Tampilkan postingan dengan label A Bittersweet Way. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label A Bittersweet Way. Tampilkan semua postingan

A Bittersweet Way #4 : Perhentian

Title: A Bittersweet Way #4 : Perhentian
Genre: Slice of Life, Drama, Romance
Author: @NVRstepback

-

Seorang gadis berambut panjang yang memakai gaun hijau nampak sedang berdiri di tepi kaca raksasa menatap kendaraan lalu lalang yang seperti semut berbaris. Sekalipun wajahnya begitu cantik meski dengan make up minimalis, ada satu riasan yang hilang yang membuat wajah cantik itu terasa hambar. Riasan bernama senyum.

"Vira, sini." Panggil pria paruh baya yang berdiri di sebelah sebuah meja kerja kepada gadis itu.

"Iya pa." Vira pun berjalan menuju tempat ayahnya berdiri.

"Mana senyum manis kamu? Sebentar lagi kamu bakal ketemu sama anak temen papa yang sering Papa ceritain." Kata sang ayah, "yah, meski Papa udah lama nggak ketemu sama dia sih. Hehe."

"Hah? Maksudnya Papa ngejodohin aku sama orang yang Papa sendiri udah lama nggak ketemu gitu? Ya ampun Pa..." Vira menjatuhkan dirinya ke sofa yang ada tiga langkah dari tempatnya berdiri. Belum sempat pertanyaan Vira terjawab, terdengar suara bel.

"Nah dia datang. Buruan kamu duduk yang bagus." Ucap ayah Vira girang. Setelah memperbaiki dasinya, beliau menekan tombol yang berada di samping sebuah mic lalu berkata dengan penuh wibawa, "masuk."

Beberapa saat kemudian, setelah terdengar suara pintu yang terbuka, muncul seorang pria dengan setelan kemeja putih berdasi di balik jas hitam dengan bawahan celana hitam. Dia berjalan ke arah ayah Vira.

"Pa..." panggil Vira. Sang ayah pun menoleh dan mendapati putrinya menunjuk ke arah pria yang baru masuk tadi sambil berbisik, "dia orangnya? Tua amat?"

"Bukan." Ayah Vira ikut berbisik. Lalu beralih ke si pria yang baru masuk. "Bawa masuk."

Mendengar perintah itu, si pria berjas hitam bersiul. Lalu tak lama kemudian, muncul pria berjas hitam lain namun dengan tubuh lebih besar diikuti seseorang dengan setelan hitam berjalan di belakangnya. Vira kaget melihat apa yang ada di depan matanya.

"Ini dia orang yang Papa ceritain ke kamu, sayang." Ujar sang ayah riang.

Suasana hening. Mata Vira tak lepas dari sosok yang kini sedang berdiri di sebelah ayahnya dan tersenyum ke arahnya. Pemuda seumurannya yang memakai setelan jas dan celana hitam dengan kemeja abu-abu dan dasi hitam. Perasaannya campur aduk tak menentu mendapati takdir yang sedari awal selalu dia tolak. Namun akhirnya dia tetap harus menerimanya.

Vira berjalan perlahan mendekati pemuda yang masih tersenyum itu. Setelah cukup dekat, Vira mengangkat tangannya meraih pipi kurus pemuda itu. Mata Vira mulai berair, sementara wajah penuh senyum si pemuda berubah menjadi raut wajah penuh ketenangan, juga penyesalan. Beberapa detik kemudian, tiba-tiba pemuda itu melingkarkan tangannya ke pinggang Vira lalu memeluknya. Air mata yang Vira tahan pun akhirnya tumpah.

"Maafin gue karena nggak sempet denger kalimat lo sampe selesai." Kata pemuda itu. Ada sesuatu yang tiba-tiba hilang dari dalam dadanya. Rasanya begitu lega mendengar kalimat itu. "Gue sayang elo, Ra."

Vira meraih pelukan pemuda itu lalu memejamkan kedua matanya yang terus berair sambil berkata, "Raka, gue juga sayang sama elo."

Ayah Vira dan kedua pria berjas hitam, yang ternyata adalah pengawal ayah Vira, itu terharu melihat apa yang terjadi di hadapan mereka. Dan ketika Raka dan Vira kembali menyadari keberadaan tiga orang itu, mereka melepaskan pelukan mereka lalu sedikit canggung tersenyum ke arah ayah Vira.

"Jadi kalian berdua sudah pacaran?" Selidik ayah Vira.

"Ah, eng... enggak, eh, belum om." Jawab Raka terbata-bata.

"Pa. Jadi yang selama ini selalu Papa ceritain tuh Raka? Kenapa Papa nggak pernah cerita?" Vira balik bertanya.

"Bukannya kamu yang nggak pernah mau denger cerita Papa?" Ayah Vira balik bertanya.

"Soalnya Papa bilang kalo aku mau Papa jodohin sama anaknya sahabat Papa. Sementara orang tua Raka kan..." Vira buru-buru menghentikan kalimatnya, takut kalau dia kembali menyinggung perasaan Raka.

"Om pasti tahu kejadian yang sebenarnya kan? Tolong ceritain ke kami, om." Pinta Raka. Melihat ekspresi Raka, ayah Vira pun tersenyum dan mengangguk setuju.

Setelah mereka duduk nyaman di sofa yang ada di tengah ruangan, ayah Vira pun memulai ceritanya.

"Om ketemu ayahmu pas masih kuliah. Kami bercita-cita suatu saat akan punya perusahaan besar yang diakui dunia. Dan setelah berjuang keras selama hampir 9 tahun, perusahaan ini, PT Digdaya lahir. Awalnya semua berjalan normal. Bahkan sampai kalian berdua lahir, kami masih terus maju dengan PT ini. Tapi 15 tahun yang lalu, muncul masalah besar. Waktu itu ada tender proyek bernilai besar dan setelah melalui berbagai seleksi, terpilihlah PT Digdaya dan satu perusahaan saingan. Waktu itu, ada salah 1 karyawan yang membelot ke perusahaan saingan dan membuat PT Digdaya terancam kolaps. Beruntung, ayahmu Raka, berhasil menggagalkan usaha sabotase yang akan dilakukan karyawan itu. Karena terbukti bersalah, orang itu akhirnya dipecat." Cerita ayah Vira panjang lebar.

"Lalu, gimana dengan berita perselisihan antara om dan ayah saya?" Tanya Raka.

"Biar om lanjutkan dulu. Jadi setelah dipecat dari PT Digdaya, orang itu pergi meminta pertolongan ke perusahaan saingan. Tapi dia malah dicemooh dan diusir. Dendam pun tersulut di hati orang itu. Dan orang yang ingin dia jadikan pelampiasan adalah ayah kamu, Ka. Dia berusaha mencelakai ayahmu dengan berbagai cara tapi selalu gagal. Pada akhirnya orang itu mengubah targetnya dari ayahmu ke om." Ayah Vira istirahat sejenak meminum teh yang dihidangkan oleh pengawal berbadan besar.

"Terus, kok bisa jadi ngincer Papa?" Tanya Vira.

"Orang itu tahu kalau Papa nggak secerdik ayah Raka. Jadi waktu itu pas malam Papa mau pulang, tiba-tiba Papa ketemu orang itu yang udah nunggu di samping mobil Papa. Tiba-tiba orang itu menerjang ke arah Papa yang nggak siap. Tapi entah darimana, ayah Raka tiba-tiba mendorong ayah dari samping lalu..." cerita ayah Vira terhenti. Terdengar isak tangis dari beliau. "Dia berkelahi dengan orang itu hingga akhirnya orang itu tertusuk pisaunya sendiri. Papa berusaha membujuk ayah Raka supaya melaporkan kasus itu sebagai upaya pertahanan diri, tapi dia menolak. Dia lebih memilih masuk penjara karena merasa sudah berbuat dosa. Dan juga... meminta Papa menarik semua aset dalam bentuk apapun yang dia punya di PT Digdaya agar nama perusahaan tidak tercemar. Dia orang yang terlalu baik."

Suasana pun berubah sunyi. Hanya terdengar samar suara kendaraan dan suara air conditioner. Lalu terdengar isak tangis. Raka.

"Jadi selama ini ayah nggak pernah benci PT Digdaya, justru mencintainya. Aku yang selama ini membenci PT Digdaya dengan jadiin ayah sebagai tameng..." Raka menutupi wajahnya yang dengan kedua tangannya. Isak tangisnya semakin terdengar lalu berubah semakin nyaring. Ayah Vira tahu betul beban yang ditanggung oleh Raka selama ini. Dia bersyukur masih sempat menceritakan kebenaran itu. Dan berniat meluruskan apa yang selama ini salah di kalangan masyarakat luas.

"Meskipun seluruh aset milik ayahmu secara hukum sudah ditarik, tapi secara fisik semuanya masih ada dan justru berkembang menjadi salah satu aset terbesar bagi PT Digdaya." Kata ayah Vira.

"Maksud om?" Tanya Raka tak mengerti.

"Aset milik ayahmu om ubah kepemilikannya menjadi namamu, Raka. Jadi... ini adalah warisan dari ayahmu." Terang ayah Vira.

Raka tak tahu harus berbuat apa mendengar kabar seperti itu. Dia pun tak tahu harus menganggap kabar baik atau kabar buruk saking bingungnya. Air matanya sudah terhenti. Raut sedihnya berganti menjadi raut kebingungan. Tiba-tiba Vira yang dari tadi tak berhenti mengusap air matanya sendiri memeluk Raka yang masih kebingungan.

"Raka! Raka! Raka!" Pekik Vira penuh bahagia. Raka tersentak dari kebingungannya dan entah darimana datangnya, seperti ada film yang masuk ke dalam kepala Raka. Lalu meraih sesuatu dari saku celananya.

"Kamu masih inget benda ini nggak, Ra?' Tanya Raka. Vira melepaskan pelukannya.

"Kamu... he? Gu... aku... eh..." Vira masih terkejut mendengar cara Raka memanggilnya. Raka tertawa melihat ekspresi Vira.

"Dadu ini, Ra." Kata Raka sambil memperlihatkan dadu yang ada di tangannya. Setelah memicingkan mata mengamati dadu itu, Vira pun teringat sebuah dadu yang mirip dengan milik Raka. Setelah menemukan tasnya, Vira mengambil sebuah kotak kecil berwarna hitam lalu membukanya. Dia mengambil sebuah dadu yang ada di dalamnya lalu menunjukkannya kepada Raka. Melihat dadu itu, Raka pun tersenyum.

"Aku sekarang inget semuanya, Ka. Dulu waktu kita masih kecil dan main ular tangga. Kita selalu pakai dua dadu supaya jalannya lebih cepet. Hahaha." Kenang Vira.

"Ya, aku juga Ra. Semua ingatan dan kenangan masa kecil kita dulu." Raka tersenyum. "Masa lalu bukan untuk dilupakan. Karena masa lalu nggak selalu menyedihkan. Ada kalanya masa lalu adalah tempat terbaik untuk mengingat dan belajar."

***

Matahari pertama Desember tersenyum malu-malu di balik awan tipis. Meski tak terlalu kentara, kehangatannya cukup terasa untuk mengusir dingin yang merayapi kulit dan mencoba menggapai tulang. Sementara bumi yang sedikit basah masih diam-diam berotasi, Raka memulai hari ini sebagai awal baru untuknya.

"Pagi, Ka." Sapa Vira dari belakang Raka.

"Yo! Pagi, Ra." Balas Raka sambil tersenyum. Mereka berjalan beriringan membelah halaman akademi. Tak ada lagi bisik-bisik celaan setelah ayah Vira menyampaikan kebenaran tentang kasus 15 tahun lalu.

"Hai Raka, Vira." Sapa Aida.

"Pagi Aida~" balas Raka dan Vira bersamaan. Aida tersenyum. Luka yang dia derita setelah kecelakaan berangsur pulih. Begitu pula luka di hatinya yang berhasil diobati oleh seorang mahasiswa bernama Iwan, orang yang sudah lama menyukai Aida dan diam-diam selalu mengirimkan pesan-pesan pembangkit moral selama Aida di rumah sakit.

"Halo, Randi. Sehat?" Sapa Raka kepada Randi yang duduk sendirian di bangku tepi taman. Randi hanya mengangguk. Setelah kehilangan 2 giginya, Randi tak lagi cukup punya nyali untuk mengganggu 'mantan anak buah'nya, Raka. Dan setelah semua aktivitas buruk Randi terbongkar, orang tuanya yang terlanjur malu keluar dari dewan rektor.

Dan Raka, setelah tenggelam berulang kali karena melawan arus pada akhirnya kembali kenangan masa kecilnya yang terlupakan dan kebenaran tentang orang tuanya. Dia pun menemukan jalannya sendiri. Ah, dia tak lagi sendiri. Karena di sampingnya kini ada Vira, yang akan selalu bersamanya... menggenggam tangannya... membuat perjalanan barunya menjadi lebih luar biasa.

http://www.postersguide.com/largeimage/714/7145058.jpg
7145058.jpg on postersguide.com

~fin
Share:

A Bittersweet Way #3 : Jalan Yang Terlewat

Title: A Bittersweet Way #3 : Jalan Yang Terlewat
Genre: Slice of Life, Drama, Romance
Author: @NVRstepback


empty road on desktopnexus.com


Jika kebohongan adalah sebilah pedang, maka tusukannya sangat mematikan. Terlebih apabila ada kepercayaan dan juga perasaan yang terkena. Semua yang semula terasa menyenangkan dan sarat senyum bahagia bisa berbalik menjadi hal yang benar-benar berbeda. Lebih dari berbeda, seperti menjadi kebalikannya.


Selama di kampus, Raka menjadi jauh lebih pendiam daripada biasanya. Tak ada lagi intimidasi yang dilakukan Randi dan gengnya. Namun jauh lebih berat, hampir seluruh penghuni akademi memandangnya dengan tatapan serupa. Tatapan menghakimi.


Tak hanya Raka, Vira yang selalu berusaha mendekati Raka perlahan mulai menyerah. Setiap kali dia berjalan dan memasuki jarak pandang Raka, selalu saja dia mendapati punggung Raka yang pergi menjauh darinya. Sampai akhirnya dia tak pernah lagi melihat Raka di akademi. Dan dia cukup yakin kalau Raka sudah cukup lelah menahan beban cacian dari seluruh warga akademi.


“Raka ke mana ya…” Vira berucap.


“Kenapa, Ra? Bukannya dia anak dari orang yang mau celakain bokap lo?” Timpal Ina, teman Vira.


“Na, kenapa sih semua anak akademi bisa langsung musuhin Raka cuma karena artikel anonym itu? Kenapa bisa dengan gampang percaya? Hal ini terlalu nggak adil buat Raka.” kata Vira. Dadanya masih terasa sakit jika mengingat bagaimana terakhir kali dia berbicara dengan Raka.


“Err… sorry deh, Ra.”


Karena tak puas dan merasa sesak dengan percakapan itu, Vira bangkit berdiri lalu berjalan pergi. Langkah kakinya menuntunnya keluar dari akademi. Menuju ke sebuah taman bermain yang berada tidak jauh dari gedung kampus. Di situ dia duduk di sebuah ayunan dengan tempat duduk yang terbuat besi dengan rantai yang berperan sebagai tali penggantungnya.


“Raka… padahal kita udah bisa ngobrol dan ketawa bareng lagi setelah sekian lama. Tapi kenapa mendadak jadi gini?” desah Vira sambil menatap benda kecil berwarna hitam yang ada di telapak tangannya. Tiba-tiba dia teringat pada Aida yang masih dirawat di rumah sakit. Tanpa berpikir lama, Vira memutuskan untuk pergi menjenguk Aida. Mengabaikan jadwal kuliah yang cukup padat hari itu.


***


“Da, gimana keadaan lo? Udah mendingan kan?” Tanya Vira kepada Aida yang masih berbaring.


“Yah, lumayan lah Ra. Udah bisa nyender, nggak harus tiduran melulu.” Jawab Aida lalu mencoba bangun dan menyandarkan punggungnya di bantal, dibantu Vira. “Makasih Ra”.


“Gimana kabar kampus?” Tanya Aida berbasa-basi. Vira tak langsung menjawab. Aida dapat melihat wajah murung Vira yang membuatnya mengurungkan kalimat tanya selanjutnya.


“Gara-gara gue, beban Raka makin berat, Da.” Kata Vira.


“Maksud lo, isu yang ada di homepage akademi? Tenang, Ra. Raka bukan orang yang bakal jatuh cuma karena hal itu.” Tanya Aida. Vira mengangkat wajahnya, kaget karena ternyata Aida sudah mengetahui hal itu. Namun untuk kalimat terakhir, dia sedikit sangsi.


“Lo… udah tahu, Da?”


“Iya lah, Ra. Tuh henpon kan masih bisa dipake, Ra.” Jawab Aida sambil menunjuk ke arah ponsel berwarna hitam. Menuntaskan rasa penasaran Vira.


“Beberapa hari lalu, Randi sempet ke sini jenguk gue. Dia minta maaf dan ngejelasin semua yang terjadi.” Lanjut Aida. Hal yang kembali membuat Vira kaget.


“Semuanya?” Tanya Vira. Aida mengangguk.


“Gue sempet nahan tawa pas lihat giginya yang ompong. Dan gue langsung tahu kalo itu gara-gara pukulannya Raka.” Kata Aida diikuti tawa kecil.


“Da, lo tahu kan kalo Raka itu kuat. Tapi kenapa waktu itu dia sama sekali nggak bales pukulannya Randi?” sebuah pertanyaan yang lama ditahan oleh Vira, kini akhirnya tersampaikan.


“Raka bukan orang yang gampang marah, Ra. Terutama kalo ada yang nginjek-injek harga dirinya. Dia bakal marah kalo orang-orang di sekitarnya, yang peduli sama dia, disakiti. Makanya dia terima semua pukulan Randi pas Randi kena hukuman skorsing, tapi langsung marah pas dia tahu kalo Randi cuma mainin gue.” Terang Aida. Vira semakin tertunduk. Ternyata ada banyak hal tentang Raka yang sama sekali tidak dia ketahui. Seolah mengetahui isi hati Vira, Aida melanjutkan ceritanya.


“Vira. Lo udah tahu kan tentang kondisi Raka yang kehilangan kedua orang tuanya pas masih kecil?” Tanya Aida yang ditanggapi dengan anggukan oleh Vira. “Jadi setelah itu, Raka tinggal dan dirawat di keluarga gue. Awalnya dia tertutup dan susah banget buat diajak ngobrol. Tapi setelah beberapa lama, dia mulai mau buka diri. Dia mulai akrab sama gue dan kakak gue, Denis.”


“Raka jadi sosok kakak buat gue karena kakak kandung gue, Denis harus pergi ke luar kota buat ngelanjutin studi. Dia yang selalu ngelindungi gue dari apapun.” Kenang Aida. Dari cerita itu, Vira pun akhirnya dapat menyimpulkan kenapa saat itu Aida begitu perhatian pada Raka.


“Aida, gue juga mau cerita sesuatu sama lo.” Pinta Vira.


***


Suasana kamar tempat Aida di rawat terasa cukup ramai. Raka yang datang menjenguknya beberapa kali menceritakan kisah lucu yang sukses membuat Aida terbahak. Namun atmosfer langsung berubah ketika topik pembicaraan diubah oleh Aida tentang Vira, yang direspon Raka dengan sinis.


"Ka, Vira udah cerita semuanya ke gue. Dia juga bilang kalau dia nyesel udah ngebongkar masa lalu yang lo simpan dalam-dalam. Well, sebenernya salah gue juga sih karena cerita banyak hal tentang elo ke dia. Tapi 1 hal yang pasti. Dia tulus sayang sama elo, Ka." Ucap Aida panjang lebar.


"Kalo emang dia tulus, kenapa dia masih nglanjutin pencarian dia tentang gue, Da?" Raka tak terima. Aida pun tersenyum.


"Setelah pertama kali Vira jenguk gue, gue sadar kalo perasaan dia ke lo begitu besar. Dan beberapa jam sebelum lo ke sini, dia jenguk gue lagi dan cerita tentang betapa kuatnya elo juga tentang artikel itu. Yah, meskipun sebenernya gue udah tahu." Kata Aida. "Dia masih nerusin penelusuran tentang masa lalu elo karena dia diancam sama Randi."


"Diancam?"


"Iya, diancam. Randi nggak ngancam bakal nyakitiin dia, tapi Randi ngancam Vira kalo dia bakal nyakitiin bahkan bunuh elo seandainya Vira nggak nerusin penelusurannya." Kata Aida. Raka tertegun mendengar semua itu.


"Dia bilang, dia lebih baik kehilangan kepercayaan dan rasa sayang dari elo asal lo selamat daripada harus kehilangan elo." Lanjut Aida. Raka semakin terdiam dan tertunduk.


"Gue tahu, Ka. Jauh di dalam hati lo, elo masih nyimpen rasa sayang buat Vira. Jadi sebelum terlambat, lo harus perbaiki hubungan lo sama dia." Kata Aida memberi nasehat.


"Maksud lo terlambat, apa Da?" Tanya Raka penasaran.


"Hari ini Vira bakal ketemu sama bokapnya yang baru balik dari Aussie. Dan dia bilang kalo bokapnya mau kenalin dia sama putra dari mendiang sahabatnya. Katanya sih udah dijodohin sejak mereka masih kecil. Dia tadi pergi buru-buru abis dapet telepon yang kayaknya dari bokapnya." Kata Aida. Tanpa berkata apa-apa, Raka segera bangkit dan akan keluar dari kamar Aida sebelum Aida menghentikannya.


"Raka!" Panggil Aida.


"Apa, Da?" Tanya Raka yang sudah berdiri di ambang pintu.


"Bawa benda kesayangan lo tuh." Kata Aida sambil menunjuk dadu hitam yang ada di atas meja.


"Ah, ini. Makasih udah jaga dadu ini ya Da. Gue pergi dulu." Raka meraih dadu itu lalu melangkah menuju pintu, tapi tiba-tiba berhenti lalu berkata, "Cepet sembuh ya, adik gue yang paling cantik."


"Iya kakak gue yang paling ganteng." Balas Aida.


Aida lega karena dia bisa membantu menjelaskan kesalahpahaman yang terjadi antara Raka dan Vira. Namun jauh di lubuk hatinya yang paling dalam, dia merasakan sakit karena kalimat terakhir yang diucapkan oleh Raka.


"Gue cuma adik yang cuma bisa support lo dari belakang. Bukan seseorang yang bisa nemenin dan selalu ada di samping lo." Bisik Aida kepada awan putih berarak di seberang jarang pandangnya.


***


November mulai mencapai akhir. Hujan semakin sering datang membelai bumi, mencoba memisahkannya dari hangat sang mentari. Genangan air pun nampak menutupi lubang-lubang di jalanan, menciptakan jebakan bagi pengendara yang tak waspada. Seperti yang dialami Raka, dia harus rela berjalan kaki setelah motornya terjebak di sebuah lubang besar yang cukup dalam sehingga membuat velg depan motornya bengkok dan harus menginap lagi di bengkel untuk mendapatkan penggantian.


"Aah, motor baru keluar dari bengkel udah masuk bengkel lagi." Gerutu Raka sambil terus melangkahkan kakinya.


Tiba-tiba ponselnya bergetar. Ternyata ada 1 pesan masuk dari nomor yang tak tersimpan di daftar kontaknya.


From: +628xxxxxxxxxx

Text: Datang ke Ventura Tower lantai 13, hari ini 1pm.


Raka melirik ujung kiri atas ponselnya dan terbelalak karena ternyata pukul 1 siang tinggal setengah jam lagi. Apalagi dia belum tahu di mana alamat Ventura Tower. Bergegas dia membuka Google Maps untuk mencari tahu letak Ventura Tower. Beruntung, jaraknya tidak terlalu jauh dan bisa ditempuh dengan jalan kaki.


Setelah berjalan-dan juga berlari-selama 15 menit, Raka pun tiba di depan Ventura Tower. Dia tak langsung masuk karena masih takjub dengan benda raksasa berbentuk persegi yang memanjang ke atas dengan permukaan hampir seluruhnya kaca yang kini menjulang di depannya. Raka sama sekali tak menyangka kalau ada gedung seperti itu di sini.


Raka berlari masuk dan bergegas mencari lift. Beruntung, dia berhasil masuk ke dalam lift yang hampir menutup. Dia pun bersandar di dinding samping lift dan menghela nafas panjang.


Bunyi 'ting' terdengar diikuti pintu lift yang bergeser terbuka perlahan. Lampu led merah yang ada di atas membentuk angka 13. Raka pun bergegas keluar dari lift. Tapi baru beberapa langkah berjalan setelah keluar dari lift, ada lengan kuat yang mengunci tubuhnya lalu menyumpal mulut dan menutupi kepalanya dengan kantong hitam. Raka bisa merasakan tubuhnya diangkat, dan karena merasa kalau usaha berontaknya sia-sia, dia pasrah.
 
"Vira..." desisnya lemah.

====

to be continued...
Share:

A Bittersweet Way #2 : Persimpangan

Title : A Bittersweet Way #2 : Persimpangan
Genre : Slice of Life, Drama, Romance
Author : @NVRstepback

http://s0.geograph.org.uk/geophotos/01/66/40/1664055_c371976e.jpg
1664055_c371976e.jpg by geograph.co.uk

Raka duduk termenung di depan ruang ICU tempat Aida berada. Saat ini dia bersama ayah dan ibu Aida yang nampak sedih dan cemas menunggu keterangan dokter mengenai kondisi Aida. Dari ujung lorong menuju ruang ICU, nampak seorang pemuda yang berlari dengan wajah panik.

"Pa, Ma, gimana kondisi Aida?" Tanya pemuda itu setelah sebelumnya meletakkan ransel besarnya.
"Dia masih ditangani sama dokter di dalam." Terang ayah Aida. Pemuda tertunduk. Lalu memalingkan pandangannya kepada Raka yang masih melamun.
"Raka! Lo janji bakal jaga Aida buat gue, tapi kenapa sekarang adik gue jadi gini, Ka?!" Hardik pemuda itu sambil menarik Raka. Tangan kanannya mengepalkan tinju. Raka tak mengatakan apapun.
"Dimas, udah! Aida kecelakaan bukan karena Raka. Justru dia yang susah payah bawa Aida ke sini." Kata ibu Aida berusaha menenangkan suasana.

Dokter keluar dari ruang ICU diikuti beberapa suster. Beliau pun berjalan ke arah ayah dan ibu Aida yang juga bergegas mendekati dokter. Sementara itu, mengetahui dokter sudah datang, Raka melepaskan cengkraman Dimas di jaketnya. Lalu dengan tatapan tajam ke arah Dimas, dia pergi tanpa berkata apa-apa. Dimas sendiri entah kenapa gemetar mendapati tatapan itu.

***

Sejak kasus insiden plagiarisme Randi yang mencuat ke permukaan, Raka mendadak menjadi buah bibir seluruh warga akademi. Tapi kini dia semakin terkenal, bukan karena punya keberanian untuk melaporkan kasus yang menyangkut anak dari salah satu dewan rektor, tetapi karena masa lalunya yang entah darimana tiba-tiba ramai tersebar di situs homepage akademi.
Bisik-bisik yang berulang kali terdengar di telinga Raka terasa panas. Langkah kakinya semakin cepat mencari celah untuk mendapatkan kesunyian. Dia menemukan sebuah tempat yang cukup tepat untuk sekedar menikmati kesepian. Bekas bengkel teknik otomotif yang ada di pojok area akademi. Tapi baru saja melangkahkan kakinya mendekati bangunan itu, seseorang menghadangnya.

"Raka." Orang itu menatap Raka dengan tatapan sedih bercampur marah.
"Vira, kok lo ada di sini?" Tanya Raka sambil berjalan mendekat.
"Kenapa lo nggak pernah cerita tentang masa lalu lo? Kenapa lo dulu bantuin gue dari preman-preman itu?" Vira melontarkan pertanyaan tanpa menghiraukan pertanyaan Raka. Mendengar kalimat Vira, Raka menghentikan langkahnya.
"Kenapa lo diem aja, Ka? Jawab gue!" Air mata Vira mulai menetes. Melihatnya membuat perasaan Raka tak keruan.
"Apa karena gue anak tunggal pemilik PT Digdaya? Atau karena..."
"Cukup, Ra!" Kata-kata Vira terhenti oleh suara keras Raka. "Gue cukup ngerti gimana perasaan lo tentang kenyataan masa lalu gue, tentang orang tua gue dan orang tua lo.
"Kebencian dan dendam terhadap PT Digdaya biar dibawa kedua orang tua gue ke alam kubur. Gue nggak mau ikutan ngebenci orang tua lo, apalagi sampe harus ngebenci lo, Ra." Raka menghentikan rentetan kalimatnya. Di saat itu juga, Raka sudah berdiri tepat di depan Vira. Dengan jelas, dia dapat melihat bulir-bulir bening menetes dari mata Vira.

Vira mendengarkan setiap kata dari Raka dengan penuh sesak di dadanya. Cerita yang selama ini dia dengar jauh berbeda. Meski dia tak terlalu mempercayainya, ada rasa benci yang berkecamuk ketika cerita tentang orang tua Raka yang ingin mencelakai orang tuanya dia dengar dari seseorang. Sementara baru-baru ini, versi lain cerita itu mengemuka. Orang tua Raka hanyalah kambing hitam dari operasi pembunuhan orang tuanya.

"Gue... gue cuma nggak mau lo nyimpen rasa sakit dan cerita pahit itu sendirian, Ka..." ucap Vira lirih diselingi isak tangis, tapi masih terdengar oleh telinga Raka.
"Gue cukup kuat untuk itu, Ra. Lo nggak perlu khawatir." Nada suara Raka kembali tenang. "Tapi... lo tahu darimana soal cerita itu?"
"Dari Aida." Jawab Vira singkat. Raka terkejut.
"Aida?" Tanya Raka. Vira mengangguk.
"Kemarin gue jenguk dia dan sempet tanya beberapa hal, termasuk tentang hubungan dia sama Randi. Awalnya dia nolak buat cerita, tapi setelah gue desak, dia akhirnya ceritain semuanya." Terang Vira.
"Terus, hubungan Aida sama Randi?" Tanya Raka penasaran.
"Itu semua cuma rekayasa Randi buat ngejebak lo, Ka." Jawab Vira. Raka terdiam. Dia tak menyangka ternyata Aida hanyalah umpan.
"Dan berkat dia, gue tahu apa yang harus gue lakuin buat ngehancurin hidup lo yang nggak berguna!" Tiba-tiba seseorang muncul dengan senyum licik di wajahnya. Randi.
"Randi? Lo..." Vira terkejut dengan kedatangan Randi.
"Makasih ya, Ra. Berkat lo dan Aida, gue jadi tahu kulit asli dari bocah ini." Kata Randi.
"Maksud Randi apa, Ra? Jangan bilang kalo..." Raka melangkah mundur sedikit menjauh dari Vira.
"Ya, bener banget, Ka. Gue yang bikin artikel tentang lo di homepage akademi. Dan semua cerita itu berkat kemampuan interogasi Vira ke Aida! Hahahaha!" Randi terbahak. Raka terhenyak. Sementara Vira hanya bisa tertunduk.
"Dan gue heran sama si Aida, Ka. Bisa-bisanya dia datangin gue cuma buat minta gue nggak gangguin elo. Dia juga mau jalanin syarat yang gue ajuin supaya mau nemenin gue jalan Tapi sayang karena dia berisik dan terlalu tahu banyak hal, dan juga pengen laporin gue ke rektorat, gue harus bikin dia diem." Kata Randi ringan. Vira terkejut dan menutupi mulutnya dengan kedua telapak tangannya. Sementara Raka semakin marah dan dadanya semakin panas.

Beberapa detik kemudian, sebuah pukulan melayang dengan cepat dan menerjang tepat di pipi kiri Randi. Dia terpental dan jatuh bergulung. Kepalanya terasa pusing, dan dia mendapati 2 giginya copot. Randi pun bergegas bangkit dan mencoba melancarkan pukulan balasan kepada Raka. Namun dengan sigap Raka menghindari pukulan itu dan mengangkat kakinya, membuat Randi tersandung dan kembali jatuh. Saat kembali berdiri dan menarik kepalan tinjunya, Randi dibuat merinding oleh tatapan tajam Raka.

"Sekali lagi lo bikin ulah dan bikin gue marah, gue bakal rontokin semua gigi lo." Ancam Raka. Ketakutan, Randi segera berlari menjauh dari situ.
"Raka..." Vira terpana melihat Raka mempermainkan Randi.
"Jadi?" Tanya Raka kepada Vira.
"Awalnya gue emang penasaran tentang siapa lo, Ka. Dan karena cerita-cerita itu, gue semakin penasaran buat cari tahu." Vira berhenti berbicara lalu melirik ekspresi Raka yang nampak kacau, lalu melanjutkan, "Tapi setelah gue kenal lo, gue mulai kehilangan alasan buat membongkar masa lalu lo karena..."
"Udah Ra. Cukup. Selama ini gue udah berusaha buat hidup ngikutin arus. Tanpa bertindak banyak hal yang nggak penting supaya gue aman dan tenang. Tapi artikel di homepage itu... arggh!" Raka memegangi kepalanya.
"Raka!" Teriak Vira panik. Tapi isyarat tangan Raka membuatnya diam.
"Gue suka sama elo, Ra. Sejak saat itu gue mulai bimbang dengan prinsip gue tentang hidup sesuai arus. Dan lama kelamaan, gue jadi sayang sama elo." Kata Raka. Mendengar hal itu, hati Vira berbunga-bunga.
"Gue..." kata-kata Vira tertahan di ujung lidah.
"Tapi maaf, Ra. Mungkin karena terlalu berharap, apa yang baru aja gue denger malah bikin hati gue sakit. Ada yang salah dengan semua ini." Raka berbalik memunggungi Vira lalu berjalan pergi.
"Gue juga sayang sama elo Raka..." bisik Vira diikuti isak tangis dan air mata yang kembali membasahi pipinya. Punggung Raka yang nampak semakin jauh dan kecil terbiaskan oleh air mata di pelupuk matanya. Membuatnya semakin sedih, semakin menumpahkan air mata. Dan mulai saat itu, arah mereka mulai mengalami persimpangan. Meski searah, sebenarnya enggan untuk berbeda jalan.

===

to be continued~

Gimana? Plot-nya makin absurd & gak nyambung? Hihihiw, sudah kuduga... 
Share:

A Bittersweet Way #1 : Arah Yang Sama

Title : Bittersweet Way #1 : Arah Yang Sama
Genre : Slice of Life, Drama, Romance
Author : @NVRstepback

http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/7/78/Coral_Way_20100321.jpg
Coral_Way_20100321.jpg by en.wikipedia.org

Kampus pusat Akademi Teknik Widya Dharma nampak lengang. Hanya nampak beberapa sepeda motor dan mobil yang masih terparkir di tempat parkir dengan jarak yang cukup berjauhan satu dengan yang lainnya. Hujan yang tadi reda tiba-tiba kembali turun. Air yang menggenangi salah satu jalan yang berlubang kembali beriak tak tenang. Suara rintik-rintik hujan yang mengenai atap bangunan kampus terdengar cukup jelas, menyamarkan suara ribut dari arah belakang gudang yang terletak di bagian belakang kantin.

"Randi, udah lah. Lagian juga nggak ada gunanya lo mukulin dia." Kata Vira mencoba menghentikan Randi.
"Diem lo, Ra. Gara-gara bocah ini, gue jadi diskors!" Teriak Randi sambil melayangkan pukulan ke arah seorang pemuda kurus di depan. Yang mendapat pukulan pun terhempas ke tembok dan tersungkur. Wajahnya penuh memar. Vira hanya bisa menutup matanya dan mengutuk setiap pukulan yang dilayangkan Randi.
"Lo udah berani ngelawan gue, itu artinya lo udah siap dapetin yang lebih dari ini!" Kata Randi lalu pergi dari situ.
"Kenapa lo tiba-tiba jadi ngelawan Randi sih, Ka? Akhirnya lo sendiri yang bonyok." Tanya Vira.
"Raka!" Gadis bernama Vira itu melepaskan payungnya dan berusaha membantu Raka yang kembali terjatuh saat mencoba berdiri.
"Terus... kenapa lo nggak ngikutin Randi pergi malah bantuin gue?" Raka balik bertanya.

Vira tak memberikan jawaban. Dia meraih kembali payungnya dan membantu Raka berjalan menuju klinik. Dalam hatinya, Vira masih merutuki keputusan Raka melaporkan tindakan plagiat Randi terhadap salah satu tugas mahasiswa. Tapi jauh di dalam hatinya, dia merasa lega karena akhirnya Raka bisa bertindak atas keputusannya sendiri. Meski beberapa hal masih sedikit mengusik pikiran dan perasaannya.

Mereka berjalan tanpa kata. Sesampainya di klinik, Vira membantu Raka berbaring kemudian membersihkan dan mengobati luka-luka Raka.

"Vira." Panggil Raka.
"Apa, Ka?" Tanya Vira.
"Makasih udah bantu gue." Kata Raka sambil tersenyum.
"Gue cuma nggak mau punya hutang budi sama orang, Ka. Jadi jangan salah paham." Ujar Vira sambil masih sibuk membersihkan luka di lengan Raka.
"Lo nggak harus sampe ngrasa punya hutang budi, Ra. Apa yang dulu gue lakuin buat bantuin lo tuh tulus, nggak perlu lah sampe lo ng...mm..." Vira membungkam mulut Raka dengan handuk basah.
"Cerewet. Mending sekarang lo diem, istirahat. Biar cepet pulih." Kata Vira menasehati. Raka pun diam.
"Ah... coba orang tua gue bukan seorang bos besar yang suka jodoh2in anaknya, pasti gue bisa bebas milih dengan siapa gue jatuh cinta." Batin Vira sambil menatap Raka.

Detik berikutnya, diam memasuki ruangan putih itu. Memasung suara Raka yang masih terbaring memegangi handuk basah untuk mengompres bengkak di sebelah bawah mata kanannya. Sementara Vira sibuk menyandarkan bahunya ke tepian jendela. Matanya menangkap satu-satu titik hujan yang berlomba menjatuhkan diri ke pelukan bumi. Cukup lama hingga tiba-tiba muncul seseorang di ambang pintu klinik sambil mengatur nafas terengah yang tak teratur.

"Raka!" Teriaknya. Raka, juga Vira pun kaget.
"Aida? Raka ada di dalam." Kata Vira saat tahu siapa yang datang.
"Lo... jangan deket-deket Raka lagi. Gara-gara lo, Raka selalu kena masalah!" Gadis bernama Aida itu tak bisa menahan amarahnya.
"Hah? Gue... kenapa gue? Emang gue ngapain, Da?" Tanya Vira.
"Apaan oy bawa-bawa nama gue?" Raka tiba-tiba muncul dari balik gorden putih penutup ruang dia tadinya berbaring. Langkahnya masih tertatih.
"Ka, gue cuma..." Aida gugup melihat Raka.
"Aida, gue kan pernah bilang kalo gue udah siap dengan semua konsekuensi dari keputusan yang gue ambil. Dan gue nggak akan nyesel." Terang Raka sambil tersenyum. Dan menahan sakit.
"Gue cuma nggak mau lo terus kena masalah yang nggak seharusnya lo terima, Ka." Aida tertunduk. Kedua tangannya terlihat gemetar. Raka menghela nafas panjang.
"Haloo... permisii... gue juga ada di sini lho... jangan main sinetron di depan gue."

Tiba-tiba Vira membuka suaranya, memecah hening yang mematung. Dia sedikit kesal karena diperlakukan seperti penonton. Dibiarkan bertanya-tanya dengan apa yang sedang dibicarakan oleh Raka dan Aida.

Tanpa berkata apapun, Raka mengangkat satu tangannya lalu menggunakannya untuk menutup mulut Vira. Dan dengan tangan satunya, dia membuat isyarat diam dengan menempelkan telunjuk ke bibirnya sambil sedikit berdesis. Tapi langsung dia lepaskan karena Vira berontak.

"Gue cuma nggak pengen lo kenapa-kenapa, Ka." Ujar Aida lalu pergi.

Aida menghilang di balik pintu klinik meninggalkan Raka dan Vira dalam hening. Ada berbagai hal yang menggelayut di pikiran mereka. Sesuatu yang baru muncul atau pun yang sudah lama tertahan dan masih enggan untuk dikeluarkan. Hal-hal yang mungkin belum bisa mereka tuangkan karena belum ada wadah yang tepat sebagai tempatnya.

"Yuk pulang." Ujar Raka singkat diikuti anggukan Vira. Dan sore itu warna jingga mencuri kilau indah pelangi.

Setelah berjalan beberapa ratus meter dengan penuh kebisuan, Raka dan Vira pun akhirnya berpisah di persimpangan tempat sebuah mini pom berdiri. Diawali lambaian tangan, mereka berjalan dengan arah berbeda. Menuju tempat yang berjauhan, satu sama lain, meski nyatanya perasaan mereka sudah searah dan sejalan. Dan ingin dekat, meski kini terhalang.

Raka terbaring lesu di atas kasur agak keras yang diletakkan atas lantai. Sesekali dia mengusap memar di wajahnya lalu teringat pada kepalan tangan Randi yang berkali-kali menghujam dirinya. Rasa sakitnya masih terasa, tapi berikutnya dia merasa lega. Keinginannya untuk bisa menjalani hidup dengan keinginannya sendiri mulai bisa terjadi. Meski beresiko harus melawan arus.

Rasa kantuk mulai menyergap tubuhnya. Beberapa saat kemudian, pikirannya pun mulai lelap dan tenggelam ke dalam lautan mimpi.

***

Kamis pagi ini terasa sedikit dingin. Raka berjalan sambil menyembunyikan tangannya di dalam kantong jaket dan menutupi kepalanya dengan kopyah. Setelah berhenti sejenak untuk membeli segelas kopi dan kehangatannya, dia kembali berjalan. Tapi baru beberapa langkah, dia terhenti. Matanya menangkap sepasang sosok yang sangat dia kenal sedang berjalan mesra.

"Aida... sejak kapan dia jalan sama Randi?" Batin Raka.

Setelah meminum habis kopi dan membuang gelas plastiknya ke tong sampah, dia pun mulai berjalan ke arah Aida dan Randi. Dengan agak terburu, Raka mencoba membuntuti "pasangan" itu. Dia menaikkan sedikit kerah jaketnya bermaksud menutupi sebagian wajahnya. Langkahnya terhenti setelah berjalan sekitar 300 meter di depan sebuah toko mainan ketika dia mendapati Aida dan Randi berbelok ke gang beberapa blok dari tempatnya berdiri. Dengan mengendap-endap, Raka berjalan ke gang itu kemudian menempelkan punggungnya ke tembok. Dia menoleh ke arah gang dan mendapati Aida dan Randi sedang berbicara dengan suasana aneh.

Dari tempatnya berdiri, dan juga ramainya suasana, Raka kurang bisa mendengar dengan cukup jelas apa yang sedang mereka bicarakan. Namun beberapa kali dia mendengar namanya disebut membuat Raka terkejut. Dia makin menajamkan indra pendengarannya agar dapat menangkap sedikit saja dari pembicaraan Aida dan Randi.

"Raka... dia bukan tipe orang yang kuat dan bisa bertahan kalo dibohongi. Apalagi sama orang yang udah dia anggap spesial." Ucap Aida.

"Oke." Kata Randi.

Raka yang daritadi fokus menguping pembicaraan "pasangan mencurigakan" itu tidak sadar kalau ada seseorang yang sedang berdiri di hadapannya.

"Raka. Lo ngapain?" Tanya seorang. Raka pun menoleh ke suara itu dan mendapati Vira yang berdiri di hadapannya.

"Vira..." Raka terkejut. Menyadari ada suara langkah kaki yang makin mendekat, tanpa babibu Raka langsung meraih tangan Vira dan mengajaknya berlari dari situ.
Aida dan Randi berdiri di tempat Raka sebelumnya, masih membicarakan beberapa detil tentang rencana mereka. Namun kemudian mata Aida teralihkan ke sebuah benda kecil yang tergeletak di sebelah kakinya. Dia pun memungutnya dan langsung mengenali benda berbentuk kubus berwarna hitam mengkilat dengan titik-titik putih di keenam permukaannya. Dadu milik Raka. Senyum tersungging di wajah Aida.

"Tadi Raka ada di sini." Kata Aida kepada Randi sambil mengamati dadu yang ada di tangannya.

Randi hanya menanggapinya dengan ekspresi datar. Aida menggamit lengan Randi kemudian berjalan. Randi pun mengikuti Aida menuju kerumunan orang yang berlalu lalang.

***

Raka dan Vira duduk berhadapan di dalam sebuah kafe yang berada di sebelah rumah Vira. Sepasang cangkir berisi cappuccino lengkap dengan kepulan asap dan kehangatannya tersaji di hadapan mereka. Tak ada satupun kalimat, kata, ataupun aksara yang membuat sepasang cappuccino itu bosan dan perlahan dingin.

"Raka, lo tadi ngapain?" Vira mencoba membuka percakapan. Raka menghela nafas.
"Gue tadi liat Aida jalan sama Randi, Ra." Jawab Raka kemudian meraih secangkir cappuccino di hadapannya lalu meminumnya sedikit. Mendengar jawaban Raka, Vira pun heran.
"Mereka jadian kali. Emang kenapa? Lo cemburu?" Selidik Vira.
"Hahahah, kayak apaan gue bisa cemburu. Aida udah kayak adik gue sendiri. Gue cuma ngrasa aneh kenapa dia tiba-tiba deket sama Randi." Terang Raka.
"Yaudah tinggal lo tanya aja kali, Ka. Daripada tebak-tebakan terus mikir yang enggak-enggak." Kata Vira datar. Raka tersenyum mendengar kalimat Vira.
"Oke deh. Makasih nasehatnya, Ra. Hari ini biar gue yang bayar." Kata Raka. Vira yang sedang meminum cappuccino-hampir-dingin pun mengacungkan jempolnya.

Setelah berada di luar kafe, Raka terhenti ketika merogoh saku jaketnya. Ada benda yang seharusnya ada di situ. Dadu hitam yang selalu menemaninya. Melihat ekspresi Raka, Vira pun penasaran untuk melempar pertanyaan. Belum sempat bertanya, mereka dikejutkan oleh suara keras dari arah jalan beberapa ratus meter dari tempat mereka berdiri.
Tanpa berkata apa-apa, mereka berdua berlari ke sumber suara itu. Di situ sudah banyak orang berkerumun yang mengelilingi sesuatu. Beberapa lainnya nampak memindahkan sebuah motor yang terlihat bengkok di bagian stang dan roda depan. Serta penyok dan goresan di beberapa bagian. Raka mendekat lalu mengamati skutermatik hitam itu. Dia langsung mengenali stiker yang menempel di bagian body sampingnya. Stiker dengan gambar bulan sabit warna kuning yang dikelilingi lingkaran dengan tekstur seperti tepian matahari. Stiker yang pernah dia desain sebagai hadiah untuk seseorang.

"Aida!" Teriak Raka lalu berlari ke arah kerumunan.

Vira tersentak mendengar teriakan Raka. Dia ikut mendekat ke arah kerumunan yang sedikit terbuka ketika Raka berusaha menerobos. Di tengah kerumunan kecil itu, sosok Aida terkapar tak berdaya dengan luka dan semburat merah darah di kepalanya. Matanya sayu. Kesadarannya perlahan hilang. Raka dengan sigap meminta pertolongan kepada orang-orang untuk segera membawa Aida ke rumah sakit terdekat. Kembali, Vira melihat sisi dari diri Raka yang tak pernah dia lihat sebelumnya.

"Vira. Maaf, gue nggak bisa pulang bareng lo. Gue..." tangan Vira yang menggenggam tangan Raka seolah memaksa Raka berhenti berkata.
"Iya, gue tahu kok Ka. Buruan lo bawa Aida supaya dia bisa segera dirawat." Ucap Vira lalu tersenyum. Hangat. Raka pun mengangguk lalu segera naik ke mobil yang sudah siap mengantar Aida ke rumah sakit.

Dari tempatnya berdiri, Vira melihat siluet Raka di balik kaca mobil yang mulai melaju menjauh dari jangkauan matanya. Setelah mobil itu berbelok dan menghilang di balik sebuah gedung, Vira berbalik arah dan berjalan pulang menuju rumahnya. Tangannya menggenggam erat ponsel yang dia sembunyikan di dalam saku jaketnya. Langkah Vira semakin cepat, seiring dengan semakin terasa panas pelupuk matanya yang kemudian menjatuhkan titik air mata. Sesaat kemudian, langit yang sedari pagi menahan mendung menumpahkan hujannya.

to be continued...
Share: