A Bittersweet Way #2 : Persimpangan

Title : A Bittersweet Way #2 : Persimpangan
Genre : Slice of Life, Drama, Romance
Author : @NVRstepback

http://s0.geograph.org.uk/geophotos/01/66/40/1664055_c371976e.jpg
1664055_c371976e.jpg by geograph.co.uk

Raka duduk termenung di depan ruang ICU tempat Aida berada. Saat ini dia bersama ayah dan ibu Aida yang nampak sedih dan cemas menunggu keterangan dokter mengenai kondisi Aida. Dari ujung lorong menuju ruang ICU, nampak seorang pemuda yang berlari dengan wajah panik.

"Pa, Ma, gimana kondisi Aida?" Tanya pemuda itu setelah sebelumnya meletakkan ransel besarnya.
"Dia masih ditangani sama dokter di dalam." Terang ayah Aida. Pemuda tertunduk. Lalu memalingkan pandangannya kepada Raka yang masih melamun.
"Raka! Lo janji bakal jaga Aida buat gue, tapi kenapa sekarang adik gue jadi gini, Ka?!" Hardik pemuda itu sambil menarik Raka. Tangan kanannya mengepalkan tinju. Raka tak mengatakan apapun.
"Dimas, udah! Aida kecelakaan bukan karena Raka. Justru dia yang susah payah bawa Aida ke sini." Kata ibu Aida berusaha menenangkan suasana.

Dokter keluar dari ruang ICU diikuti beberapa suster. Beliau pun berjalan ke arah ayah dan ibu Aida yang juga bergegas mendekati dokter. Sementara itu, mengetahui dokter sudah datang, Raka melepaskan cengkraman Dimas di jaketnya. Lalu dengan tatapan tajam ke arah Dimas, dia pergi tanpa berkata apa-apa. Dimas sendiri entah kenapa gemetar mendapati tatapan itu.

***

Sejak kasus insiden plagiarisme Randi yang mencuat ke permukaan, Raka mendadak menjadi buah bibir seluruh warga akademi. Tapi kini dia semakin terkenal, bukan karena punya keberanian untuk melaporkan kasus yang menyangkut anak dari salah satu dewan rektor, tetapi karena masa lalunya yang entah darimana tiba-tiba ramai tersebar di situs homepage akademi.
Bisik-bisik yang berulang kali terdengar di telinga Raka terasa panas. Langkah kakinya semakin cepat mencari celah untuk mendapatkan kesunyian. Dia menemukan sebuah tempat yang cukup tepat untuk sekedar menikmati kesepian. Bekas bengkel teknik otomotif yang ada di pojok area akademi. Tapi baru saja melangkahkan kakinya mendekati bangunan itu, seseorang menghadangnya.

"Raka." Orang itu menatap Raka dengan tatapan sedih bercampur marah.
"Vira, kok lo ada di sini?" Tanya Raka sambil berjalan mendekat.
"Kenapa lo nggak pernah cerita tentang masa lalu lo? Kenapa lo dulu bantuin gue dari preman-preman itu?" Vira melontarkan pertanyaan tanpa menghiraukan pertanyaan Raka. Mendengar kalimat Vira, Raka menghentikan langkahnya.
"Kenapa lo diem aja, Ka? Jawab gue!" Air mata Vira mulai menetes. Melihatnya membuat perasaan Raka tak keruan.
"Apa karena gue anak tunggal pemilik PT Digdaya? Atau karena..."
"Cukup, Ra!" Kata-kata Vira terhenti oleh suara keras Raka. "Gue cukup ngerti gimana perasaan lo tentang kenyataan masa lalu gue, tentang orang tua gue dan orang tua lo.
"Kebencian dan dendam terhadap PT Digdaya biar dibawa kedua orang tua gue ke alam kubur. Gue nggak mau ikutan ngebenci orang tua lo, apalagi sampe harus ngebenci lo, Ra." Raka menghentikan rentetan kalimatnya. Di saat itu juga, Raka sudah berdiri tepat di depan Vira. Dengan jelas, dia dapat melihat bulir-bulir bening menetes dari mata Vira.

Vira mendengarkan setiap kata dari Raka dengan penuh sesak di dadanya. Cerita yang selama ini dia dengar jauh berbeda. Meski dia tak terlalu mempercayainya, ada rasa benci yang berkecamuk ketika cerita tentang orang tua Raka yang ingin mencelakai orang tuanya dia dengar dari seseorang. Sementara baru-baru ini, versi lain cerita itu mengemuka. Orang tua Raka hanyalah kambing hitam dari operasi pembunuhan orang tuanya.

"Gue... gue cuma nggak mau lo nyimpen rasa sakit dan cerita pahit itu sendirian, Ka..." ucap Vira lirih diselingi isak tangis, tapi masih terdengar oleh telinga Raka.
"Gue cukup kuat untuk itu, Ra. Lo nggak perlu khawatir." Nada suara Raka kembali tenang. "Tapi... lo tahu darimana soal cerita itu?"
"Dari Aida." Jawab Vira singkat. Raka terkejut.
"Aida?" Tanya Raka. Vira mengangguk.
"Kemarin gue jenguk dia dan sempet tanya beberapa hal, termasuk tentang hubungan dia sama Randi. Awalnya dia nolak buat cerita, tapi setelah gue desak, dia akhirnya ceritain semuanya." Terang Vira.
"Terus, hubungan Aida sama Randi?" Tanya Raka penasaran.
"Itu semua cuma rekayasa Randi buat ngejebak lo, Ka." Jawab Vira. Raka terdiam. Dia tak menyangka ternyata Aida hanyalah umpan.
"Dan berkat dia, gue tahu apa yang harus gue lakuin buat ngehancurin hidup lo yang nggak berguna!" Tiba-tiba seseorang muncul dengan senyum licik di wajahnya. Randi.
"Randi? Lo..." Vira terkejut dengan kedatangan Randi.
"Makasih ya, Ra. Berkat lo dan Aida, gue jadi tahu kulit asli dari bocah ini." Kata Randi.
"Maksud Randi apa, Ra? Jangan bilang kalo..." Raka melangkah mundur sedikit menjauh dari Vira.
"Ya, bener banget, Ka. Gue yang bikin artikel tentang lo di homepage akademi. Dan semua cerita itu berkat kemampuan interogasi Vira ke Aida! Hahahaha!" Randi terbahak. Raka terhenyak. Sementara Vira hanya bisa tertunduk.
"Dan gue heran sama si Aida, Ka. Bisa-bisanya dia datangin gue cuma buat minta gue nggak gangguin elo. Dia juga mau jalanin syarat yang gue ajuin supaya mau nemenin gue jalan Tapi sayang karena dia berisik dan terlalu tahu banyak hal, dan juga pengen laporin gue ke rektorat, gue harus bikin dia diem." Kata Randi ringan. Vira terkejut dan menutupi mulutnya dengan kedua telapak tangannya. Sementara Raka semakin marah dan dadanya semakin panas.

Beberapa detik kemudian, sebuah pukulan melayang dengan cepat dan menerjang tepat di pipi kiri Randi. Dia terpental dan jatuh bergulung. Kepalanya terasa pusing, dan dia mendapati 2 giginya copot. Randi pun bergegas bangkit dan mencoba melancarkan pukulan balasan kepada Raka. Namun dengan sigap Raka menghindari pukulan itu dan mengangkat kakinya, membuat Randi tersandung dan kembali jatuh. Saat kembali berdiri dan menarik kepalan tinjunya, Randi dibuat merinding oleh tatapan tajam Raka.

"Sekali lagi lo bikin ulah dan bikin gue marah, gue bakal rontokin semua gigi lo." Ancam Raka. Ketakutan, Randi segera berlari menjauh dari situ.
"Raka..." Vira terpana melihat Raka mempermainkan Randi.
"Jadi?" Tanya Raka kepada Vira.
"Awalnya gue emang penasaran tentang siapa lo, Ka. Dan karena cerita-cerita itu, gue semakin penasaran buat cari tahu." Vira berhenti berbicara lalu melirik ekspresi Raka yang nampak kacau, lalu melanjutkan, "Tapi setelah gue kenal lo, gue mulai kehilangan alasan buat membongkar masa lalu lo karena..."
"Udah Ra. Cukup. Selama ini gue udah berusaha buat hidup ngikutin arus. Tanpa bertindak banyak hal yang nggak penting supaya gue aman dan tenang. Tapi artikel di homepage itu... arggh!" Raka memegangi kepalanya.
"Raka!" Teriak Vira panik. Tapi isyarat tangan Raka membuatnya diam.
"Gue suka sama elo, Ra. Sejak saat itu gue mulai bimbang dengan prinsip gue tentang hidup sesuai arus. Dan lama kelamaan, gue jadi sayang sama elo." Kata Raka. Mendengar hal itu, hati Vira berbunga-bunga.
"Gue..." kata-kata Vira tertahan di ujung lidah.
"Tapi maaf, Ra. Mungkin karena terlalu berharap, apa yang baru aja gue denger malah bikin hati gue sakit. Ada yang salah dengan semua ini." Raka berbalik memunggungi Vira lalu berjalan pergi.
"Gue juga sayang sama elo Raka..." bisik Vira diikuti isak tangis dan air mata yang kembali membasahi pipinya. Punggung Raka yang nampak semakin jauh dan kecil terbiaskan oleh air mata di pelupuk matanya. Membuatnya semakin sedih, semakin menumpahkan air mata. Dan mulai saat itu, arah mereka mulai mengalami persimpangan. Meski searah, sebenarnya enggan untuk berbeda jalan.

===

to be continued~

Gimana? Plot-nya makin absurd & gak nyambung? Hihihiw, sudah kuduga... 
Share:

A Bittersweet Way #1 : Arah Yang Sama

Title : Bittersweet Way #1 : Arah Yang Sama
Genre : Slice of Life, Drama, Romance
Author : @NVRstepback

http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/7/78/Coral_Way_20100321.jpg
Coral_Way_20100321.jpg by en.wikipedia.org

Kampus pusat Akademi Teknik Widya Dharma nampak lengang. Hanya nampak beberapa sepeda motor dan mobil yang masih terparkir di tempat parkir dengan jarak yang cukup berjauhan satu dengan yang lainnya. Hujan yang tadi reda tiba-tiba kembali turun. Air yang menggenangi salah satu jalan yang berlubang kembali beriak tak tenang. Suara rintik-rintik hujan yang mengenai atap bangunan kampus terdengar cukup jelas, menyamarkan suara ribut dari arah belakang gudang yang terletak di bagian belakang kantin.

"Randi, udah lah. Lagian juga nggak ada gunanya lo mukulin dia." Kata Vira mencoba menghentikan Randi.
"Diem lo, Ra. Gara-gara bocah ini, gue jadi diskors!" Teriak Randi sambil melayangkan pukulan ke arah seorang pemuda kurus di depan. Yang mendapat pukulan pun terhempas ke tembok dan tersungkur. Wajahnya penuh memar. Vira hanya bisa menutup matanya dan mengutuk setiap pukulan yang dilayangkan Randi.
"Lo udah berani ngelawan gue, itu artinya lo udah siap dapetin yang lebih dari ini!" Kata Randi lalu pergi dari situ.
"Kenapa lo tiba-tiba jadi ngelawan Randi sih, Ka? Akhirnya lo sendiri yang bonyok." Tanya Vira.
"Raka!" Gadis bernama Vira itu melepaskan payungnya dan berusaha membantu Raka yang kembali terjatuh saat mencoba berdiri.
"Terus... kenapa lo nggak ngikutin Randi pergi malah bantuin gue?" Raka balik bertanya.

Vira tak memberikan jawaban. Dia meraih kembali payungnya dan membantu Raka berjalan menuju klinik. Dalam hatinya, Vira masih merutuki keputusan Raka melaporkan tindakan plagiat Randi terhadap salah satu tugas mahasiswa. Tapi jauh di dalam hatinya, dia merasa lega karena akhirnya Raka bisa bertindak atas keputusannya sendiri. Meski beberapa hal masih sedikit mengusik pikiran dan perasaannya.

Mereka berjalan tanpa kata. Sesampainya di klinik, Vira membantu Raka berbaring kemudian membersihkan dan mengobati luka-luka Raka.

"Vira." Panggil Raka.
"Apa, Ka?" Tanya Vira.
"Makasih udah bantu gue." Kata Raka sambil tersenyum.
"Gue cuma nggak mau punya hutang budi sama orang, Ka. Jadi jangan salah paham." Ujar Vira sambil masih sibuk membersihkan luka di lengan Raka.
"Lo nggak harus sampe ngrasa punya hutang budi, Ra. Apa yang dulu gue lakuin buat bantuin lo tuh tulus, nggak perlu lah sampe lo ng...mm..." Vira membungkam mulut Raka dengan handuk basah.
"Cerewet. Mending sekarang lo diem, istirahat. Biar cepet pulih." Kata Vira menasehati. Raka pun diam.
"Ah... coba orang tua gue bukan seorang bos besar yang suka jodoh2in anaknya, pasti gue bisa bebas milih dengan siapa gue jatuh cinta." Batin Vira sambil menatap Raka.

Detik berikutnya, diam memasuki ruangan putih itu. Memasung suara Raka yang masih terbaring memegangi handuk basah untuk mengompres bengkak di sebelah bawah mata kanannya. Sementara Vira sibuk menyandarkan bahunya ke tepian jendela. Matanya menangkap satu-satu titik hujan yang berlomba menjatuhkan diri ke pelukan bumi. Cukup lama hingga tiba-tiba muncul seseorang di ambang pintu klinik sambil mengatur nafas terengah yang tak teratur.

"Raka!" Teriaknya. Raka, juga Vira pun kaget.
"Aida? Raka ada di dalam." Kata Vira saat tahu siapa yang datang.
"Lo... jangan deket-deket Raka lagi. Gara-gara lo, Raka selalu kena masalah!" Gadis bernama Aida itu tak bisa menahan amarahnya.
"Hah? Gue... kenapa gue? Emang gue ngapain, Da?" Tanya Vira.
"Apaan oy bawa-bawa nama gue?" Raka tiba-tiba muncul dari balik gorden putih penutup ruang dia tadinya berbaring. Langkahnya masih tertatih.
"Ka, gue cuma..." Aida gugup melihat Raka.
"Aida, gue kan pernah bilang kalo gue udah siap dengan semua konsekuensi dari keputusan yang gue ambil. Dan gue nggak akan nyesel." Terang Raka sambil tersenyum. Dan menahan sakit.
"Gue cuma nggak mau lo terus kena masalah yang nggak seharusnya lo terima, Ka." Aida tertunduk. Kedua tangannya terlihat gemetar. Raka menghela nafas panjang.
"Haloo... permisii... gue juga ada di sini lho... jangan main sinetron di depan gue."

Tiba-tiba Vira membuka suaranya, memecah hening yang mematung. Dia sedikit kesal karena diperlakukan seperti penonton. Dibiarkan bertanya-tanya dengan apa yang sedang dibicarakan oleh Raka dan Aida.

Tanpa berkata apapun, Raka mengangkat satu tangannya lalu menggunakannya untuk menutup mulut Vira. Dan dengan tangan satunya, dia membuat isyarat diam dengan menempelkan telunjuk ke bibirnya sambil sedikit berdesis. Tapi langsung dia lepaskan karena Vira berontak.

"Gue cuma nggak pengen lo kenapa-kenapa, Ka." Ujar Aida lalu pergi.

Aida menghilang di balik pintu klinik meninggalkan Raka dan Vira dalam hening. Ada berbagai hal yang menggelayut di pikiran mereka. Sesuatu yang baru muncul atau pun yang sudah lama tertahan dan masih enggan untuk dikeluarkan. Hal-hal yang mungkin belum bisa mereka tuangkan karena belum ada wadah yang tepat sebagai tempatnya.

"Yuk pulang." Ujar Raka singkat diikuti anggukan Vira. Dan sore itu warna jingga mencuri kilau indah pelangi.

Setelah berjalan beberapa ratus meter dengan penuh kebisuan, Raka dan Vira pun akhirnya berpisah di persimpangan tempat sebuah mini pom berdiri. Diawali lambaian tangan, mereka berjalan dengan arah berbeda. Menuju tempat yang berjauhan, satu sama lain, meski nyatanya perasaan mereka sudah searah dan sejalan. Dan ingin dekat, meski kini terhalang.

Raka terbaring lesu di atas kasur agak keras yang diletakkan atas lantai. Sesekali dia mengusap memar di wajahnya lalu teringat pada kepalan tangan Randi yang berkali-kali menghujam dirinya. Rasa sakitnya masih terasa, tapi berikutnya dia merasa lega. Keinginannya untuk bisa menjalani hidup dengan keinginannya sendiri mulai bisa terjadi. Meski beresiko harus melawan arus.

Rasa kantuk mulai menyergap tubuhnya. Beberapa saat kemudian, pikirannya pun mulai lelap dan tenggelam ke dalam lautan mimpi.

***

Kamis pagi ini terasa sedikit dingin. Raka berjalan sambil menyembunyikan tangannya di dalam kantong jaket dan menutupi kepalanya dengan kopyah. Setelah berhenti sejenak untuk membeli segelas kopi dan kehangatannya, dia kembali berjalan. Tapi baru beberapa langkah, dia terhenti. Matanya menangkap sepasang sosok yang sangat dia kenal sedang berjalan mesra.

"Aida... sejak kapan dia jalan sama Randi?" Batin Raka.

Setelah meminum habis kopi dan membuang gelas plastiknya ke tong sampah, dia pun mulai berjalan ke arah Aida dan Randi. Dengan agak terburu, Raka mencoba membuntuti "pasangan" itu. Dia menaikkan sedikit kerah jaketnya bermaksud menutupi sebagian wajahnya. Langkahnya terhenti setelah berjalan sekitar 300 meter di depan sebuah toko mainan ketika dia mendapati Aida dan Randi berbelok ke gang beberapa blok dari tempatnya berdiri. Dengan mengendap-endap, Raka berjalan ke gang itu kemudian menempelkan punggungnya ke tembok. Dia menoleh ke arah gang dan mendapati Aida dan Randi sedang berbicara dengan suasana aneh.

Dari tempatnya berdiri, dan juga ramainya suasana, Raka kurang bisa mendengar dengan cukup jelas apa yang sedang mereka bicarakan. Namun beberapa kali dia mendengar namanya disebut membuat Raka terkejut. Dia makin menajamkan indra pendengarannya agar dapat menangkap sedikit saja dari pembicaraan Aida dan Randi.

"Raka... dia bukan tipe orang yang kuat dan bisa bertahan kalo dibohongi. Apalagi sama orang yang udah dia anggap spesial." Ucap Aida.

"Oke." Kata Randi.

Raka yang daritadi fokus menguping pembicaraan "pasangan mencurigakan" itu tidak sadar kalau ada seseorang yang sedang berdiri di hadapannya.

"Raka. Lo ngapain?" Tanya seorang. Raka pun menoleh ke suara itu dan mendapati Vira yang berdiri di hadapannya.

"Vira..." Raka terkejut. Menyadari ada suara langkah kaki yang makin mendekat, tanpa babibu Raka langsung meraih tangan Vira dan mengajaknya berlari dari situ.
Aida dan Randi berdiri di tempat Raka sebelumnya, masih membicarakan beberapa detil tentang rencana mereka. Namun kemudian mata Aida teralihkan ke sebuah benda kecil yang tergeletak di sebelah kakinya. Dia pun memungutnya dan langsung mengenali benda berbentuk kubus berwarna hitam mengkilat dengan titik-titik putih di keenam permukaannya. Dadu milik Raka. Senyum tersungging di wajah Aida.

"Tadi Raka ada di sini." Kata Aida kepada Randi sambil mengamati dadu yang ada di tangannya.

Randi hanya menanggapinya dengan ekspresi datar. Aida menggamit lengan Randi kemudian berjalan. Randi pun mengikuti Aida menuju kerumunan orang yang berlalu lalang.

***

Raka dan Vira duduk berhadapan di dalam sebuah kafe yang berada di sebelah rumah Vira. Sepasang cangkir berisi cappuccino lengkap dengan kepulan asap dan kehangatannya tersaji di hadapan mereka. Tak ada satupun kalimat, kata, ataupun aksara yang membuat sepasang cappuccino itu bosan dan perlahan dingin.

"Raka, lo tadi ngapain?" Vira mencoba membuka percakapan. Raka menghela nafas.
"Gue tadi liat Aida jalan sama Randi, Ra." Jawab Raka kemudian meraih secangkir cappuccino di hadapannya lalu meminumnya sedikit. Mendengar jawaban Raka, Vira pun heran.
"Mereka jadian kali. Emang kenapa? Lo cemburu?" Selidik Vira.
"Hahahah, kayak apaan gue bisa cemburu. Aida udah kayak adik gue sendiri. Gue cuma ngrasa aneh kenapa dia tiba-tiba deket sama Randi." Terang Raka.
"Yaudah tinggal lo tanya aja kali, Ka. Daripada tebak-tebakan terus mikir yang enggak-enggak." Kata Vira datar. Raka tersenyum mendengar kalimat Vira.
"Oke deh. Makasih nasehatnya, Ra. Hari ini biar gue yang bayar." Kata Raka. Vira yang sedang meminum cappuccino-hampir-dingin pun mengacungkan jempolnya.

Setelah berada di luar kafe, Raka terhenti ketika merogoh saku jaketnya. Ada benda yang seharusnya ada di situ. Dadu hitam yang selalu menemaninya. Melihat ekspresi Raka, Vira pun penasaran untuk melempar pertanyaan. Belum sempat bertanya, mereka dikejutkan oleh suara keras dari arah jalan beberapa ratus meter dari tempat mereka berdiri.
Tanpa berkata apa-apa, mereka berdua berlari ke sumber suara itu. Di situ sudah banyak orang berkerumun yang mengelilingi sesuatu. Beberapa lainnya nampak memindahkan sebuah motor yang terlihat bengkok di bagian stang dan roda depan. Serta penyok dan goresan di beberapa bagian. Raka mendekat lalu mengamati skutermatik hitam itu. Dia langsung mengenali stiker yang menempel di bagian body sampingnya. Stiker dengan gambar bulan sabit warna kuning yang dikelilingi lingkaran dengan tekstur seperti tepian matahari. Stiker yang pernah dia desain sebagai hadiah untuk seseorang.

"Aida!" Teriak Raka lalu berlari ke arah kerumunan.

Vira tersentak mendengar teriakan Raka. Dia ikut mendekat ke arah kerumunan yang sedikit terbuka ketika Raka berusaha menerobos. Di tengah kerumunan kecil itu, sosok Aida terkapar tak berdaya dengan luka dan semburat merah darah di kepalanya. Matanya sayu. Kesadarannya perlahan hilang. Raka dengan sigap meminta pertolongan kepada orang-orang untuk segera membawa Aida ke rumah sakit terdekat. Kembali, Vira melihat sisi dari diri Raka yang tak pernah dia lihat sebelumnya.

"Vira. Maaf, gue nggak bisa pulang bareng lo. Gue..." tangan Vira yang menggenggam tangan Raka seolah memaksa Raka berhenti berkata.
"Iya, gue tahu kok Ka. Buruan lo bawa Aida supaya dia bisa segera dirawat." Ucap Vira lalu tersenyum. Hangat. Raka pun mengangguk lalu segera naik ke mobil yang sudah siap mengantar Aida ke rumah sakit.

Dari tempatnya berdiri, Vira melihat siluet Raka di balik kaca mobil yang mulai melaju menjauh dari jangkauan matanya. Setelah mobil itu berbelok dan menghilang di balik sebuah gedung, Vira berbalik arah dan berjalan pulang menuju rumahnya. Tangannya menggenggam erat ponsel yang dia sembunyikan di dalam saku jaketnya. Langkah Vira semakin cepat, seiring dengan semakin terasa panas pelupuk matanya yang kemudian menjatuhkan titik air mata. Sesaat kemudian, langit yang sedari pagi menahan mendung menumpahkan hujannya.

to be continued...
Share:

Meracau -dalam, hingga, karena- Kacau

Samar. Itulah yang saat ini terpampang di depanku. Jalan setapak yang retak di sana-sini pun terlihat enggan menopang langkah kakiku, seolah ingin menjatuhkan tubuhku. Lemah dan terhuyung. Jika saja ada angin kencang, mungkin saja tubuhku tak akan sanggup lagi mencengkeram bumi, juga... tak ada yang akan bisa menolongku sekalipun itu gravitasi. Lemah dan lelah. Tapi tetap saja tak mungkin untuk menyerah, bahkan untuk sekedar istirahat mengendurkan nafas. Beban yang tak seimbang. Kepala yang terlalu penuh. Penat. Pekat tanpa celah.

Sesak dan pengap. Sekali pun jika memang diharuskan terjatuh, aku pun pasrah menerima sakit dan lukanya. Hanya saja aku berharap memiliki kekuatan yang cukup untuk menahannya. Lebih kuat dari sakit dan lukanya ketika terjatuh, agar tubuh dan otakku tidak mati karena kesakitan. Klise. Mati oleh kekuatan rasa sakit sepertinya menyakitkan, ya. Terutama jika penyebabnya hal tak kasat mata juga bila sakit itu hadir tanpa ada luka. Betapa manusia yang kuat bisa begitu lemah di hadapan hal kecil.

Harusnya seperti apa? Otakku tak sanggup lagi menggerakkan otot dan sendi di tubuhku. Apakah karena karena dia dicengkeram sampai tak sanggup lagi menggerakkan otot dan sendi? Atau tubuhku lelah hingga akhirnya berontak menolak perintah otak? Apakah ada yang terjatuh ketika aku tersandung dan jatuh tadi? Gelap rasanya. Menapaki jalan tanpa bergerak, sementara tak ada cukup waktu yang bisa dipakai agar bisa tercapai.

Ah, bahkan tanganku seperti berkehendak sendiri. Meracau di hadapan otak yang tak lagi berkuasa, sekalipun berdaya. Konyol. Nampak lebih menyedihkan dari orang lumpuh. Melihat pun hanya pekat dan samar, lebih dari orang buta. Sementara tak ada seharusnya masalah, tapi tetap terpasung dan terikat. Tak ada. Jika biasanya mataku terasa panas kemudian basah, saat ini sepertinya mata air itu iku-ikut kering, kehilangan suplai. Dan keinginan.

Melihat retakan setapak demi setapak. Sejauh titik tergelap yang terjangkau mata. Merangkak seinci demi seinci, walau sebenarnya tak benar-benar bergerak. Hanya sebatas semu yang ada di dalam pikiran yang tertindih. Sementara meracau mengemukakan kata yang darimana asal datangnya tanpa ada arti juga makna dan rasa. Hanya keanehan dan hampa.
Share:

Untitled Tragedy, The 4th, The Last

Title : UT The 4th
Author : @NVRstepback


img from gde-on.com

Olivia menatap nanar foto keluarga ukuran besar yang terpampang di depannya. Matanya tak henti-henti memandang dan menyapu setiap detil dari foto itu. Rambut bergelombang dan senyum yang memamerkan barisan gigi putih terawat ibunya, kacamata dengan frame coklat gelap di atas hidung mancung ayahnya, wajah datar yang terpaksa tersenyum milik Sam, dan dirinya sendiri yang berdiri dengan balutan kebaya batik serupa dengan yang lainnya. Dan semakin dia menatap foto itu, pelupuk matanya semakin panas.
Ponsel Olivia berbunyi. Ada pesan masuk.
From: Ellena
Text: Kak, jgn lupa acara hari ini ya. :)
To: Ellena
Text: Iya, El. Kita ketemu di sana ya. ;)
From: Ellena
Text: Okee
Olivia meletakkan ponselnya lalu menjatuhkan punggungnya ke sandaran sofa. Senyum tersungging di wajahnya. Dia pun bergegas bangkit lalu berjalan menuju kamarnya.

***

Manusia memiliki kemampuan untuk merencana dan mungkin mengubah sebuah alur cerita. Tapi semua itu tak menjamin jika apa yang mereka rencanakan dapat berhasil. Alur yang berubah akan memberikan efek lain yang berlipat, entah itu kebahagiaan yang berlipat ataupun kesedihan yang berlipat. Dan ada beberapa orang yang akan menerima 2 hal itu bersamaan.
"Inilah yang dikehendaki oleh Sam. Dia sepenuhnya menerima keadaan dirinya dan akhirnya memutuskan untuk melakukan hal itu." Kata dokter.
Suara datar namun dengan sedikit penekanan terasa menyakitkan di telinga Olivia. Air matanya satu-satu mulai jatuh. Tangan kanannya meraih kepalanya yang masih dibalut perban. Denyut rasa sakit kembali terasa tapi kali ini diikuti bias-bias ingatan yang semakin menambah sakit yang dia rasakan. Dengan menggunakan meja di sampingnya, Olivia berusaha berdiri. Dia menolak uluran tangan dokter, lalu dia melangkah keluar.

***

"Tapi.. dok, apakah tidak ada cara lain? Apakah penyakit Dira benar-benar tidak bisa disembuhkan?" Olivia masih belum bisa menerima kenyataan bahwa sahabatnya akan pergi.
"Maaf. Kami sudah berusaha sebaik mungkin. Tapi kondisi pasien sudah terlalu parah. Mungkin dengan melakukan terapi dan juga konsumsi obat, pasien bisa melakukan aktivitas sehari-hari. Tapi hal itu tidak bisa benar-benar menyembuhkannya." Terang dokter.
Olivia terduduk. Dia tak tahu lagi apa yang harus dia katakan dan lakukan. Matanya sudah lelah menangis, tapi air matanya masih terus mengalir. Dia menjatuhkan punggungnya ke sandaran kursi. Koridor ruang dahlia nampak lengang. Olivia pun memutuskan untuk kembali masuk dan menemani Dira lagi.
"Vi, kamu kenapa? Habis menangis?" Tanya Dira. Suara terdengar ringan. Jauh dari kesan seseorang yang tak memiliki waktu hidup lebih lama. Hal ini membuat Olivia semakin kesulitan. Di satu sisi, dia ingin menghibur Dira. Tapi di sisi lain, justru Dira lah yang saat ini menghiburnya.
"Ayolah, Vi. Jangan menangis. Bukankah sebentar lagi kamu dan Brian akan menikah?" Dira mencoba membuka obrolan.
"Ya. Dan aku ingin, kamu segera sembuh supaya bisa hadir." Jawab Olivia sambil tersenyum. Senyum palsu.
"Aku turut bahagia untukmu, Vi. Pada akhirnya kisah yang sudah kalian lalui selama 5 tahun sebentar lagi menuju babak baru." Kata Dira sambil menatap langit yang mengambang di balik jendela.
"Terima kasih, Dira." Ucap Olivia tulus lalu memeluk Dira. Air matanya kembali menetes. Air mata yang mengekspresikan rasa senang dan rasa sakit. Dia tak ingin sampai Dira tahu apa yang sebenarnya sudah terjadi di antara dia dan Brian. Sementara dia tak menyadari, ada air mata yang bersembunyi dari matanya. Air mata bahagia Dira.

***

Olivia berjalan pelan menuju kamar Sam. Dia masih berusaha menerka apa yang membuat Sam pada akhirnya memilih untuk meletakkan satu-satunya harapan yang dia miliki untuk orang lain. Keputusan yang cukup gila... dan bodoh.
Setelah berbelok di persimpangan di depan ruang perawat, Olivia lantas masuk ke dalam ruangan di balik pintu warna putih dengan papan berukir yang di tengahnya tertulis angka lima yang tertempel di depannya. Olivia mendapati Sam sedang menatap kertas di pangkuannya. Tangan kanannya memegang pulpen. Dia nampak begitu bersungguh-sungguh menuliskan sesuatu. Dan diakhiri sebuah senyuman, Sam meletakkan pulpennya.
"Sam? Sedang apa?" Tanya Olivia penasaran.
"Ah, kak Oliv. Aku... hanya sedang menulis sesuatu." Jawab Sam. Suaranya terdengar senang. Dada Olivia sedikit sesak mendengarnya.
"Sesuatu?" Selidik Olivia. Sam tak menjawabnya. Dia melipat kertas itu sedemikian rupa lalu mengulurkannya kepada Olivia.
"Apa ini?" Tanya Olivia lagi.
"Bisakah aku meminta satu hal kepada kakak?" Sam balik bertanya. Olivia mengernyitkan dahinya. Lalu mengangguk tanda setuju.
"Kakak pasti sudah tahu dari dokter kan apa keputusanku?" Sam kembali bertanya. Olivia kembali tercekat dan hanya bisa mengangguk. Sam pun tersenyum lalu melanjutkan kalimatnya. "Aku sadar dengan kondisiku setelah aku pingsan di kampus beberapa bulan lalu. Ada yang tidak beres dengan tubuhku, dan setelah dirawat di sini, aku semakin tahu seperti apa kondisiku dan bagaimana kesempatanku untuk bertahan.
"Awalnya aku tertekan kak dengan semua kenyataan itu. Tapi pada akhirnya aku sadar. Tidak ada hal lain yang bisa kulakukan selain memikirkan apa yang bisa aku lakukan dalam waktu yang tidak lama. Sesuatu yang bermakna dan tetap terjaga." Sam memandang awan berarak di balik jendela bening di sebelah kanannya.
"Sam..." ucap Olivia lirih. Dia menahan suaranya sekuat mungkin, karena dia tahu jika tak ditahan, air matanya akan tumpah dan Sam pasti tidak menyukai hal itu.

***

Mobil Honda Civic warna putih dengan highlight hitam nampak membelah jalan sepi tepian kota. Di dalam mobil itu, alunan musik grup akustik Depapepe memenuhi setiap sudutnya. Tak ada kata yang keluar dari 3 orang yang ada di dalamnya. Hanya berbagai ekspresi yang saling tatap, lalu berpaling satu sama lain dan kemudian hanyut dalam musik dan imajinasi di pantulan kaca.
"Tak terasa sudah 1 tahun." Celetuk Ellena yang duduk sendirian di jok belakang. Wajahnya menempel di kaca mobil.
"Dan ada banyak hal tak terduga yang terjadi selama itu." Timpal Olivia. Dia tersenyum ke arah Ellena dan lelaki yang saat ini sedang memegang kemudi di sebelah kanannya.
"Tapi..." Ellena menyandarkan tubuhnya dan menutup matanya, "semua ini berkat dia..."
Hening kembali hadir. Hanya alunan gitar dari lagu START! milik Depapepe yang masih riang memenuhi ruang di dalam mobil itu.

***

Jam menunjukkan pukul 7 pagi. Beberapa perawat nampak mulai melakukan aktivitas mereka. Di salah satu ruangan, nampak beberapa orang berkumpul. Seorang dokter ditemani seorang suster sedang membuka lilitan perban di kepala seorang pasien. Perlahan namun pasti, perban mulai terlepas. Hingga tinggal kapas berbentuk kotak yang menutupi mata pasien itu. Dokter segera mengangkat kapas itu lalu meletakkannya di wadah logam yang ada di atas rak dorong pendek di sebelahnya.
"Masih butuh waktu beberapa hari dan juga sedikit terapi agar Ellena bisa terbiasa dengan penglihatannya. Sungguh sebuah anugerah dia dapat menerimanya." Ujar dokter.
"Kalau begitu, permisi." Dokter diikuti suster keluar dari ruangan itu.
"Ellena..." panggil Olivia.
"Kak... Oliv..." Ellena menoleh ke arah Olivia. Matanya belum sepenuhnya terbuka dan pandangannya juga masih samar.
"Sabar ya, penglihatanmu pasti sebentar lagi pulih." Kata Olivia menghibur. Dia menatap lekat wajah Ellena dan menangkap bayang adiknya di situ. Sam.
"Sam... dia di mana kak? Aku ingin bertemu dengannya." Tanya Ellena. Mendengarnya, jantung Olivia serasa ditusuk. Dia sedikit menahan nafasnya.
"Dia..."
"Ah, lebih baik aku bersabar sedikit lagi sambil menunggu kesembuhanku." Kata Ellena lalu merebahkan dirinya.
"Ya." Olivia kebingungan dengan keadaannya saat ini. Tak ada yang benar-benar bisa dia lakukan selain hanya berusaha menerima kenyataan yang ada di depannya. Kenyataan yang tentu belum sanggup dia ceritakan kepada Ellena, kepada siapapun. Kenyataan yang harus dia pendam hingga batas waktu yang dia sendiri tak tahu.

***

Mobil Honda Civic putih nampak terparkir di tepian sebuah pemakaman. Di jalan setapak yang membelah areal itu, nampak 3 orang, 2 perempuan dan 1 laki-laki, yang berjalan beriringan. 2 di antaranya memegang keranjang berisi bunga. Pembicaraan ringan dan tawa kecil kadang terdengar di antara ketiganya. Namun berubah senyap ketika mereka tiba-tiba di depan sebuah makam dengan nisan berwarna kelabu.
Ellena memdahului dua orang yang bersamanya lalu berjongkok di depan nisan itu. Tangan kanannya menggapai lalu menyentuh lembut tepian nisan itu.
"Kamu masih saja dingin seperti dulu, Sam." Bisik Ellena.
Olivia beserta lelaki yang merangkulnya hanya bisa menatap iba Ellena. Mereka pun mendekat dan jongkok di kanan kiri Ellena. Tanpa aba-aba, mereka memejamkan mata lalu memanjatkan doa. Sebuah doa kepada Tuhan untuk sosok yang terdiam di dalam makam di depan mereka. Sam.
"El... kakak masih ingin menyampaikan hal yang sama kepadamu. Tetaplah jalani hidupmu dengan penuh bahagia. Biarkan Sam tetap hidup di dalam hati kita, dan menatap hal-hal indah bersamamu. Di situ." Ujar Olivia. Ellena pun mengangguk.
"Aku masih sedikit menyesal dengan bagaimana perjumpaan terakhirku dengan Sam. Tapi entah kenapa ada rasa lega di hatiku setelah membaca surat terakhirnya. Kenyataan bahwa dia masih tetap menjagaku dengan caranya sendiri. Cara yang tidak pernah bisa aku mengerti." Air mata pun akhirnya tumpah dari mata Ellena.
"Ah, air mata ini begitu hangat. Apakah kau sedang mencoba menenangkanku, Sam?" Ujar lirih Ellena. Di depannya, muncul bayang Sam yang duduk sambil mengulurkan tangannya. Tangan itu mengusap lembut air mata Ellena lalu mengusap pipi Ellena. Wajah bayang Sam kian mendekati wajah Ellena, dan saat itu Ellena mendengar bisik lembut yang semakin membuat air matanya semakin deras.
"Hiduplah dengan penuh bahagia. Aku akan tetap hidup di hatimu. Dan melihat banyak hal indah di matamu. Bersamamu."

~fin
Share:

Aku Tak Benar-Benar Mencintaimu... dan Aku Berbohong

Ngegalau dulu di bulan Desember. *pffft Eh, ngucapin dulu ah biar ikutan menstrim... selamat hari Ibu untuk seluruh Ibu dan calon Ibu di seluruh dunia~ Kalian luar biasaa~


Let Me Tell You a Lie...


Aku tak benar-benar mencintaimu
Karena rasanya terlalu pengap dan mencekik
Tapi aku cukup bahagia dengan itu
Karena aku aman di dalam pelukmu



Aku tak benar-benar mencintaimu
Juga tak terlalu ingin dekat di sampingmu
Meski nyatanya aku yang membohongi diriku
Semuanya semu yang kurasakan tentangmu



Aku tak benar-benar mencintaimu
Karena nyata bahwa setiap saat aku tak rindu
Tak terasa sesak meski tak bertemu
Walau sedikit hampa bila selalu begitu



Dan sekali lagi... aku tak benar-benar mencintaimu
Karena aku hanya memperhatikanmu
Karena aku hanya mendoakanmu
Karena aku hanya mengharapkan yang terbaik bagimu
Karena aku hanya mengagumimu... bukan mencintaimu



Eh, ada satu hal yang ingin kusampaikan sebelum mengakhiri ini
Maaf, aku berbohong... =p


pic from breakbang.com

~ Nur Rochman, 22 Desember 2014
Share:

Cerita di Akhir November | Sebuah Cerpen


Title : Cerita di Akhir November
Author : Nur Rochman | @NVRstepback
Genre : Family, Slice of Life


November sebentar lagi berakhir. Dendang suara merdu melengking milik Axl Rose masih mengalun dari pengeras suara kafe. Meski cukup keras terdengar, tapi tampaknya tak cukup keras karena suasana kafe yang memang sedang ramai oleh pengunjung. Lagu November Rain pun mulai terdengar mengganti lagu Don't You Cry yang sebelumnya dimainkan. Tiba-tiba seorang pria di depan Rama tertawa.
"Ada apa yah? Kok ketawa?" Tanya Rama heran melihat sikap ayahnya.
"Ini lagu bersejarah buat ayah, Ram." Jawab sang ayah sambil memejamkan matanya. Menikmati lagu itu.
"Bersejarah? Critain dong yah." Rama yang penasaran pun meminta ayahnya untuk bercerita.
"Hahaha. Kamu kalo penasaran balik lagi jadi anak-anak ya." Ayah Rama tergelak.
"Buruan yah." Rama merajuk.
"Iya iya. Jadi lagu itu adalah lagu pertama yang ayah nyanyiin pas pertama kali ketemu sama Ibu kamu." Terang ayah.
"He? Itu aja?" Tanya Rama.
"Iya. Tapi ceritanya gak cuma segitu." Kata ayah misterius.
"Terus?"
"Itu lagu pertama yang ayah nyanyiin pas ketemu sama Ibu kamu. Momennya itu lho... nyesss banget. Apalagi waktu itu pas hujan." Ujar ayah. Pandangannya menerawang seolah mencoba menggali ingatan lama.
"Tunggu bentar deh, yah. Bukannya November Rain itu lagunya tentang perpisahan?" Tanya Rama dengan kening mengkerut.
"Makanya dengerin cerita ayah." Rama pun diam dan mulai menyimak cerita nostalgia ayahnya.



++

Malam terasa dingin setelah hujan semenjak sore mengguyur. Di bawah pohon angsana yang ujungnya tertutup sinar lampu, seorang pria memainkan gitarnya dengan melodi sendu. Kejadian beberapa jam ketika hujan mengguyur membuat senar gitarnya mengeluarkan suara aneh. Pilu. Sama seperti hatinya yang juga pilu karena diguyur kata-kata penuh sembilu.
Rintik gerimis mulai terdengar. Satu-satu mulai mengenai permukaan yang ditemuinya. Dan satu-satu mulai mengenai tubuh dan gitar pria itu. Namun dia sama sekali tak beranjak dari tempatnya. Justru denting dawai gitarnya terdengar makin jelas diiringi ritmik gerimis tak beraturan. Perlahan, dia membuka mulutnya. Mulai bersuara.



When I look into your eyes
I can see a love restrained
But darlin' when I hold you
Don't you know I feel the same
'Cause nothin' lasts forever
And we both know hearts can change
And it's hard to hold a candle
In the cold November rain
We've been through this such a long long time
Just tryin' to kill the pain
But lovers always come and lovers always go
An no one's really sure who's lettin' go today
Walking away
If we could take the time
to lay it on the line
I could rest my head
Just knowin' that you were mine
All mine
So if you want to love me
then darlin' don't refrain
Or I'll just end up walkin'
In the cold November rain
Do you need some time...on your own
Do you need some time...all alone
Everybody needs some time... on their own
Don't you know you need some time...all alone
I know it's hard to keep an open heart
When even friends seem out to harm you
But if you could heal a broken heart
Wouldn't time be out to charm you
Sometimes I need some time...on my own
Sometimes I need some time...



Lagunya terhenti ketika dia mendapati rintik gerimis mulai berubah menjadi hujan di hadapannya, tapi tak lagi mengenai dirinya. Dan ketika menengadah, dia mendapati payung berwarna hijau bermotif bunga sedang menaungi dirinya.
"Lagunya bagus. Sayang sekali isinya begitu sedih." Ujar seseorang yang tiba-tiba duduk di sebelah pria itu.
"Apa kau menyukai lagu tadi?" Ujar pria itu.
"Ya, aku sering mendengarkannya. Tapi menerjemahkannya dengan cara yang berbeda." Mendengar pernyataan itu, si pria pun mulai mengalihkan perhatiannya.
"Maksudmu?" Tanya pria itu masih belum mengerti.
"Aku menerjemahkan lagu itu sebagai cara menanyakan keseriusan untuk terus bersama. Bukan menanyakan keinginan untuk berpisah. Bukankah itu lebih baik?" Terang gadis itu sambil tersenyum.
"Dunia ini berjalan sesuai dengan bagaimana cara kita melihatnya." Lanjut gadis itu.
"Oh. Ya, kupikir begitu." Ujar pria itu.
"Aku Mawar." Gadis mengulurkan tangannya.
"Ah. Aku Raya." Pria bernama Raya itu pun menyambut uluran tangan Mawar.
Di bawah payung kuning itu, Raya dan Mawar melanjutkan perbincangan mereka. Kadang diselingi dengan suara gitar Raya dan suara Mawar yang bersahutan dengan suara Raya. Dan perlahan, hujan seperti terlupakan oleh mereka.

++



"Gitu, Ram. Gimana?" Ayah bertanya kepada Rama yang nampak menikmati cerita itu.
"Lumayan sih, yah." Ujar Rama singkat. Ayahnya nampak sedikit kecewa mendengar reaksi singkat dari Rama.
"Dasar anak jaman sekarang. Keseringan cinta-cintaan dari kecil jadi gak ngerti apa dan bagaimana nikmatnya momen romantis." Ujar ayah sambil menepuk dahinya.
"Dih, ayah udah tua pake acara tepuk jidat segala. Hahaha." Rama tergelak melihat kelakuan ayahnya.
Mereka berhenti berbincang sejenak untuk meminum cappuccino hangat yang sudah tersaji di hadapan mereka. Hujan yang beberapa jam lalu turun mulai reda. Nampak suasana kafe mulai sedikit lengang karena beberapa pengunjung yang memang menunggu hujan reda mulai keluar dari kafe. Hanya beberapa orang saja yang masih betah duduk di dalam kafe. Itu pun dengan jarak yang cukup jauh satu sama lain.
"Yah. Menurut ayah, Rissa orangnya gimana?" Rama mulai membuka topik baru.
"Rissa? Pacar kamu yang mana lagi, Ram? Kamu keseringan bawa perempuan ke rumah sih. Ingatan Ayah kan udah gak kayak dulu." Tanya Ayah sambil berusaha mengingat sesuatu. Rama mendengus mendengar pertanyaan ayahnya.
"Yang dulu makan malam sama kita, yah." Kata Rama dengan perlahan, berharap agar ayahnya ingat.
"Oh. Gadis yang rambutnya diikat kuncir kuda itu?" Tanya ayah mengkonfirmasi. Mata Rama berbinar.
"Nah! Iya, yah. Tuh Ayah masih inget. Gimana yah?" Rama bertanya lagi.
"Orangnya cantik. Orangnya pinter, juga baik dan sabar. Tiap ngobrol sama Ayah selalu bisa milih dan milah topik yang pas, dan ngobrolnya pun nyambung. Perhatian juga sama Ayah. Mirip ibu kamu waktu masih muda. Kamu sendiri ngrasa cocok enggak sama dia?" Ayah balik bertanya.
"Kalo aku sih emang udah ngrasa cocok sama dia yah. Udah kenal dan deket lumayan lama juga." Ujar Rama.
"Nak, kamu masih inget kan apa pesan ayah tentang jodoh?" Tanya ayah.
"Orang baik dijodohkan Tuhan dengan orang yang baik pula, begitu pun sebaliknya. Karena jodoh adalah cerminan dari diri kita." Ujar Rama sambil menirukan suara ayahnya. Sang ayah pun tertawa mendengar suara Rama yang justru terdengar lucu.
"Dan menurut ayah, kamu sekarang udah jadi laki-laki yang baik dan bertanggung jawab. Kalo Ibumu masih ada, pasti dia berpikir hal yang sama kayak ayah." Terang ayah bijak. Rama pun tersenyum penuh arti mendengar perkataan ayahnya.
"Hmmm... gara-gara kamu, ayah jadi inget gimana susahnya ayah waktu mau nglamar ibu kamu dulu." Pandangan ayah kembali menerawang jauh. Mengurai simpul-simpul ingatannya yang sudah termakan oleh usia.
"He? Emang kenapa yah?" Tanya Rama penasaran.
"Pas ayah udah punya pekerjaan yang mapan dan udah siap buat nglamar Ibu kamu, ada masalah yang datang. Tepatnya cuma kesalahpahaman. Tapi bisa bikin hubungan ayah dengan ibumu hampir aja rusak.' Jelas ayah.



++

"Mawar. Aku ingin membicarakan sesuatu." Raya terengah-engah karena harus berlari menaiki tangga mengejar Mawar.
"Tidak ada yang perlu kamu jelaskan, mas. Aku sudah lihat dengan mata kepalaku sendiri apa yang terjadi tadi di depan kantormu." Ada bulir air mata yang jatuh dari pelupuk mata Mawar.
"Tapi Mawar. Apa yang kamu lihat itu berbeda dengan apa yang kamu pikirkan. Aku dengan dia tidak ada apa-apa. Ini cuma salah paham. Tolong perc..."
"Sudah mas, aku ingin sendiri dulu. Permisi." Mawar berbalik dan melangkah pergi. Raya hanya bisa melihat sosoknya menghilang di belokan di ujung lorong kampus.
Raya terdiam tak bergerak. Tangannya yang dari tadi menggenggam kotak kecil berbalut warna merah tetap diam tersembunyi di balik punggungnya. Kejutan yang sudah dia siapkan gagal terwujud. Dia pun mulai berbalik dan berjalan menuruni tangga dengan langkah lemah. Ketika sampai di ujung bawah tangga, sudah ada seseorang yang menunggunya.
"Jadi dia adalah perempuan beruntung yang kamu pilih untuk mendampingimu ya, mas?" Tanya sosok wanita berambut pendek itu.
"Ya. Aku berencana untuk melamarnya hari ini. Sepertinya aku harus melakukan sesuatu." Ujar Raya.
"Mas. Memang benar ada beberapa hal yang hanya bisa dimengerti lewat tindakan. Tapi ada beberapa hal yang hanya bisa dimengerti dengan kata-kata." Kata wanita itu bijak. Raya terdiam mendengar apa yang dikatakan oleh wanita itu.
"Di mana cincinmu tadi? Biar aku yang mengurusnya." Wanita itu mengulurkan tangannya sebagai isyarat meminta.
"Tapi..." Raya sedikit ragu dengan apa yang akan dilakukan oleh wanita yang ada di hadapannya.
"Percayalah. Yang paling mengerti perasaan seorang wanita adalah seorang wanita." Dengan sedikit ragu, Raya pun mengulurkan tangannya yang dari tadi bersembunyi menggenggam kotak merah ke arah tangan wanita di hadapannya.
"Sekarang pulanglah dan tunggu di rumah. Siapkan kejutan kecil untuk dia." Wanita itu perlahan berjalan menaiki tangga.

++



"Wanita itu siapa yah? Jangan-jangan... wah, ternyata ayah nakal ya." Rama menyandarkan punggungnya ke kursi.
"Heh, dengerin dulu ceritanya sampe selesai." Ayah pun menyruput cappuccino yang hampir dingin kemudian meneruskan ceritanya.



++

Raya masih gelisah dengan apa yang beberapa saat lalu dialaminya. Kaki kanannya masih menghentak-hentak cepat. Sementara kedua tangannya menutupi mulutnya yang tak henti mengucapkan berbagai harapan. Dan tiba-tiba sudut matanya menangkap sebentuk gitar yang dengan penuh debu bersandar di samping lemari. Tanpa pikir panjang, Raya mengambil gitar itu dan mulai memetik dawai demi dawainya.


I know it's hard to keep an open heart
When even friends seem out to harm you
But if you could heal a broken heart
Wouldn't time be out to charm you
Sometimes I need some time...on my own
Sometimes I need some...


Lagunya terhenti. Atau lebih tepatnya Raya tak bisa melanjutkannya. Tangannya melepaskan genggaman dari gitar itu lalu menyandarkannya di samping kursi tempat dia duduk. Tiba-tiba, terdengar suara ketukan pintu. Raya baru saja bangkit berdiri ketika pintu terbuka dan dari baliknya muncul seseorang yang dari tadi membuatnya gelisah. Mawar.
"Mas..." suara Mawar terdengar lirih. Kepalanya tertunduk.
Raya mendekatinya lalu meraih tangan Mawar. Dia terkejut melihat kotak merah yang ada di genggaman Mawar. Kotak merah yang belum sempat tersampaikan karena kendala keadaan.
"Ini..." Raya belum sempat menyelesaikan kalimatnya karena Mawar sudah keburu memeluknya. Erat.
"Maaf aku sudah salah paham. Aku tidak mau mendengarkan penjelasanmu terlebih dahulu." Kata Mawar sambil terisak. Raya pun tersenyum. Tangannya meraih punggung Mawar dan mengusap rambutnya.
"Jadi..." Raya melepaskan pelukan Mawar lalu mengambil kotak merah itu dari tangan Mawar. Raya lalu membuka kotak itu.
"Maukah kau menikah denganku?" Raya berlutut dengan satu lutut sebagai sandaran.
Sekalipun sudah tahu apa yang akan terjadi, Mawar tetap terkejut. Kebahagiaan memenuhi dirinya. Air mata sesalnya berubah menjadi air mata bahagia. Tanpa ragu, dia mengangguk lalu kembali memeluk Raya. Lebih erat.
Dari balik pintu, wanita yang dari tadi memperhatikan adegan emosional itu pun tersenyum. Happy ending seperti yang diharapkan.
"Intan, ayo kita pergi. Bukankah kita harus memberitahu ayah dan ibumu tentang kabar bahagia ini?" Ujar laki-laki di sebelahnya.
"Iya mas, akhirnya kakakku akan menikah." Ujar Intan bahagia.

++



"Gitu..." Ayah mengakhiri ceritanya.
"Ayah ternyata so sweet banget ya." Ujar Rama sambil tertawa kecil. Tapi di dalam hatinya, dia merasa bangga.
"Maka dari itu, kalo kamu memang udah ngrasa cocok sama Rissa, lebih baik segera diresmikan. Ayah percaya kalian pasti akan jadi pasangan yang serasi. Dan bisa saling menjaga sampai tua." Ayah tersenyum.
Rama tak membalas kalimat ayahnya dengan kata-kata, tapi hanya dengan sesungging senyum bahagia. Dia senang karena ayahnya sudah memberikan restu kepada hubungannya dengan Rissa. Dan dia pun semakin mantap untuk menikahi Rissa.


***


Lagu November Rain kembali terdengar memenuhi ruangan kafe yang cukup penuh. Hujan di luar yang kembali deras kembali menahan beberapa orang untuk beranjak dari tempat duduknya. Termasuk seseorang yang sedang duduk termenung di salah satu sudut.
"Sayang." Suara lembut diikuti belaian di pundaknya membuat Rama kaget.
"Ah, Rissa sayang. Maaf aku melamun. Aku sedang mengingat-ingat obrolan terakhirku dengan ayah di sini." Kata Rama sambil tersenyum.
"Hari ini 1 tahun meninggalnya ayah kam? Ayo kita berziarah ke makam beliau." Kata Rissa sambil meletakkan tangannya ke pundak Rama.
"Ya." Jawab Rama singkat.
Berjalan beriringan, Rama dan Rissa terlihat serasi. Masing-masing di jari manis kanan mereka, melingkar cincin yang serupa. Outro lagu November Rain mengantar mereka keluar dari kafe itu. Tempat yang bagi Rama tak hanya bermakna, tapi juga berharga. Tempat dia berbagi bersama ayahnya, juga tempat di mana dia menyampaikan perasaan pada Rissa. Juga 1 lagu yang akan selalu dia nanti untuk dimainkan. Lagu favoritnya. Lagu kenangan milik dan tentang ayahnya, November Rain. Dan penghujung November pun terlewati dengan berbagai cerita menuju Desember baru yang menanti untuk ditulis.


###
Share: