#RandomPost - RANDOMIZED | 22 Juni 2013



NVRstepback. Selamat menikmati akhir pekan semuanya... Lagi pengen nulis. Tapi ya cuma singkat aja. Jangan diketawain yaa~ :))


Angin berhembus mendaki hari ini
Baskara tersenyum menghempas dingin udara
Hujan tak muncul bersembunyi di balik awan
Dan aku? Ah.. Masih berdiam di sini

Masih berkutat dengan ceceran kata
Masih tersumpal ucapan ranum diksi
Masih menatap gambar abstrak kita
Abstrak?  Haha.. Absurd lebih tepatnya

Dan tetap saja aku menatapnya
Menuliskan majas dan diksi dalam kepala
Meskipun tersimpan dan terbaca
Oleh mereka yang ada di luar sana

Jadi, untuk apa aku menulis?
Pffft.. Dan baru sadar aku ternyata
Semua kebodohan ini terlanjur tertulis
Terangkai, tersusun, terjalin, dan terhubung

Ah, sudahlah...
Tetap saja aku seperti ini
Menikmati seluruh apa yang ada
Menangkap dan menulis tanda yang ada di seputar dunia

###
Share:

Terlarang... | Cerpen

Pic from somewhere around net


Ini cerpen repost-an. Pernah baca di mana yya? Lupa sih.. Yaudah terus aku tulis ulang aja di sini. Credit to Original Writer...

Terlarang...

Saudara kembar adalah pasangan yang diciptakan oleh Tuhan untuk selalu bersama, tetapi tak bisa saling memiliki. Ada hal terlarang bernama cinta yang menghalanginya. Mereka dapat saling mencintai antara satu dengan yang lain sebagai saudara. Tapi tidak sebagai individu. Apabila ada rasa cinta yang muncul, maka cinta itu tak akan pernah bisa bersatu. Sungguh sebuah ironi yang begitu tragis dan menyedihkan.
Venus dan Mars adalah kakak beradik. Mereka adalah saudara kembar. Wajah mereka sangat mirip. Venus yang begitu cantik dengan rambut panjang, dan senyumnya yang anggun. Dan juga Mars yang begitu tampan dan gagah, dengan wajah cerianya. Ke manapun, dan apapun mereka lakukan bersama. Sekolah di sekolah yang sama, merayakan ulang tahun di hari yang sama. Mereka pun saling menyayangi satu sama lain.
Di hari ulang taun mereka yang ke – 17. Ada yang berbeda dari Venus. Dia masih berada di dalam kamarnya, padahal acara ulang tahun akan segera dimulai. Ada sesuatu yang masih mengusik hati dan pikirannya. Dia masih termenung di depan cermin sambil terus memandang lekat-lekat wajahnya. Perlahan, air matanya menetes.
Tiba-tiba pintu kamarnya terbuka. Venus kaget. Belum sempat dia menyeka air matanya. Ternyata Mars yang masuk. Melihat kakak yang paling dia sayangi menangis, membuatnya khawatir.
“Kakak menangis?” Tanya Mars kepada Venus.
“Enggak kok Mars. Mata kakak tadi kemasukan debu.” Jawab Venus sambil berusaha menyeka air matanya.
“Kakak, tolong jangan bohong sama Mars. Mars tahu kalau kakak itu habis nangis. Mars tahu banget bagaimana kakak.” Kata Mars.
Venus hanya tersenyum. Sebuah senyum kecil yang dia munculkan untuk menutupi kegundahan hatinya yang begitu besar.
“Yuk kita keluar. Acaranya udah mau mulai.” Ajak Venus ke Mars.
Dengan langkah enggan karena kakaknya tak mau menjawab pertanyaan, Mars mengikuti langkah Venus. Tiba-tiba dia sudah berada di samping Venus dan menggandeng tangan Venus. Sontak Venus kaget. Dia kemudian melepaskan gandengan tangan Mars kemudian berlari menjauh. Langkah Mars pun terhenti. Dia bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi.
“Kak Venus kenapa ya?” gumam Mars kemudian segera pergi ke ruang utama.
Suasana ruang utama yang memang dipersiapkan sebagai tempat pesta terlihat nampak indah. Ada cukup banyak tamu yang hadir. Meskipun awalnya enggan, akhirnya Venus pun mau datang dan menyalami tamu yang hadir.
“Untung kakak mau nongol. Bisa dimarahi Papa dan Mama aku kalau kakak tidak ada.” Bisik Mars ke Venus.
“Sudahlah, nikmati aja pestanya.” Ujar Venus singkat.
“Dasar kak Venus judes.” Mars mendengus kesal.
Acara pesta ulang tahun berlangsung lancar. Tak ada kendala apapun yang terjadi, sehingga semua yang ada di situ dapat berbahagia bersama. Tapi tidak dengan Venus yang masih saja tidak bisa menikmati pesta yang seharusnya dia nikmati, karena ini adalah pesta ulang tahunnya.
“Venus sayang, kamu kenapa nak?” tanya Mama kepada putrinya.
“Venus gakpapa kok Ma.” Jawab Venus sambil berusaha tersenyum.
“Ya sudah. Sana temui teman-temanmu. Ajak mereka menikmati hidangan.” Kata Mama. Venus pun tersenyum kemudian berlari ke tempat teman-temannya berkumpul.
Saat sedang berjalan, tiba-tiba matanya tertuju ke arah Mars yang nampak sedang asyik bersenda gurau dengan seorang gadis. Langkah Venus pun terhenti. Dia menghela nafas panjang kemudian segera melanjutkan langkahnya. Hatinya semakin gundah.
***
Acara pesta semalam sama sekali tak membekaskan rasa bahagia di benak Venus. Hari ini, di sekolah dia lebih banyak melamun di dalam kelas. Tadi pagi saja dia buru-buru berangkat lebih dulu, tidak berangkat bersama Papa dan Mars.
Jam istirahat. Venus memutuskan untuk pergi ke ruang perpustakaan untuk membaca. Dia berjalan sendiri melewati koridor yang ramai dengan siswa-siswi lain. Tiba-tiba dari belakang ada tangan yang memegang pundaknya sehingga Venus pun menghentikan langkah kakinya. Saat menoleh, ternyata yang memegang pundaknya adalah..
“Kakak mau ke mana?” tanya Mars dengan senyum cerianya.
“Eh, kamu Mars. Eng.. Kakak mau ke perpustakaan.” Jawab Venus.
“Yes, kebetulan. Yuk barengan kak. Aku juga mau ke sana.” Kata Mars. Tanpa menunggu persetujuan dari Venus, Mars langsung meraih lengan Venus kemudian berjalan. Venus yang kaget pun hanya mengikuti Mars.
Sesampainya di perpustakaan, mereka mencari buku. Mars, setelah mendapat buku yang dicarinya segera duduk dan membuka buku tersebut. Dia baru membaca bagian pendahuluan ketika dia lihat kakaknya sudah berada di depan petugas perpustakaan untuk mendaftarkan buku untuk dipinjam. Setelah selesai, Venus pun segera keluar. Mars pun mengernyitkan dahinya. Ditutupnya buku tersebut kemudian mengejar Venus. Namun sesampainya di luar, Mars tidak dapat menemukan Venus.
“Kak Venus kenapa sih? Dari semalem aneh banget.” Gumam Mars. Dia pun berjalan menuju kelasnya.
“Mars.” Panggil seseorang. Mars pun menoleh dan nampak seorang gadis berambut ikal tersenyum ke arahnya.
“Hai Farah.” Mars pun berjalan ke arah gadis bernama Farah tersebut. Nampak Farah pun tersenyum melihat Mars berjalan mendekatinya.
“Ada apa?” tanya Mars. Farah tak menjawab pertanyaan Mars, langsung menarik tangan Mars dan membawanya pergi.
***
Di tempat lain, Venus sedang asyik membaca buku yang baru saja dia pinjam. Tapi tiba-tiba dia ingat pada Mars yang dia tinggalkan di perpustakaan tadi. Perlahan-lahan, muncul rasa bersalah dalam hati Venus karena terlalu jahat pada Mars, adiknya sendiri. Dia pun menutup bukunya kemudian kembali ke perpustakaan.
Tapi di perpustakaan, Mars tak ada. Venus pun mulai cemas. Dia pergi ke kelas adiknya, tapi sosok Mars juga tak ada. Venus pun bergegas menuju ke kantin. Siapa tahu Mars ada di sana. Langkah kaki Venus semakin cepat, tapi tiba-tiba saja terhenti ketika dia melihat seorang yang mirip Mars sedang bersama seorang gadis. Karena tidak yakin apakah itu adalah Mars atau bukan, Venus pun mendekat perlahan.
Mata Venus terbelalak karena itu adalah Mars. Dan dia sedang berciuman mesra dengan seorang gadis. Venus tak sanggup menahan dirinya lagi. Air matanya pun mulai mengalir. Bukunya terjatuh dan menimbulkan bunyi yang cukup keras. Sontak Mars dan Farah pun kaget dan menoleh ke arah suara tersebut. Mars tercekat melihat Venus, kakaknya menangis.
“Kakak.” Kata Mars kemudian berjalan mendekati Venus. Tapi baru beberapa langkah, Venus bergegas berlari.
“Kak! Kak Venus!!” teriak Mars kemudian berlari mengejar Venus.
Venus berhenti di belakang gedung olahraga. Air matanya mengalir deras. Dia menyandarkan tubuhnya yang goyah di tembok. Hatinya seakan terkoyak melihat Mars begitu mesra tadi. Dan kini dia pun semakin yakin bahwa dia jatuh cinta kepada Mars, adiknya. Bukan cinta sebagai seorang kakak, tapi cinta seorang wanita kepada lelaki. Dan semakin dia menutupinya, rasa itu justru tumbuh dan berkembang semakin kuat. Hatinya semakin hancur dan hancur. Rasa cinta yang selama ini berusaha dia ingkari justru hidup layaknya virus. Tapi akhirnya ada seorang bernama Farah yang muncul di antara dia dan Mars.
Mata Venus menatap nanar ke sekelilingnya. Dia pun melihat pecahan botol softdrink yang ada di dekatnya. Otaknya tak lagi bisa berpikir jernih. Diraihnya pecahan botol itu dan langsung dia sayatkan ke pergelangan tangannya, tepatnya ke pembuluh nadinya.
“Mars, maafkan kakak.” Ucap Venus lirih diikuti darah yang mulai memancar dari pergelangan tangan Venus.
Pandangan mata Venus semakin kabur ketika dilihatnya dari kejauhan ada seorang berlari ke arahnya. Dia tak bisa mengenali wajah orang itu karena rasa lemah yang mulai merasuk sekujur tubuhnya. Namun setelah dekat, dia bisa tahu bahwa orang itu adalah Mars. Venus pun tersenyum getir karena dia tak bisa menghindar lagi dari Mars.
“Kak! Kak Venus! Kakak!!” teriak Mars. Air matanya pun mengalir, kemudian dia mengangkat Venus yang sudah tak sadarkan diri dan membawanya pergi dari situ.
***
***
***
Di sebuah ruangan di sebuah rumah sakit yang cukup ternama, seorang pasien sedang berusaha ditenangkan oleh beberapa suster. Namun pasien itu tak juga tenang dan masih saja berteriak-teriak dan menangis.
“Aduh, bagaimana ini?” kata seorang suster panik.
“Bagaimana kalau kita panggil dokter Adit.” Kata suster yang lain memberi usul. Kemudian dia berlari ke luar kamar tersebut.
Tak berapa lama suster itu sudah kembali dengan seorang dokter muda yang tampan dan gagah. Dengan langkah perlahan, dokter Adit berjalan mendekati pasien tersebut kemudian memeluknya. Dan pasien itu berangsur tenang. Dengan cekatan, dokter Adit menyuntikkan obat penenang ke pasien itu.
“Dokter. Saya tidak ingin bertemu dia lagi. Saya takut.” Ujar pasien itu lirih.
“Tenang, kamu aman bersama saya sekarang.” Kata dokter Adit kemudian mengangkat pasien itu dengan kedua tangannya dan membawanya keluar kamar. Suster-suster yang ada di situ pun terheran-heran melihat pemandangan itu.
“Eh, dokter Adit kok kalo pasien yang itu tadi kok aneh ya?” tanya seorang suster
“Iya, aku juga heran. Mereka sangat serasi seperti sepasang kekasih. Apalagi dokter Adit sepertinya sangat sayang pada pasien itu.” Timpal suster yang lain.
“Hey, apa kalian belum tahu? Pasien itu adalah Venus Ariana, kakak dari dokter Mars Aditya. Jadi wajar dia memperlakukannya seperti itu." Kata suster lain menjelaskan. Mereka pun mengangguk.

Dan cinta terlarang yang tumbuh di antara saudara kembar tak akan membuat mereka bersatu sebagai pasangan. Apabila dipaksakan, akan ada tragedi yang muncul dan kemudian merenggut salah satu jiwa yang dilanda cinta terlarang itu. Mars dan Venus. Cinta mereka yang terlarang tumbuh, tapi akhirnya harus sirna karena ada Bumi di antara mereka. Dan pada akhirnya, garis takdir itu kembali menegaskan bahwa mereka hanyalah dua bersaudara. Bukanlah sepasang pecinta.

Ended(?)
Share:

Still.. Beside You! -- Part - III



"Dan kau hadir.. Merubah segalanya.. Menjadi lebih indah.. Kau bawa cintaku setinggi angkasa.. Dan buatku merasa sempurna.." ~ Adera - Lebih Indah.

“Rio! Awaaass!.” Kata Anna tiba-tiba. Dan saat aku menoleh, Anna langsung menempelkan es krim yang ada di tangannya ke wajahku.
“Annaaaaa..” kataku kemudian reflek mengejar Anna yang sudah berlari sambil tertawa.
“Rio jelek. Rio jelek.” Teriaknya mengejekku. Aku semakin mempercepat lariku. Sampai tiba-tiba Anna berlari ke arah jalan, dan kulihat ada mobil berkecepatan cukup tinggi melaju ke arah Anna.
“An! Awaaass!” aku berlari berusaha menyelamatkan Anna, namun kemudian…
“Annaaaa!!!” teriakku. Tapi pandangan di depanku mendadak berubah. Seketika aku kembali merasakan sakit di kepalaku.
“Rio, kamu udah siuman ternyata.” Kata Ira yang ternyata ada di sampingku.
“Kamu Ra. Anna di mana?” tanyaku.
“Dia ikut pelajaran di kelas.” Jawab Ira singkat.
Setelah kuperhatikan dengan seksama, ternyata aku berada di ruang UKS. Aku berusaha turun dari tempat tidur dan mencoba berjalan meskipun kepalaku masih cukup sakit. Bukan karena pukulan Denis, tapi benturan lantai.
“Kamu gakpapa Yo? Izin pulang aja deh kalo masih sakit.” Kata Ira cemas.
“Gakpapa kok Ra.” Ucapku sambil tersenyum, kemudian melangkah keluar dari UKS.
Baru saja melangkah dari UKS, aku dikagetkan dengan Anna yang ada beberapa langkah dariku. Kulihat wajah manisnya itu nampak murung. Aneh sekali, karena biasanya hanya wajah cemberut atau galak yang akan dia pamerkan jika dalam kondisi seperti ini. Tiba-tiba saja dia mulai berjalan mendekatiku. Aku tak berusaha bergerak, hanya mencoba menyembunyikan tanganku agar tak menjadi sasaran cubitannya.
“Ampun An, ampuun!” teriakku sambil menutup mata ketika Anna semakin mendekat. Tapi aneh, aku merasakan tangan Anna memelukku. Saat aku mencoba membuka mataku, ternyata benar. Anna sedang memelukku.
“Rio, kamu hobi banget sih bikin aku khawatir.” Kata Anna lirih. Aku mendengar isakan tangis tertahan. Terdengar olehku meskipun aku tahu, Anna berusaha menyembunyikannya.
“Anna.”
“Kenapa Yo.”
“Kita mau pelukan sampe kapan? Gak enak nih kita lagi di sekolahan lho ini.” Kataku. Tiba-tiba saja Anna sedikit mendorongku. Pipinya memerah. Aku tersenyum.
“Hey, An.” Tiba-tiba Ira muncul dari dalam UKS.
“Eh, ada Ira. Makasih Ra, udah jagain Rio.” Kata Anna.
“Iya, sama-sama Anna. Oiya, kok kamu di sini? Bukannya masih jam pelajaran?” tanya Ira.
“Aku bolos Ra. Hehe, gurunya ngebosenin. Daripada ngantuk mending keluar aja.” Jawab Anna.
“Wah, berani banget An.” Kata Ira.
“Aduh. Kepalaku masih sakit lho ini.” Kataku sambil berakting memegang kepalaku, berusaha menarik perhatian Anna dan Ira yang sedang asyik mengobrol.
“Dasar cungkring.” Kata Anna kemudian mencubit tanganku.
“Aaaawwww!!” teriakku. Anna dan Ira pun tertawa melihatku.
***
Bel pulang sekolah sudah berbunyi beberapa waktu yang lalu. Anak-anak lain sudah pulang menuju rumah masing-masing. Dan seperti biasanya, aku dan Anna masih berada di lantai atas gedung sekolah sambil menikmati hembusan malas angin yang lembut membelai wajah kami. Kepalaku sudah tak terlalu sakit seperti ketika di UKS tadi, jadi tak perlu pulang cepat.
“Anna.” Panggilku.
“Iya Rio, ada apa?” Anna menoleh. Rambut panjangnya yang tak terikat melambai begitu indah. Ah, sepertinya Anna sangat cocok menjadi bintang iklan sampo. (Ngaco kau, writer!)
“Eng.. Bener ya, kamu bakal nglanjutin kuliah ke luar negeri?” akhirnya aku menanyakannya karena sudah tak sabar menunggu penuturan Anna langsung. Kulihat Anna menhela nafas panjang.
“Bener Yo. Papa minta aku buat kuliah di Inggris.” Kata Anna singkat.
Ya, meskipun sudah mengetahuinya dari bi Inah dan Ira, tapi penuturan langsung dari Anna ternyata masih membuat hatiku tertusuk. Aku tak tahu bagaimana melanjutkan obrolan ini. Beberapa kali menarik nafas untuk berbicara, tapi tak bisa. Kulirik Anna, dia menatap kosong ke arah langit yang teduh, seteduh mata sipitnya yang kini kehilangan objek untuk dipandang.
“Inggris? Jauh dong An.” Kataku sedikit kikuk.
“Rioo..”
“Tapi di sana kan keren. Kamu bisa masuk Cambridge, Oxford, atau Harvard.”
“Rio.”
“Pasti kamu bisa dapet banyak ilmu di sana. Hard skill atau soft skill.”
“Rio!”
“Tapi kamu harus jaga kesehatan An, kan di sana iklimnya beda sama di sini. Kamu harus…”
PLAKKK! Sebuah tamparan yang cukup keras mendarat di pipi kiriku. Aku tercengang menerimanya. Rasa sakitnya tak sebanding dengan rasa kagetku karena tamparan yang kuterima. Tamparan dari Anna! Belum hilang rasa kaget dari pikiranku, tiba-tiba saja Anna berjalan mendekatiku. Aku tak tahu apalagi yang akan dilakukan Anna. Dan tiba-tiba aliran darah yang ada di tubuhku berhenti mendadak ketika bibir Anna yang lembut menyentuh bibirku. Anna menciumku, dan ini adalah ciuman pertamaku!
Anna kemudian memelukku. Dia tak lagi menciumku. Tapi tetap saja aku masih belum bisa bereaksi menerima dua hal aneh yang tadi baru saja menimpaku secara beruntun. Sebuah tamparan keras dan kemudian sebuah ciuman lembut. Dan lagi, hal itu dari satu orang, Anna.
“Rio, aku gak pengen jauh dari kamu.” Kata Anna. Aku kaget mendengarnya.
“Aku juga Anna. Tapi gak mungkin menentang keinginan papa kamu.” Kataku lemah. Anna terisak.
“Tenang aja Anna. Kita masih bisa habisin waktu bareng-bareng sampe waktu kamu berangkat. Terus, kalo kamu udah pulang lagi ke Indonesia, kita bisa ketemu lagi.” Kataku berusaha menenangkan Anna, meskipun sejujurnya hatiku sendiri tak tenang.
“Rio.”
“Iya, An. Ada apa?”
“Aku laper. Ayo cari makan.” Ujar Anna sambil memasang senyum memelas dan mengedip-kedipkan matanya. Aku mendelik melihat perubahan Anna yang tiba-tiba. Tapi, untunglah, aku menganggapnya sebagai kata ‘Iya’ atas kata-kataku tadi.
“Yuk.” Kataku kemudian menggandeng tangannya.
Sepanjang jalan, tangan kami berdua sama sekali tak terlepas. Berbincang dan bercanda serta tertawa terbahak berdua. Ah, sepertinya baru kali ini kami bisa seperti ini. Ingin rasanya setiap hari bisa seperti ini, tapi jelas tak mungkin. Sudahlah, mungkin saja garis takdir sudah tergores dan menuntunku dan Anna untuk bisa bersama kini namun berpisah nanti.
“Rio, makan itu yuk.” Kata Anna sambil menunjuk ke arah gerobak tukang bakso.
“Ha? Serius An? Biasanya kalo aku ajak makan di tempat kayak gitu kamu nolak terus. Emang doyan?” Tanyaku heran.
“Sekali-sekali deh Yo. Penasaran nih. Yaa?” kata Anna manja. Dan sekali lagi aku dibuat tertegun oleh Anna. Baru kali ini dia tidak marah dan justru bersikap manja.
“Yaudah deh, yuk.”
Segera kami berjalan ke tempat tukang bakso kemudian memesan 2 porsi bakso. Setelah bakso pesanan kami datang, kami pun memakannya. Beberapa kali kulirik Anna yang asyik dengan bakso yang ada di hadapannya. Dia terlihat begitu lahap memakannya. Dan karena terlalu asyik memperhatikan Anna, aku lupa dengan semangkuk bakso yang ada di tanganku.
“Yo, kok gak dimakan? Gak doyan ya?” tanya Anna tiba-tiba mengagetkanku.
“Ah, eng. Doyan kok An. Dihabisin gih, nanti nambah lagi.” Kataku kemudian mulai memakan baksoku.
“Udah ah Rio, aku udah kenyang nih makan seporsi aja.”
“Rio, coba bilang aaa..” kata Anna.
“Kenapa An?” tanyaku heran.
“Aku udah kenyang, ini baksonya masih satu. Kamu makan ya. Coba deh, aaa…” kata Anna lagi.
“Hmm.. Iya deh. Aaa..” aku segera membuka mulutku. Anna pun perlahan mendekatkan bakso yang sudah tertancap di garpu yang dia pegang ke mulutku. Sampai ketika sudah hampir masuk.
“Yam.. Gak jadi ding Yo. Hahaha.” Anna pun segera memakan bakso itu sendiri, meninggalkan aku dan mulutku yang masih mangap gak jelas.
“Dasar sipit, jail ko gak ilang-ilang sih.” Aku menggerutu kemudian menghabiskan baksoku.
“Apaa?! Iiih, cungkriiiing. Manggil-manggil aku sipit lagiiii!!!” teriak Anna kemudian menghujaniku dengan cubitan-cubitan pedasnya ke lenganku yang.. Cungkring.
“Aww!! Ampun sipit.. Eh, ampun Annaa.” Ujarku berusaha berlindung dari cubitan Anna.
“Iiih, cungkring nyebeliiin.” Kata Anna sambil terus mencubitiku.
Setelah membayar pada abang penjual bakso, aku dan Anna kembali melanjutkan langkah kaki kami untuk pulang. Sepanjang perjalanan, kami tak henti-hentinya beradu argumen tentang ‘sipit’ dan ‘cungkring’ yang sebenarnya sudah seringkali kami debatkan tapi tetap saja tak ada yang mau mengalah.
“Hiih, dasar Rio. Kalo cungkring ya cungkring aja.” Kata Anna kesal.
“Biarin dong sipiitt. Cungkring gini kan mukaku cakep. Hahaha.” Bibir Anna semakin manyun mendengar tawaku.
“Dasar. Udah cungkring, nyebelin.” Kata Anna masih dengan wajahnya yang menampakkan raut kesal. Aku menghela nafas sejenak.
“Biarpun nyebelin, tapi gak mau jauh-jauh dari aku kan?” ujarku kemudian meraih bahu Anna. Dan Anna tak menjawab kata-kataku barusan. Kurasakan tangannya mendekap pinggangku. Saat kulirik wajahnya, terlihat senyum malu-malu tampak menghiasi wajahnya. Ah, tiba-tiba saja aku sendiri yang canggung karena situasi yang aku ciptakan.
“Rio, kepengen makan es krim nih.” Rengek Anna tiba-tiba.
“Hah? Tumben?” tanyaku keheranan.
“Hehe. Beli es krim yuk, Rio.” Ajak Anna.
“Hmm. Iya deh, tuh ada minimarket. Yuk.” Aku segera memegang tangan Anna menyeberang jalan raya menuju mini market. Dan tak lama, kami berdua sudah kembali di luar sambil menikmati es krim di tangan kami.
“Riooo!!” teriak Anna. Aku pun segera menoleh saat sebuah es krim mendarat telak di wajahku.
“Hahahahaha.” Anna tertawa kemudian berlari menjauh dariku. Aku tak segera mengejarnya. Seperti ada hal aneh yang sedang terjadi, seolah aku pernah mengalami kejadian ini. Tapi aku tak bisa mengingatnya. Ah, sudahlah.
“Anna, siniii!!” teriakku kemudian berlari mengejar Anna.
“Ayo Rio, tangkap aku kalo bisa.” Kata Anna sambil terus berlari.
Aku terus berlari dan akhirnya berhasil menangkap Anna. Tapi kemudian Anna mengelak dan menghindariku. Dan tanpa dia sadari, Anna berlari menuju jalan raya.
“Anna, cepetan minggir ke trotoar!” teriakku sambil masih berlari.
“Apa Yo?!” tanya Anna. Dan kulihat dari arah lain, datang mobil dengan kecepatan cukup tinggi sedang melaju ke arah Anna berdiri.
“Annaaa!!” teriakku kemudian mendorong tubuh Anna.
Ada hantaman cukup keras yang mengenai tubuhku. Cukup sakit. Kepalaku pun membentur aspal seiring tubuhku yang roboh. Mataku masih menangkap sosok Anna yang sedang bangkit berdiri dan menuju ke arahku. Dia baik-baik saja, pikirku.

“Riooo!!” teriak Anna yang sudah berada di dekatku. Aku ingin menyampaikan sesuatu, tapi entah kenapa suaraku tak bisa keluar. Pandanganku pun semakin kabur. Cahaya senja pun semakin menyilaukan pandanganku sebelum kemudian kegelapan mulai datang memenuhi seluruh aku.
Share:

#RandomPost - #GettingSick | 20 Mei 2013



NVRstepback. Sore ini terasa sangat dingin karena hujan tak henti-hentinya mengguyur bumi yang sudah menggigil. Harapan untuk dapat menikmati hangat sinar mentari pun harus bersabar hingga esok, karena tak senja yang terhalang mendung sudah hadir menjemput mentari untuk pulang. Jadi beginilah sore ini.. Dingin, gelap, dan basah! Hahahaha...

Ah, ya baru saja kepalaku tadi sedikit ringan selepas menghabiskan sepiring nasi yang ditemani daun pepaya serta gorengan bakwan di kantin. Perutku pun sudah lebih enakan setelah mendapat asupan teh hangat. Wait! Teh hangat? Oh God.. Jangan sampai ini pertanda penurunan daya tahan tubuh, dan akhirnya nanti aku harus sakit. Karena teh hangat adalah satu tanda yang cukup jitu, untuk memberitahukanku kalau aku 'akan' sakit. AAARRGHH!

Mataku pun juga dari tadi mual. Ah! Maaf, aku ngelantur.. Haha. Mataku pun juga dari tadi sudah berdenyut menahan radiasi lemah dari LCD laptopku. Dan denyutan itu sepertinya juga direspon oleh perut dengan mengirimkan sinyal rasa mual ke otakku. Wow! Hampir saja tadi aku muntah ketika pergi ke kamar kecil. Dan hampir saja muntah ketika melaksanakan sholat. Sakit memang menyebalkan! >_<

Tapi.. Sudahlah, toh dengan nanti tidur lebih awal pasti besok pagi aku sudah sehat seperti biasanya. Bisa beraktivitas menjalankan rutinitas di kampus. Namun kalau seandainya belum sehat, itu berarti aku harus menghabiskan waktu seharian terkapar di kamar kost.  'Menghindar' dari cengkeraman pekerjaan yang menjemukan. Hahahaha... Sakit memang nikmat yang terselubung sepertinya.

Err... Yang jelas apapun yang terjadi besok, aku lebih memilih sehat daripada harus sakit dan terkapar. Karena tentunya ketika aku sehat, akan lebih banyak manfaat yang bisa aku dapatkan & juga aku berikan untuk orang lain.


__ NVRstepback __
Share:

And.... Yes, It's You!




Halo, pembaca NVRstepback. Ada posting baru nih, tapi materi lama. Dan... Lama banget kayaknya, karena ini satu dari beberapa cerpen yang gue tulis pas pertama kali kenal dunia menulis, jadi yaa.. masih belepotan... *pipi merah*
Ada sedikit edit sana-sini, tapi gak ngurangin ceritanya... Yuk cusss dibaca :D


And.... Yes, It's You!

Arya adalah pemuda berusia 18 tahun. Dia baru saja masuk ke perguruan tinggi. Di tempat barunya, Arya termasuk anak yang kurang bisa beradaptasi dengan cepat sehingga belum memiliki teman. Satu – satunya teman adalah Ari. Teman sejak kecil. Meskipun tidak pernah satu sekolah, Arya dan Ari sangat akrab karena selalu bermain bersama sejak kecil. Dan meskipun kini mereka satu kampus, mereka mengambil jurusan yang berbeda. Arya berada di jurusan Seni Rupa karena dia suka melukis. Sedangkan Ari memilih teknik mesin. Dan ketika cinta menguji ikatan persahabatan mereka…
***
Seperti biasa, setiap hari Senin Arya masuk pagi karena ada jadwal kuliah jam 8. Dan kebetulan, dosennya yang bernama Pak Tono sangat galak sehingga banyak mahasiswa yang memilih datang lebih pagi daripada harus terlambat. Sialnya bagi Arya, jam 7.30 dia masih belum sampai di kampus karena ban motornya pecah di tengah jalan. Dia harus pergi ke tukang tambal ban untuk menambal ban yang pecah. Saat diliriknya arloji yang ada di tangannya, sudah jam 7.50! “Mati aku. Bisa habis kalau nggak buruan nyampe kampus.” Gerutu Arya dalam hati. Saat sedang bingung memikirkan nasibnya, ada suara yang memanggilnya.
“Arya!” ternyata itu suara Ari. Arya segera menoleh ke arah Ari.
“Eh, Ari! Untung aja loe dateng. Loe mau ke kampus kan?” Tanya Arya.
“Iya. Ada apa? Motor loe kenapa?”
“Ban motorku pecah. Udah ah, yuk buruan cabut. Udah telat nih.”
“Oke bos.”
Ari langsung tancap gas menuju ke kampus. Dan, sesampainya di kampus Arya mendapat kabar bahagia. Ternyata Pak Tono tidak masuk dan hanya menitipkan tugas. “Alhamdulillah, terima kasih ya Allah.” Batin Arya. Dia bisa tenang karena tidak perlu memperoleh sanksi dari Pak Tono. Kini, yang jadi masalah adalah bagaimana dia harus menyelesaikan tugas yang diberikan Pak Tono karena waktu pengumpulannya tinggal 1 jam lagi. Setelah memutar otak beberapa saat, dia pun memilih untuk meniru pekerjaan teman lainnya.
Setelah menyelesaikan tugas dari Pak Tono, dia berniat meminta tolong ke Ari untuk mengambil motornya ke tukang tambal ban. Dia bergegas pergi ke bengkel praktek teknik mesin untuk menemui Ari. Tapi, di sana dia tidak bisa menemukan Ari. Teman – teman Ari bilang kalau Ari sedang ke kamar mandi. Tanpa pikir panjang, Arya langsung berlari menuju ke kamar mandi. Tapi, saat masih kurang beberapa meter dari kamar mandi, dia melihat Ari yang keluar dari kamar mandi cewek. “Ha? Kamar mandi cewek? Gila ni anak.” Batin Arya.
“Eh, Ri. Ngapain loe dari kamar mandi cewek? Hayo, abis ngintip ya?” goda Arya.
“Ih, apaan sih. Ya nggak lah.” Jawab Ari yang sudah mengepalkan tinjunya bersiap memukul Arya.
“Hahaha dasar anak aneh. Masak cowok make kamar mandi cewek.”
“Air di kamar mandi cowok mati. Jadi aku pake kamar mandi cewek. Lagian nggak ada orang,” balas Ari memberi alasan.”Oiya, ngapain loe nyariin gue? Tumben – tumbenan.”
“Hehe. Gini Ri, gue mau minta tolong. Anterin gue ke tukang tambal ban yang tadi ya. Gue mau ambil motor nih.” Kata Arya agak memelas.
“Huuu dasar. Ternyata ada maunya. Ya udah, ntar gue anterin tapi tunggu gue selesein tugas dulu. Bentaran. Paling 15 menit kelar. Gimana?” jawab Ari.
“Eng. Iya deh. Aku tunggu di depan gerbang ya.” Kata Arya sambil berlalu. Melihat Arya pergi, Ari hanya tersenyum sambil kembali ke bengkel praktek.
Arya sudah ada di gerbang menunggu Ari datang. Selama di situ, dia merasa agak jenuh. Sampai dia melihat sosok cantik yang berjalan melewatinya. Devi, teman sekelasnya. Memang Arya jatuh cinta kepada Devi, tapi dia tidak berani mengungkapkannya karena Devi adalah salah satu cewek paling popular di kampus. Selain cantik, dia juga kaya. Sehingga Arya hanya mampu mengaguminya.
“Tiiinn!” tiba – tiba lamunan Arya buyar ketika suara keras klakson motor Ari terdengar.
“Eh, loe Ri. Ngganggu orang aja.”
“Alah kerjaan loe Cuma ngliatin Devi aja. Kalo berani, tembak langsung.” Tantang Ari.
“Ah, gila loe. Gue sama dia kan beda Ri.” Kata Arya lemah.
“Haha. Ntar gue samber duluan baru nyesel. Galau.” Ejek Ari.
“Ya ambil aja sono kalo loe emang mau." Kata Arya dengan nada emosi.
"Alah, gitu aja ngambek." Goda Ari.
"Ah, udah lah. Yuk buruan anterin ke tukang tambal ban tadi.” Kata Arya mengalihkan pembicaraan.
Ari pun segera mengantarkan Arya ke tukang tambal ban. Setelah mengambil motornya, Arya mengajak Ari makan sebagai ucapan terima kasih. Di warung makan, Arya mulai membicarakan tentang Devi.
“Ri, loe pasti tahu kalo gue suka banget sama Devi. Apalagi, Devi sekarang lagi jomblo. Tapi gue nggak berani ngungkapin perasaan gue. Gimana ya, Ri?” kata Arya setengah melamun. Ari tak langsung menjawab. Terlihat, wajah Ari menampakkan rasa sedih. Dia menunduk menyembunyikan kesedihannya.
“Eh, Ri. Jawab dong. Malah nunduk.” Kata Arya sambil menepuk pundak Ari.
“Loe kasih dia lukisan bikinan loe aja.” Jawab Ari singkat. Tanpa melihat ke arah Arya.
“Wah, ide brilian tuh. Makasih, Ri.”
Selesai makan, Arya langsung pulang menuju ke belakang rumah. Tempat dia biasa melukis. Dengan foto Devi yang dia miliki, dia mulai mengayunkan kuasnya ke kanvas putih di hadapannya. Setelah berapa lama, sebuah lukisan wajah Devi selesai dibuatnya. Dalam hati, dia akan menyatakan perasaannya ke Devi sambil memberikan lukisan ini. Sebenarnya, sudah ada beberapa lukisan Devi di tempat itu. Tapi, Arya merasa kalau lukisannya yang baru saja selesai lebih mewakili perasaannya ke Devi.
Keesokan harinya di kampus, Arya sudah sampai di kampus sambil membawa sesuatu yang tertutup kain putih. Dia duduk di kelas menunggu kedatangan Devi. Tak berapa lama, Devi yang dia tunggu datang. Dengan agak gugup, dia mendekati Devi. Devi yang sadar ada seseorang di belakangnya langsung berbalik.
“Eh, kamu Arya. Ada apa?” Tanya Devi.
“Dev, aku mau ngomong sesuatu sama kamu. Sesuatu yang penting.” Arya langsung mengutarakan maksudnya.
“Aku suka sama kamu Dev. Mau nggak kamu jadi pacar aku? Tolong terima lukisan ini sebagai lambang perasaanku ke kamu. Kalo kamu terima aku, simpen lukisan ini. Kalo kamu tolak aku, kamu boleh buang atau bakar sekalian lukisan ini.”
Mendengar pernyataan Arya, Devi agak kaget. Kemudian dibukanya kain penutup lukisan itu. Saat melihat lukisan itu, Devi tersenyum dan kemudian berkata,”lukisan ini aku terima. Begitu juga perasaan kamu ke aku. Aku mau jadi pacar kamu.”
Mendengar jawaban Devi, Arya langsung tersenyum puas. Dia merasa senang karena ternyata perasaannya diterima oleh Devi. Saking senangnya, Arya tak tahu kalau ada sosok lain yang melihat kebahagiaannya. Sosok itu adalah Ari. Dari tadi, Ari sudah memperhatikan Arya dan Devi. Dan melihat Devi menerima pernyataan cinta Arya, hati Ari serasa tertusuk pedang tajam. Terasa sakit. Dia pun bergegas pergi dari situ.
Arya yang sedang bahagia langsung mencari sahabatnya, Ari untuk membagi rasa bahagianya itu. Dengan mudah, Arya menemukan Ari yang sedang menikmati semangkuk bakso di kantin kampus.
“Ari.” Sapa Arya dengan nada ceria.
“Eh, loe Ar. Ada apa? Seneng banget.” Jawab Ari datar sambil menghabiskan bakso yang ada di hadapannya.
“Devi nerima gue, Ri. Hahahaha.” Terang Arya sambil tersenyum dan tertawa girang. Ari hanya menanggapinya dengan senyuman kecil.
“Selamat deh buat loe. Semoga hubungan kalian bisa lancar.” Ucap Ari dengan nada datar.
Selanjutnya, hari – hari Arya dihabiskan untuk berdua bersama Devi. Melukis Devi, dan hal – hal lainnya. Sampai pada suatu hari, beberapa jam sebelum pesta ulang tahun Devi. Arya di rumahnya ditemani Ari membuat lukisan sebagai hadiah ulang tahun Devi. Arya dengan serius mengerjakan lukisan itu. Ari yang duduk di samping Arya memandangi Arya yang sedang serius mengayunkan kuas ke kanvas gores demi gores.
“Selesai.” Kata Arya ketika pekerjaannya telah selesai.
“Yuk, Ri kita ke tempat pestanya Devi.” Ajak Arya ke Ari sambil merapikan lukisannya.
“Yuk.” Jawab Ari singkat.
Mereka berdua segera pergi menuju rumah Devi. Sesampainya di sana, suasana sangat ramai. Arya sempat bimbang ingin masuk. Tapi, saat melihat Devi yang ada di luar, dia langsung bergegas masuk. Ari tidak ikut masuk. Dia hanya memperhatikan Arya yang perlahan mendekati Devi sambil membawa lukisan hadiah ulang tahun untuk Devi. Setelah dekat dengan Devi, Arya melihat Devi sedang dikerumuni beberapa cowok yang memberikan hadiah kepada Devi. Pada saat itu, Arya memanggil Devi.
“Dev, aku ada hadiah buat kamu.” Kata Arya sambil berjalan perlahan agak mendekat.
“Eh, kamu Arya. Taruh di situ aja.” Jawab Devi sambil sibuk ngobrol dengan beberapa cowok di sekelilingnya. Mendengar jawaban Devi, Arya langsung shock. Dia tak menyangka Devi tidak menghiraukan kedatangannya. Dengan penuh kesedihan, Arya menyandarkan lukisannya yang masih tertutup kain putih di dinding. Tak terasa air mata menetes dari matanya. Dia bergegas meninggalkan Devi yang masih asik dengan teman – temannya.
Perlahan, hujan mulai turun. Dari kejauhan, Ari melihat apa yang terjadi. Dilihatnya Arya yang tak dihiraukan oleh Devi tertekan perasaannya, perlahan mendekat. Semakin dekat, Ari dapat melihat air mata Arya yang makin deras terjatuh.
“Loe nggak papa, Ar?” Tanya Ari.
“Gue pulang duluan, Ri.” Jawab Arya sambil berlalu. Mendengar jawaban Arya, Ari bergegas mendekati Devi yang masih tak melirik hadiah pemberian Arya.
“Dev, cewek macem apa loe. Nggak nge-hargain sama sekali hadiah dari cowok loe sendiri, malah asik ngobrol sama orang – orang nggak jelas kayak mereka!” ucap Ari dengan nada tinggi dan keras. Hal ini membuat Devi dan teman – temannya terdiam.
“Loe nggak pantes dapetin cowok macem Arya!” kata Ari sambil pergi meninggalkan Devi yang perlahan berjalan mengambil hadiah dari Arya yang dari tadi. Dibukanya kain putih yang menutupi bingkisan itu. Setelah membukanya, air mata Devi terjatuh.
“Indah sekali.” Kata Devi penuh penyesalan. Penyesalan karena tak menghiraukan Arya. Arya yang telah menghilang di balik hujan yang semakin deras terjatuh.
***
Dengan badan yang masih basah kuyup, Arya duduk terdiam di depan kanvas putih di rumahnya. Dari belakang, muncul Ari yang juga basah kuyup karena kehujanan. Seolah menyadari keberadaan Ari, Arya langsung berbicara.
“Untuk apa lagi gue ngelukis. Gue udah kehilangan hal yang bikin gue terus ngelukis.”
“Arya, kenapa loe ngomong gitu?” Tanya Ari.
“Devi udah nggak ngegubris gue. Selama ini, Devi yang selalu bikin gue ngelukis. Devi yang selalu ada di setiap kanvas yang gue lukis. Sekarang, dia udah nggak ada buat gue. Terus, apa yang harus gue lukis?” Tanya Arya kepada entah Ari, atau pada dirinya sendiri. Ari tak mampu menjawab pertanyaan Arya itu. Namun, perlahan dia mendekati Arya.
“Gimana kalo loe ngelukis gue.” Kata Ari. Arya sontak kaget mendengar perkataan Ari.
“Loe kan cowok? Masa …” belum selesai Arya berbicara, Ari sudah membuka topi yang selama ini menutupi kepalanya. Dari situ, terurai rambut hitam panjang. Dibukanya pula kemeja yang menutupi tubuhnya. Tinggal kaos tanpa lengan yang tampak. Melihat hal itu, Arya semakin kaget. Kaget melihat sosok Ari yang ada di depannya. Ari yang dikenalnya sebagai seorang cowok, kini seolah terhapus karena yang ada di hadapannya sekarang adalah sosok seorang cewek.
“Ari, jadi… selama ini… loe… Ri…” kalimat dari mulut Arya terputus – putus karena masih belum bisa menerima apa yang sedang dilihatnya.
“Arya, gue sebenarnya cewek. Tapi, gue tutupin dari loe karena gue selalu pengen deket sama loe. Gue nggak mau jauh – jauh dari loe. Dan mungkin, sekarang saatnya loe tahu semua tentang gue. Dan satu lagi…” Ari menghentikan kata – katanya.
“Gue udah lama banget suka sama loe. Gue sayang sama loe, Arya.” Kalimat itu meluncur dari Ari, bukan sebagai sosok sahabat bagi Arya. Tapi, sebagai pernyataan cinta seorang cewek ke seorang cowok.
“Ta..tapi, n..nama loe kan A..ari.”
“Nama lengkap gue Eviana Arisanti. Dan selama ini gue ngenalin diri gue ke loe sebagai Ari.” Terang Ari.
“Evi…” kata Arya yang mulai bisa menguasai diri.
“Seandainya gue tahu dari awal.” Lanjut Arya sambil berjalan mendekati Ari yang tertunduk.
“Gue akan milih loe daripada Devi.” Kata Arya sambil memeluk tubuh Ari. Ari tak berkata apa – apa. Dia masih terdiam, bingung dengan perasaan sedih, senang, dan galau yang kini sedang bercampur di dalam hatinya. Sedih karena tak mampu menahan perasaannya lebih lama. Senang karena mendengar jawaban dari Arya. Galau karena telah membuka rahasianya selama ini. Rahasia yang telah dia pendam bertahun – tahun, kini telah dia buka di hadapan cowok yang telah ada di hatinya selama bertahun – tahun pula.
***
Setelah kejadian malam itu, sosok cowok bernama Ari yang pernah Arya kenal telah berganti rupa menjadi seorang cewek bernama Evi. Kini, mereka berdua telah menjadi sepasang kekasih yang saling melengkapi satu sama lain. Ya, dua jiwa yang telah bertaut menjadi satu setelah selama ini terpisah oleh tabir bernama Ari..


- ENDED -


Seperti biasa, minta komentarnya dooong~
Share:

The Second Life For Emily




The Second Life For Emily

“Aku balik dulu ya Em, sampai jumpa.” Ucap Randy sambil mengecup kening Emily. Randy pun menghidupkan motor dan mengendarainya keluar pekarangan rumah Emily. Saat Emily berjalan masuk ke rumah, tiba – tiba terdengar suara hantaman cukup keras. Mendengar hal itu, Emily segera berlari ke arah suara hantaman itu. Dan saat dia tahu apa yang ada di depan matanya, tubuhnya mendadak lemas, air mata langsung mengalir deras dari matanya. Tubuh Randy terbujur di aspal hitam, dengan tubuh yang bersimbah darah.
“Randy!!!!!!” jerit Emily. Ternyata hanya mimpi. Tiba – tiba Emily menangis. Sudah kesekian kalinya dia memimpikan hal itu. Meskipun sudah berusaha keras melupakan Randy yang telah pergi meninggalkannya, tapi mimpi itu seolah tak mau berlalu dari dalam kepalanya. Mama Emily yang tadi mendengar putri kesayangannya menjerit langsung bergegas menuju kamar Emily. Sesampainya di kamar Emily,
beliau langsung memeluk Emily yang sedang menangis.
“Emily, udah ya. Kamu harus berusaha lupain Randy, biar dia bisa tenang di sana.” Hibur Mama kepada Emily.
“Emily udah berusaha buat lupain dia, Ma. Tapi mimpi itu nggak mau pergi dari tidur Emily.” Ujar Emily dengan masih menangis.
Mama Emily pun ikut menangis melihat putri kesayangannya menanggung beban kesedihan yang sangat mendalam. Dengan penuh kasih sayang, beliau pun membaringkan tubuh Emily dan menyelimutinya.
“Udah, kamu tidur lagi gih. Besok kan kamu ada kuliah pagi.”
“Iya. Makasih ya, Ma.” Setelah mengecup kening Emily, Mama pun pergi.
Keesokan harinya, Emily yang memang tak bisa tidur setelah semalam terbangun masih tampak sedih. Dengan langkah lesu, dia bersiap – siap untuk pergi ke kampus. Memang, setelah kepergian Randy, Emily banyak berubah. Dia semula adalah gadis yang murah senyum dan sangat periang. Namun, semenjak kepergian Randy yang terjadi di depan matanya, dia berubah menjadi gadis yang pendiam. Tak pernah lagi terlihat senyuman dari paras cantiknya. Dia menjadi jarang bicara. Hal ini menimbulkan kekhawatiran tersendiri bagi Mama Emily. Beliau takut kalau Emily melakukan hal bodoh bila belum bisa melupakan kepergian Randy.
***
Di kampus, Emily jarang sekali bicara. Dia bicara hanya saat ditanyai oleh dosen. Dengan teman – temannya, dia semakin jarang berkumpul. Chika, sahabat dekat Emily pun semakin khawatir dengan kondisi Emily yang makin hari makin tak stabil. Pada suatu kesempatan, dia mencoba berbicara dengan Emily.
“Em, kamu nggak papa?” Tanya Chika dengan lembut. Tapi Emily tak mengucapkan apa – apa, dia hanya menggeleng lemah. Melihat hal ini, Chika semakin sedih.
“Kamu masih mikirin Randy, ya? Udah dong, Em. Kalo kamu gini terus, Randy di atas sana bakal sedih. Kamu pengen Randy sedih?” mendengar hal ini, air mata Emily tiba – tiba mengalir. Dia langsung memeluk Chika.
“Aku nggak bisa dan nggak bakal bisa nglupain Randy, Chika. Kejadian itu selalu datang di mimpi aku. Aku takut, Ka.” Jawab Emily sambil masih menangis.
“Iya, aku tahu. Mungkin kamu harus coba mencari buka hati kamu buat cowok lain. Supaya kamu bisa lupain Randy.” Saran Chika.
“Tapi… aku nggak bisa... Gimana aku bisa buka hati aku kalau hati aku udah dibawa Randy pergi…”
Chika terdiam. Dia tak mampu mengatakan apa – apa mendengar apa yang barusan dikatakan Emily. Chika tahu kalau Emily sangat menyayangi Randy, begitu juga sebaliknya. Tapi, melihat kondisi Emily sekarang, dia hanya bisa bersedih. Dia tak bisa melakukan hal berarti untuk membantu sahabat terbaiknya ini.
“Em, kamu masih ada kuliah nggak?” Tanya Chika kepada Emily yang masih mengusap matanya.
“Nggak ada.” Jawab Emily singkat.
“Aku anterin kamu balik ya.” Ajak Chika. Dia sangat khawatir pada kondisi Emily saat ini. Jadi dia berpikir untuk mengajak Emily pulang. Tanpa berkata apa – apa, Emily beranjak dari tempat duduknya dan berjalan mengikuti Chika.
Di sepanjang perjalanan, tak ada satu kata pun yang terucap dari mulut Chika dan Emily. Sesampainya di rumah Emily, Chika langsung mengantar Emily masuk.
“Siang tante.” Sapa Chika kepada Mama Emily.
“Eh, Chika. Makasih ya, udah mau nganterin Emily pulang. Sini duduk dulu.” Balas Mama Emily.
“Eng, makasih banget tante. Tapi, Chika ada acara di rumah. Harus buru – buru pulang.”
“Ya udah deh. Sekali lagi makasih ya.”
“Iya tante. Emily, aku balik dulu ya. Sampai ketemu besok. Mari tante.” Chika pun pamit.
Setelah itu, tak ada lagi kata terucap dari bibir Mama Emily ataupun Emily. Emily pun bergegas menuju kamarnya. Mama Emily tidak berusaha menahan karena khawatir keadaan Emily akan tambah buruk. Beliau pun ke dapur untuk membuatkan makan siang untuk Emily.
Di dalam kamar, Emily hanya termenung memandangi fotonya dan Randy yang masih terpajang di dinding kamarnya. Tanpa terasa, air mata kembali jatuh dari mata indah Emily. Tiba – tiba muncul sebuah ide bodoh di pikiran Emily. Dia berjalan ke meja belajarnya, di situ dia mengacak – acak meja dan meraih sebuah benda kecil. Silet! Emily ternyata berniat mengakhiri hidupnya.
“Randy, aku nggak bisa hidup tanpa kamu. Aku akan nyusul kamu.”
Itulah kalimat terakhir yang diucapkan Emily, sebelum akhirnya menggoreskan silet itu ke pergelangan tangannya sambil tersenyum, sebuah senyuman getir. Perlahan, darah merah segar mengucur deras dari pergelangan tangan Emily. Kepala Emily mendadak pusing. Pandangannya gelap. Dia pun tak sadarkan diri.
***
“Emily, ngapain kamu kemari?” sebuah suara mengagetkan Emily. Ternyata pemilik suara itu adalah Randy!
“Randy, aku pengen nyusul kamu. Aku nggak bisa hidup tanpa kamu.” Jawab Emily sambil menangis. Sosok Randy itu hanya diam, lalu berkata
“Em, hidup kamu terlalu berharga buat kamu sia – sia’in. Aku nggak akan ninggalin kamu. Aku akan selalu ada di dekat kamu. Sekarang, lebih baik kamu balik. Kasihan mama kamu.” Bujuk sosok Randy itu.
“Tapi, Randy…”
Sosok Randy hanya tersenyum kemudian lenyap dari pandangan mata Emily. Tiba – tiba muncul cahaya putih dari depan Emily yang semakin mendekat.
“Aaaaa!!!” teriak Emily. Saat dia membuka matanya, semua yang ada di hadapannya mendadak berubah. Mama Emily yang dari kemarin gelisah menanti kesadaran putrinya langsung menangis bahagia. Kening Emily pun dikecup dengan penuh kasih sayang.
“Ma, Emily di mana?” Tanya Emily yang masih belum stabil kondisi pikirannya.
“Kamu ada di rumah sakit sayang. Kamu udah koma selama beberapa hari. Mama takut kehilangan kamu.” Jawab Mama Emily.
Emily melihat sekeliling ruangan itu. Ternyata di situ ada juga Chika yang ikut menangis melihat sahabatnya sudah sadar.
“Chika…”
“Emily, lain kali kamu nggak boleh ngelakuin hal – hal bodoh lagi. Ya?” ucap Chika sambil menangis. Emily hanya mengangguk sambil tersenyum lemah.
Air mata pun mengalir di pipi Emily. Dia pun akhirnya sadar, apa yang telah dia lakukan adalah tindakan bodoh. Dia pun berjanji dalam hatinya untuk tegar menerima kepergian Randy. Tiba – tiba, pandangan mata Emily terhenti saat dia melihat ada satu sosok yang sangat dikenalnya sedang berdiri di depan pintu kamar tempatnya dirawat. Randy! Sosok itu tersenyum kepada Emily, kemudian menghilang.
“Randy, kamu akan selalu ada di dalam hatiku. Meskipun kamu udah nggak bisa menemani aku seperti dulu.” Kata Emily dalam hati.
Kondisi Emily pun makin membaik. Kesedihan yang sempat menghantui kehidupannya perlahan sirna. Hatinya kini lebih kuat berkat Mamanya dan Chika, sahabatnya. Emily pun menjalani “kehidupan kedua”nya dengan langkah pasti. Namun, satu hal yang tidak akan pernah berubah, Randy akan selalu ada di dalam hati dan pikirannya, selamanya…
- Ended -

Gimanaa? Abis baca, kasih komentar yaa~ :D
Share:

GOODBYE, Cheryl...





Ini cerpen repost dari blog lama. Dulu pernah juga nongol di note FB. Buat ngisi blog aja sih biar gak sepi. Yuk, cusss...



“Cheryl.”
“Ya?” Cheryl menoleh. Ternyata Kenzo yang memanggilnya.
“Kenzo? Ada apa?” Tanya Cheryl.
“Eng, kamu sibuk nggak siang ini?”
“Siang ini sebenernya ada janji sama temen, tapi dia kayaknya nggak bisa dateng deh. Emang ada apa?”
“Aku pengen ngajak kamu jalan. Kamu mau nggak?” Tanya Kenzo ke Cheryl.
“Boleh, jam 1 ya. Aku tunggu di rumah. Sampai ketemu.” Jawab Cheryl sambil berlalu.
Kenzo hanya melambaikan tangan sambil melempar senyum melihat Cheryl melangkah pergi. Dalam hatinya, dia merasa senang karena akhirnya dia bisa pergi berdua dengan Cheryl, gadis yang selama ini dia sukai.
Dengan perasaan berbunga – bunga, Kenzo melangkah pulang menuju rumahnya. Sepanjang jalan, hanya senyum yang selalu terlihat di wajahnya. Dia sudah tak sabar untuk bertemu dengan Cheryl.
***
Jam yang menggantung di dinding menunjukkan pukul 12.30. Kenzo sudah selesai bersiap untuk menjemput Cheryl. Dengan langkah pasti, Kenzo segera pergi menuju rumah Cheryl yang memang tidak jauh dari rumahnya.
Share: