Genre : Slice of Life, Drama, Romance
Author : @NVRstepback
Coral_Way_20100321.jpg by en.wikipedia.org |
Kampus pusat Akademi Teknik Widya
Dharma nampak lengang. Hanya nampak beberapa sepeda motor dan mobil yang masih
terparkir di tempat parkir dengan jarak yang cukup berjauhan satu dengan yang
lainnya. Hujan yang tadi reda tiba-tiba kembali turun. Air yang menggenangi
salah satu jalan yang berlubang kembali beriak tak tenang. Suara rintik-rintik
hujan yang mengenai atap bangunan kampus terdengar cukup jelas, menyamarkan
suara ribut dari arah belakang gudang yang terletak di bagian belakang kantin.
"Randi, udah lah. Lagian juga
nggak ada gunanya lo mukulin dia." Kata Vira mencoba menghentikan Randi.
"Diem lo, Ra. Gara-gara bocah
ini, gue jadi diskors!" Teriak Randi sambil melayangkan pukulan ke arah
seorang pemuda kurus di depan. Yang mendapat pukulan pun terhempas ke tembok
dan tersungkur. Wajahnya penuh memar. Vira hanya bisa menutup matanya dan
mengutuk setiap pukulan yang dilayangkan Randi.
"Lo udah berani ngelawan gue, itu
artinya lo udah siap dapetin yang lebih dari ini!" Kata Randi lalu pergi
dari situ.
"Kenapa lo tiba-tiba jadi
ngelawan Randi sih, Ka? Akhirnya lo sendiri yang bonyok." Tanya Vira.
"Raka!" Gadis bernama Vira
itu melepaskan payungnya dan berusaha membantu Raka yang kembali terjatuh saat
mencoba berdiri.
"Terus... kenapa lo nggak
ngikutin Randi pergi malah bantuin gue?" Raka balik bertanya.
Vira tak memberikan jawaban. Dia
meraih kembali payungnya dan membantu Raka berjalan menuju klinik. Dalam
hatinya, Vira masih merutuki keputusan Raka melaporkan tindakan plagiat Randi
terhadap salah satu tugas mahasiswa. Tapi jauh di dalam hatinya, dia merasa
lega karena akhirnya Raka bisa bertindak atas keputusannya sendiri. Meski
beberapa hal masih sedikit mengusik pikiran dan perasaannya.
Mereka berjalan tanpa kata.
Sesampainya di klinik, Vira membantu Raka berbaring kemudian membersihkan dan
mengobati luka-luka Raka.
"Vira." Panggil Raka.
"Apa, Ka?" Tanya Vira.
"Makasih udah bantu gue."
Kata Raka sambil tersenyum.
"Gue cuma nggak mau punya hutang
budi sama orang, Ka. Jadi jangan salah paham." Ujar Vira sambil masih
sibuk membersihkan luka di lengan Raka.
"Lo nggak harus sampe ngrasa
punya hutang budi, Ra. Apa yang dulu gue lakuin buat bantuin lo tuh tulus,
nggak perlu lah sampe lo ng...mm..." Vira membungkam mulut Raka dengan
handuk basah.
"Cerewet. Mending sekarang lo
diem, istirahat. Biar cepet pulih." Kata Vira menasehati. Raka pun diam.
"Ah... coba orang tua gue bukan
seorang bos besar yang suka jodoh2in anaknya, pasti gue bisa bebas milih dengan
siapa gue jatuh cinta." Batin Vira sambil menatap Raka.
Detik berikutnya, diam memasuki
ruangan putih itu. Memasung suara Raka yang masih terbaring memegangi handuk
basah untuk mengompres bengkak di sebelah bawah mata kanannya. Sementara Vira
sibuk menyandarkan bahunya ke tepian jendela. Matanya menangkap satu-satu titik
hujan yang berlomba menjatuhkan diri ke pelukan bumi. Cukup lama hingga
tiba-tiba muncul seseorang di ambang pintu klinik sambil mengatur nafas
terengah yang tak teratur.
"Raka!" Teriaknya. Raka,
juga Vira pun kaget.
"Aida? Raka ada di dalam."
Kata Vira saat tahu siapa yang datang.
"Lo... jangan deket-deket Raka
lagi. Gara-gara lo, Raka selalu kena masalah!" Gadis bernama Aida itu tak
bisa menahan amarahnya.
"Hah? Gue... kenapa gue? Emang
gue ngapain, Da?" Tanya Vira.
"Apaan oy bawa-bawa nama
gue?" Raka tiba-tiba muncul dari balik gorden putih penutup ruang dia
tadinya berbaring. Langkahnya masih tertatih.
"Ka, gue cuma..." Aida gugup
melihat Raka.
"Aida, gue kan pernah bilang kalo
gue udah siap dengan semua konsekuensi dari keputusan yang gue ambil. Dan gue
nggak akan nyesel." Terang Raka sambil tersenyum. Dan menahan sakit.
"Gue cuma nggak mau lo terus kena
masalah yang nggak seharusnya lo terima, Ka." Aida tertunduk. Kedua
tangannya terlihat gemetar. Raka menghela nafas panjang.
"Haloo... permisii... gue juga
ada di sini lho... jangan main sinetron di depan gue."
Tiba-tiba Vira
membuka suaranya, memecah hening yang mematung. Dia sedikit kesal karena
diperlakukan seperti penonton. Dibiarkan bertanya-tanya dengan apa yang sedang
dibicarakan oleh Raka dan Aida.
Tanpa berkata apapun, Raka mengangkat
satu tangannya lalu menggunakannya untuk menutup mulut Vira. Dan dengan tangan
satunya, dia membuat isyarat diam dengan menempelkan telunjuk ke bibirnya
sambil sedikit berdesis. Tapi langsung dia lepaskan karena Vira berontak.
"Gue cuma nggak pengen lo
kenapa-kenapa, Ka." Ujar Aida lalu pergi.
Aida menghilang di balik pintu klinik
meninggalkan Raka dan Vira dalam hening. Ada berbagai hal yang menggelayut di
pikiran mereka. Sesuatu yang baru muncul atau pun yang sudah lama tertahan dan
masih enggan untuk dikeluarkan. Hal-hal yang mungkin belum bisa mereka tuangkan
karena belum ada wadah yang tepat sebagai tempatnya.
"Yuk pulang." Ujar Raka
singkat diikuti anggukan Vira. Dan sore itu warna jingga mencuri kilau indah
pelangi.
Setelah berjalan beberapa ratus meter
dengan penuh kebisuan, Raka dan Vira pun akhirnya berpisah di persimpangan
tempat sebuah mini pom berdiri. Diawali lambaian tangan, mereka berjalan dengan
arah berbeda. Menuju tempat yang berjauhan, satu sama lain, meski nyatanya
perasaan mereka sudah searah dan sejalan. Dan ingin dekat, meski kini
terhalang.
Raka terbaring lesu di atas kasur agak
keras yang diletakkan atas lantai. Sesekali dia mengusap memar di wajahnya lalu
teringat pada kepalan tangan Randi yang berkali-kali menghujam dirinya. Rasa
sakitnya masih terasa, tapi berikutnya dia merasa lega. Keinginannya untuk bisa
menjalani hidup dengan keinginannya sendiri mulai bisa terjadi. Meski beresiko
harus melawan arus.
Rasa kantuk mulai menyergap tubuhnya.
Beberapa saat kemudian, pikirannya pun mulai lelap dan tenggelam ke dalam
lautan mimpi.
***
Kamis pagi ini terasa sedikit dingin.
Raka berjalan sambil menyembunyikan tangannya di dalam kantong jaket dan
menutupi kepalanya dengan kopyah. Setelah berhenti sejenak untuk membeli
segelas kopi dan kehangatannya, dia kembali berjalan. Tapi baru beberapa
langkah, dia terhenti. Matanya menangkap sepasang sosok yang sangat dia kenal
sedang berjalan mesra.
"Aida... sejak kapan dia jalan
sama Randi?" Batin Raka.
Setelah meminum habis kopi dan
membuang gelas plastiknya ke tong sampah, dia pun mulai berjalan ke arah Aida
dan Randi. Dengan agak terburu, Raka mencoba membuntuti "pasangan"
itu. Dia menaikkan sedikit kerah jaketnya bermaksud menutupi sebagian wajahnya.
Langkahnya terhenti setelah berjalan sekitar 300 meter di depan sebuah toko
mainan ketika dia mendapati Aida dan Randi berbelok ke gang beberapa blok dari
tempatnya berdiri. Dengan mengendap-endap, Raka berjalan ke gang itu kemudian menempelkan
punggungnya ke tembok. Dia menoleh ke arah gang dan mendapati Aida dan Randi
sedang berbicara dengan suasana aneh.
Dari tempatnya berdiri, dan juga
ramainya suasana, Raka kurang bisa mendengar dengan cukup jelas apa yang sedang
mereka bicarakan. Namun beberapa kali dia mendengar namanya disebut membuat
Raka terkejut. Dia makin menajamkan indra pendengarannya agar dapat menangkap
sedikit saja dari pembicaraan Aida dan Randi.
"Raka... dia bukan tipe orang
yang kuat dan bisa bertahan kalo dibohongi. Apalagi sama orang yang udah dia
anggap spesial." Ucap Aida.
"Oke." Kata Randi.
Raka yang daritadi fokus menguping
pembicaraan "pasangan mencurigakan" itu tidak sadar kalau ada
seseorang yang sedang berdiri di hadapannya.
"Raka. Lo ngapain?" Tanya
seorang. Raka pun menoleh ke suara itu dan mendapati Vira yang berdiri di
hadapannya.
"Vira..." Raka terkejut.
Menyadari ada suara langkah kaki yang makin mendekat, tanpa babibu Raka
langsung meraih tangan Vira dan mengajaknya berlari dari situ.
Aida dan Randi berdiri di tempat Raka
sebelumnya, masih membicarakan beberapa detil tentang rencana mereka. Namun
kemudian mata Aida teralihkan ke sebuah benda kecil yang tergeletak di sebelah
kakinya. Dia pun memungutnya dan langsung mengenali benda berbentuk kubus berwarna
hitam mengkilat dengan titik-titik putih di keenam permukaannya. Dadu milik
Raka. Senyum tersungging di wajah Aida.
"Tadi Raka ada di sini."
Kata Aida kepada Randi sambil mengamati dadu yang ada di tangannya.
Randi hanya menanggapinya dengan
ekspresi datar. Aida menggamit lengan Randi kemudian berjalan. Randi pun
mengikuti Aida menuju kerumunan orang yang berlalu lalang.
***
Raka dan Vira duduk berhadapan di
dalam sebuah kafe yang berada di sebelah rumah Vira. Sepasang cangkir berisi
cappuccino lengkap dengan kepulan asap dan kehangatannya tersaji di hadapan
mereka. Tak ada satupun kalimat, kata, ataupun aksara yang membuat sepasang
cappuccino itu bosan dan perlahan dingin.
"Raka, lo tadi ngapain?"
Vira mencoba membuka percakapan. Raka menghela nafas.
"Gue tadi liat Aida jalan sama
Randi, Ra." Jawab Raka kemudian meraih secangkir cappuccino di hadapannya
lalu meminumnya sedikit. Mendengar jawaban Raka, Vira pun heran.
"Mereka jadian kali. Emang
kenapa? Lo cemburu?" Selidik Vira.
"Hahahah, kayak apaan gue bisa
cemburu. Aida udah kayak adik gue sendiri. Gue cuma ngrasa aneh kenapa dia
tiba-tiba deket sama Randi." Terang Raka.
"Yaudah tinggal lo tanya aja
kali, Ka. Daripada tebak-tebakan terus mikir yang enggak-enggak." Kata
Vira datar. Raka tersenyum mendengar kalimat Vira.
"Oke deh. Makasih nasehatnya, Ra.
Hari ini biar gue yang bayar." Kata Raka. Vira yang sedang meminum
cappuccino-hampir-dingin pun mengacungkan jempolnya.
Setelah berada di luar kafe, Raka
terhenti ketika merogoh saku jaketnya. Ada benda yang seharusnya ada di situ.
Dadu hitam yang selalu menemaninya. Melihat ekspresi Raka, Vira pun penasaran
untuk melempar pertanyaan. Belum sempat bertanya, mereka dikejutkan oleh suara
keras dari arah jalan beberapa ratus meter dari tempat mereka berdiri.
Tanpa berkata apa-apa, mereka berdua
berlari ke sumber suara itu. Di situ sudah banyak orang berkerumun yang
mengelilingi sesuatu. Beberapa lainnya nampak memindahkan sebuah motor yang
terlihat bengkok di bagian stang dan roda depan. Serta penyok dan goresan di
beberapa bagian. Raka mendekat lalu mengamati skutermatik hitam itu. Dia
langsung mengenali stiker yang menempel di bagian body sampingnya. Stiker
dengan gambar bulan sabit warna kuning yang dikelilingi lingkaran dengan tekstur
seperti tepian matahari. Stiker yang pernah dia desain sebagai hadiah untuk
seseorang.
"Aida!" Teriak Raka lalu
berlari ke arah kerumunan.
Vira tersentak mendengar teriakan
Raka. Dia ikut mendekat ke arah kerumunan yang sedikit terbuka ketika Raka
berusaha menerobos. Di tengah kerumunan kecil itu, sosok Aida terkapar tak
berdaya dengan luka dan semburat merah darah di kepalanya. Matanya sayu.
Kesadarannya perlahan hilang. Raka dengan sigap meminta pertolongan kepada
orang-orang untuk segera membawa Aida ke rumah sakit terdekat. Kembali, Vira
melihat sisi dari diri Raka yang tak pernah dia lihat sebelumnya.
"Vira. Maaf, gue nggak bisa
pulang bareng lo. Gue..." tangan Vira yang menggenggam tangan Raka seolah
memaksa Raka berhenti berkata.
"Iya, gue tahu kok Ka. Buruan lo
bawa Aida supaya dia bisa segera dirawat." Ucap Vira lalu tersenyum.
Hangat. Raka pun mengangguk lalu segera naik ke mobil yang sudah siap mengantar
Aida ke rumah sakit.
Dari tempatnya berdiri, Vira melihat
siluet Raka di balik kaca mobil yang mulai melaju menjauh dari jangkauan
matanya. Setelah mobil itu berbelok dan menghilang di balik sebuah gedung, Vira
berbalik arah dan berjalan pulang menuju rumahnya. Tangannya menggenggam erat
ponsel yang dia sembunyikan di dalam saku jaketnya. Langkah Vira semakin cepat,
seiring dengan semakin terasa panas pelupuk matanya yang kemudian menjatuhkan
titik air mata. Sesaat kemudian, langit yang sedari pagi menahan mendung
menumpahkan hujannya.
to be continued...
0 komentar:
Posting Komentar
Abis baca, jangan segan2 buat kasih komentarnya ya guys.. Supaya post selanjutnya bisa lebih bagus. Terimakasih... ^^,