu persetujuan dari Venus, Mars langsung meraih lengan Venus kemudian berjalan. Venus yang kaget pun hanya mengikuti Mars.
Sesampainya di perpustakaan, mereka mencari buku. Mars, setelah mendapat buku yang dicarinya segera duduk dan membuka buku tersebut. Dia baru membaca bagian pendahuluan ketika dia lihat kakaknya sudah berada di depan petugas perpustakaan untuk mendaftarkan buku untuk dipinjam. Setelah selesai, Venus pun segera keluar. Mars pun mengernyitkan dahinya. Ditutupnya buku tersebut kemudian mengejar Venus. Namun sesampainya di luar, Mars tidak dapat menemukan Venus.
“Kak Venus kenapa sih? Dari semalem aneh banget.” Gumam Mars. Dia pun berjalan menuju kelasnya.
“Mars.” Panggil seseorang. Mars pun menoleh dan nampak seorang gadis berambut ikal tersenyum ke arahnya.
“Hai Farah.” Mars pun berjalan ke arah gadis bernama Farah tersebut. Nampak Farah pun tersenyum melihat Mars berjalan mendekatinya.
“Ada apa?” tanya Mars. Farah tak menjawab pertanyaan Mars, langsung menarik tangan Mars dan membawanya pergi.
***
Di tempat lain, Venus sedang asyik membaca buku yang baru saja dia pinjam. Tapi tiba-tiba dia ingat pada Mars yang dia tinggalkan di perpustakaan tadi. Perlahan-lahan, muncul rasa bersalah dalam hati Venus karena terlalu jahat pada Mars, adiknya sendiri. Dia pun menutup bukunya kemudian kembali ke perpustakaan.
Tapi di perpustakaan, Mars tak ada. Venus pun mulai cemas. Dia pergi ke kelas adiknya, tapi sosok Mars juga tak ada. Venus pun bergegas menuju ke kantin. Siapa tahu Mars ada di sana. Langkah kaki Venus semakin cepat, tapi tiba-tiba saja terhenti ketika dia melihat seorang yang mirip Mars sedang bersama seorang gadis. Karena tidak yakin apakah itu adalah Mars atau bukan, Venus pun mendekat perlahan.
Mata Venus terbelalak karena itu adalah Mars. Dan dia sedang berciuman mesra dengan seorang gadis. Venus tak sanggup menahan dirinya lagi. Air matanya pun mulai mengalir. Bukunya terjatuh dan menimbulkan bunyi yang cukup keras. Sontak Mars dan Farah pun kaget dan menoleh ke arah suara tersebut. Mars tercekat melihat Venus, kakaknya menangis.
“Kakak.” Kata Mars kemudian berjalan mendekati Venus. Tapi baru beberapa langkah, Venus bergegas berlari.
“Kak! Kak Venus!!” teriak Mars kemudian berlari mengejar Venus.
Venus berhenti di belakang gedung olahraga. Air matanya mengalir deras. Dia menyandarkan tubuhnya yang goyah di tembok. Hatinya seakan terkoyak melihat Mars begitu mesra tadi. Dan kini dia pun semakin yakin bahwa dia jatuh cinta kepada Mars, adiknya. Bukan cinta sebagai seorang kakak, tapi cinta seorang wanita kepada lelaki. Dan semakin dia menutupinya, rasa itu justru tumbuh dan berkembang semakin kuat. Hatinya semakin hancur dan hancur. Rasa cinta yang selama ini berusaha dia ingkari justru hidup layaknya virus. Tapi akhirnya ada seorang bernama Farah yang muncul di antara dia dan Mars.
Mata Venus menatap nanar ke sekelilingnya. Dia pun melihat pecahan botol softdrink yang ada di dekatnya. Otaknya tak lagi bisa berpikir jernih. Diraihnya pecahan botol itu dan langsung dia sayatkan ke pergelangan tangannya, tepatnya ke pembuluh nadinya.
“Mars, maafkan kakak.” Ucap Venus lirih diikuti darah yang mulai memancar dari pergelangan tangan Venus.
Pandangan mata Venus semakin kabur ketika dilihatnya dari kejauhan ada seorang berlari ke arahnya. Dia tak bisa mengenali wajah orang itu karena rasa lemah yang mulai merasuk sekujur tubuhnya. Namun setelah dekat, dia bisa tahu bahwa orang itu adalah Mars. Venus pun tersenyum getir karena dia tak bisa menghindar lagi dari Mars.
“Kak! Kak Venus! Kakak!!” teriak Mars. Air matanya pun mengalir, kemudian dia mengangkat Venus yang sudah tak sadarkan diri dan membawanya pergi dari situ.
***
***
***
Di sebuah ruangan di sebuah rumah sakit yang cukup ternama, seorang pasien sedang berusaha ditenangkan oleh beberapa suster. Namun pasien itu tak juga tenang dan masih saja berteriak-teriak dan menangis.
“Aduh, bagaimana ini?” kata seorang suster panik.
“Bagaimana kalau kita panggil dokter Adit.” Kata suster yang lain memberi usul. Kemudian dia berlari ke luar kamar tersebut.
Tak berapa lama suster itu sudah kembali dengan seorang dokter muda yang tampan dan gagah. Dengan langkah perlahan, dokter Adit berjalan mendekati pasien tersebut kemudian memeluknya. Dan pasien itu berangsur tenang. Dengan cekatan, dokter Adit menyuntikkan obat penenang ke pasien itu.
“Dokter. Saya tidak ingin bertemu dia lagi. Saya takut.” Ujar pasien itu lirih.
“Tenang, kamu aman bersama saya sekarang.” Kata dokter Adit kemudian mengangkat pasien itu dengan kedua tangannya dan membawanya keluar kamar. Suster-suster yang ada di situ pun terheran-heran melihat pemandangan itu.
“Eh, dokter Adit kok kalo pasien yang itu tadi kok aneh ya?” tanya seorang suster
“Iya, aku juga heran. Mereka sangat serasi seperti sepasang kekasih. Apalagi dokter Adit sepertinya sangat sayang pada pasien itu.” Timpal suster yang lain.
“Hey, apa kalian belum tahu? Pasien itu adalah Venus Ariana, kakak dari dokter Mars Aditya. Jadi wajar dia memperlakukannya seperti itu." Kata suster lain menjelaskan. Mereka pun mengangguk.

Dan cinta terlarang yang tumbuh di antara saudara kembar tak akan membuat mereka bersatu sebagai pasangan. Apabila dipaksakan, akan ada tragedi yang muncul dan kemudian merenggut salah satu jiwa yang dilanda cinta terlarang itu. Mars dan Venus. Cinta mereka yang terlarang tumbuh, tapi akhirnya harus sirna karena ada Bumi di antara mereka. Dan pada akhirnya, garis takdir itu kembali menegaskan bahwa mereka hanyalah dua bersaudara. Bukanlah sepasang pecinta.

Ended(?)
Share:

Still.. Beside You! -- Part - III



"Dan kau hadir.. Merubah segalanya.. Menjadi lebih indah.. Kau bawa cintaku setinggi angkasa.. Dan buatku merasa sempurna.." ~ Adera - Lebih Indah.

“Rio! Awaaass!.” Kata Anna tiba-tiba. Dan saat aku menoleh, Anna langsung menempelkan es krim yang ada di tangannya ke wajahku.
“Annaaaaa..” kataku kemudian reflek mengejar Anna yang sudah berlari sambil tertawa.
“Rio jelek. Rio jelek.” Teriaknya mengejekku. Aku semakin mempercepat lariku. Sampai tiba-tiba Anna berlari ke arah jalan, dan kulihat ada mobil berkecepatan cukup tinggi melaju ke arah Anna.
“An! Awaaass!” aku berlari berusaha menyelamatkan Anna, namun kemudian…
“Annaaaa!!!” teriakku. Tapi pandangan di depanku mendadak berubah. Seketika aku kembali merasakan sakit di kepalaku.
“Rio, kamu udah siuman ternyata.” Kata Ira yang ternyata ada di sampingku.
“Kamu Ra. Anna di mana?” tanyaku.
“Dia ikut pelajaran di kelas.” Jawab Ira singkat.
Setelah kuperhatikan dengan seksama, ternyata aku berada di ruang UKS. Aku berusaha turun dari tempat tidur dan mencoba berjalan meskipun kepalaku masih cukup sakit. Bukan karena pukulan Denis, tapi benturan lantai.
“Kamu gakpapa Yo? Izin pulang aja deh kalo masih sakit.” Kata Ira cemas.
“Gakpapa kok Ra.” Ucapku sambil tersenyum, kemudian melangkah keluar dari UKS.
Baru saja melangkah dari UKS, aku dikagetkan dengan Anna yang ada beberapa langkah dariku. Kulihat wajah manisnya itu nampak murung. Aneh sekali, karena biasanya hanya wajah cemberut atau galak yang akan dia pamerkan jika dalam kondisi seperti ini. Tiba-tiba saja dia mulai berjalan mendekatiku. Aku tak berusaha bergerak, hanya mencoba menyembunyikan tanganku agar tak menjadi sasaran cubitannya.
“Ampun An, ampuun!” teriakku sambil menutup mata ketika Anna semakin mendekat. Tapi aneh, aku merasakan tangan Anna memelukku. Saat aku mencoba membuka mataku, ternyata benar. Anna sedang memelukku.
“Rio, kamu hobi banget sih bikin aku khawatir.” Kata Anna lirih. Aku mendengar isakan tangis tertahan. Terdengar olehku meskipun aku tahu, Anna berusaha menyembunyikannya.
“Anna.”
“Kenapa Yo.”
“Kita mau pelukan sampe kapan? Gak enak nih kita lagi di sekolahan lho ini.” Kataku. Tiba-tiba saja Anna sedikit mendorongku. Pipinya memerah. Aku tersenyum.
“Hey, An.” Tiba-tiba Ira muncul dari dalam UKS.
“Eh, ada Ira. Makasih Ra, udah jagain Rio.” Kata Anna.
“Iya, sama-sama Anna. Oiya, kok kamu di sini? Bukannya masih jam pelajaran?” tanya Ira.
“Aku bolos Ra. Hehe, gurunya ngebosenin. Daripada ngantuk mending keluar aja.” Jawab Anna.
“Wah, berani banget An.” Kata Ira.
“Aduh. Kepalaku masih sakit lho ini.” Kataku sambil berakting memegang kepalaku, berusaha menarik perhatian Anna dan Ira yang sedang asyik mengobrol.
“Dasar cungkring.” Kata Anna kemudian mencubit tanganku.
“Aaaawwww!!” teriakku. Anna dan Ira pun tertawa melihatku.
***
Bel pulang sekolah sudah berbunyi beberapa waktu yang lalu. Anak-anak lain sudah pulang menuju rumah masing-masing. Dan seperti biasanya, aku dan Anna masih berada di lantai atas gedung sekolah sambil menikmati hembusan malas angin yang lembut membelai wajah kami. Kepalaku sudah tak terlalu sakit seperti ketika di UKS tadi, jadi tak perlu pulang cepat.
“Anna.” Panggilku.
“Iya Rio, ada apa?” Anna menoleh. Rambut panjangnya yang tak terikat melambai begitu indah. Ah, sepertinya Anna sangat cocok menjadi bintang iklan sampo. (Ngaco kau, writer!)
“Eng.. Bener ya, kamu bakal nglanjutin kuliah ke luar negeri?” akhirnya aku menanyakannya karena sudah tak sabar menunggu penuturan Anna langsung. Kulihat Anna menhela nafas panjang.
“Bener Yo. Papa minta aku buat kuliah di Inggris.” Kata Anna singkat.
Ya, meskipun sudah mengetahuinya dari bi Inah dan Ira, tapi penuturan langsung dari Anna ternyata masih membuat hatiku tertusuk. Aku tak tahu bagaimana melanjutkan obrolan ini. Beberapa kali menarik nafas untuk berbicara, tapi tak bisa. Kulirik Anna, dia menatap kosong ke arah langit yang teduh, seteduh mata sipitnya yang kini kehilangan objek untuk dipandang.
“Inggris? Jauh dong An.” Kataku sedikit kikuk.
“Rioo..”
“Tapi di sana kan keren. Kamu bisa masuk Cambridge, Oxford, atau Harvard.”
“Rio.”
“Pasti kamu bisa dapet banyak ilmu di sana. Hard skill atau soft skill.”
“Rio!”
“Tapi kamu harus jaga kesehatan An, kan di sana iklimnya beda sama di sini. Kamu harus…”
PLAKKK! Sebuah tamparan yang cukup keras mendarat di pipi kiriku. Aku tercengang menerimanya. Rasa sakitnya tak sebanding dengan rasa kagetku karena tamparan yang kuterima. Tamparan dari Anna! Belum hilang rasa kaget dari pikiranku, tiba-tiba saja Anna berjalan mendekatiku. Aku tak tahu apalagi yang akan dilakukan Anna. Dan tiba-tiba aliran darah yang ada di tubuhku berhenti mendadak ketika bibir Anna yang lembut menyentuh bibirku. Anna menciumku, dan ini adalah ciuman pertamaku!
Anna kemudian memelukku. Dia tak lagi menciumku. Tapi tetap saja aku masih belum bisa bereaksi menerima dua hal aneh yang tadi baru saja menimpaku secara beruntun. Sebuah tamparan keras dan kemudian sebuah ciuman lembut. Dan lagi, hal itu dari satu orang, Anna.
“Rio, aku gak pengen jauh dari kamu.” Kata Anna. Aku kaget mendengarnya.
“Aku juga Anna. Tapi gak mungkin menentang keinginan papa kamu.” Kataku lemah. Anna terisak.
“Tenang aja Anna. Kita masih bisa habisin waktu bareng-bareng sampe waktu kamu berangkat. Terus, kalo kamu udah pulang lagi ke Indonesia, kita bisa ketemu lagi.” Kataku berusaha menenangkan Anna, meskipun sejujurnya hatiku sendiri tak tenang.
“Rio.”
“Iya, An. Ada apa?”
“Aku laper. Ayo cari makan.” Ujar Anna sambil memasang senyum memelas dan mengedip-kedipkan matanya. Aku mendelik melihat perubahan Anna yang tiba-tiba. Tapi, untunglah, aku menganggapnya sebagai kata ‘Iya’ atas kata-kataku tadi.
“Yuk.” Kataku kemudian menggandeng tangannya.
Sepanjang jalan, tangan kami berdua sama sekali tak terlepas. Berbincang dan bercanda serta tertawa terbahak berdua. Ah, sepertinya baru kali ini kami bisa seperti ini. Ingin rasanya setiap hari bisa seperti ini, tapi jelas tak mungkin. Sudahlah, mungkin saja garis takdir sudah tergores dan menuntunku dan Anna untuk bisa bersama kini namun berpisah nanti.
“Rio, makan itu yuk.” Kata Anna sambil menunjuk ke arah gerobak tukang bakso.
“Ha? Serius An? Biasanya kalo aku ajak makan di tempat kayak gitu kamu nolak terus. Emang doyan?” Tanyaku heran.
“Sekali-sekali deh Yo. Penasaran nih. Yaa?” kata Anna manja. Dan sekali lagi aku dibuat tertegun oleh Anna. Baru kali ini dia tidak marah dan justru bersikap manja.
“Yaudah deh, yuk.”
Segera kami berjalan ke tempat tukang bakso kemudian memesan 2 porsi bakso. Setelah bakso pesanan kami datang, kami pun memakannya. Beberapa kali kulirik Anna yang asyik dengan bakso yang ada di hadapannya. Dia terlihat begitu lahap memakannya. Dan karena terlalu asyik memperhatikan Anna, aku lupa dengan semangkuk bakso yang ada di tanganku.
“Yo, kok gak dimakan? Gak doyan ya?” tanya Anna tiba-tiba mengagetkanku.
“Ah, eng. Doyan kok An. Dihabisin gih, nanti nambah lagi.” Kataku kemudian mulai memakan baksoku.
“Udah ah Rio, aku udah kenyang nih makan seporsi aja.”
“Rio, coba bilang aaa..” kata Anna.
“Kenapa An?” tanyaku heran.
“Aku udah kenyang, ini baksonya masih satu. Kamu makan ya. Coba deh, aaa…” kata Anna lagi.
“Hmm.. Iya deh. Aaa..” aku segera membuka mulutku. Anna pun perlahan mendekatkan bakso yang sudah tertancap di garpu yang dia pegang ke mulutku. Sampai ketika sudah hampir masuk.
“Yam.. Gak jadi ding Yo. Hahaha.” Anna pun segera memakan bakso itu sendiri, meninggalkan aku dan mulutku yang masih mangap gak jelas.
“Dasar sipit, jail ko gak ilang-ilang sih.” Aku menggerutu kemudian menghabiskan baksoku.
“Apaa?! Iiih, cungkriiiing. Manggil-manggil aku sipit lagiiii!!!” teriak Anna kemudian menghujaniku dengan cubitan-cubitan pedasnya ke lenganku yang.. Cungkring.
“Aww!! Ampun sipit.. Eh, ampun Annaa.” Ujarku berusaha berlindung dari cubitan Anna.
“Iiih, cungkring nyebeliiin.” Kata Anna sambil terus mencubitiku.
Setelah membayar pada abang penjual bakso, aku dan Anna kembali melanjutkan langkah kaki kami untuk pulang. Sepanjang perjalanan, kami tak henti-hentinya beradu argumen tentang ‘sipit’ dan ‘cungkring’ yang sebenarnya sudah seringkali kami debatkan tapi tetap saja tak ada yang mau mengalah.
“Hiih, dasar Rio. Kalo cungkring ya cungkring aja.” Kata Anna kesal.
“Biarin dong sipiitt. Cungkring gini kan mukaku cakep. Hahaha.” Bibir Anna semakin manyun mendengar tawaku.
“Dasar. Udah cungkring, nyebelin.” Kata Anna masih dengan wajahnya yang menampakkan raut kesal. Aku menghela nafas sejenak.
“Biarpun nyebelin, tapi gak mau jauh-jauh dari aku kan?” ujarku kemudian meraih bahu Anna. Dan Anna tak menjawab kata-kataku barusan. Kurasakan tangannya mendekap pinggangku. Saat kulirik wajahnya, terlihat senyum malu-malu tampak menghiasi wajahnya. Ah, tiba-tiba saja aku sendiri yang canggung karena situasi yang aku ciptakan.
“Rio, kepengen makan es krim nih.” Rengek Anna tiba-tiba.
“Hah? Tumben?” tanyaku keheranan.
“Hehe. Beli es krim yuk, Rio.” Ajak Anna.
“Hmm. Iya deh, tuh ada minimarket. Yuk.” Aku segera memegang tangan Anna menyeberang jalan raya menuju mini market. Dan tak lama, kami berdua sudah kembali di luar sambil menikmati es krim di tangan kami.
“Riooo!!” teriak Anna. Aku pun segera menoleh saat sebuah es krim mendarat telak di wajahku.
“Hahahahaha.” Anna tertawa kemudian berlari menjauh dariku. Aku tak segera mengejarnya. Seperti ada hal aneh yang sedang terjadi, seolah aku pernah mengalami kejadian ini. Tapi aku tak bisa mengingatnya. Ah, sudahlah.
“Anna, siniii!!” teriakku kemudian berlari mengejar Anna.
“Ayo Rio, tangkap aku kalo bisa.” Kata Anna sambil terus berlari.
Aku terus berlari dan akhirnya berhasil menangkap Anna. Tapi kemudian Anna mengelak dan menghindariku. Dan tanpa dia sadari, Anna berlari menuju jalan raya.
“Anna, cepetan minggir ke trotoar!” teriakku sambil masih berlari.
“Apa Yo?!” tanya Anna. Dan kulihat dari arah lain, datang mobil dengan kecepatan cukup tinggi sedang melaju ke arah Anna berdiri.
“Annaaa!!” teriakku kemudian mendorong tubuh Anna.
Ada hantaman cukup keras yang mengenai tubuhku. Cukup sakit. Kepalaku pun membentur aspal seiring tubuhku yang roboh. Mataku masih menangkap sosok Anna yang sedang bangkit berdiri dan menuju ke arahku. Dia baik-baik saja, pikirku.

“Riooo!!” teriak Anna yang sudah berada di dekatku. Aku ingin menyampaikan sesuatu, tapi entah kenapa suaraku tak bisa keluar. Pandanganku pun semakin kabur. Cahaya senja pun semakin menyilaukan pandanganku sebelum kemudian kegelapan mulai datang memenuhi seluruh aku.
Share: