A Bittersweet Way #1 : Arah Yang Sama

Title : Bittersweet Way #1 : Arah Yang Sama
Genre : Slice of Life, Drama, Romance
Author : @NVRstepback

http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/7/78/Coral_Way_20100321.jpg
Coral_Way_20100321.jpg by en.wikipedia.org

Kampus pusat Akademi Teknik Widya Dharma nampak lengang. Hanya nampak beberapa sepeda motor dan mobil yang masih terparkir di tempat parkir dengan jarak yang cukup berjauhan satu dengan yang lainnya. Hujan yang tadi reda tiba-tiba kembali turun. Air yang menggenangi salah satu jalan yang berlubang kembali beriak tak tenang. Suara rintik-rintik hujan yang mengenai atap bangunan kampus terdengar cukup jelas, menyamarkan suara ribut dari arah belakang gudang yang terletak di bagian belakang kantin.

"Randi, udah lah. Lagian juga nggak ada gunanya lo mukulin dia." Kata Vira mencoba menghentikan Randi.
"Diem lo, Ra. Gara-gara bocah ini, gue jadi diskors!" Teriak Randi sambil melayangkan pukulan ke arah seorang pemuda kurus di depan. Yang mendapat pukulan pun terhempas ke tembok dan tersungkur. Wajahnya penuh memar. Vira hanya bisa menutup matanya dan mengutuk setiap pukulan yang dilayangkan Randi.
"Lo udah berani ngelawan gue, itu artinya lo udah siap dapetin yang lebih dari ini!" Kata Randi lalu pergi dari situ.
"Kenapa lo tiba-tiba jadi ngelawan Randi sih, Ka? Akhirnya lo sendiri yang bonyok." Tanya Vira.
"Raka!" Gadis bernama Vira itu melepaskan payungnya dan berusaha membantu Raka yang kembali terjatuh saat mencoba berdiri.
"Terus... kenapa lo nggak ngikutin Randi pergi malah bantuin gue?" Raka balik bertanya.

Vira tak memberikan jawaban. Dia meraih kembali payungnya dan membantu Raka berjalan menuju klinik. Dalam hatinya, Vira masih merutuki keputusan Raka melaporkan tindakan plagiat Randi terhadap salah satu tugas mahasiswa. Tapi jauh di dalam hatinya, dia merasa lega karena akhirnya Raka bisa bertindak atas keputusannya sendiri. Meski beberapa hal masih sedikit mengusik pikiran dan perasaannya.

Mereka berjalan tanpa kata. Sesampainya di klinik, Vira membantu Raka berbaring kemudian membersihkan dan mengobati luka-luka Raka.

"Vira." Panggil Raka.
"Apa, Ka?" Tanya Vira.
"Makasih udah bantu gue." Kata Raka sambil tersenyum.
"Gue cuma nggak mau punya hutang budi sama orang, Ka. Jadi jangan salah paham." Ujar Vira sambil masih sibuk membersihkan luka di lengan Raka.
"Lo nggak harus sampe ngrasa punya hutang budi, Ra. Apa yang dulu gue lakuin buat bantuin lo tuh tulus, nggak perlu lah sampe lo ng...mm..." Vira membungkam mulut Raka dengan handuk basah.
"Cerewet. Mending sekarang lo diem, istirahat. Biar cepet pulih." Kata Vira menasehati. Raka pun diam.
"Ah... coba orang tua gue bukan seorang bos besar yang suka jodoh2in anaknya, pasti gue bisa bebas milih dengan siapa gue jatuh cinta." Batin Vira sambil menatap Raka.

Detik berikutnya, diam memasuki ruangan putih itu. Memasung suara Raka yang masih terbaring memegangi handuk basah untuk mengompres bengkak di sebelah bawah mata kanannya. Sementara Vira sibuk menyandarkan bahunya ke tepian jendela. Matanya menangkap satu-satu titik hujan yang berlomba menjatuhkan diri ke pelukan bumi. Cukup lama hingga tiba-tiba muncul seseorang di ambang pintu klinik sambil mengatur nafas terengah yang tak teratur.

"Raka!" Teriaknya. Raka, juga Vira pun kaget.
"Aida? Raka ada di dalam." Kata Vira saat tahu siapa yang datang.
"Lo... jangan deket-deket Raka lagi. Gara-gara lo, Raka selalu kena masalah!" Gadis bernama Aida itu tak bisa menahan amarahnya.
"Hah? Gue... kenapa gue? Emang gue ngapain, Da?" Tanya Vira.
"Apaan oy bawa-bawa nama gue?" Raka tiba-tiba muncul dari balik gorden putih penutup ruang dia tadinya berbaring. Langkahnya masih tertatih.
"Ka, gue cuma..." Aida gugup melihat Raka.
"Aida, gue kan pernah bilang kalo gue udah siap dengan semua konsekuensi dari keputusan yang gue ambil. Dan gue nggak akan nyesel." Terang Raka sambil tersenyum. Dan menahan sakit.
"Gue cuma nggak mau lo terus kena masalah yang nggak seharusnya lo terima, Ka." Aida tertunduk. Kedua tangannya terlihat gemetar. Raka menghela nafas panjang.
"Haloo... permisii... gue juga ada di sini lho... jangan main sinetron di depan gue."

Tiba-tiba Vira membuka suaranya, memecah hening yang mematung. Dia sedikit kesal karena diperlakukan seperti penonton. Dibiarkan bertanya-tanya dengan apa yang sedang dibicarakan oleh Raka dan Aida.

Tanpa berkata apapun, Raka mengangkat satu tangannya lalu menggunakannya untuk menutup mulut Vira. Dan dengan tangan satunya, dia membuat isyarat diam dengan menempelkan telunjuk ke bibirnya sambil sedikit berdesis. Tapi langsung dia lepaskan karena Vira berontak.

"Gue cuma nggak pengen lo kenapa-kenapa, Ka." Ujar Aida lalu pergi.

Aida menghilang di balik pintu klinik meninggalkan Raka dan Vira dalam hening. Ada berbagai hal yang menggelayut di pikiran mereka. Sesuatu yang baru muncul atau pun yang sudah lama tertahan dan masih enggan untuk dikeluarkan. Hal-hal yang mungkin belum bisa mereka tuangkan karena belum ada wadah yang tepat sebagai tempatnya.

"Yuk pulang." Ujar Raka singkat diikuti anggukan Vira. Dan sore itu warna jingga mencuri kilau indah pelangi.

Setelah berjalan beberapa ratus meter dengan penuh kebisuan, Raka dan Vira pun akhirnya berpisah di persimpangan tempat sebuah mini pom berdiri. Diawali lambaian tangan, mereka berjalan dengan arah berbeda. Menuju tempat yang berjauhan, satu sama lain, meski nyatanya perasaan mereka sudah searah dan sejalan. Dan ingin dekat, meski kini terhalang.

Raka terbaring lesu di atas kasur agak keras yang diletakkan atas lantai. Sesekali dia mengusap memar di wajahnya lalu teringat pada kepalan tangan Randi yang berkali-kali menghujam dirinya. Rasa sakitnya masih terasa, tapi berikutnya dia merasa lega. Keinginannya untuk bisa menjalani hidup dengan keinginannya sendiri mulai bisa terjadi. Meski beresiko harus melawan arus.

Rasa kantuk mulai menyergap tubuhnya. Beberapa saat kemudian, pikirannya pun mulai lelap dan tenggelam ke dalam lautan mimpi.

***

Kamis pagi ini terasa sedikit dingin. Raka berjalan sambil menyembunyikan tangannya di dalam kantong jaket dan menutupi kepalanya dengan kopyah. Setelah berhenti sejenak untuk membeli segelas kopi dan kehangatannya, dia kembali berjalan. Tapi baru beberapa langkah, dia terhenti. Matanya menangkap sepasang sosok yang sangat dia kenal sedang berjalan mesra.

"Aida... sejak kapan dia jalan sama Randi?" Batin Raka.

Setelah meminum habis kopi dan membuang gelas plastiknya ke tong sampah, dia pun mulai berjalan ke arah Aida dan Randi. Dengan agak terburu, Raka mencoba membuntuti "pasangan" itu. Dia menaikkan sedikit kerah jaketnya bermaksud menutupi sebagian wajahnya. Langkahnya terhenti setelah berjalan sekitar 300 meter di depan sebuah toko mainan ketika dia mendapati Aida dan Randi berbelok ke gang beberapa blok dari tempatnya berdiri. Dengan mengendap-endap, Raka berjalan ke gang itu kemudian menempelkan punggungnya ke tembok. Dia menoleh ke arah gang dan mendapati Aida dan Randi sedang berbicara dengan suasana aneh.

Dari tempatnya berdiri, dan juga ramainya suasana, Raka kurang bisa mendengar dengan cukup jelas apa yang sedang mereka bicarakan. Namun beberapa kali dia mendengar namanya disebut membuat Raka terkejut. Dia makin menajamkan indra pendengarannya agar dapat menangkap sedikit saja dari pembicaraan Aida dan Randi.

"Raka... dia bukan tipe orang yang kuat dan bisa bertahan kalo dibohongi. Apalagi sama orang yang udah dia anggap spesial." Ucap Aida.

"Oke." Kata Randi.

Raka yang daritadi fokus menguping pembicaraan "pasangan mencurigakan" itu tidak sadar kalau ada seseorang yang sedang berdiri di hadapannya.

"Raka. Lo ngapain?" Tanya seorang. Raka pun menoleh ke suara itu dan mendapati Vira yang berdiri di hadapannya.

"Vira..." Raka terkejut. Menyadari ada suara langkah kaki yang makin mendekat, tanpa babibu Raka langsung meraih tangan Vira dan mengajaknya berlari dari situ.
Aida dan Randi berdiri di tempat Raka sebelumnya, masih membicarakan beberapa detil tentang rencana mereka. Namun kemudian mata Aida teralihkan ke sebuah benda kecil yang tergeletak di sebelah kakinya. Dia pun memungutnya dan langsung mengenali benda berbentuk kubus berwarna hitam mengkilat dengan titik-titik putih di keenam permukaannya. Dadu milik Raka. Senyum tersungging di wajah Aida.

"Tadi Raka ada di sini." Kata Aida kepada Randi sambil mengamati dadu yang ada di tangannya.

Randi hanya menanggapinya dengan ekspresi datar. Aida menggamit lengan Randi kemudian berjalan. Randi pun mengikuti Aida menuju kerumunan orang yang berlalu lalang.

***

Raka dan Vira duduk berhadapan di dalam sebuah kafe yang berada di sebelah rumah Vira. Sepasang cangkir berisi cappuccino lengkap dengan kepulan asap dan kehangatannya tersaji di hadapan mereka. Tak ada satupun kalimat, kata, ataupun aksara yang membuat sepasang cappuccino itu bosan dan perlahan dingin.

"Raka, lo tadi ngapain?" Vira mencoba membuka percakapan. Raka menghela nafas.
"Gue tadi liat Aida jalan sama Randi, Ra." Jawab Raka kemudian meraih secangkir cappuccino di hadapannya lalu meminumnya sedikit. Mendengar jawaban Raka, Vira pun heran.
"Mereka jadian kali. Emang kenapa? Lo cemburu?" Selidik Vira.
"Hahahah, kayak apaan gue bisa cemburu. Aida udah kayak adik gue sendiri. Gue cuma ngrasa aneh kenapa dia tiba-tiba deket sama Randi." Terang Raka.
"Yaudah tinggal lo tanya aja kali, Ka. Daripada tebak-tebakan terus mikir yang enggak-enggak." Kata Vira datar. Raka tersenyum mendengar kalimat Vira.
"Oke deh. Makasih nasehatnya, Ra. Hari ini biar gue yang bayar." Kata Raka. Vira yang sedang meminum cappuccino-hampir-dingin pun mengacungkan jempolnya.

Setelah berada di luar kafe, Raka terhenti ketika merogoh saku jaketnya. Ada benda yang seharusnya ada di situ. Dadu hitam yang selalu menemaninya. Melihat ekspresi Raka, Vira pun penasaran untuk melempar pertanyaan. Belum sempat bertanya, mereka dikejutkan oleh suara keras dari arah jalan beberapa ratus meter dari tempat mereka berdiri.
Tanpa berkata apa-apa, mereka berdua berlari ke sumber suara itu. Di situ sudah banyak orang berkerumun yang mengelilingi sesuatu. Beberapa lainnya nampak memindahkan sebuah motor yang terlihat bengkok di bagian stang dan roda depan. Serta penyok dan goresan di beberapa bagian. Raka mendekat lalu mengamati skutermatik hitam itu. Dia langsung mengenali stiker yang menempel di bagian body sampingnya. Stiker dengan gambar bulan sabit warna kuning yang dikelilingi lingkaran dengan tekstur seperti tepian matahari. Stiker yang pernah dia desain sebagai hadiah untuk seseorang.

"Aida!" Teriak Raka lalu berlari ke arah kerumunan.

Vira tersentak mendengar teriakan Raka. Dia ikut mendekat ke arah kerumunan yang sedikit terbuka ketika Raka berusaha menerobos. Di tengah kerumunan kecil itu, sosok Aida terkapar tak berdaya dengan luka dan semburat merah darah di kepalanya. Matanya sayu. Kesadarannya perlahan hilang. Raka dengan sigap meminta pertolongan kepada orang-orang untuk segera membawa Aida ke rumah sakit terdekat. Kembali, Vira melihat sisi dari diri Raka yang tak pernah dia lihat sebelumnya.

"Vira. Maaf, gue nggak bisa pulang bareng lo. Gue..." tangan Vira yang menggenggam tangan Raka seolah memaksa Raka berhenti berkata.
"Iya, gue tahu kok Ka. Buruan lo bawa Aida supaya dia bisa segera dirawat." Ucap Vira lalu tersenyum. Hangat. Raka pun mengangguk lalu segera naik ke mobil yang sudah siap mengantar Aida ke rumah sakit.

Dari tempatnya berdiri, Vira melihat siluet Raka di balik kaca mobil yang mulai melaju menjauh dari jangkauan matanya. Setelah mobil itu berbelok dan menghilang di balik sebuah gedung, Vira berbalik arah dan berjalan pulang menuju rumahnya. Tangannya menggenggam erat ponsel yang dia sembunyikan di dalam saku jaketnya. Langkah Vira semakin cepat, seiring dengan semakin terasa panas pelupuk matanya yang kemudian menjatuhkan titik air mata. Sesaat kemudian, langit yang sedari pagi menahan mendung menumpahkan hujannya.

to be continued...
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Abis baca, jangan segan2 buat kasih komentarnya ya guys.. Supaya post selanjutnya bisa lebih bagus. Terimakasih... ^^,