Rindu yang Kusimpan Untukmu


https://45.media.tumblr.com/4a369230a50af62235571628ab23ebc3/tumblr_nclvp8RfUK1tfluxko2_500.gif

Rindu yang Kusimpan Untukmu

Hujan baru saja reda seiring langkah ringan milik seorang gadis yang membawa tubuh ramping itu melewati sebuah gerbang masuk yang terbuat dari kayu. Di balik gerbang setinggi 3 meter itu terhampar sebuah pekarangan dengan bangunan rumah megah di ujungnya. Payung putih yang masih basah sudah terlipat dan tergenggam erat di tangan kiri. Setelah berjalan beberapa meter dari gerbang, melewati taman dengan kolam di sebelah kiri dan barisan pepohonan di sebelah kanan, gadis yang masih memakai seragam sekolah itu berhenti tepat di depan beranda. Selepas berganti alas kaki dari sepasang sepatu hitam menjadi sandal dalam ruangan, dengan kaos kaki yang masih terpakai, dia berjalan menyusuri koridor yang mengarah ke bagian sebelah kiri rumah besar tersebut. Menuju ke sebuah ruangan berukuran 4x5 meter yang terletak di ujung koridor.
“Ah, hari ini sungguh melelahkan,” gumam gadis itu sambil merebahkan diri. Rambutnya yang panjang sudah terurai setelah tangannya dengan cekatan melepaskan ikat rambut yang dari tadi pagi mengubah rambut hitam berkilau itu menjadi gaya ekor kuda.
Setelah beberapa menit tak bergeser dari atas kasur, tangannya meraih sesuatu dari atas meja. Sebuah ponsel berwarna hitam yang langsung dia serang dengan hentakan kedua jempolnya. Sebuah pesan baru saja terkirim ke salah satu ID yang ada di daftar kontaknya.

To : Rka
Text : Apakah kau sudah sampai rumah?
Tak butuh waktu lama, ponsel itu bergetar. Sebuah pesan baru telah masuk.
From : Rka
Text : Ya, baru saja. Masih rebahan di atas tempat tidur. Bagaimana denganmu?
To : Rka
Text : Aku juga. Sedikit malas untuk beraktivitas. Hari ini aku benar-benar lelah.
From : Rka
Text : Dasar, hari ini kau terlalu bersemangat. Beristirahatlah. =]
To : Rka
Text : Ah, soalnya tadi benar-benar menyenangkan. Ya, terima kasih. ^_^

“Dasar,” ucap gadis itu lirih. Ada senyum ditambah rona merah di wajahnya.

Sesi obrolan singkat itu berakhir. Ponsel hitam itu tak lagi bergetar tanda tak ada lagi pesan masuk, sementara pemiliknya nampak mulai kehilangan kesadaran. Rasa kantuk mulai menyergap gadis itu dan perlahan menariknya ke alam mimpi.

Airin yang nampak begitu tenang dalam tidurnya tak menyadari kehadiran seseorang yang dari tadi memperhatikannya sejak memasuki pekarangan. Sosok yang tak lebih tinggi dari Airin itu berjalan mendekat ke tempat tidur Airin. Mengusap pucuk rambut Airin sambil tersenyum. Dengan lembut, sebuah kecupan menyentuh dahi Airin yang tak tertutup poni. Membuat Airin terbangun.

“Hah?” Airin mengucek kedua matanya. Perlahan, tangan kanannya bergerak mengusap dahi yang kini tertutup poni panjangnya yang menjulur turun. Ada sesuatu yang tiba-tiba mengganggu perasaannya. Dia tersenyum. “Mungkin hanya perasaanku saja.”

***
“Selamat siang,” sapa seseorang dari arah pintu. Seorang pemuda yang dari tadi duduk sendirian di dalam ruangan itu menoleh sembari menutup buku di hadapannya.
“Siang, Airin. Kau sendirian?”
“Hai, Raka. Andi mendapatkan tugas piket perpustakaan hari ini, jadi dia akan terlambat.” Airin mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan sambil duduk tepat di hadapan Raka yang perlahan mulai membuka kembali buku bersampul hijau di hadapannya.
“Kau sudah cukup beristirahat bukan?”
“Ah, iya. Praktek olahraga kemarin benar-benar melelahkan. Tapi menyenangkan.” Airin menunduk berusaha menyembunyikan rona merah di wajahnya.
Mata Raka melirik ke arah Airin yang tiba-tiba terlihat gelisah sambil sesekali mencuri pandang ke arahnya. Seolah mengerti jalan pikiran Airin, pemuda itu mengeluarkan sesuatu dari tas ransel yang bersandar di kaki kursinya. Sebuah kotak berwarna merah dengan plastik bening yang masih membungkusnya dengan rapi. Dengan cekatan, dia merobek plastik itu lalu membuka kotak tersebut. Memamerkan bagian bersekat yang masing-masing terisi oleh bentuk-bentuk menarik.
“Camilan. Kau mau?” Raka menggesernya sedikit ke hadapan Airin.
“Coklat!” pekik Airin.

Raka tersenyum melihat mata Airin yang berbinar ditambah senyum yang terlukis di wajahnya. Jika sudah seperti ini, dia bisa dengan tenang membaca karena Airin tidak akan merespon pembicaraan apapun ketika sudah berhadapan dengan coklat. Kecuali jika dia sendiri yang mengajak bicara. Tapi sepertinya, kali ini perkiraan Raka meleset. Senyum Airin yang tadi mengembang tiba-tiba surut berubah menjadi raut murung. Raka kembali menutup bukunya.

“Ada apa? Tumben sekali tidak bersemangat di hadapan sekotak coklat?” Raka dapat melihat kesedihan yang sedang Airin coba sembunyikan.
“Ah, tidak. Coklat ini enak sekali, seperti yang selalu kau bawa ke sini. Hanya saja ….” Kalimat Airin menggantung. Dia menghela napas lalu melanjutkan, “aku rindu ibuku.”

Suasana berubah hening. Terdengar helaan napas Raka selepas mendengar pernyataan Airin. Raka teringat, sebentar lagi adalah hari ulang tahun ibu Airin, sekaligus hari di mana 5 tahun yang lalu beliau, ibunda Airin, meninggal dalam sebuah kecelakaan lalu lintas. Jantung Raka serasa diperas ketika melihat mata Airin yang mulai sembab. Terlebih ketika dia ingat bagaimana perubahan sikap Airin yang cukup kontras selepas kehilangan ibunya. Raka harus meluangkan waktu sepulang sekolah menunggu Airin duduk diam di depan nisan ibunya tanpa berbuat apa pun lalu mengajaknya untuk pulang. Begitu seterusnya hingga keluarga besar Airin memutuskan untuk membuatnya tinggal di tempat kakeknya.

“Kau ingin mengunjungi makam beliau?” tanya Raka. Mata Airin melebar.
“Ya! Aku ingin ke sana! Tapi ….”
“Tenang saja, aku yang akan bicara kepada kakekmu,” ujar Raka menenangkan.
“Terima kasih, Raka,” kata Airin senang. Raka tersenyum.
“Apa coklatnya enak?” tanya Raka sambil mengambil sebuah coklat berbentuk hati. Airin yang sibuk mengunyah coklat di mulutnya hanya memberikan anggukan sebagai jawaban.

***
Sudah sejak pagi Raka dan Airin duduk di ruang tunggu stasiun kota. Sesuai dengan rencana, hari ini mereka akan pergi ke tempat ibu Airin dimakamkan. Sudah 3 tahun sejak Airin pindah dan dia belum pernah kembali untuk mengunjungi makam ibundanya. Meski sudah berkali-kali berusaha meyakinkan kakeknya yang kolot agar mengizinkannya pergi, berkali-kali pula kakeknya dengan tegas melarang Airin untuk pergi. Dan hari ini, berkat Raka, dia dapat pergi berkunjung.

Raka dan Airin berjalan bersisihan menuju ke sebuah kereta yang baru saja datang. Mereka kemudian masuk ke dalam gerbong yang nampak tidak terlalu sesak. Raka segera mencari tempat duduk yang kosong untuk mereka berdua. Perlahan, kereta tersebut mulai berjalan. Kaki-kaki kokohnya mulai berderap di atas lintasan baja dengan mantap.

Raka dan Airin yang duduk berhadapan lebih banyak menghabiskan waktu dengan memandang ke luar jendela. Ada banyak hal yang saat ini berkelebat di dalam kepala mereka masing-masing. Sesekali mereka mengobrol, tapi kemudian kembali dalam hening. Airin terlihat senang, tapi juga terlihat tak tenang. Sementara Raka yang sesekali melirik ke arah Airin juga memikirkan sesuatu yang mengganggunya sejak pagi tadi.

“Rin, kau mau?” Raka menyodorkan sebuah kotak bekal berisi bermacam-macam kue kering kepada Airin.
“Ah, ya. Terima kasih.” Tangan Airin segera mengambil sebuah kue lalu memakannya.
“Sebentar lagi sampai.”
“Iya.”

***
Setelah berganti kendaraan dengan naik sebuah bus kemudian berjalan beberapa ratus meter dari sebuah halte, Raka dan Airin tiba di depan sebuah komplek pemakaman umum. Sebuah gapura besi yang berdiri angkuh terasa menyambut kedua tamunya dengan tatapan dingin. Setelah memantapkan hati, Airin melangkah melewati gapura itu diikuti Raka yang segera menyesuaikan langkah dan berjalan di sebelahnya.

Langkah Raka dan Airin terhenti di depan sebuah nisan yang terbuat dari marmer putih. Sebuah nama dan tanggal terukir di atasnya. Dengan perlahan, Airin membungkuk lalu duduk di hadapan nisan tersebut. Diikuti Raka yang sudah duduk di sebelahnya, Airin memejamkan kedua mata lalu mulai memanjatkan doa. Kemudian menaburkan bunga yang sudah dia siapkan sebelumnya.

Setelah merasa cukup, Airin berdiri dan berniat berjalan pergi sebelum pergelangan tangannya terasa ditarik. Raka menahannya.

“Airin. Sudah 3 tahun sejak terakhir kali kau ke sini. Apakah kau tidak ingin berada di sini sedikit lebih lama?” tanya Raka sambil menatap punggung kecil Airin.
“Aku hanya tidak ingin lagi larut dalam kesedihan, Ka. Itu saja.”
“Kau yakin ingin begitu?” tanya Raka lagi. Dia sudah melepaskan tangan Airin dari genggamannya.
“Ya. Bukankah akan merepotkan jika kau harus menunggu dan merayuku agar mau pulang seperti dulu?” Lagi-lagi ada sesuatu yang terasa menekan dari dalam dada Raka. Terlebih ketika dia melihat air mata Airin yang sudah jatuh saat Airin menoleh ke arahnya.
“Jangan bohong! Hanya dengan sekali lihat pun aku bisa tahu kalau kau sangat ingin berada di sini lebih lama!” Raka tak dapat menahan dirinya untuk tidak meluapkan perasaannya. Membuat Airin tersentak kaget.
“Kenapa kau memarahiku? Apakah salah jika aku tidak ingin merepotkanmu? Aku sudah dewasa! Aku berhak melakukan apa yang ingin kulakukan!kata Airin tak mau kalah. Kali ini dia sepenuhnya berdiri menghadap Raka. Kesedihan, kemarahan, keraguan, kepedihan, semua tergerus menjadi satu di suara paraunya.

“Lalu, apakah salah jika aku mempedulikanmu? Hanya ini yang bisa kulakukan untukmu,” ucap Raka lirih. Dia tertunduk. Airin terdiam.
“Aku … hanya merasa … kesepian,” ucap Airin terbata-bata.
“Aku ada di sini, Airin. Apa kau juga ingin membuangku?” Mendengar pertanyaan Raka, Airin tercekat. Kali ini dia yang merasakan jantungnya ditekan kuat-kuat.
“Tidak! Aku hanya … aku ….” Airin mendekat satu langkah ke arah Raka. Suasana berubah hening.
“Bolehkah aku … memanggilmu seperti dulu?”
“Aku tidak keberatan.”

Seolah adegan lambat dalam sebuah film, tangan Airin menyentuh dada bidang Raka lalu membenamkan wajahnya di situ. Isak tangisnya perlahan terdengar jelas. Seiring bisikan lirih yang juga berubah menjadi suara penuh kepedihan.

“Aku … aku merindukan ibu, kak! Aku merindukan ibu. Kak Raka, aku ingin bertemu lagi dengan Ibu!” Suara penuh kerinduan yang putus asa itu memecah kesunyian.

Tanpa kata, Raka meraih tubuh mungil Airin lalu mendekapnya dengan erat. Tak ada yang bisa dia lakukan selain mencurahkan seluruh waktu yang dia punya untuk adik yang paling dia sayangi. Apalagi setelah seluruh keluarganya menyalahkan dirinya akibat kecelakaan yang menghilangkan nyawa ibu Airin, yang juga ibunya. Seluang apa pun waktu, dia akan habiskan untuk berada di dekat Airin.

“Maafkan kakak, Rin. Seharusnya kakak yang terbaring di sini, bukan ibu. Maafkan kakak,” ucap Raka sambil memeluk erat Airin.
“Kak, kau tidak salah. Ini sudah takdir yang tidak bisa dihindari. Terima kasih karena selama ini sudah dengan tulus menjagaku.” Airin menyeka air mata Raka.
“Terima kasih, Rin. Kau benar-benar tumbuh menjadi gadis yang baik,” ucap Raka sambil tersenyum. Pipi Airin memerah mendengar pujian Raka.

Dengan mata yang masih merah dan wajah yang masih basah dengan air mata, dua orang yang selama ini menyembunyikan kenyataan bahwa mereka adalah kakak beradik tersebut saling tersenyum satu sama lain. Tapi senyum di wajah salah satu dari mereka tiba-tiba lenyap.

“Maafkan Ibu yang tiba-tiba pergi meninggalkanmu, Raka. Terima kasih kau sudah menjaga Airin dengan seluruh waktumu. Kau menepati janji yang pernah kau buat, Nak. Kau benar-benar anak lelaki kebanggaan Ibu.”

Dari sudut matanya, tepat di belakang Airin, Raka tercekat tak percaya dengan apa yang dia lihat. Sosok yang sangat dia cintai dan rindukan lebih dari siapapun kini muncul di hadapannya. Ibu yang sudah pergi dari sisinya beserta kenangan yang selama ini dia buang jauh-jauh tiba-tiba menampakkan diri di depan mata kepalanya.

Raka kecil berlarian di dalam rumah sambil membawa pesawat mainannya. Tanpa dia sengaja, dia menabrak lego berbentuk rumah yang sedang disusun oleh seorang gadis kecil. Airin kecil yang melihat rumah yang tadi dia susun rusak menangis sejadi-jadinya. Hal itu mengundang ibu mereka segera berlari mendekat.
“Raka, kenapa Airin menangis? Apa yang sudah kau lakukan?” selidik Ibu kepada Raka. Meski nampak sedang memarahi putranya, tapi nada suara wanita berpakaian sederhana itu sangatlah lembut. Terdengar begitu bersahaja.
“Aku … aku. Aku merusak rumah yang dibuat Airin! Maafkan aku, Bu,” jawab Raka kecil sambil sesenggukan.
Dengan tatapan teduh, Ibu dengan lembut menarik kedua buah hatinya yang masih menangis ke dalam pelukannya lalu mengusap dengan penuh kasih sayang kepala mereka. “Raka, berjanjilah kepada Ibu jika nanti Ibu tidak bisa lagi menjaga kalian, kau harus menjaga Airin. Kau menyayangi Airin, bukan?”
“Tentu saja, Bu! Aku berjanji, aku akan menjaga Airin dengan seluruh kekuatanku!” kata Raka kecil sambil menepuk dadanya dengan kepalan tangan kecilnya. Hal itu mengundang tawa Ibu. Juga Airin yang nampak kagum dengan suara lantang dan mantap kakaknya, Raka.
“Kau adalah anak lelaki kebanggaan Ibu, Raka.”

Senyum menenangkan dari wajah yang sangat dia rindukan itu membuat Raka tak kuasa menahan air matanya. Dia menangis hingga jatuh bertumpu lutut. Beban yang selama ini menumpuk di dalam dadanya perlahan luruh bersama isak tangis dan air matanya yang jatuh berderai.

Airin yang terkejut menoleh ke arah Raka memandang. Di sana, meski tak terlalu ingat, Airin dapat mengenali wajah itu. Dia tersenyum. Sambil mengusap dahinya, Airin berkata, “Jadi, waktu itu Ibu yang mengecup dahiku?”

Anggukan kecil cukup memberikan Airin jawaban. Dia berbalik kemudian memeluk erat kakaknya yang masih menangis. “Terima kasih, kak. Sekarang, menangislah untuk dirimu sendiri. Lepaskanlah semua beban yang selama ini kau simpan sendiri.”

Bersamaan dengan Raka yang mulai menegakkan kepalanya, sosok wanita paruh baya yang tersenyum penuh kedamaian itu perlahan mulai memudar menjadi bayang. Dengan tangan saling menggenggam erat, Raka dan Airin melepas kepergian itu dengan air mata yang masih mengambang, tapi juga dengan senyum penuh keikhlasan.

Menanggung beban seorang diri untuk waktu yang lama bukanlah hal yang mudah, tapi demi seseorang yang berarti, hal tanpa terasa akan begitu saja terlewati. Sementara memendam kesedihan akibat ditinggal pergi seseorang yang dicintai akan membuat seseorang kehilangan dirinya sendiri. Hanya dengan keikhlasan, beban dan kesedihan yang terpendam akan menghilang. Jadi, sudahkah kau mengikhlaskan kehilangan yang kau dapatkan?

~ fin

Share:

Panggilan Telepon (with Extra) | AndraxNindi Story

bakuman from burninglizardstudios.blogspot.com


Panggilan Telepon

Andra berkali-kali mengusap layar ponselnya. Sebuah nama tertera di situ dengan tombol hijau menyala yang membuat Andra sakit kepala. Lewat 30 detik, layar ponselnya masuk ke mode screenlock, lalu jarinya membuka pola kunci dan dia kembali memandangi tampilan itu lagi. Berkali-kali hingga dia lupa kalau sudah hampir waktunya dia berangkat ke tempat salah satu kliennya.
Setelah membulatkan tekad, jempolnya yang kapalan mengetuk tombol hijau menyala itu. Layar ponselnya berganti ke tampilan mode panggilan. Secepat kilat Andra menempelkan ponsel itu ke telinga kanannya.

Nada sambung terdengar. Ritme-nya yang stagnan benar-benar tak seimbang dengan detak jantung Andra yang justru semakin cepat. Seolah secara otomatis memasuki mode akselerasi.

"Halo," ucap suara dari balik telepon tersebut. Andra menghirup napas terlalu dalam hingga dia terbatuk.
"Ndra, kamu nggak apa-apa?" Tersirat kekhawatiran dari nada suara lawan bicara Andra. Nindi.
"Nin, aku mau ngomong sesuatu sama kamu," kata Andra tegas.
"Iya, Ndra. Ada apa? Ngomong aja, nggak perlu izin," balas Nindi.
"Aku ...." Keraguan kembali menguasai Andra. Twit Nindi tempo hari tiba-tiba muncul di dalam kepalanya. Meski sempat merasa melayang, nyatanya Andra masih belum mampu menafsirkan makna dari kalimat yang tak lebih dari bentuk spontanitas dari Nindi. Begitu pikir Andra. Bentuk spontanitas.
"Aku suka sama kamu, Nin. Lebih dari sekedar teman. Kamu--" Andra berhenti sebelum kalimat yang sudah dia susun selesai diucapkan. Telinganya mendengar suara tak enak dari speaker ponselnya.

Andra memosisikan ponsel tersebut di depan mukanya. Terputus. Tekadnya yang tadi menggebu-gebu mendadak lenyap. Tepat sebelum tangannya memasukkan ponsel tersebut ke dalam saku celana, nada dering terdengar. Membuat Andra membatalkan niatnya lalu mengecek siapa yang menelpon. Nindi.

"Halo."
"Ndra, kamu tadi mau ngomong apa? Kok tiba-tiba putus? Kamu nggak apa-apa kan?" Nindi memberondong Andra dengan 3 pertanyaan langsung.
"Ek. Eh, enggak. Nggak jadi. Aku cuma mau nanya, buku catatanku ada di tempatku atau enggak, eh ternyata nyelip di tumpukan. Udah ketemu kok, sorry ya," jawab Andra sambil mengelus sampul sebuah buku di tepian meja.
"Oh, ya udah deh. Aku khawatir tau nggak. Udah dulu ya, aku mau berangkat ke kampus. Daa." Panggilan berakhir.

Tangan Andra lunglai. Dengan sisa tenaganya, dia menekan sebaris angka di layar ponselnya. Setelah sebuah bar warna biru selesai terisi, sebuah kotak dialog muncul. Membuat Andra terkekeh sendiri.

"Sial. Ternyata pulsaku habis."

***
#Extra
Di sebuah jalan beberapa kilometer dari tempat Andra berdiri dan masih meratapi pulsanya yang habis, seorang gadis berkacamata tak henti-hentinya menyunggingkan senyum. Sebuah earphone berwarna putih yang terhubung ke sebuah ponsel  nampak terpasang di kedua telinganya. Rupanya, sumber senyum itu berasal dari musik yang dia dengar dari ponsel itu.

Setibanya di depan zebra cross sebuah perempatan jalan, gadis bertubuh mungil itu berdiri menunggu isyarat lampu lalu lintas untuk memperbolehkan dia dan beberapa orang di sekitarnya untuk menyeberang. Saat itulah dia mengeluarkan ponsel yang dari tadi bersembunyi di dalam saku jaketnya. Dia kembali tersenyum melihat layar ponsel yang menampilkan sebuah media player yang sedang memainkan lagu yang sama dan berulang-ulang sejak si gadis keluar dari kamarnya. Lagu?

"Aku suka sama kamu, Nin. Lebih dari sekedar teman. Kamu--" Rangkaian kalimat tak lengkap yang tersimpan dalam sebuah file dengan nama recording001.wav yang sudah dia dengarkan berulang-ulang ini benar-benar menjadi moodbooster bagi Nindi hari ini.

"Untung aku sempat merekamnya," bisik Nindi.


~ fin
Share:

Belum Saatnya | Flash Fiction

from alicekat.com


Belum Saatnya

 Mata gadis itu menatap tajam sosok yang ada di hadapannya. Seolah sebuah pisau bedah, tatapan itu menusuk jauh dan membelah dalam setiap senti rasa takut milik orang yang saat ini dipandangnya.

"Ini. Kukembalikan." Tangan gadis itu terulur ke depan. Menyerahkan sesuatu yang ada di telapak tangannya yang terbuka di depan dada pemuda itu.

"Kenapa? Bukankah aku sudah katakan padamu kalau kau bisa membuangnya jika tak mau?" Dari suara tegasnya, si pemuda nampak berusaha melawan ketakutan akibat tatapan tajam gadis yang berdiri 2 meter di depannya.

Gadis itu meraih tangan si pemuda. Lalu memberikan benda yang ada di tangannya kepada si pemuda itu. "Aku tak tega jika membuangnya. Benda ini terlalu indah jika harus dibuang. Lagi pula, kau lebih membutuhkannya daripada aku."

Pemuda itu terdiam. Matanya beralih ke benda yang memancarkan kilatan warna merah di tangannya. Matanya sembab.

"Maaf."

"Kau tidak salah, kak. Apa yang terjadi padaku adalah akibat dari tindakanku sendiri. Jika kau terlibat di dalamnya, aku tahu, itu karena kau sangat peduli padaku. Semua yang sudah kaulakukan bagiku sudah cukup untuk membuatku yakin. Sekarang, aku ingin membalasnya." Gadis itu menggenggam tangan si pemuda. Membimbingnya ke dada pemuda yang kini tak bisa lagi menahan panas di matanya.

Pandangan mereka saling beradu. Kali ini tatapan tajam itu mulai meredup, beralih menjadi tatapan teduh. Dalam satu kedipan, tangan si gadis bergerak menusuk dada si pemuda yang kemudian mengerang kesakitan. Perlahan kemudian, pemuda itu tumbang.

"Belum saatnya kau ada di sini, kak," ujar lirih gadis itu setelah melempar tubuh si pemuda ke dalam pusaran hitam. "Kau harus tetap hidup."


~ fin
Share:

Sekarang Giliranmu

dream by headlinebox.com

Sekarang Giliranmu


Setiap orang pasti punya mimpi. Namun, tak banyak yang memiliki cukup keberanian untuk berusaha mewujudkannya. Sebagian besar orang akan meletakkan mimpinya di sudut ingatan paling dalam lalu perlahan melupakannya. Orang-orang seperti itu lebih memilih hidup mengikuti arus, mencari situasi teraman yang minim risiko. Tapi ada sebagian kecil yang tetap gigih mewujudkan mimpinya di tengah kesulitan dan cercaan. Melawan arus. Bukan berarti ingin mencari sensasi, tapi karena mereka tahu, mimpi terlalu berharga jika hanya dibiarkan berlalu.


Dan sebagian lagi berpikir, mereka tak akan bisa hidup tanpa mimpi.


“Na. Bangun, Na. Sebentar lagi kita berangkat.” Pemuda berambut jabrik yang dari tadi tertidur itu perlahan mulai membuka matanya setelah keempat rekannya mengguncang-guncangkan tubuhnya.


Dengan mata yang masih tampak mengantuk, dia memandangi satu per satu wajah-wajah yang kini berdiri di hadapannya. Dia tersenyum sambil mengacungkan kedua jempolnya. “Good luck ya, guys. Gue masih ngantuk. Mau tidur dulu.”


“Arjunaaa!” pekik keempat orang itu sambil menyeret paksa tubuh yang jiwanya sudah terlempar jauh ke alam mimpi itu. Memasukkannya ke dalam mobil setelah sebelumnya mengganti pakaiannya dan berangkat menuju ke tempat tujuan mereka. Lokasi final ajang kompetisi grup band, Music Heroes.


“Ini anak makannya apa sih, kalo tidur gampang amat,” celetuk Fandi, si penggebuk drum, yang duduk tepat di sebelah Arjuna yang saat ini sedang tertidur.


“Tau tuh. Kalo lagi tidur sering bikin jantungan,” timpal Arka, gitaris, yang saat ini sedang bertugas sebagai sopir.


“Lho, emang kenapa, Ka?”


“Soalnya kalo lagi tidur, dia kayak orang mati! Susahnya minta ampun buat dibangunin. Hahahaha,” sela Genta, bassist, diikuti tawa teman-temannya.


Tawa menggelegar itu perlahan kehilangan intensitasnya dan mulai kembali berubah menjadi suasana hening. Hanya suara gitar Jo Satriani yang terdengar meraung di sela-sela deru mesin mobil yang dikendalikan Arka yang meluncur mulus membelah jalanan kota yang lengang.


Dari ekor matanya, Vina ,sang vokalis, menatap dalam-dalam wajah Arjuna yang terlihat menikmati waktu tidurnya. Dibandingkan ketiga laki-laki yang saat ini ada di mobil tersebut, sebagai perempuan, Vina memiliki perasaan yang lebih peka dan sensitif. Oleh karenanya, dia sering, entah secara sengaja atau tidak, diam-diam memperhatikan kegiatan Arjuna ketika tidak bersama mereka untuk mengurus band dan musik. Dan semalam pun, sesuai dengan jadwal “stalking”-nya, Vina datang ke kamar Arjuna. Mengamati pemuda bertubuh kurus itu berkutat di depan komputer dua layar dan sibuk berhadapan dengan berbagai aplikasi multimedia. Beberapa potongan video dan juga suara-suara hasil rekaman yang diputar berkali-kali.


“Menurut kalian, Arjuna benar-benar suka musik nggak sih?” Tiba-tiba Vina, sang vokalis, satu-satunya perempuan di dalam mobil itu bersuara.


“Suka lah, kalo nggak suka, mana mungkin dia ngumpulin kita?” Arka balik bertanya.


“Yah, gue cuma tahu kalau Juna ngajakin gue buat main musik dan wujudin mimpi gue. Heh, entah kenapa gue jadi ngerasa kalau selama ini gue nggak benar-benar kenal sama dia,” timpal Fandi.


“Menurut lo gimana, Ta?” Vina melempar pertanyaan kepada Genta yang nampak bertopang dagu mengingat-ingat sesuatu.


“Juna sebenarnya nggak benar-benar suka musik. Jauh di dalam hatinya, dia punya mimpinya sendiri. Tapi dia lebih suka melihat mimpi orang lain terwujud. Dia bukan tipe orang egois dan juga terobsesi pada mimpinya. Dia orang yang terlalu baik.” Genta menghentikan kalimatnya. Arka, Fandi, dan Vina melongo mendengar Genta yang biasanya paling sering berdebat dengan Arjuna, kali ini memujinya. “Kalian tahu kan video-video kita yang ada di Youtube? Gimana menurut kalian tentang video-video itu?”


“Keren banget, Ta,” Arka langsung menjawab.


“Iya, gue yang kuliah di jurusan Multimedia juga belum tentu bikin video yang sekeren itu.” Fandi menambahi.


“Mungkin, kalau bisa disebut sebagai bentuk keegoisan, video kita itu adalah salah satu bentuk keegoisan yang dimiliki Juna … yang nggak pernah dia pamerin ke kita,” ujar Genta.


“Jadi, sebenarnya Juna lebih suka video? Lebih tepatnya bikin video?” tanya Arka memastikan. Genta menjawabnya dengan anggukan.


“Mungkin lebih tepatnya, dia suka film. Suka banget,” kata Vina. 2 kata terakhir dia ucapkan dengan lirih, hampir tak terdengar. Arka, Genta, dan Fandi menghela napas panjang.


“Dasar tukang tidur,” ujar Fandi sambil menoyor kepala Juna. Dan suasana kembali hening.


“Kalian masih ingat nggak pertama kali kita ketemu terus sampai sekarang bisa main musik bareng?” Tiba-tiba Vina kembali bersuara. Seolah dapat saling membaca pikiran satu sama lain, keempat orang yang masih terjaga itu tersenyum. Masing-masing dari mereka mulai tenggelam dalam angan dan ingatan mereka sendiri. Dalam diam, angan-angan mereka seperti sepakat tertuju ke satu orang. Orang yang saat ini terlihat paling tenang karena sedang tenggelam dalam mimpi indahnya sendiri.


***


“Ta, nge-band yok,” ajak Arjuna kepada Genta yang masih sibuk berkutat dengan buku-buku materi di hadapannya. Dan sesuai perkiraan Arjuna, Genta seolah tenggelam di dalam lautan rumus dan peribahasa yang saat ini sedang dipelajarinya.


Tak mau lelah bersuara, Arjuna meraih gitar berwarna hitam yang bersandar di sudut kamar. Jari jemarinya mulai memposisikan diri di masing-masing kolom. Lalu, setelah memperoleh pose terbaik, dengan kaki kanannya menginjak meja kecil yang biasa mereka gunakan untuk bermalas-malasan di lantai, tangan kanan Arjuna mulai memetik satu demi satu senar gitar tersebut. Dan usaha itu berhasil. Wajah Genta mulai terangkat dan menoleh. Bukan hanya itu, dia pun berdiri dari kursinya dan mulai berjalan ke arah Arjuna.


Tepat di hadapan Arjuna, Genta berdiri. Tangan kanannya dengan sigap menggenggam lengan gitar yang sedang dimainkan oleh Arjuna, membuat suara gitarnya hilang. Lalu dengan mimik muka datar berkata,”Juna, berisik. Lo nggak bakat main gitar.”


“Emang gue nggak bisa main gitar, Ta. Lo sendiri tahu nilai seni musik gue waktu SMP dulu,” kata Arjuna setelah meletakkan gitar ke tempat semula.


“Terus, kenapa lo ngajak gue nge-band?” tanya Genta. Sepertinya dia mulai tertarik dengan ajakan Arjuna tadi.


“Ayo ikut aja dulu. Nggak bakal nyesel, deh.” Genta masih tidak mengerti apa mau Arjuna. Terlebih setelah melihat seringai di wajah Arjuna, dia mulai sedikit merasa takut. Wah, ada yang nggak beres nih.


Setelah bersiap-siap, Genta yang sudah menggendong bass kesayangannya yang terbungkus dalam tas hitam berjalan keluar mengikuti Arjuna ke arah motor MX hitamnya. Semenit kemudian, mereka sudah meluncur di jalan, menuju ke sebuah tempat yang Genta tidak tahu. Yang dia ingat, setelah mendapat sebuah pesan di ponselnya, Arjuna nampak bersemangat dan mengajaknya untuk segera berangkat.


“Sebentar lagi kita sampai,” ucap Arjuna kepada Genta ketika melewati sebuah pertigaan yang sepi dengan bangunan kosong di sekitarnya.


***


“Sumpah deh, kalo gue nggak temenan sama dia dari kecil, gue nggak bakal mau diajak ke tempat sepi kayak gitu. Berasa mau diculik,” tutup Genta sambil bergidik ngeri. Teman-temannya tertawa.


“Lo masih mending Ta, udah kenal dia dari kecil. Lah gue? Kenal cuma dari FB, eh tiba-tiba diajak main band. Berasa jadi target om-om pedofil deh gue,” kenang Arka. Lalu sebuah sepatu mengenai kepalanya. Membuat konsentrasi Arka sedikit terganggu dan mobil oleng sejenak sebelum bisa kembali ke jalur.


“Dilihat dari sisi mana pun, lo tuh sama sekali nggak imut, Ka,” ledek Fandi disambut tawa yang pecah di dalam mobil. Membuat suara melengking Axl Rose dari music player di dasbor mobil tak terdengar.


“Kampret lo.”


“Nah, lo sendiri gimana, Fan bisa kenal sama si Juna?” tanya Genta. Fandi tak langsung menjawabnya. Dia menghirup lalu menghela napas cukup panjang.


“Gara-gara dia, gue nggak jadi mati.” Kalimat itu sukses mengubah atmosfer di dalam mobil. Genta dan Vina menoleh ke arah Fandi yang berada di kursi paling belakang. Sementara Arka hanya memasang telinga. Mereka bertiga hanya mengenal Fandi tepat setelah dia diajak oleh Arjuna untuk mengisi posisi drummer yang kosong tanpa tahu seperti apa latar belakangnya. Itu pun karena Arjuna yang meminta mereka untuk tidak menanyakan masa lalu seseorang yang tidak ingin menceritakannya.


“Maksud lo, Fan?” selidik Vina. Fandi kembali menghela napas.


“Kalian pernah dengar insiden bullying di salah satu SMA ternama di kota kita?” Fandi melemparkan sebuah pertanyaan. Membuat Arka, Genta, dan Vina berpikir sejenak. Lalu dalam waktu yang hampir bersamaan mengucapkan kata “Ya.”


“Iya, Fan gue tahu. Beberapa tahun lalu, sempat ada insiden bullying ke seorang siswa yang menurut gue lumayan parah. Sampai korbannya gue dengar mutusin buat bunuh diri.” Vina menyampaikan jawabannya. Mendengarnya, Fandi tersenyum.


“Siswa malang itu … gue,” kata Fandi singkat. Genta, Vina, dan juga Arka tercekat. Mobil lagi-lagi hampir keluar dari jalan aspal.


“Somplak, nyetir yang benar,” bentak Genta kepada Arka.


“Sorry,” balas Arka sambil nyengir.


Fandi menyadari kekagetan teman-temannya itu. Sudah lama dia menyembunyikan masa lalu yang menyakitkan itu, tapi dia merasa sekarang adalah saat yang tepat untuk mengungkapkannya. Karena dia merasa orang-orang yang sedang duduk semobil dengannya saat ini adalah orang-orang yang dapat dia percaya.


“Jadi waktu itu …”


***


Fandi memasuki gerbang sekolah dengan raut wajah penuh kegelisahan. Semalaman dia tidak bisa tidur memikirkan seperti apa nasibnya hari ini. Ada ketakutan yang membayangi setiap langkah yang dia ambil. Semakin jauh dia masuk ke dalam sekolah, semakin berat tubuhnya dia rasakan. Semakin lama dia berjalan di koridor sekolah, semakin mencekam pula tekanan yang mencengkeramnya. Terlebih setelah dia memasuki kelas yang seharusnya bisa menyambutnya dengan baik layaknya seorang siswa SMA yang menyambut temannya. 

Tapi dia tidak mendapatkannya.


“Oy, si drummer busuk udah datang!” teriak salah seorang siswa laki-laki bertubuh besar dari tempat duduk yang berada di barisan paling depan. Bersamaan dengan itu, sorakan mulai terdengar.


Telinga Fandi terasa panas karena lagi-lagi harus menghabiskan harinya di sekolah dengan mendengar cemoohan itu. Tangan kirinya menggenggam erat tas punggung hitam yang ada di pelukannya. Sementara tangan kanannya memegang erat sepasang stik drum dengan warna yang sudah kusam.


Kepalanya yang dari tadi tertunduk terpaksa dia angkat ketika tiba-tiba ada tangan yang mengambil dengan seenaknya stik itu dari genggamannya. Anak laki-laki yang tadi meneriakinya. Saat ini sedang menggunakan stik drum kesayangannya untuk mengaduk-aduk tempat sampah setelah sebelumnya menggunakannya untuk  memukul-mukul meja dengan seenaknya.


“Benda ini nggak cocok dipakai buat mukul drum. Tapi lebih cocok buat ngaduk-aduk sampah. Hahahaha!” Tawa dan olok-olok yang di dengar Fandi hampir setiap harinya sama. Karenanya, dia dapat menahan dirinya.

Tapi hari ini berbeda.


Anak laki-laki bertubuh gempal itu berjalan mendekati Fandi. Lalu berbicara tepat di sebelah telinganya, “Apalagi pernah dipakai sama seorang pembunuh.”


Pembunuh. Kata terakhir yang diucapkan dengan penekanan itu sukses membuat dada Fandi mendidih. Pertahanan yang dia bangun selama berbulan-bulan akhirnya jebol. Tanpa berkata apa-apa lagi, sebuah bogem mentah berhasil mendarat di dagu pembully-nya. Membuat tubuh gempal itu tumbang hanya dengan satu pukulan. Dengan sigap, Fandi merebut stik drum itu dari tangan tubuh yang masih tergeletak kesakitan itu. Dia tidak menghiraukan teriakan histeris seisi kelasnya. Dia meraih ranselnya kemudian berlari keluar dari kelas.


***


“Tepat saat itu, hati gue benar-benar hancur. Entah kenapa gue nggak sanggup membalas ejekan itu. Mungkin karena ejekan itu benar. Setelah pergi dari kelas, satu-satunya yang gue pikirin cuma gimana caranya supaya gue bisa nggak perlu lagi dengar ejekan-ejekan itu lagi. Gue gelap mata. Dan satu-satunya solusi yang bisa gue dapat adalah … bunuh diri.” Fandi menarik napas dalam-dalam. Ada bulir-bulir air di sudut matanya. Genta, Vina, dan Arka masih diam. Mereka mempersilakan Fandi untuk bercerita, melepas semua beban yang ada di dalam dadanya.


“Hari di mana gue berencana mengakhiri hidup gue, gue ketemu sama tukang tidur satu ini,” kata Fandi sambil menunjuk muka Arjuna yang ilernya kian bertambah. “Ketika gue berencana buat lompat dari atap gedung tertinggi sekolah, suasana sedih gue dirusak sama Juna dengan suara gitarnya yang fals dan suara cempreng dia yang bikin telinga sakit.”


“Juna banget,” celetuk Genta. Diikuti tawa Arka dan Vina.


“Terus, Fan?” pinta Vina. Tiba-tiba Fandi tertawa, membuat pendengarnya kebingungan.


“Gue gagal bunuh diri, Vin. Yang ada, gue malah ngasih ceramah panjang lebar ke Juna soal musik dan lain sebagainya.” Fandi kembali tertawa. Lalu kembali melanjutkan. “Dan satu kalimat balasan dari dia setelah gue ceramah berhasil nampar gue sangat keras.”


Genta dan Vina menoleh ke arahnya, sementara mata Arka nampak melirik dari cermin dasbor. Meminta kelanjutan cerita itu. Fandi nampak menikmati raut muka penasaran ketiga pendengarnya tersebut. Dia pun tersenyum. “Juna bilang, ‘kalau lo masih sebegitu cintanya sama musik, kenapa lo pengen bunuh diri?’”


“Dan harusnya lo malu sama diri lo sendiri. Kenapa kalimat-kalimat dari orang luar bisa mengusik mimpi yang lo punya. Padahal cuma diri lo sendiri yang lebih tahu betapa hebatnya mimpi itu dari orang lain.” Tiba-tiba terdengar suara yang bukan dari milik keempat orang itu.


“Junaaa?!” pekik keempat orang itu mendapati si tukang tidur ternyata sudah bangun dan dengan wajah tak berdosa ikut nimbrung dalam perbincangan mereka.


***


Malam ini, The Sophomores, band yang digawangi oleh Vina, Arka, Genta, dan Fandi sukses menghibur pecinta musik yang menghadiri acara final Music Heroes sebagai bintang tamu. Lagu-lagu yang mereka bawakan berhasil menyihir para penonton untuk melompat dalam beat cepat dan melambaikan tangan kala terbawa dalam alunan ballad. Dan setelah menyanyikan 3 lagu, mereka turun. Setibanya di belakang panggung, mereka berempat sudah ditunggu oleh seseorang.


“Kalian luar biasaaa~” ucap Arjuna sambil mengacungkan kedua jempolnya. Genta, Arka, dan Fandi merangkul Arjuna. Hanya Vina yang nampak enggan bergabung dengan keempat pemuda itu. Wajar, karena dia satu-satunya perempuan di antara mereka.


“Juna,” panggil Vina. Yang dipanggil pun melepaskan diri dari teman-temannya. Mendekat ke tempat Vina berdiri.


“Kenapa, Vin?” tanya Arjuna sesampainya di hadapan Vina.


Vina tak langsung menjawab pertanyaan itu. Kepalanya masih tertunduk. Setelah menghela napas panjang, dia mengulurkan sesuatu kepada Arjuna. Sebuah map warna merah marun dengan sebuah logo universitas di sampulnya. Hal itu ternyata tak hanya menarik perhatian Arjuna, tetapi juga ketiga temannya.


“Apa ini?” tanya Arjuna ketika menerima map itu.


“Juna, gue tahu sebenarnya lo punya mimpi yang lebih besar dari gue dan teman-teman. Gue juga tahu selama ini lo berusaha dukung kita dengan kebohongan lo tentang kecintaan terhadap musik. Diam-diam gue selalu ngelihat lo sibuk di depan komputer setiap malam.” Kalimat Vina tertahan.


“Tanpa sepengetahuan lo, gue ngirim salah satu film yang lo bikin buat ujian masuk akademi perfilman itu. Maafin gue, Na. Tapi gue … gue pengen lo mulai berpikir buat menggapai mimpi lo sendiri. Sekarang giliran lo Na, setelah selama ini ngebantu kami untuk mewujudkan mimpi kami. Jadi--”


Vina tak butuh kalimat dan kata untuk mengetahui jawaban Arjuna. Karena sebuah pelukan erat dan hangat sudah cukup untuk menggambarkan jawaban Arjuna saat itu juga. Tak mau ketinggalan, Genta, Arka, dan Fandi pun ikut membaur. Berbagi kebahagiaan tentang bagaimana sebuah mimpi yang akhirnya dapat terwujud.


Setiap orang pasti punya mimpi. Namun, tak banyak yang memiliki cukup keberanian untuk berusaha mewujudkannya. Sebagian besar orang akan meletakkan mimpinya di sudut ingatan paling dalam lalu perlahan melupakannya. Tapi ada sebagian kecil yang tetap gigih mewujudkan mimpinya di tengah kesulitan dan cercaan. Melawan arus. Bukan berarti ingin mencari sensasi, tapi karena mereka tahu, mimpi terlalu berharga jika hanya dibiarkan berlalu.


Ada pula yang berpikir, mereka tak akan bisa hidup tanpa mimpi. Sementara ada beberapa yang berpikir bahwa sebuah mimpi mampu menyelamatkan hidup seseorang.


Dan mungkin nanti, kau akan menemukannya. Seseorang yang cukup tulus untuk membohongi diri dan mimpinya sendiri demi orang lain. Karena dia tahu betapa membahagiakannya dapat melihat sebuah mimpi yang terwujud, sekalipun itu bukan miliknya.

~ fin

Okay, mohon review-nya yaaa ^^ 
Share:

Selepas Hujan | AndraxNindi Story

https://lamifidel.files.wordpress.com/2011/09/sun-rays-after-rain.jpg
pic from lamfidel.wordpress.com
 
"Selepas Hujan"


"Yuk pulang," ajakku kepada Nindi yang masih berkutat dengan ponselnya. Dia bergeming.

"Cantiiik~" Kali ini jari-jariku memerangkap hidung mancung Nindi. Memaksanya menengadah. Mengalihkan pandangannya kepadaku.

Tangan kanannya langsung menampik udara. Gagal mengenai tanganku yang sudah duluan menghindar. "Aku udah cantik dari lahir, Ndra." Nindi menjulurkan lidahnya.

Aku tersenyum. Tanpa bicara apa pun, aku bangkit dan mulai melangkah meninggalkan halte. Setelah melangkah sejauh 5 meter, dari ekor mataku, aku melihat Nindi yang berlari mengejarku.

"Andra! Kok aku ditinggal." Nindi cemberut.

"Kamu dari tadi sibuk sendiri, sih," balasku sambil menunjuk ponsel dengan softcase warna biru di genggamannya. Nindi tersenyum.

Hujan baru saja reda beberapa menit yang lalu. Jalan aspal dan trotoar yang kami lewati masih basah menyisakan jejak air yang tadi sempat bergemuruh. Namun hawa dingin yang sejak tadi menyergap masih tertinggal. Beberapa kali kulirik Nindi yang nampak menggigil. Jaketnya terlalu tipis untuk menangkis dingin.

"Nin."

"Hm?" Matanya masih terpaku di layar ponselnya. Lalu memasukkan ponsel tersebut ke dalam tas.

"Dingin nggak?" tanyaku.

"Iya, nih. Mana jaketku tipis lagi." Nindi menyilangkan tangannya. Mendekap tubuhnya sendiri. Ah, ingin rasanya aku menggantikan kedua tangannya yang kurus itu.

"Nih." Kupakaikan jaketku yang cukup tebal ke tubuhnya yang mungil. Kedua tangannya reflek menerimanya. Dia hanya diam.

"Udah nggak dingin, kan?" tanyaku memastikan. Nindi hanya menjawabnya dengan anggukan. Tangannya yang sudah masuk ke dalam lengan jaket tebalku kembali meraih ponsel lagi. Jemarinya dengan lincah menari di atas layar.

Kami berjalan dalam diam. Karena kehabisan bahan ngobrol, aku ikut-ikutan mengeluarkan ponsel hitam yang sudah baret-baret di sana sini. Dengan beberapa kali ketukan, layar selebar 4 inchi di genggamanku sudah menampilkan sebuah halaman berisi baris-baris kalimat dengan sebuah logo burung berwarna biru. Twitter.

Jariku berhenti men-scroll layar ketika mataku menangkap sebuah tweet di halaman tersebut.

"Aku menyukai hujan, seperti aku menyukaimu. Memang seringkali terasa dingin, tapi selalu ada kejutan yang bisa menghangatkanku."

Tweet dari sebuah akun dengan avatar sebuah kacamata ber-frame hitam dengan username yang sangat kukenal.

Jantungku seolah tersengat listrik. Tersentak, hampir membuatku pingsan. Mataku beralih dari ponselku. Melirik pemilik akun yang saat ini sedang senyum-senyum sendiri di sebelahku. Apa-apaan ini?

 ~ fin
Share: