Heartbeat Memory #1 - Sesuatu yang Terlupakan


http://images.8tracks.com/cover/i/002/797/444/lost-star-night-dark-3402.jpg?rect=0,0,500,500&q=98&fm=jpg&fit=max


Heartbeat Memory

#1 - Sesuatu yang Terlupakan

"Berhenti!" pekik seorang gadis yang terduduk lesu di sudut sofa. Teriakan itu seperti membutuhkan energi yang besar, membuatnya semakin lemah. Tangan kanan seseorang yang tengah menggenggam gagang pintu itu pun menunda gerakannya.
"Maaf, aku tidak ingin menyakitimu lebih dari ini," kata pemuda kurus itu tanpa mengalihkan pandangannya.
"Tapi ....," Gadis itu nampak kepayahan melanjutkan kalimatnya. Wajahnya nampak sangat pucat. Mata sayunya sesekali dapat menatap kepulan asap tipis dari 2 gelas teh hangat di hadapannya yang belum sempat diminum. Tubuhnya pun tak dapat dia gerakkan, seperti ada sesuatu di dalam tubuhnya yang mencoba mengambil alih kendali dirinya. Menggerogoti setiap jengkal kesadaran dirinya. Perlahan secara paksa menariknya ke alam mimpi.
"Aku mencin-" Kalimat itu ditutup dengan suara tubuh gadis itu yang beradu dengan sofa. Pemuda itu menghela nafas lalu menarik pintunya ke arah dalam.
"Aku pun merasakan hal yang sama denganmu."
Segera, tubuh setinggi 170 cm itu melewati pintu. Meninggalkan sosok gadis yang terlelap dalam mimpi yang tak diharapkannya. Ada aliran air mata yang tersamarkan oleh kegelapan yang memenuhi ruangan itu. Hingga fajar mulai mendaki langit timur, pemilik mata beriris biru itu terbangun dalam kebingungan. Dia hanya menangkap siluet yang menghalangi sinar matahari pagi berdiri di seberang meja.
"Emilia, kenapa kau tertidur di sini? Ya ampun. Kau benar-benar pandai membuat orang lain khawatir." Suara berwibawa itu perlahan menuntun kesadaran Emilia kembali. Sosok itu berjalan mendekati sofa tempat Emilia duduk, mengizinkan matahari menyoroti wajah khas asia serta rambut ikal pendeknya.
"Ren. Aku ... aku tak tahu. Aku tidak bisa mengingat apa-apa," kata Emilia lirih sambil memegangi kepalanya yang tiba-tiba berdenyut. Sakit. Emilia benar-benar tidak bisa mengingat kejadian semalam, tapi samar-samar, ada ingatan tentang sesuatu yang mengganggunya.
"Ayo, teman-teman di kamp sudah menunggu," ujar pemuda bernama Ren itu sambil mengulurkan tangannya.
Tanpa mengatakan apapun, Emilia meraihnya. Ketika tangannya menyentuh tangan Ren, di dalam kepalanya muncul bayangan seseorang. Samar. Emilia terdiam berusaha meraba ingatan kabur itu. Hal itu membuat Ren bingung melihat sikap Emilia.
"Emilia." Ren memanggilnya. Emilia tersentak.
"Ah, maaf. Ayo kita segera kembali."
***
Akhir-akhir ini Emilia lebih sering termenung. Entah sudah berapa kelas dia lewati hanya dengan duduk diam tanpa melakukan apapun. Tak ada pertanyaan-pertanyaan kritis yang dia lontarkan seperti biasa ketika dosen selesai menyampaikan materi. Hal ini cukup mengusik seorang gadis yang duduk tepat di sebelah Emilia.
"Emi. Emiii. Ada apa denganmu? Setelah ikut kamp pelatihan klub astronomi, kau jadi aneh." Rika, sahabat Emilia, membuka obrolan setelah beberapa menit dia sebal menatap Emilia hanya mengaduh-aduk minumannya.
"Eemiiii!" Suara cempreng Rika yang cukup keras membuat Emilia tersentak dari lamunannya.
"Eh, kau memanggilku?" tanya Emilia. Kali ini Rika memalingkan wajahnya. Pipinya memerah.
"Rika, maaf. Aku hanya sedang bingung," kata Emilia.
"Ceritakan padaku. Bukankah aku ini sahabatmu?" Kalimat retorik Rika membuat Emilia tersenyum.
"Aku melupakan sesuatu, Ka. Sesuatu yang sangat penting." Emilia mulai bercerita. Rika mengernyitkan dahi.
"Sesuatu?" tanya Rika penasaran.
"Entahlah, seperti ada setengah dari ingatanku menghilang. Tentang seseorang."
Pandangan Emilia menembus kaca jendela kantin. Sementara itu Rika masih menelaah cerita Emilia, tiba-tiba dia teringat sesuatu.
"Saga."

***


Suasana malam di bukit benar-benar berbeda dengan suasana kota yang letaknya tak lebih dari 1 kilo. Benar-benar gelap. Tapi hal ini sangat Emilia sukai. Ketika berada di tempat terbuka yang gelap tanpa sedikitpun polusi cahaya, matanya bisa dengan mudah memandangi lukisan berkilau di langit. Titik-titik cahaya yang tersebar tak beraturan, tapi dapat menciptakan keindahan. Bukan susunan yang ditata secara rapi dan teratur. Kadang definisi manusia tak cukup mewakili sebuah makna.
"Emi. Teleskopnya sudah siap." Suara itu membuat Emilia menoleh. Dia berjalan mendekat.
"Kenapa kau tidak tinggal saja di sini? Bukankah melelahkan harus menempuh jarak yang cukup jauh setiap hari hanya untuk datang ke bukit ini?" tanya Emilia. Mata beriris birunya tengah sibuk mengintip lensa teleskop.
"Aku tak punya rencana untuk menetap. Lagi pula ...." Kalimatnya menggantung.
"Lagi pula?" tanya Emilia. Kali ini dia menatap lekat lawan bicaranya.
"Ada vila kecil yang biasa kugunakan untuk bermalam jika terlalu lelah." Kalimat itu ditutup oleh seulas senyum yang memamerkan jajaran gigi yang putih terawat. Emilia terkesima.
Malam ini bulan bergerak lambat. Sepertinya dia tak ingin ketinggalan untuk unjuk gigi dari cahaya-cahaya kecil di sekelilingnya. Scorpio mulai meredup dan perlahan hilang. Bersamaan dengan itu, sang pemburu, Orion, muncul membelah langit. Mata Emilia tak lepas dari teleskop berwarna putih itu. Setelah puas melihat kilatan meteor orionid yang saling berlomba, Emilia merebahkan dirinya ke rerumputan. Menatap nanar ke arah bintang yang begitu jauh jaraknya.
"Bintang adalah cahaya dari masa lalu." Emilia menggumam.
"Karena mereka bisa saja sudah mati dan yang kita lihat saat ini adalah hasil pantulan cahaya yang baru tiba dari masa lalu, bukan?" timpal sosok yang ada di sebelah Emilia. Emilia mengangguk.
"Tolong temani aku sampai Venus muncul," ucap Emilia tanpa memalingkan wajahnya.
"Tapi ... bagaimana dengan teman-temanmu? Tentu mereka akan khawatir jika kau tidak kembali."
"Saga, aku mohon." Ada air mata yang tumpah. Membuat suasana semakin hening.
"Bahkan cahaya tercepat pun membutuhkan waktu untuk bisa menjangkau sebuah jarak. Setidaknya, beri aku sedikit waktu untuk bisa menutup jarak kita." Emilia terisak.
"Bahkan jika aku memberikan seluruh waktuku, hal itu tidak akan pernah cukup untuk memangkas jarak kita," kata Saga sambil masih menatap langit.
"Saga ...."
"Maaf," kata Saga sambil mengusap kedua matanya, "aku akan menemanimu, malam ini. Hingga Venus muncul."
***
"Emi, apa kau yakin? Di sini gelap sekali. Aku takut," tanya Rika gemetaran.
"Kita sebentar lagi sampai. Ah, itu dia!" Emilia menunjuk ke arah sebuah vila berwarna putih. Di sekelilingnya terdapat berbagai macam tanaman hias. Begitu bersih dan terawat. Lampu terasnya menyala, sementara bagian dalamnya nampak gelap sempurna.
Setelah menarik napas lalu membuangnya, Emilia mendorong pintu ganda tersebut. Tak terkunci. Dengan lancar, pintu itu terbuka. Cahaya bulan yang tak lagi penuh menerobos ke dalam ruangan besar itu, seolah membantu Emilia menemukan saklar lampu yang ada di dinding sebelah kanan.
"Klek." Saklar tersebut memicu lampu kristal di langit-langit tengah ruangan menyala. Menyingkap tabir temaram, menampakkan pemandangan sebuah ruangan layaknya ruang tamu. Emilia terdiam. Sementara Rika yang baru saja melangkah masuk hanya bisa menahan napasnya. Meski hanya tipis, ruangan tersebut cukup berdebu. Kain-kain putih yang menutupi meja, kursi, dan berbagai interior lain terlihat kusam. Kepala Emilia berdenyut sementara pandangan matanya mulai kabur. Dia merasakan sesuatu yang tak beres dalam kepalanya, seperti ada sebuah film yang masuk ke dalam pikirannya. Membuat kedua mata Emilia memanas dan mulai berair.
"Emi," panggil Rika yang merasa khawatir. Dia berjalan mendekati Emilia yang masih diam sambil memegangi kepalanya.
Emilia menoleh ke arah Rika. Air matanya jatuh ketika berujar, "Rika, aku mengingatnya. Dia ... seseorang yang sangat penting."

~ bersambung
Share:

Index Cerbung : Heartbeat Memory

Halo! Enggak pernah bosan belajar nulis. Meski hasilnya tetap gitu-gitu aja. Di kesempatan ini, saya "dengan selamat" bisa nulis sebuah cerita bersambung lagi. Em ... sebenernya sih cuma cerpen yang kepanjangan sih. Semoga cerita ini bisa selesai, nggak bernasib sama kayak cerbung-cerbung yang terpaksa digantung di tali jemuran karena stuck dan gagal dapat ide lanjutan. Oiya, penyakit susah-nentuin-judul juga masih belum mau ilang. Jadi maaf kalau judulnya kelewat jauh dari ceritanya sendiri (yang juga random). Saya berharap banget ada sumbangan judul yang pas. Sekian intermezzo-nya. Sekarang, mari dibaca-- ehm, kalo ada yang baca juga sih. =))

Title : Heartbeat Memory
Chapter : 4
Status : Selesai
Genre : Romance, Fantasy
Author : @NVRstepback

Index per chapter

#1 - Sesuatu yang Terlupakan

#2 - Rooftop

#3 - Iblis Karma

#4 - Daybreak
Share:

Kisah Tanpa Rupa | Monolog Random


Title : Kisah Tanpa Rupa
Author : @NVRstepback

Belajar monolog

ilustrasi, thaivisa.com

Maaf jika tiba-tiba aku datang tanpa mengabari kalian terlebih dahulu. Aku hanya kesepian dan butuh teman. Jadi, ketika kulihat tenda kalian, aku pun memutuskan datang. Begini ... aku ingin curhat kepada kalian. Ada sesuatu yang terasa mengganjal di dalam diriku. Sudikah kalian mendengarkannya? Tenang, hanya sebentar. Kenapa kalian diam saja? Jadi kalian setuju? Baiklah kalau begitu. Aku ingin bercerita tentang ... kisah cintaku.

Mungkin kalian tak akan menyadarinya, tetapi aku adalah seorang keturunan cina. Darah cinaku berasal dari kakek buyut yang asli orang cina. Eh, sepertinya aku ngelantur, ya. Baiklah. Ehm.... Saat itu, aku resmi menjadi seorang pelajar berseragam putih abu-abu. Hari-hari damai terlewati begitu saja tanpa terasa. Hingga hari-hari damai itu perlahan menjadi hari penuh kegelisahan. Bukan, bukan karena aku menerima bully seperti yang sering kalian lakukan kepada murid-murid baru beberapa bulan yang lalu. Tapi, aku melihat sosok bidadari di sekolahku. Dan, tentu saja karena aku lelaki normal, aku pun jatuh cinta.

Awalnya, kupikir kisah cintaku akan seperti kisah romantis di ftv. Tapi ternyata jauh berbeda. Benar-benar mengejutkan, sekaligus ... mengecewakan. Gadis itu, idola sekolah itu, dia bernama Wina, ternyata jatuh cinta kepada sahabatku sendiri. Menyakitkan sekali jika harus mengingatnya, tapi aku harus menceritakannya. Agar bebanku sedikit berkurang dan sedikit tenang.

Aku mengidap sindrom bernama aleksitimia. Kata seorang psikiater, sindrom itu membuat aku kesulitan untuk mengungkapkan perasaanku. Ehm, bukan seperti kalian yang sok memendam perasaan kepada seseorang karena tak berani bilang. Aleksitimia membuatku tidak bisa mengekspresikan emosi dan perasaanku. Aku tidak bisa mengungkapkan rasa senang ketika aku mendapat peringkat satu ulangan semester, rasa sedih ketika kakakmu mati di depan mataku, rasa marah ketika ada yang menuangkan saus ke dalam minumanku, dan ... rasa sayang ketika aku jatuh cinta.

Beruntung, aku berteman dengan seorang yang sangat baik. Toni. Aku bisa sedikit terbuka ketika berbicara dengannya. Dan pada suatu kesempatan, dengan usaha keras, aku jujur kepada Toni tentang perasaanku kepada Wina. Di luar dugaan, dia merespon dengan positif. Toni, yang sudah mengerti tentang sindrom anehku, mengajukan diri menjadi perantara antara aku dan Wina. Aku benar-benar senang. Tapi, aku kesulitan mengungkapkannya.

Hampir setiap hari, aku menulis sebuah puisi dan membeli hadiah untuk diberikan kepada Wina, melalui Toni. Dan sekembalinya Toni dari mengantarkan hadiah, selalu ada kalimat manis yang Wina katakan, tentu yang kudengar dari mulut Toni. Kian hari, aku merasa kalau hubungan, via perantara, antara aku dan Wina semakin baik. Aku pun merasa kalau ada kekuatan besar mengalir di dalam diriku yang mencoba mengalahkan sindrom aleksitimiaku. Aku ingin bertemu dengan Wina. Ya, aku ingin bertemu dengannya. Mendengar langsung kalimat-kalimat indah itu dari mulutnya. Semakin aku memikirkannya, angan-anganku semakin melayang. Terlalu tinggi.

Suatu hari, aku sengaja tidak mengirimkan apapun kepadanya. Aku ingin memberinya kejutan! Sepulang sekolah, aku pergi ke belakang aula, tempat yang selalu diceritakan oleh Toni. Tempat di mana hadiah dan puisi-puisiku tersampaikan kepada Wina. Hatiku semakin berdebar. Kekuatan untuk menumbangkan ketakutanku kurasakan semakin besar. Mungkinkah karena cinta? Ah, tentu indah bukan?

Tapi tebakanku meleset.

Setibanya di belakang aula, aku melihat pemandangan yang menyakitkan. Wina dan Toni duduk berdampingan begitu dekat. Terlebih lagi ada senyum dan tawa kecil di sela pembicaraan mereka. Senyum dan tawa menjijikkan itu seketika surut ketika ekor mata Toni menangkap kehadiranku. Mukanya merah padam. Sementara Wina nampak kebingungan. Toni mulai berjalan ke arahku, sambil berusaha melepas pegangan tangan Wina. Sementara aku hanya bisa melongo.

Lalu ... ada teriakan yang terdengar dari dalam diriku.

Secepat kilat, aku meraih pena di saku baju seragamku. Tepat ketika Toni berada di hadapanku, tangan kananku yang memegang erat pena meluncur deras tepat ke dada Toni. Dia terdiam sambil sesekali bergantian menatap wajahku dan pena yang setengah lebih masuk ke dalam dadanya. Seragam putihnya mulai memerah. Dia jatuh berlutut di hadapanku. Seringai di wajahku tak bisa kusembunyikan. Tapi tak lama, teriakan histeris Wina menyadarkanku. Kutengok tubuh Toni di bawah kakiku. Ada darah yang mulai menggenang di bawah tubuhnya yang tidak bergerak.

Kepanikan mulai menjalariku.

Aku berlari secepat mungkin dari tempat itu. Semakin jauh, aku semakin sadar. Aku telah melakukan sesuatu yang mengerikan. Aku membunuh seseorang. Tapi ... bukankah Toni pantas menerimanya? Bagaimana menurut kalian? Hm, lagi-lagi kalian hanya diam. Kalian penasaran dengan ceritaku, ya? Baiklah, akan kulanjutkan.

Jadi, aku berlari secepat yang kubisa. Menghindari setiap tatapan siswa-siswa yang masih tinggal karena mengikuti kegiatan ekstra. Aku panik dan takut, tapi aku juga merasa lega. Tapi tetap saja aku terus berlari. Aku telah membunuh seseorang. Aku tak memperhatikan arah lariku. Ketika sadar, aku telah melompat melewati gerbang sekolah. Kuhentikan langkahku yang mulah payah. Aku sedang mencoba mengatur nafas ketika kudengar teriakan dari arah sekolah.
 
Aku tak dapat mendengarnya dengan jelas. Nampak satpam sekolah dan beberapa orang nampak meneriaki dan menunjuk ke arah yang sama. Kutegakkan tubuhku. Ketika aku menoleh, aku dapat dengan jelas melihat seorang pria paruh baya menatap nanar di balik sebuah kaca. Sesaat kemudian, aku dapat merasakan sesuatu yang besar dan berat mengenai tubuhku. Membuatku terlempar dan terpelanting beberapa meter. Kedua tangan dan kakiku patah karena beberapa kali menjadi tumpuan ketika aku terpental. Sejauh yang kuingat, tulang tengkorakku retak ditambah darah segar yang keluar dari tubuhku. Lebih banyak dari darah milik Toni. Dan terakhir kali mataku melihat jalan, ada ban hitam yang menutupi pandanganku. Menyisakan suara gemeratak yang samar-samar kudengar sebelum aku tenggelam dalam kegelapan sempurna.

Ehm. Terima kasih sudah mendengarkan ceritaku. Bebanku sedikit berkurang. Sekali lagi, maaf jika aku mengganggu waktu kalian. Lagipula ... ehehm ... berbicara bukan dengan suaraku sendiri rasanya agak aneh. Tapi cukup nyaman untuk menyampaikan cerita daripada dengan tubuh dan suaraku yang sering membuat orang lari bahkan sebelum aku mulai bicara. Baiklah, aku pergi.

===@===
Share:

Kegelapan, Hujan, dan Cinta | Satire Kebangsaan

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhByxXtdP8Q8VwvBPVKy0INyBPetXshEEhCVoNzEtg7t2r4yIcPmdR5qK6-IeMwGJgiNqcLaudoI5plV5uh8IwGTk8JEw29PrVk88n8bjQxP7ajiz3sjZxJMzNqQaVlPfQrfbGNJGIioCg/s1600/Indonesia+amerika.jpg
Yeah ... "friendship" (pic from salamlingkungan.blogspot.com)

Title : Kegelapan, Hujan, dan Cinta
Author : @NVRstepback
Genre : Satire, sedikit ngubek2 tentang kebangsaan
Enjoy!

Kegelapan, Hujan, dan Cinta
 

"Karena aku mencintai mereka."

Seorang pemuda berpakaian rapi tengah duduk di sebuah kursi. Matanya menatap pilu menembus lensa kacamata bergagang hitamnya. Tak ada yang bisa dia lihat. Pandangannya terhalang kegelapan dan asap. Menyerah, dia menengadah. Mencoba menemukan awan mendung yang bisa mengusir kegelapan ini dengan hujan. Mungkin tidak bisa sepenuhnya menyingkap kegelapan, tapi setidaknya asap. Tapi tak ada. Justru panas benderang matahari yang begitu kuat menerjang. Dia tertunduk. Lunglai.

"Indonesia. Bukankah aku sudah berkali-kali mengundangmu? Kenapa kau masih tetap kukuh dengan pendirian naifmu itu?" Tiba-tiba seorang pria berambut pirang datang.

"Mau apa lagi kau, Amerika?" tanya pemuda itu ketus.

"Hahaha, dasar anak muda. Tanpa aku bilang pun pasti kau sudah tahu bukan? Kau tidak bodoh, aku tahu itu, Panji." Pria berjas hitam itu berdiri di hadapan pemuda itu. Memamerkan seringai licik yang dapat terlihat dengan jelas dari balik kacamata si pemuda yang dipanggil Panji.

"Terserah kau ingin datang dan mengundangku berkali-kali. Tapi jawabanku tidak akan pernah berubah, Tuan George." Suara Panji terdengar begitu tenang. Namun begitu mengganggu suasana hati si tuan, terlebih seulas senyum yang terasa seperti suasana tenang sebelum badai.

"Lihatlah di sekelilingmu. Kegelapan sudah begitu pekat. Bahkan orang-orangmu kini tak bisa lagi dengan jelas membedakan mana benar mana salah. Dan kau ingin mandiri? Omong kosong! Bukankah tawaranku bisa membuat kondisimu jadi lebih baik? Sudah banyak yang membuktikannya."

"Lebih baik? Heh, aku sedikit ragu dengan definisi 'lebih baik' itu. Semakin kupikir justru semakin membuatku tertawa. Hahahaha." Panji terbahak. Dia sadar dengan tatapan tajam dan dengusan kesal tuan George. Tapi tak dihiraukan karena dia memang ingin memancing amarah si tua itu.

"APAKAH KAU MASIH BELUM SADAR KALAU ORANG-ORANGMU SUDAH TAK LAGI MEMPEDULIKANMU, HAH?!" hardik George. Panji terdiam. George tersenyum penuh kemenangan. Di atas kepala mereka mendung mulai menggulung, seolah menciptakan efek dramatis ucapan si Adidaya itu.

"Tapi aku tetap mencintai mereka. Meskipun mereka sudah tak lagi peduli padaku, aku akan tetap peduli pada mereka. Karena aku percaya pada mereka." Panji tersenyum diiringi rintik hujan yang perlahan datang. Menyamarkan air mata yang 1 detik lebih dulu terjatuh. George tertegun.

"Lihatlah itu, Tuan. Sekalipun orang-orang besarku rusak dan tak peduli, aku masih memiliki mereka." Panji menunjuk ke sebuah arah. Pandangan mata George mengikutinya.
 

Di sebuah tanah lapang, terdapat sejumlah besar orang yang nampak selesai melaksanakan prosesi ibadah. Untuk meminta hujan. Lidah George kelu. Asap yang tadinya menutupi pandangan perlahan sirna. Deru hujan semakin deras.

"Bukan hanya mereka, tapi masih banyak yang belum kehilangan rasa cinta dan kepedulian padaku. Jika sudah begitu, bukankah aneh rasanya jika dengan egois aku menerima ajakanmu lalu membiarkan mereka terkekang lagi? Aku memang masih muda dan bodoh. Ada banyak kesalahan yang berulang kali terjadi. Ada banyak penyimpangan yang belum terselesaikan. Tapi aku akan terus percaya kepada mereka. Karena aku yakin, suatu saat nanti kegelapan akan lenyap dan mata garuda akan dapat kembali jelas memandang dari ujung ke ujung negeri, bersamaan dengan kepakan sayap yang membawa angin perdamaian."

"Naif," dengus si tuan besar. Kesal.

"Aku jauh lebih percaya kepada mereka yang sudah lama bersamaku dibandingkan denganmu. Aku tidak akan pernah menyerahkan hadiah dari pahlawan-pahlawanku di masa lalu hanya demi utopia semu. Kau mungkin tidak mengerti karena kami sudah terikat jauh sebelum nenek moyangmu menemukan tanah tempat rumahmu berdiri sekarang. Pulanglah, kau bisa sakit jika terlalu lama kehujanan."

"Tapi mereka ... sudah tak peduli. Kenapa? Bagaimana mungkin-"

"Bukankah sudah kukatakan padamu? Karena aku mencintai mereka."

=====

Cerpen yang menurut saya sendiri cukup aneh. Inspirasinya dari gaya personifikasi seri Hetalia Axis Power, tapi saya pake tokoh bikinan sendiri. Menulis cerita dengan membuat tokoh dari personifikasi sebuah negara ternyata susah. Terlebih, secara pribadi, saya bukan tipikal pemuda nasionalis yang "sangat cinta" kepada negara. Honestly, I don't really care ... ironis, ya?

Review-nya ya, reader =]
Share:

Sudah Pagi Ternyata | Puisi Random

Baru aja ngobrolin sesuatu yang malu-maluin di akun socmed, eh udah mau posting lagi. =)) Ini sebuah puisi random yang saya temukan di bagian bawah TL facebook saya. Agak sayang kalau dihapus dari tabel database, jadi saya share aja deh di sini. Sebuah puisi tanpa diksi berkelas. Ya, tentu lah, saya bukan tipikal pujangga romantis yang kaya akan aksara.


Sudah Pagi

Sudah pagi ternyata
Hangat sinar mentari terasa
Singkapkan dingin malam perlahan sirna
Tapi hanya mentari... kamu tak ada

Sudah pagi ternyata
Nyaring kicau burung di luar sana
Hembuskan kesunyian yang menghampa
Tapi hanya kicau burung..  Kamu tak ada

Sudah pagi ternyata
Aku sadar sekarang aku sendirian
Kamu yang aku rindu sudah tertelan masa lalu
Maaf, aku harus bergerak maju

Ada asa pagi yang menyambutku
Ada gelap sunyi yang menemaniku
Ada perubahan yang sedang menempa aku
Ya, di depan situ ada yang sedang menungguku

Selamat pagi, masa depanku!


~ aku, 2013

https://sokocon.files.wordpress.com/2013/06/semangat-pagi.jpg
pic from sokocon.wordpress.com

Sampai jumpa lain waktu! Di masa depan yang lebih baik tentunya~ =]
Share:

Waktu, Perubahan, dan Sesuatu yang Memalukan | #RandomPost




http://www.voxpop-media.com/voxpopmedia/wp-content/uploads/2015/08/social-media-image.jpg
pic from voxpop-media.com

Akun sosial media kadang bisa sedikit lebih jujur dari pemiliknya sendiri. Terutama bagaimana berbagai status, twit, ataupun posting dari masa lalu (juga dari masa kini) yang tertulis di situ dapat memberikan sedikit gambaran seperti apa dan bagaimana keadaan pemiliknya. Heheh, kurang lebih seperti itu yang pagi ini saya rasakan. Iseng buka-buka salah satu akun sosial media yang hampir berdebu dan nemu banyak "sampah" tulisan yang membuat geli ketika dibaca.

Mungkin, mungkin ya, ketika terpikirkan pertama kali untuk menulis rangkaian kalimat itu, saya merasa kalau apa yang akan saya tulis akan terdengar keren, atau sekarang lebih populer dengan istilah "nge-feels". Haduh, iya dulu. Tapi setelah dibaca ulang kok rasanya ... agak nganu. Malu-maluin! Maka dengan sedikit tenaga dan juga kuota yang tersisa, saya pun memutuskan untuk melakukan sedikit aktivitas "bersih-bersih". Maksudnya ya sudah jelas, supaya tidak terlalu memalukan.

Tapi bagaimanapun, meski tulisan-tulisan "nganu" tersebut sudah terhapus dan hilang, tapi tentu tidak akan hilang dari ingatan orang-orang yang sudah membacanya. Hm. Jadi, pagi saya dapat sedikit pelajaran yang cukup mengena dan berharga dari diri saya sendiri. Eng... mungkin lebih tepatnya dari pengalaman saya yang satu ini, meskipun mungkin sudah mainstream, yaitu : bijaklah dalam memakai akun sosial media juga media informasi internet.

Memang, di dunia yang maya ini kita bisa dengan mudah berubah menjadi sosok yang berbeda dari kita di dunia nyata. Tapi, hal itu tidak bisa menyembunyikan kenyataan kalau sosok-sosok itu datangnya dari diri kita. Dengan kata lain, tak peduli seperti apa dan bagaimana kita bertindak, semuanya dilakukan oleh diri kita sendiri. Karena, ketika kita sudah sampai pada titik di mana kesadaran akan diri muncul, dan kemudian melihat perbuatan dan tingkah laku kita di masa lalu, akan muncul perasaan-perasaan tertentu. Biasanya sih, rasa malu (ini dalam kasus saya).

Terlepas dari bagaimana kita di masa lalu, yang sudah terjadi tidak akan bisa diulang dan diperbaiki. Cukup resapi dan dapatkan pelajaran di dalamnya. Untuk apa? Tentu untuk bekal berjalan ke depan. Maksud saya, sebagai pelajaran untuk menjadi pribadi yang lebih baik di masa depan. Kalau kamu masih suka nyepam status, twit, ataupun posting yang "memalukan", sebaiknya hentikan sekarang juga! Terutama bagi adik-adik yang masih "polos" dan meresap apa-apa yang didengar seperti spons cuci. Cobalah bayangkan apa yang akan dikatakan oleh dirimu 10 tahun dari sekarang ketika melihat seperti apa dirimu saat ini.


Memang, tidak ada kata terlambat untuk berubah. Tetapi waktu jauh lebih kejam ketika menyadarkan manusia makna dari kata "berubah". Jadi? Berubahlah dengan niatmu sendiri sebelum waktu yang dengan paksa mengubah dirimu.


http://assets.kompasiana.com/statics/files/14173546392057778080.jpg
pic from kompasiana.com



~ dari sosok yang disadarkan waktu
Share:

Fujoshi, Fudanshi, dan Fantasi | #RandomPost

Sesekali deh nulis yang agak serius, tentang para pecinta BL or GL. Yep, fujoshi fudanshi. Enjoy~

https://kitsunetoneko.files.wordpress.com/2013/04/tumblr_mkimr1dx3k1r5w1wuo1_500.jpg

 "Dih, kok kamu suka banget sih sama begituan?" Randi sedikit mengernyitkan dahi tiap kali temannya yang satu ini membuka situs fanfic. Bukan karena Randi tak suka fanfic, tapi genre yang dia baca : Yaoi.
 
"Aku bosen sama yang straight. Sho-ai atau yaoi lebih dapet 'feels'-nya." Dan, kalimat sakti gadis berkacamata itu kembali terlontar. Membuat Randi bosan mendengarnya dan memutuskan untuk membuka-buka novel yang baru dia pinjam dari perpustakaan kampus.

***

Well, mungkin sebagian dari teman-teman sudah nggak asing dengan beberapa istilah yang ada di kutipan cerita tadi. Tapi pasti ada juga yang belum paham. Yaoi? Sho-ai? Itu apa? Makanan? Atau sejenis obat yang bisa menghilangkan segala penyakit dan wajib ikut seminar ini itu? Tenang, saya bukan agen obat yang sedang mencari korban eh, downline. Yaoi, bersama dengan Yuri, serta Sho-ai adalah sebutan lain dari LGBT. Eh LGBT atau LBGT sih? Ah, itu lho orang-orang yang beberapa waktu lalu berbahagia dan masang foto profil pelangi. Yap, kaum penyuka sesama jenis.

Lalu apa bedanya dengan sebutan Yaoi dan Sho-ai? Cuma beda di bahasa kok. 2 istilah tersebut umum ditemukan di media hiburan berbahasa Jepang. Kalo yang ngetren tentu saja anime dan manga. Hehe, ngeri ya? Buat teman-teman yang suka anime atau manga nggak akan asing dengan istilah itu. Tapi kali ini saya pengin ngobrol tentang orang-orang yang mirip sama cewek temannya Randi. Orang yang suka sama hal-hal yang menyangkut hubungan sejenis, atau biasa disebut fujoshi (cewek) dan fudanshi (cowok).

Sebenarnya, dari makna sebutannya sendiri sudah menunjukkan citra buruk. Kenapa? Karena huruf "fu" dari kata fujoshi dan fudanshi artinya "buruk". Tapi yang lebih disayangkan tentu hobi mereka yang suka nonton anime atau membaca manga, doujin, atau pun fanfict yang bercerita tentang hubungan sesama jenis.

Apakah mereka, fujoshi dan fudanshi, juga termasuk gay dan lesbian? Hm ... orientasi seks mereka belum tentu menyimpang, meski apa mereka tonton atau baca adalah hal-hal yang nggak lazim. Ada beberapa fujoshi yang punya cowok, begitu pula fudanshi. Mereka yang masih normal orientasi seksnya biasanya cuma penikmat yang sekedar suka Yaoi atau Yuri dan memandangnya hanya sebagai "karya". Tapi ada juga yang orientasi seksnya ikutan menyimpang. Namun ada kasus lain yang menyatakan kalau ada fujoshi dan fudanshi yang sama sekali tidak tertarik untuk menjalin hubungan.

Beberapa teman saya di dunia maya, dan semuanya cewek, adalah fujoshi. Mereka selalu membahas pairing (pemasangan karakter dengan karakter) homo favorit mereka. Pasangan ini lah pasangan itu lah, dan semuanya adalah cowok dengan cowok. Ya, homo. Dan ketika ditanya kenapa suka Yaoi, jawaban mereka hampir mirip dengan jawaban teman cewek Randi.
 
"Bosan sama cerita straight".

Ada pula alasan yang cukup unik, yaitu "awalnya nggak sengaja dan sempat shock tapi akhirnya malah keterusan".

Dan, alasan yang sedikit klise. "Kisah romantis yang pairing-nya straight tuh tai banteng!"
"Bullshit kali mbak."
"Hehe, iya itu. Nah, cerita-ceritany
a tuh terlalu muluk. Ending-nya apalagi. Dih!"
"Kok mbaknya malah curcol? Habis patah hati pasti. Hayo~" Lalu mbaknya ngunyah laptop. Nah, klise kan alasannya? Pake acara curcol, ngunyah laptop pula.

Terlepas dari keanehan (saya kurang suka kata "buruk") hobi mereka, sebenarnya ada fujoshi dan fudanshi yang punya keterampilan tinggi, terutama dalam bidang seni gambar dan seni tulis. Fanart serta doujinshi dengan kualitas gambar dan cerita yang bagus. Juga cerita fanfict dengan kualitas yang tak kalah dari penulis pro. Mereka sebenarnya keren! Meskipun karyanya ... yah begitulah.

Jadi, intinya, bukan cuma kaum LGBT yang butuh pertolongan. Para fujoshi dan fudanshi salah arah pun juga perlu dibantu. Karena, meski rasio khilaf mereka kecil mengingat cewek fujo cenderung suka homo dan cowok fudan sukanya sama lesbi, mereka tetap rentan jadi salah arah kalau masuk ke pergaulan yang salah dan nggak ada yang peduli kepada mereka.
Share: