Still.. With You! -- Part - II



“An! Anna!” panggilku, tapi Anna sama sekali tak berhenti.
“Aneh.” Pikirku melihat sikap Anna. Tanpa pikir panjang, aku segera berlari berusaha mengejarnya ke kelas.
Tak lama kemudian aku sudah sampai di kelas. Ku lihat Anna sedang duduk diam di bangkunya sendirian. Dengan langkah perlahan, aku berjalan mendekatinya kemudian duduk di sampingnya. Dia nampak menyadari kehadiranku dan hendak menghindariku. Tapi segera kuraih pergelangan tangannya. Anna pun kembali duduk, meskipun dengan gestur ‘menolak’ keberadaanku.
“Anna. Dari tadi pagi sikapmu aneh banget loh. Ada apa sih? Kamu ada masalah?” tanyaku. Kulihat Anna masih terdiam.
“An…” panggilku lirih. Dan sepertinya dia memang sama sekali tak ingin bicara.
“Ya udah. Oiya, aku tadi ketemu Ira. Dia pindah ke sini.” Aku bergegas bangkit kemudian pindah ke tempat dudukku yang letaknya di belakang Anna.
Aku masih mengamati Anna, ya lebih tepatnya mengamatinya dari belakang. Meski tak dapat terlihat olehu raut wajahnya, aku bisa tahu kalau dia menyembunyikan sesuatu dariku. Tapi, apakah hanya karena dia akan pergi setelah lulus nanti? Itu terlalu berlebihan kalau Anna harus bersikap seperti ini padaku. Sial…
***
Ulangan kali ini terasa begitu lama. Entah karena aku sedang tidak konsentrasi atau memang ada yang salah dengan waktu hari ini. Tapi yang jelas terasa begitu cepat aku selesai mengerjakan soal di hadapanku ketika kusadari masih ada 30 menit waktu yang tersisa sebelum bel istirahat berbunyi. Baiklah, lebih baik aku keluar duluan.
Aku berdiri, kemudian berjalan ke meja guru, tempat Bu Vera duduk dengan tampang nenek sihirnya. Tampak ada senyum jahat yang terlempar dari mulutnya ketika aku menyerahkan lembar jawabku. Kemudian aku berlalu keluar kelas. Kusempatkan melirik Anna, tampak dia masih berkutat dengan soal di hadapannya. Sudahlah, lebih baik aku menunggunya di kantin.
“Rio!” teriak seseorang yang tiba-tiba saja sudah berada di sampingku. Ah, ternyata Ira.
“Hey, Ra. Lho, kok kamu di luar? Gak pelajaran?” tanyaku.
“Kosong Yo, daripada di kelas mending ke kantin.” Jawabnya sambil tersenyum. Aku ikut tersenyum, tapi tak menanggapinya. Huh! Seandainya yang tersenyum itu adalah Anna..
Sesampainya di kantin, aku dan Ira langsung memesan makanan dan duduk. Tak lama kemudian bakso dan es teh pesanan kami datang. Kami makan tanpa berbicara satu sama lain. Aku merasa tak enak hati pada Ira, tapi aku memang sedang malas berbicara. Dan sepertinya Ira menyadarinya.
“Yo, lagi ada masalah ya? Cerita dong.” Ujar Ira.
Aku menghela nafas, kemudian mulai bercerita, “Anna dari tadi pagi aneh banget Ra. Dia gak mau ngomong sama aku. Pas jemput dia tadi sih, pembantunya bilang kalo Anna bakal pindah ke luar negeri buat ngelanjutin kuliah di sana. Aku pura-pura diem dan berharap dia bakal cerita. Tapi sampai sekarang dia sama sekali gak cerita. Padahal biasanya kalau dia punya masalah, atau ada sesuatu, dia pasti cerita.”
Ya, dan tanpa sadar aku nyerocos panjang lebar kepada Ira. Dan Ira pun tersenyum mendengar ceritaku.
“Kamu khawatir kehilangan Anna ya, Yo?” Tanya Ira kepadaku. Hampir aku tersedak mendengar pertanyaan itu. Kehilangan Anna?
“Ah.. Eng.. Itu, bukan gitu Ra.. Tapi…” aku tergagap menjawab pertanyaan Ira tadi.
“Kamu suka kan sama Anna?” Tanya Ira lagi. Tapi kali ini mimik mukanya berubah, seperti menyimpan kesedihan yang dalam.
“Ya, mungkin.” Jawabku singkat.
“Perjuangkan perasaanmu Yo, jangan sampai kamu nyesel karena memendamnya kelamaan.” Kata Ira sambil memegang tanganku. Aku mengangguk sebagai jawaban.
“Rio..” terdengar suara lirih di sebelahku. Aku menoleh, dan ternyata…
“Anna…” ujarku. Aku segera melepaskan genggaman tangan Ira ketika Anna melihatnya. Tapi Anna lagi-lagi berlari menghindariku. Ah, sial! Tanpa permisi pada Ira aku langsung berlari mengejar Anna. Kali ini aku tak boleh memendam perasaanku terlalu lama lagi padanya, pikirku.
Aku masih berlari, tapi setelah berbelok di koridor yang mengarah ke laboratorium, aku kehilangan Anna. Ke mana dia? Aku berjalan perlahan, ketika langkahku kaki terhenti dan kakiku seolah terpasak di tempatku berdiri ketika aku melihat Anna sedang menangis tersedu di pelukan Denis. Hey! Bukankah Denis sudah memutuskan hubungan dengan Anna? Kenapa malah seperti ini? Aku tak sanggup melihatnya lebih lama, tapi tubuhku enggan beranjak. Wajahku terasa panas, entah karena rasa marah atau apalah aku sendiri tak tahu.
Tak lama kemudian Denis melepaskan pelukan Anna kemudian berjalan.. Ke arahku! Tanpa mampu berbuat apa-apa, aku melihat Denis merangkul Anna berjalan melewatiku. Ada seringai kemenangan di wajah Denis yang menyebalkan. Tatapanku sempat bertemu dengan tatapan mata Anna, tapi hanya sekilas dan kemudian bersama Denis melewatiku yang masih berdiri mematung. Tak mampu bergerak.

***
Mataku terbatas memandang batas. Terikat kuat oleh goresan luka menyayat. Hening suasana pilu yang tak bergeming. Terluka oleh ilusi yang melintas begitu saja.
***

Jam-jam pelajaran berikutnya, aku menghabiskan waktuku mengotori buku tulisku dengan gambar-gambar abstrak tak bermakna sebagai pelampiasan rasa marah, sedih, dan gundahku. Sama sekali tak ada materi pelajaran yang bisa kuserap. Mataku enggan melihat ke depan, karena tentu saja ada Anna yang ada tepat di depan mataku. ARRGHHH!!!
Dan setelah bel pulang sekolah berbunyi, aku bergegas pergi keluar kelas. Tak sanggup rasanya berlama-lama di dalam sana. Kuputuskan untuk pergi ke taman belakang sekolah. Sesampainya di sana, aku langsung duduk di bangku yang kosong. Memasang headset dan memutar music dari ponselku dengan volume yang kuat sehingga aku tak mendengar apapun kecuali music dari ponselku.
Mataku menatap kosong ke arah langit yang sedikit berawan. Gerak lambat segerombol besar awan putih menghipnotisku untuk mengamatinya. Pelan.. Lamban.. Dilengkapi dengan alunan music bertempo rendah dari headset-ku, tanpa sadar aku mengantuk dan tertidur.
“Yo. Rio, bangun! Hey!” sayup-sayup terdengar suara yang makin lama makin keras diiringi sentuhan di wajahku. Saat kubuka mataku, aku terkejut karena ada Ira yang sudah duduk di sampingku. Dan lagi, wajahnya begitu dekat dengan wajahku.
“Eh, Ira.” Ujarku kemudian bergerak agak menjauhinya. Nampak Ira tertawa kecil melihat tingkahku.
“Gak pulang Yo?” Tanya Ira.
“Bentar lagi deh Ra. Oiya, kamu sendiri kenapa belum pulang?”
“Aku tadi habis ketemu sama Bu Sinta gara-gara aku membolos waktu jam-nya.”
“Ha? Hahahah, berani banget Ra bolos pas jam-nya Bu Sinta. Ati-ati lho.”
“Hehe, iya iya Rio.”
“Eh, pulang yuk Ra. Udah mau jam 6.” Ajakku. Ira pun mengangguk tanda setuju.
Kami berdua berjalan keluar sekolah berdampingan. Ada keanehan yang kurasakan saat ini. Ya, seharusnya aku berjalan bersama Anna! Bukan Ira. Tapi, tak apalah karena sudah terlanjur begini. Mungkin besok aku masih punya kesempatan untuk meluruskan permasalahanku dengan Anna agar tak berlarut-larut, pikirku.
“Eh, Yo temenin aku makan yuk. Laper nih.” Kata Ira tiba-tiba sambil tersenyum ke arahku.
“Hah? Jam segini? Makan di mana?” tanyaku sambil mengernyitkan dahi.
“Tuh.” Tunjuk Ira ke sebuah kafe di sudut jalan. Aku hanya mengangguk.
Segera aku berjalan mengikuti Ira masuk ke dalam kafe. Suasananya cukup nyaman. Tempatnya tidak terlalu luas. Dengan desain interior yang minimalis namun rapi dan bersih. Terdengar pula alunan music klasik memenuhi seisi kafe tersebut. Yah, lumayanlah, pikirku. Setelah memesan makanan, kami segera duduk dan menikmatinya.
“Rio, itu Anna kan?” ujar Ira tiba-tiba sehingga membuatku menghentikan makanku tiba-tiba. Aku segera melihat ke arah Ira menunjuk. Setelah kulihat, ternyata benar Anna. Tapi apa yang dia lakukan di sini.
“Aku ajak gabung ke sini ya Yo, biar kita bisa kumpul lagi kayak dulu.” Kata Ira. Aku hampir tersedak mendengarnya. Tapi aku tak bisa menahan Ira karena Ira keburu berlari ke arah Anna. Aku pun segera mengalihkan fokusku ke makanan di hadapanku yang belum habis. Tak berapa lama, Ira sudah kembali duduk ke tempatnya tadi. Dan Anna duduk, tepat di hadapanku.
“Nah, sekarang kita udah ngumpul lagi.” Kata Ira dengan nada senang. Aku tak menanggapinya dan masih terus mengunyah kentang goreng dan memainkan gelas minumku. Kulihat, Anna masih tertunduk diam. Sedangkan Ira terlihat kebingungan melihat sikapku dan Anna.
“Aku permisi ke kamar kecil ya.” Ujarku kemudian pergi meninggalkan Ira dan Anna berdua.
Sesampainya di kamar kecil, segera kubasuh tanganku dengan air. Namun aku sengaja berlama-lama karena memang alasanku memang ingin menghindari Anna setelah aku melihatnya ada di pelukan Denis tadi. Setelah kupikir cukup lama, segera aku kembali ke meja. Kulihat Ira sudah sendirian. Itu berarti Anna sudah pergi.
“Lama banget sih Yo, Anna keburu pergi.” Kata Ira mendengus kesal ke arahku.
“Iya iya maaf, perutku sakit banget tadi. Jadinya ya lama.” Kataku beralasan sambil memasang senyum polos.
“Rio..” panggil Ira, kali ini dengan nada serius.
“Ada apa Ra?” tanyaku.
“Anna tadi udah cerita sama aku.” Jawab Ira.
“Cerita apa Ra?” tanyaku semakin penasaran. Aku bertanya-tanya apa yang sudah Anna ceritakan kepada Ira.
“Anna udah cerita kalau dia mau nglanjutin kuliahnya ke luar negeri. Dia juga bilang, kalo dia pengen minta maaf ke kamu karena udah diemin kamu seharian tadi.” Lanjut Ira.
“Itu aja?” tanyaku sambil memajukan badanku.
“Dia juga berharap kamu gak salah paham pas dia nangis di pelukan.. Eng.. Denis, ya Denis. Dia gak sengaja ketemu Denis dan gak bisa menghindar ketika Denis berusaha nenangin dia karena Anna bilang kepalanya tiba-tiba sakit.” Ujar Ira kemudian.
Aku menghempaskan punggungku ke sandaran kursi. Aku menunduk lesu tak mampu berkata apa-apa mendengar semua kata-kata Ira, bukan. Kata-kata Anna yang disampaikan Ira. Menyebalkan rasanya tersangkut di dalam perangkap perasaan yang rumit ini.
“Udahlah Yo, besok kan masih ketemu di sekolah. Pulang yuk, udah kenyang nih.” Kata Ira. Aku hanya mengangguk kemudian keluar bersama Ira.
***
Di dalam kamar, aku hanya rebahan sambil sesekali memeriksa ponselku. Berharap ada pesan atau telepon dari Anna. Tapi sama sekali tak ada. Dan untuk pertama kalinya, aku merindukan sosok Anna yang selalu marah-marah dan meneriakiku ‘cungkring’ ketika aku memanggilnya ‘sipit’. Momen sederhana yang sekarang sangat kurindukan. Padahal belum tentu dia merindukanku. Lagi pula aku hanya sahabatnya. Ah, benar-benar menyebalkan. Dan karena sudah tak tahan, aku pun mengirim sebuah pesan singkat ke nomor Anna..
[to: ~sipit]
Sipit.. Marahin aku dong :D
Dengan sedikit candaan, aku berharap dia membalasnya. Tapi sampai hampir tengah malam kutunggu, tak ada balasan darinya. Ya sudahlah, aku akhirnya tidur.
Keesokan harinya, aku mengecek ponsel dan tetap tak ada balasan dari Anna. Setelah mempersiapkan diri, aku bergegas berangkat dan tempat pertama yang kutuju adalah.. Rumah kediaman keluarga Anna.
Setelah sampai di sana, aku segera masuk setelah pak satpam membukakan pintu gerbang. Dan seperti biasa, ada bi Inah yang menyambutku dengan senyuman ramahnya.
“Eh, mas Rio. Mau jemput non Anna ya?” tanyanya sambil menyirami tanaman.
“Iya bi. Anna-nya udah berangkat belom?” tanyaku.
“Kayaknya belom mas. Tunggu aja, mungkin bentar lagi keluar.” Jawab bi Inah.
Tak berapa lama, kulihat Anna berjalan keluar dari pintu rumahnya. Jantung berdegup tak keruan menunggu dia mendekat dan semakin mendekat ke arahku dan bi Inah. Dan, ya! Dia sudah berada di hadapanku. Aku mendadak tak bisa bergerak.
“Berangkat dulu ya bi Inah.” Kata Anna kemudian ngeloyor keluar. Dan setelah kudapatkan kembali kesadaranku, segera aku berlari mengejar Anna.
“Anna.” Panggilku setelah aku dapat menyusul langkahnya.
Ya, ada apa Rio?” tanyanya ringan seolah tak terjadi apa-apa. Hah, ada apa ini? Kenapa seperti ini tanggapannya? Begitu ringan. Seharusnya aku senang, tapi justru aku merasa aneh dan canggung.
“Aku khawatir sama kamu An.” Kataku sambil berdiri di hadapannya. Anna pun menghentikan langkah kakinya. Dia terdiam tak menjawab kata-kataku.
“Tolong Anna, cerita sama aku. Kamu kenapa?” tanyaku sambil memegang pundaknya. Tiba-tiba saja Anna memelukku.
“Aku gak mau jauh dari kamu Rio.” Kata Anna lirih. Ya, meskipun sangat lirih, aku masih dapat mendengarnya. Reflek, tanganku langsung memeluk tubuh Anna.
“Aku juga gak mau jauh dari kamu Anna. Aku sayang kamu.” Kata-kataku begitu saja meluncur tanpa bisa kukendalikan karena aku sudah terbawa suasana. Dan yang kurasakan, tangan Anna makin erat memelukku.
“Anna.” Kataku pelan.
“Iya, Rio.”
“Kita mau pelukan sampe kapan? Ini udah jam berapa? Nanti kita telat nyampe sekolah lho.”
“Eh, eng.. Iya iya Yo, maaf.” Katanya kemudian melepaskan pelukannya. Pipinya memerah.
“Yuk, cepetan. Nanti kita bisa telat lho, jam pertama jam-nya Bu Sinta.” Kataku sambil menarik tangan Anna mengajaknya berlari.
“Yuk.” Ujar Anna pelan kemudian mengikutiku berlari.
Entah kenapa pagi ini begitu berbeda dari kemarin. Ada beban berat yang sepertinya sudah terlepas dari punggungku sehingga aku bisa bergerak bebas. Tertawa lepas dan tersenyum puas melihat Anna yang juga tampak tertawa riang.
***
“Teeett!!” Bel istirahat baru saja berbunyi. Suasana kelas yang tadinya senyap mendadak berubah riuh oleh suara siswa yang mulai mengobrol dan juga melangkah keluar menuju ke kantin. Sedangkan aku masih tetap duduk di kursiku dan mengutak-atik rumus matematika yang entah mengapa seolah menantangku dengan variable mematikannya.
“Rio, ke kantin yuk.” Ajak Anna tiba-tiba.
“Wesssss!! Annaaa…” ujarku kaget. Nampak Anna terkekeh melihat tingkahku.
“Hahaha. Serius banget sih Yo. Udah deh, itunya nanti aja. Sekarang ke kantin dulu yuk, laper nih.” Kata Anna sambil mengelus-elus perutnya.
“Iya iya. Yuk.” Aku bangkit berdiri.
Kami berjalan berdua menuju ke kantin sambil sesekali membahas materi pelajaran. Sesekali ada candaan diikuti tawa dari mulut kami. Sesampainya di kantin, kami langsung memesan makanan dan mencari tempat duduk.
“Selamat makaaan.” Ujar Anna ketika bakso dan es sirup pesanan kami datang. Tanpa menunggu aba-aba, Anna langsung melahap bakso di hadapannya. Aku hanya bisa melongo melihatnya.
“An, kamu laper ya?” tanyaku masih tak mengalihkan pandangan dari Anna.
“Banget Yo, tadi pagi gak sempet sarapan. Bangun kesiangan soalnya.” Kata Anna sambil nyengir.
“Makanya jangan begadang terus dong Anna. Jaga kesehatan, jangan sampe gak sarapan. Sarapan itu penting lho. Biar gak lemes kalo pagi-pagi ada aktivitas yang banyak.” Ujarku panjang lebar tanpa sadar.
“Rio.” Kata Anna pelan.
“Iya Anna.” Jawabku. Kulihat raut mukanya berubah serius.
“Aku gak pengen jauh dari kamu Yo. Cuma kamu yang selalu perhatian dan selalu ada buatku bagaimana pun kondisiku.” Dan tangan Anna menggenggam tanganku.
“Aku gak bakal jauh dari kamu An.” Ujarku sambil tersenyum. Namun sejujurnya aku ragu apakah bisa tetap berada di dekat Anna. Karena aku tahu, dia akan pergi jauh selepas lulus nanti. Ah! Semakin tak menentu saja.
“Anna, bisa ngomong sebentar gak?” Tanya seseorang yang tiba-tiba ada di samping Anna.
“Ngomong apa Denis?” Anna bertanya balik.
“Udah, ikut aku dulu yuk.” Ujar Denis kemudian menarik tangan Anna.
“Enggak ah, aku mau makan dulu.” Kata Anna menolak. Tapi Denis sama sekali tak melepaskan tangan Anna.
“Ayolah An.” Kata Denis lagi. Anna tak menjawabnya, hanya berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Denis, tapi tak mampu.
“Eh, jangan gitu dong. Kalo Anna gak mau, ya jangan dipaksa.” Ujarku.
“Jangan ikut campur. Ini urusan gue sama Anna.” Kata Denis tanpa menatapku. Anna masih berusaha menarik tangannya walaupun itu tak mungkin karena tenaga Denis lebih besar.
“Denis. Lepasin Anna!” teriakku karena tak tahan melihat sikap Denis. Sontak, aku menjadi perhatian semua orang yang ada di kantin.
Tanpa berkata apapun, tiba-tiba Denis melepaskan tangan Anna kemudian berjalan ke arahku kemudian.. BUGG!! Sebuah tinju yang cukup kuat melayang ke wajahku. Aku yang tak siap karena masih duduk di kursi pun terjatuh. Kepalaku membentur lantai cukup keras. Mendadak ada rasa sakit yang amat sangat menjalar memenuhi kepalaku dan pandanganku mulai kabur.
“Rio!” aku masih mendengar suara Anna dan melihatnya mendekatiku yang tak mampu bangun. Tapi semuanya semakin gelap dan aku pun tak sadarkan diri.


~ to be continued ~


Yang lagi gak buru-buru, bisa dong ya ninggalin komen di kotak komentar. Gratis kok, gak usah bayar. :p
Share:

Still.. Stuck On You! -- Part - I



“Segenap asaku yang pedih tertahan oleh jiwa pengecutku, perlahan digerogoti oleh kenyataan yang dengan lantang mengungkapkan ketidakmampuanku menghapusmu dari alur kisah hidupku…”


Hujan masih setia bernyanyi menemaniku. Nada-nada tak beraturan itu saling bersahutan satu sama lain. Aku mendengarkannya sambil sesekali mengulurkan tanganku untuk menyentuh hujan. Beberapa kali tersenyum, beberapa kali tertawa. Yah, untung saja aku sendiri. Jika tidak, aku sudah diteriaki ‘orang gila!’ hahaha.
Sore ini memang terasa lain. Hujan seperti sedang betah untuk bersenandung. Langit yang sedari tadi murung bertopeng mendung. Entah ada apa dengan mereka. Tapi, sepertinya mereka sedang ikut merayakan kesedihanku. Benarkah? Aku pun tak tahu. Tapi aku berpikir begitu, agar aku tak semakin kalut hanyut dalam sepi.
“Rio!” tiba-tiba terdengar teriakan seseorang memanggil namaku. Aku menoleh, dan kulihat seorang gadis berambut hitam panjang sedang cemberut menatapku.
“Iya.” Jawabku pendek sambil melempar senyum. Dia pun berjalan ke arahku, sambil masih cemberut tentunya. Semakin dekat dan semakin dekat. Dan…
“Aaawwww!” sebuah cubitan yang cukup telak membuat lengan kiriku lebam dan sakit tentunya.
“Ke mana aja sih, dari tadi ditungguin di kantin malah ngilang gak tau ke mana.”  Kata gadis itu sambil masih cemberut. Kali ini ditambah berkacak pinggang.
“Gak ke mana-mana sipit.” Kataku sambil mengacak-acak rambutnya. Dan kulihat, level cemberutnya sudah mulai berkurang. Tapi masih belum mau tersenyum.
“Ih, manggil aku sipit. Dasar Rio tuh cungkring.” Balasnya kemudian menjulurkan lidah. Aku hanya tertawa melihat dia seperti itu.
“Iya iya. Udah sore nih. Ujannya juga udah reda. Yuk pulang, nanti papa kamu nyariin.” Ajakku kemudian menarik tangannya. Tanpa berkata apa-apa, dia mengikuti langkahku.
Verianna A… Nama gadis yang saat ini berjalan di sebelah kiriku. Seperti aku memanggilnya tadi, matanya cukup sipit karena dia memang keturunan Jepang. Kulitnya pun putih. Rambut hitam, panjang, lurus. Wajah oriental yang sangat manis bila sedang tersenyum. Tapi sayangnya dia sangat pelit untuk tersenyum. Tapi tak apalah, yang penting aku sudah pernah melihat senyum ‘langka’ seorang Verianna Azuka. Haha.
Sepanjang perjalanan menyusuri citiwalk, aku menghabiskan waktu untuk melihat sosok Anna, begitu aku biasa memanggilnya, yang masih cemberut dan tak mau bicara padaku. Ah sial, gadis ini memang menyusahkan kalau sedang marah.
***
Sampai di depan gerbang rumahnya, Anna menghentikan langkahnya. Cukup lama dia berdiri, tidak segera masuk ke rumahnya. Aku mencoba menengok melihat wajahnya. Dan.. Demi apapun yang jatuh dari langit, aku melihat seorang Anna menangis! Hal yang cukup.. langka.
“Kamu kenapa An?” tanyaku. Anna hanya terdiam dan tertunduk. Kelihat, kedua tangannya seperti menggenggam sesuatu. Dia seperti ingin menyembunyikan benda itu dariku.
“Anna… Ada apa?” tanyaku lagi. Kali ini Anna langsung memelukku. Dan.. Aku hanya bisa diam tak bergerak. Sesekali kudengar isak tangis Anna yang berusaha dia tahan. Beberapa detik kemudian, Anna melepaskan pelukannya.
“Denis mutusin aku Yo. Dia kasih surat ini tadi, tanpa ngomong apa-apa.” Kata-kata Anna yang cukup lancar meskipun terselip isak tangisnya.
Aku meraih secarik kertas yang disodorkan oleh Anna. Kubaca sebentar. Tapi isi surat itu sama sekali tak kubaca seluruhnya. Karena yang sekarang mengganggu pikiranku adalah Anna yang sedang sedih, sangat sedih. Kami bersahabat sejak kecil, karena orang tua kami memang rekan bisnis dan juga sangat saling mengenal. Dan memang aku sudah lama memendam rasa suka, cinta, atau apalah namanya pada Anna semenjak kami masih kelas 3 SMP, dan sialnya aku masih belum bisa menghilangkan rasa itu hingga kini, kelas 3 SMA, dan hampir lulus.
“Udah An, masih banyak kok cowok di dunia ini gak cuma Denis aja. Jangan sedih yaa.” Kataku berusaha menghibur kesedihan Anna.
“Tapi Rio…”
“Move On dong sipiiit. Masa iya semangat Bushido-nya seorang Anna tumbang gara-gara diputusin seorang cowok. Ganbatte!” kata-kataku yang begitu saja terlontar, sambil tersenyum. Senyum yang agak kupaksakan.
“Cungkriiing! Berapa kali aku bilang, jangan panggil aku sipiiit!!” teriaknya sambil mencubiti kedua lenganku. Ya, kata-kataku tadi ternyata cukup manjur. Kulihat Anna tak lagi murung seperti beberapa menit tadi.
“Udah udah. Masuk sana gih, mandi terus makan. Jangan lupa belajar, besok ada ulangan lho.”
“Siap Rio cungkriing.” Katanya sambil berlari masuk. Aku hanya tersenyum melihat sosok Anna hilang di balik gerbang tinggi itu.
Sepanjang perjalanan menuju rumah, aku masih merenungkan Anna dan perasaanku padanya. Apa aku harus mengungkapkannya, atau kutahan saja? Ah.. Sial, hampir saja aku menabrak tiang listrik karena memikirkan hal itu.
Sesampainya di rumah, setelah mandi, makan, dan sholat, aku langsung melahap materi-materi yang ada di dalam buku tebal di meja belajarku. Hampir muntah ketika aku mengerjakan soal latihan matematika yang ada di buku. Dan aku tak jadi muntah ketika kudengar handphoneku berdering. Ada SMS masuk.
[from: ~sipit]
Rio, mksh ya td ud ksih smngat buatku.. J
Lumayan, pikirku, aku bisa sedikit tersenyum karena SMS Anna, dan tak jadi muntah karena soal latihan matematika.
[to: ~sipit]
Sama2 An. Ud shrusnya seorg shbat, ksh smngat bwt shbatnya yg lg down.. ^^
[from: ~sipit]
Oiya Yo, bsok jgn lupa jmput lho ya. Awas klo lupa..
[to: ~sipit]
Siap sipiiit.. dijamin gak lupa kok.. :p
[from: ~sipit]
Aaakk! Cungkring nybeliiin.. dasarr.. :@
[to: ~sipit]
:p ud, bljar sana. Ingt, bsok ulangan..
[from: ~sipit]
Iya iya, siap bos cungkring.. :p
Aku tak membalas SMS terakhirnya. Pikiranku bisa sedikit tenang karena Anna sudah bisa bercanda seperti biasanya. Kulanjutkan lagi pergulatanku dengan soal ujicoba matematika.. Fighting!
***
Keesokan harinya, seperti biasa aku datang untuk menjemput Anna. Sesampainya di rumah Anna, aku sudah disambut bi Inah, pembantu di keluarga Anna, yang sedang menyapu halaman depan. Sambil menunggu, aku ngobrol dengan bi Inah, hingga aku mendapat kabar yang cukup tak mengenakkan hati dan perasaanku.
“Mas Rio udah tau belum?” tanya bi Inah di tengah obrolan. Sontak aku kaget dan bingung.
“Apaan bi?” aku balik bertanya.
“Non Anna mau pindah keluar negeri mas Rio. Mau kuliahnya di sana.” Terang bi Inah sambil terus menyapu. Jantungku seperti berhenti berdetak selama 2 detik mendengarnya. Anna akan pindah?
“Tapi kok Anna sama sekali gak cerita ke saya ya bi.” Aku mengucapkannya sambil berusaha menenangkan tubuhku yang bergetar.
“Emang baru tadi malam mas Rio, Tuan nyuruh non Anna nerusin kuliah di luar negeri. Mungkin nanti non Anna bakal cerita ke mas Rio.” Terang bi Inah.
“Iya bi.” Kataku lemah. Beberapa menit kemudian, kulihat Anna sudah keluar dari rumahnya. Wajahnya tampak sedikit murung. Dia berjalan ke arahku dan bi Inah.
“Yuk berangkat An. Mari bi Inah.” Bi Inah hanya tersenyum dan melambaikan tangannya.
Seperti biasa, aku berjalan di samping kanan Anna. Dan seperti kemarin sore, sama sekali tak ada suara dari mulutku maupun mulut Anna. Sedikit kulirik Anna, dia berjalan sambil menundukkan kepalanya. Rambut panjangnya seolah menolak pandangan mataku untuk menatap lebih jelas wajah Anna. Saat hampir sampai gerbang sekolah, karena tak tahan, aku pun menegur Anna.
“Anna.” Kataku sambil menghentikan langkahku. Anna ikut menghentikan langkahnya, tapi masih diam saja.
“Ada apa An? Kenapa diem aja? Masih ngambek gara-gara kemarin ya?” tanyaku. Tapi Anna justru semakin menunduk. Aku coba membungkuk dan menatap ke wajah Anna. Dan… Anna menangis lagi.
“Maaf Rio.” Kata Anna singkat kemudian berlari masuk ke sekolah meninggalkanku.
Aku pun melangkah pelan melewati gerbang sekolah, kemudian berjalan menuju kelas. Pikiranku tak henti-hentinya memikirkan Anna, hingga aku tak sadar ada seseorang yang berjalan di depanku.
“Buggg!!” tabrakan pun tak terhindarkan.
“Maaf, gak sengaja.” Kataku sambil membantunya merapikan buku-bukunya yang jatuh.
Aku berdiri dan menyerahkan buku-buku di tanganku. Saat kulihat, ternyata seorang gadis. Dan cukup familiar. Aku mengernyitkan dahi ketika gadis itu hanya cengar-cengir misterius kepadaku. Dia mengambil bukunya yang ada di tanganku.
“Rio lupa ya sama aku?” tanya gadis itu. Ha? Kenapa dia tahu namaku? Siapa gadis ini?
“Siapa ya?” tanyaku, sambil masih berusaha mengingat-ingat.
“Sahabat sejati adalah mereka yang selalu ada untukmu bagaimanapun keadaanmu. Mereka ikut tertawa melihat kebahagiaanmu, dan mereka memberi semangat melihat kesedihanmu.” Katanya sambil tersenyum.
“Ira?” Ira tersenyum dan mengangguk. Aku pun teringat pada gadis ini, Ira. Sahabat yang aku dan Anna kenal ketika sedang berlibur ke rumah kakek Anna di Bandung. Tapi, ada apa dia di sini? Bukankah jarak Bandung dan Jogja cukup jauh?
“Kamu ngapain di sini?” tanyaku penasaran.
“Aku pindah ke sini Rio.” Kata Ira sambil membetulkan tumpukan bukunya.
“Loh, kok tanggung banget? Kan tinggal beberapa bulan lagi ujian.” Tanyaku, kali ini kami berbincang sambil berjalan menyusuri koridor sekolah. Kemudian duduk di bangku taman sekolah.
“Orang tuaku dipindah tugas ke sini Yo. Dan karena aku pernah denger Anna sama kamu sekolah di sini, ya akhirnya aku memutuskan pindah ke sini.” Terang Ira sambil tersenyum.
“Oh, gitu.” Ujarku pendek sambil memencet-mencet handphone-ku asal-asalan.
“Anna mana Yo?” Tanya Ira tiba-tiba.
“Dia udah ke kelas tadi.” Jawabku dengan nada lesu.
“Udah lama nih, gak ketemu kalian berdua. Pengen maen bareng lagi.” Kata Ira.
“Hahaha, iya dong. Tapi kalo ujian udah kelar pastinya.” Timpalku. Ira tersenyum.
“Yaudah, aku duluan ya Yo. Mau ke ruang kepala sekolah.” Kata Ira yang kemudian bangkit berdiri.
“Ok, ati-ati ya Ra.” Ira pun tersenyum kemudian pergi.
Ira Adinda.. Tak kusangka bisa bertemu dengan gadis riang ini di sini. Masih tetap seperti dulu dan tak berubah. Selalu membawa atmosfer menyenangkan setiap kali ngobrol dengannya. Sudahlah, tak perlu terlalu lama dipikirkan.
Aku bergegas bangkit dari dudukku untuk lekas menuju ke kelas. Saat berbalik, aku hampir melompat ke belakang karena kaget. Ada Anna yang berdiri di situ.
“Eh, Anna. Dari kapan berdiri di situ?” tanyaku sambil melangkah ke arahnya. Tapi Anna hanya diam saja dan perlahan melangkah mundur kemudian berlari pergi.

“An! Anna!” panggilku, tapi Anna sama sekali tak berhenti.

***

to be continued...


Hey YO! Butuh komentar, kritik, dan saran untuk kelanjutannya... Ayolah, jangan pelit ngisi kotak komentar.. OK? ^^,
Share:

Untitled Tragedy, The 2nd



“Semua yang aku lakukan untukmu adalah nyata. Dan aku tak akan menyesalinya. Namun satu yang tak bisa kuterima. Kau pergi karena aku tak mampu penuhi mimpimu. Mimpimu tentang sosok sempurna yang tak ada di diriku…”

“Kondisinya belum stabil. Biarkan dia istirahat terlebih dahulu. Sekarang, tolong anda ikut ke ruangan saya.” Ujar dokter kepada seorang wanita muda berbusana layaknya seorang manager perusahaan.
“Baik dok.” Ujar wanita itu kemudian berjalan di belakang dokter. Sebelum menutup pintu kamar, dia memandang tubuh lemah yang kini sedang tak berdaya, terbaring di ranjang yang ada di dalam ruangan. Sebutir air mata menetes dari ujung matanya ketika dia menutup pintu itu.
“Maafkan kakak, Sam. Kakak gak bisa jaga kamu, seperti yang diwasiatkan papa dan mama.” Batin wanita yang ternyata kakak Sam, Olivia.
Di sepanjang jalan, Olivia sesenggukan sambil sesekali menyeka air matanya. Satu hal yang sangat menyita segenap pikiran dan perasaannya, tak lain dan tak bukan adalah kondisi Sam saat ini. Tak lama kemudian, Dokter dan Olivia sudah berada di ruang dokter untuk membicarakan kondisi Sam.
***
Meanwhile, di kamar tempat Sam dirawat…
Sam ternyata sudah siuman dan kini sedang mengedarkan matanya ke sekeliling ruangan tempatnya kini berada. Sebuah ruangan yang sangat bersih, dengan dominasi warna putih. Lalu pandangannya beralih ke lengan kirinya. Nampak sebuah selang kecil yang berisi cairan bening menembus punggung tangannya. Dia berusaha untuk bisa duduk, tapi gagal karena tubuhnya masih lemah.
“Sial.” Umpat Sam.
Tiba-tiba terdengar bunyi dering ponsel. Sam menoleh ke arah suara itu. Ternyata ponselnya yang berada di atas meja. Dengan kesulitan, Sam meraihnya. Namun belum sempat berhasil teraih, ponsel itu terjatuh dan mati karena menghantam lantai dan terpelanting. Lagi-lagi, Sam hanya bisa pasrah.
Matanya menatap nanar ke arah langit-langit ruangan. Tiba-tiba muncul bayangan Ellena yang seolah menangis meratapinya. Perasaan menyesalnya muncul, tapi ternyata tak cukup untuk memberi maaf atas sakit hati yang dia rasakan. Dan kini, tubuhnya juga ikut sakit.
“Ellena.. Kenapa kisah kita harus berakhir seperti ini.” Ratap Sam lirih. Diikuti air mata yang mengalir dengan malas dari sudut matanya.
Tiba-tiba saja pintu kamar terbuka. Ternyata Olivia yang masuk. Nampak dia berusaha mengusap sisa sisa air mata di wajahnya saat melihat Sam, adiknya, sudah terbangun.
“Sam… Ada apa?” Olivia mengusap lembut rambut cepak Sam. Namun Sam hanya terdiam dan berusaha menghapus tangisnya.
“Sam, tadi Ellena menelpon kakak dan menanyakan keadaanmu. Kalian masih pacaran kan?” Tanya Olivia. Nampak senyum getir tersungging di bibir Sam.
“Sudah berakhir kak…” kata Sam pelan sambil memaksakan seulas senyuman.
“Apa maksudmu? Kalian putus?” Tanya Olivia lagi berusaha mendapat kejelasan. Tanpa berkata apa-apa, Sam hanya mengangguk. Olivia pun terdiam. Dia sama sekali tak menyangka kalau Sam dan Ellena, yang dia tahu sangat mesra dan serasi bisa putus setelah hampir 3 tahun berpacaran. Sebuah pertanyaan pun menggantung di pikiran Olivia saat ini.. Bagaimana bisa?
“Dia memilih lelaki lain kak, dia tak mampu bersabar dengan keadaanku yang sederhana. Akhirnya dia pergi bersama seorang yang jauh lebih baik dariku.” Terang Sam seolah mengerti pikiran Olivia.
“Padahal aku berencana melamarnya setelah aku wisuda 2 bulan lagi. Menyedihkan ya kak.” Lanjut Sam.
“Kuatkan hatimu Sam. Mungkin Ellena bukan yang terbaik untukmu, sehingga Tuhan memisahkan kalian. Bersabarlah.” Hibur Olivia.
Sam tersenyum mendengar perkataan kakaknya. Dan kini ada sedikit pilu yang terhapus, ada sebilah sunyi yang pergi karena kehadiran kakak yang sangat dia sayangi, kakak yang sangat menyayanginya, kakak yang dulu sempat dia sakiti hatinya.
“Kak.” Panggil Sam. Olivia yang sedang menatap ke luar jendela pun menoleh.
“Ada apa Sam?”
“Maafin Sam kak, dulu pernah menyakiti hati kakak.” Ucap Sam lirih tanpa tenaga.
“Iya Sam. Yang berlalu biarlah berlalu. Sekarang cepatlah sembuh, dan segera bangkit.” Ujar Olivia sambil tersenyum.
Namun tak lama berselang Olivia harus segera kembali ke kantor karena ada rapat yang harus dia pimpin. Dengan agak berat hati, Olivia pergi meninggalkan Sam sendirian di dalam kamar.
“Kalau seandainya Ellena bertanya tentangku, tolong katakan padanya aku baik-baik saja kak.” Ujar Sam ketika Olivia akan keluar kamar. Olivia pun mengangguk dan tersenyum, kemudia menutup pintu kamar.
Dan sunyi kembali menghampirinya. Namun hati dan otak Sam justru menikmatinya. Indahnya kesunyian yang menenangkan. Merdunya kesepian yang bernyanyi memenuhi seisi ruang kamar, membuat Sam perlahan terlelap ke dalam dimensi ilusi mimpi. Semakin jauh memasuki alam bawah sadarnya, dan menampakkan sepotong ingatan yang terbalut kebahagiaan usang di hadapannya.
***
“Sam, apakah kau tak pernah merasa keberatan melakukan berbagai macam permintaanku?” Tanya Ellena sambil memandang iring-iringan awan di langit senja.
“Kalau kau bertanya seperti itu, berarti kau tidak mempercayai ketulusan hatiku.” Ujar Sam ringan. Ellena pun tersenyum lalu memeluk erat Sam.
“Aku sangat beruntung bisa bersamamu, Sam.” Kata Ellena.
“Dan aku berharap kita bisa bersama selamanya Ellena. Tak terpisahkan.” Kata Sam sambil menatap lekat mata Ellena.
“Tak terpisahkan..” sambung Ellena.
***
Ellena duduk sendirian di teras rumahnya. Pikirannya nampak kalut karena ucapan selamat tinggal Sam. Tangannya menggenggam sepucuk surat dari Sam. Ingin sekali dia membukanya, tapi ada perasaan yang menahannya. Perasaan yang masih percaya bahwa Sam tak akan pergi menghilang darinya. Berkali-kali Ellena menelpon Sam, tapi nomornya tak pernah aktif. Kekhawatirannya yang tak tertahan pun membawa hatinya memutuskan untuk datang menemui Olivia, kakak Sam.
Setelah membuat janji sebelumnya, Ellena pun dapat bertemu dengan Olivia di sebuah restoran di dekat kantor Olivia. Suasana ketika berhadapan dengan Olivia yang dirasakan Ellena pun seolah berubah canggung semenjak dia dan Sam tak bersama. Lidahnya seakan kelu ingin memulai pembicaraan dengan Olivia. Melihat sikap Ellena yang tidak biasa, dan apa yang telah diceritakan Sam tentang hubungan Sam dan Ellena, Olivia pun membuka obrolan.
“Ellena. Ada apa kau mengajakku bertemu? Apa ada hal penting?” Tanya Olivia bertingkah seolah tidak tahu tentang berakhirnya hubungan Ellena dan Sam.
“Eh, kak Oliv. Anu kak.” Ujar Ellena gugup.
“Ada apa?” Tanya Olivia lembut.
“Begini kak. Apakah Sam baik-baik saja? Aku berusaha menghubunginya tetapi ponselnya tidak pernah aktif. Dia baik-baik saja kan kak?” Tanya Ellena dengan raut wajah khawatir.
Olivia menghela nafas panjang dan tidak langsung menjawabnya. Di hatinya berkecamuk rasa iba untuk Sam dan rasa iba untuk Ellena. Dan Olivia pun tak sanggup melihat Ellena yang sangat khawatir pada keadaan Sam.
“Ellena, apa benar kau dan Sam sudah putus?” Tanya Olivia. Ellena kaget.
“Sam menceritakannya padaku, jadi kau tak perlu kaget.” Lanjut Olivia. Mendengarnya, Ellena pun menunduk.
“Benar kak. Aku sudah menyakitinya dengan memilih pria lain.” Jawab Ellena lirih.
“Lalu?” Tanya Olivia lagi.
“Lalu aku menyadari bahwa Sam adalah pria yang sempurna bagiku kak. Meskipun dia sederhana, tapi kesederhanaannya adalah kesempurnaan yang tidak dimilliki pria lain.” Ujar Ellena sambil menahan air mata. Olivia pun mulai mengerti, dan sedikit tersenyum mendengar jawaban Ellena.
“Apakah kau masih mencintai Sam, Ellena?” Tanya Olivia dengan nada tegas.
“Aku masih dan akan tetap mencintai Sam kak.” Jawab Ellena. Kali ini dia tak mampu menahan air matanya.
“Baiklah, sekarang ikutlah denganku.” Ujar Olivia sambil berdiri dari tempat duduknya diikuti Ellena.
***


to be continued....
Share:

#MyThirteenWords | It Was Just STARTED...




“Such a bit short story. The most complicated one. With so much fun & laugh. But, with a bad epilog. Ended with no words & silence.”

Aku masih sibuk menata file-file dan folder-folder yang memenuhi partisi D di notebook-ku. Memilih dan memilah mana yang masih layak disimpan dan mana yang harus dihapus. File materi kuliah, hampir semuanya sudah kusendirikan. Tinggal file-file film, musik, dan aplikasi yang masih tercecer dan tak terorganisir dengan baik.
Tak terasa hampir 3 jam waktu kuhabiskan hanya untuk menata file dan folder. Saat hampir selesai, tanganku berhenti menggerakkan mouse dan mataku terpancang pada sebuah folder yang hampir aku tak ingat pernah memilikinya. Sebuah folder bernama “Sastra_”, berisi cukup banyak file dokumen yang hampir semuanya adalah cerpen ataupun cerbung. Entah itu karyaku atau karya orang lain yang sengaja ku simpan.
“Ini…” ucapku tiba-tiba ketika mendapati sebuah file yang dulu pernah sangat aku kenal. Penulisnya yang dulu sangat aku kenal.
“Rara…” tiba-tiba saja ingatanku membawaku ke masa silam. Masa yang pernah membuatku sangat bersemangat untuk menulis. Masa di mana aku pernah mengenal sesosok gadis ceria yang sangat cerdas merangkai bait kata. Seorang gadis bernama Aira Tribuanaputri, yang lebih aku kenal dengan nama Rara. Ya, Rara….
[ - - - - - ]
Malam sudah cukup larut, tapi aku dan Farhan masih sibuk di depan notebook masing-masing. Entah apa yang sedang dia kerjakan. Suasana rumah kontrakan pun cukup sepi karena tinggal aku berdua dengan Farhan yang ada. 3 orang teman kami yang lain sedang mengikuti acara pendakian massal bersama organisasi pecinta alam di kampus.
“Yo, tugas desain web lo udah jadi?” Tanya Farhan tiba-tiba yang membuyarkan konsentrasiku untuk melakukan hobiku, menulis cerpen.
“Sialan lo han, bikin inspirasi gue ilang aja. Belom, emang kenapa?” agak sewot aku menanggapi Farhan.
“Deadline-nya tinggal 2 hari lagi Rio. Ah, elo nulis mulu. Harusnya elo tu masuk sastra, bukan informatika.” Terang Farhan sambil melayangkan jitakan ke kepalaku.
“Eh, sakit Han. Lha gimana, ini hobi gue. Susah banget buat ninggalinnya. Hahaha.” Jawabku ringan. Farhan hanya melengos kemudian berjalan keluar rumah.
“Han, mau ke mana?” tanyaku setengah berteriak.
“Mau ke tempatnya mas Haris, beli makan. Kenapa?” Farhan menghentikan langkahnya.
“Beliin gue es jeruk dong, sama gorengan. Nih duitnya.” Aku segera bangkit dan memberikan uangku kepada Farhan.
Setelah menerima uang dariku, Farhan pun pergi. Tingggal aku sendiri di rumah kontrakan yang cukup luas ini. Aaah, akhirnya aku mendapatkan sedikit kesunyian untuk menulis. Segera saja aku mulai memenuhi halaman demi halaman di OpenOffice.Writer di hadapanku dengan begitu banyak kata dan kalimat. Menyenangkan rasanya ketika inspirasi baru selalu muncul saat aku membutuhkannya.
“Nih, pesenan lo.” Tiba-tiba saja muncul sodoran es jeruk dan gorengan di depan wajahku. Hampir aku melompat kaget mendapati Farhan sudah berada di hadapanku dengan tampang galaknya.
“Lo kayak setan ya Han. Tiba-tiba nongol gitu aja.” Celetukku.
“Eh, cungkring. Elo tu keasyikan pacaran sama notebook, sampe lupa gimana rasanya pacaran sama orang.” Timpal Farhan. Ah sial, dia membuatku terpaksa mengingat hal buruk yang pernah terjadi.
“Iya juga sih Han. Dulu gue diputusin sama si Yuna gara-gara keseringan nongkrong di depan notebook daripada nongkrong sama dia.” Ucapku lesu.
“Ahahahaha. Dasar cungkring, gitu aja galau. Inget, udah hampir 2 bulan elo putus. Gak usah galau gitu lah.” Ujar Farhan sambil tertawa. Aku hanya ikut tertawa pedih, kemudian melanjutkan aktivitasku.
Sudah 2 jam lebih, dan akhirnya cerpen terbaruku selesai. Aku menengok ke arah Farhan, dan kudapati dia sudah tak sadarkan diri. Padahal notebook-nya masih menyala. Aku melihat ke layar notebook-nya dan ternyata tak ada desain web yang sedang dia buat. Justru Google Chrome serta beberapa tab yang menampilkan akun Facebook serta Kaskus-nya. Aku pun mendapatkan sebuah ide.
“Kesempatan nih mumpung si Farhan molor.” Segera ku disconnect koneksi modem di notebook Farhan, aku cabut modemnya, dan ku pasang di notebook-ku. Akhir bulan tanpa pemasukan ekstra membuatku harus rela tidak mengisi pulsa modemku, sehingga dengan terpaksa harus memakai modem Farhan untuk bisa memposting cerpenku ke blog.
Hampir tengah malam, dan semakin sunyi. Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya aku selesai memposting cerpen baruku ke blog dan men-share di facebook. Ingin rasanya menyusul Farhan untuk tidur, tapi sayangnya mataku masih enggan terpejam. Akhirnya aku putuskan untuk melanjutkan browsing. Siapa tahu aku bisa mengantuk dan akhirnya tidur.
Mataku sudah mulai berat, tanda kantuk mulai menyerangku. Tiba-tiba suara notifikasi dari Facebook menghalau kantukku.
“Gila, jam segini ada yang komen.” Aku pun sedikit terkejut karena ada yang mengomentari link cerpen baru yang aku share di Facebook tadi.

Aira: Cerpennya bagus kak Yo, ditunggu karya terbarunya. :D

“Aira? Siapa nih..” aku pun penasaran. Dia memanggilku ‘Yo’, padahal hanya orang-orang yang sangat mengenalku saja yang memanggilku begitu. Teman-teman kampus pun memanggilku Rio.

Rio: Makasih Aira… :)

Aku pun tak terlalu ambil pusing dengan hal itu. Saat akan bergegas tidur, suara notifikasi Facebook-ku kembali berbunyi. Dan.. Aira lagi.

Aira: Cek tulisan2ku juga dong kak Yo, di blogku –MyThirteenWords- dikomen ya kak, makasih.. :D
Rio: OK Aira… :)

Aku pun segera beranjak tidur karena sudah sangat mengantuk. ‘Thirteenwords’, ah lain kali saja aku membukanya.
***
Kuliah baru saja berakhir. Pak Darwis dan seluruh teman-teman sekelasku sudah keluar meninggalkan lab komputer. Tinggal aku sendirian masih duduk asyik dengan notebook-ku. Masih malas rasanya untuk beranjak dari tempatku sekarang. Tiba-tiba ada ide yang datang dan menghampiriku.
“Coba kubuka ‘MyThirteenWords’.” Ujarku dalam hati.
Dengan memanfaatkan fasilitas WiFi kampus, tak butuh waktu lama untuk memuat halaman blog ini. Tampilannya sangat sederhana, tapi menarik. Tidak terlalu banyak widget di dalamnya, sehingga daftar postingnya dapat dengan mudah terlihat. Segera saja aku membuka satu demi satu posting di blog ini. Sebagian besar berisi cerpen, sama dengan blog-ku. Ada pula beberapa posting berupa puisi. Dan sebuah puisi singkat yang langsung mendapatkan perhatianku.

Kau datang dan pergi dengan kesunyian bersamamu..
Kau datang dan pergi dengan kehampaan di sekitarmu..
Kau datang dan pergi dengan goresan luka di hatiku..
Dan taukah engkau? Sampai kini pun kau kucinta dan kubenci sepenuh hatiku..
Dengan satu rasaku yang bertahan untukmu.. Satu rasa bernama cinta…

Aku kagum dengan rangkaian kata yang ada di karya-karyanya. Aira, langsung saja kutinggalkan komentar di blog-nya.

Rio: Aira, tulisanmu bagus. Penuh makna & indah. Salut! 2 thumbs up! :)

***
“Yo, ada yang nyariin lo tuh.” Panggil Farhan. Aku yang daritadi bermalas-malasan di atas kasur pun bergegas bangkit.
“Hai Rio.” Sapa orang itu.
“Eh.. Eng.. Hai, Yuna.” Aku membalas sapaan Yuna dengan agak canggung.
“Wah, bawa apaan nih Yun? Kayaknya enak nih, makasih yaa.” Kata Farhan tiba-tiba yang entah darimana datangnya sudah duduk di sebelahku sambil mencomot kue brownies yang dibawakan Yuna.
“Oiya Yuna, ada apa dateng ke sini? Tumben.” Tanyaku dengan nada malas.
“Aku pengen ngomong sesuatu ke kamu Rio.” Ujar Yuna dengan suara agak lirih, namun masih cukup terdengar di telingaku.
“Tentang kita.” Lanjut Yuna. Aku tersentak. Farhan pun hampir mati tersedak oleh brownies yang sedang dia makan.
“Aduh, gue permisi aja deh. Mau bahas hal privat nih kayaknya.” Farhan pun ngeloyor pergi.
Tinggal aku dan Yuna yang duduk saling berhadapan. Tanpa suara. Sunyi. Nampak ada sesuatu yang ditahan oleh Yuna untuk diucapkan. Entah apa itu. Aku sendiri, enggan untuk membuka mulutku. Meskipun aku tahu, aku masih memendam rasa pada Yuna, aku sedang ingin sendiri dan menikmati hidupku.
“Rio, maafin aku ya, udah ninggalin kamu..” Yuna pun mulai berbicara, tapi masih belum jelas arah pembicaraannya.
“Yuna, langsung aja deh. Gue gak ngerti nih.” Ujarku. Terlihat Yuna sedikit kaget mendengar ucapanku yang seenaknya.
“Aku mau kita balikan Yo.” Ucap Yuna sambil menatapku. Aku pun kaget mendengarnya. Sudah cukup lama dia menelantarkanku, tiba-tiba datang dan mengatakan ingin balikan. Di satu sisi, aku sangat ingin. Tapi di sisi lain, aku tak tahan dengan sikapnya yang egois dan keras kepala.
“Maaf Yuna. Gue kayaknya gak bisa. Gue pengen nikmatin hidup gue dulu. Gue pengen ngurus hidup gue dulu, supaya lebih tertata. Maaf banget ya.” Terlihat Yuna menunduk dan diam. Aku bisa pastikan dia menangis karena aku sangat mengenalnya.
“Mungkin di lain kesempatan Yun, kita bisa balikan lagi. Tapi bukan sekarang.” Lanjutku.
Setelah mendengar kalimat terakhirku, Yuna lantas berdiri dan berlari keluar. Ingin kususul, tapi tak ada gunanya karena memang aku tak berhak melakukan apapun atas hidupnya kini. Tiba-tiba dari belakang, muncul Farhan yang kemudian duduk di sampingku, mengeinterogasiku.
“Eh, sumpah lo Yo gak mau balikan sama Yuna? Dia kan cantik, baik, pinter lagi. Anak-anak cowok sastra banyak banget yang ngantri buat jadi pacar dia.” Cerocos Farhan.
“Serius gue Han, gue pengen bisa ngebahagiain diri gue dulu.” Jawabku.
“Yakin lo? Ntar ujung-ujungnya galau. Trus curhat sama gue.” Ejek Farhan.
“Eh kunyuk, kalo lo mau, ambil aja sono tuh si Yuna. Gue bakal sembah lo kalo lo bisa bertahan sama sikap dia. Mending galau gara-gara jadi jomblo Han daripada galau gara-gara punya pacar tapi kayak gak punya. Nyesek lahir batin.” Terangku panjang lebar. Kali ini Farhan hanya bisa melongo.
Aku bergegas kembali ke kamar dan menyalakan notebook, memasang modem dan mulai browsing untuk menghilangkan penat. Masih sedikit sesak rasanya dadaku menghadapi Yuna tadi. Sampai-sampai Farhan jadi kena semprot karena bertanya tentang Yuna.
“Eh, ada pesan baru ternyata.” Ujarku ketika aku membuka akun Facebookku. Ternyata dari Aira.

Aira: kak Yo, apa kabar? Makasih ya udah kasih komentar di blog-ku. :D

Aku pun segera membalas pesan itu.

Rio: sama2 Aira, oiya dari kemaren aku penasaran loh, kamu siapa sih? Kok kayaknya kenal banget sama aku? :p

Aneh juga, pikirku. Sepertinya aku belum pernah mengenal orang yang bernama Aira. Tapi sepertinya dia sangat mengenalku. Sebagai pelampiasan, segera kutulis beberapa bait puisi terkait dengan rasa penasaranku dengan sosok bernama Aira ini.

Siapakah dia? Bayangnya mendarat pelan di pelupuk otakku..
Siapakah dia? Rajut katanya terdengar pelan di ujung telingaku..
Siapakah dia? Gores kalimatnya terbaca jelas di batas pandangku..
Begitu dekat nampaknya.. Tapi kenapa aku seperti tak mengenalnya?

Puisi singkat, segera ku post ke blog. Ku rebahkan tubuhku ke kasur dan mencoba mengingat apakah aku pernah bertemu dengan Aira. Tiba-tiba suara notifikasi Facebook berbunyi. Segera aku beralih kembali ke depan notebook. Dan ternyata Aira sudah membalas pesanku tadi.

Aira: aah, dasar kak Yo.. Cakep-cakep kok pikun sih.. (-_____-“)

Aku hanya tersenyum membaca pesan dari Aira. Segera saja kubalas.

Rio: ciyus nih Aira, aku lupa… Makasih loh udah dipuji cakep, tau aja kamu.. =D
Aira: duh, salah ngomong deh aku.. Maksudnya ngejek kok malah yg diejek kege-eran gitu sih.. (-_____-“)
Rio: udah deh, aku emg cakep kok =D Eh, kok jd OOT sih.. Kasih tau lah, spya aku gak pnasaran nih… :|
Aira: iya deh iya, kak Yo yg cakep tapi pikun.. Err.. kakak masih inget sama nama ‘Rara’?

Rara… Ah, baru aku ingat, Rara. Gadis tomboy yang dulu pernah aku kerjai ketika MOS semasa SMA karena dia tidak memakai atribut lengkap. Lalu ku hukum untuk menulis dan membaca puisi romantis di depan panitia. Eh, tapi apakah benar dia? Pikirku.

Rio: bntar deh.. Rara si tomboy yg dulu bacain puisi di depan panitia MOS SMA Satya?
Aira: iya bner kak Yo :D  tapi knpa yg diinget pas itu sih.. Dasar (-_____-“)
Rio: maklum, penggemarku kan bnyak.. =D Eh, baru tau loh klo namamu tuh Aira..
Aira: amit2… (-_____-“) Nahlo, namaku bgus ya kak Yo? Makasih.. =D
Rio: tulisan2mu yg bagus.. :)
Aira: masa?? Aduh, makasih loh kak…

Ya, entah berapa lama aku menghabiskan waktu untuk chatting dengan Aira, maksudku Rara. Ada-ada saja anak ini, kata-katanya terkadang pedas tapi bisa membuatku tertawa. Sama sekali tak mencerminkan sosoknya yang ada di balik tulisan-tulisan sendu di blognya. Ah, semakin penasaran rasanya ingin mengetahui lebih jauh siapa Rara.
Tapi entah kenapa sepertinya waktu sedang ingin menjadi tokoh antagonis di ceritaku. Perkenalanku dengan Rara yang baru saja terjadi tak bisa berlangsung lama. 1 bulan bisa bertukar cerita dan inspirasi dengannya, aku harus melupakan sosoknya yang bahkan belum sempat kulihat bagaimana rupanya sekarang. Hanya tulisan-tulisan yang masih selalu aku baca. Blognya yang masih setia kuikuti pembaruannya.

#DearYou

Aku masih mengeluh dalam bayang..
Aku masih mencaci dalam angan..
Aku masih mencari dalam kenangan..
Sebuah kisah tak tertulis yang indah..
Sebuah kata tak terucap yang merdu..
Sebuah tawa tak terdengar yang senyap..

always here for you, always here loving you, always here waiting for you

-MyThirteenWords-

Butuh sedikit support buat lengkapin cerpen ini. Masih ada bagian inti yang belum tertulis di sini. Dear reader, atau siapapun yang ngebaca cerpen ini, tolong kasih komentar ya.. Sangat butuh support, komentar, kritik & saran...
Share: