Heartbeat Memory
#1 - Sesuatu yang Terlupakan
"Berhenti!" pekik seorang gadis yang terduduk lesu di sudut sofa. Teriakan itu seperti membutuhkan energi yang besar, membuatnya semakin lemah. Tangan kanan seseorang yang tengah menggenggam gagang pintu itu pun menunda gerakannya.
"Maaf, aku tidak ingin menyakitimu lebih dari ini," kata
pemuda kurus itu tanpa mengalihkan pandangannya.
"Tapi ....," Gadis itu nampak kepayahan melanjutkan
kalimatnya. Wajahnya nampak sangat pucat. Mata sayunya sesekali dapat menatap
kepulan asap tipis dari 2 gelas teh hangat di hadapannya yang belum sempat
diminum. Tubuhnya pun tak dapat dia gerakkan, seperti ada sesuatu di dalam
tubuhnya yang mencoba mengambil alih kendali dirinya. Menggerogoti setiap
jengkal kesadaran dirinya. Perlahan secara paksa menariknya ke alam mimpi.
"Aku mencin-" Kalimat itu ditutup dengan suara tubuh
gadis itu yang beradu dengan sofa. Pemuda itu menghela nafas lalu menarik
pintunya ke arah dalam.
"Aku pun merasakan hal yang sama denganmu."
Segera, tubuh setinggi 170 cm itu melewati pintu. Meninggalkan
sosok gadis yang terlelap dalam mimpi yang tak diharapkannya. Ada aliran air
mata yang tersamarkan oleh kegelapan yang memenuhi ruangan itu. Hingga fajar
mulai mendaki langit timur, pemilik mata beriris biru itu terbangun dalam
kebingungan. Dia hanya menangkap siluet yang menghalangi sinar matahari pagi
berdiri di seberang meja.
"Emilia, kenapa kau tertidur di sini? Ya ampun. Kau
benar-benar pandai membuat orang lain khawatir." Suara berwibawa itu
perlahan menuntun kesadaran Emilia kembali. Sosok itu berjalan mendekati sofa
tempat Emilia duduk, mengizinkan matahari menyoroti wajah khas asia serta
rambut ikal pendeknya.
"Ren. Aku ... aku tak tahu. Aku tidak bisa mengingat
apa-apa," kata Emilia lirih sambil memegangi kepalanya yang tiba-tiba
berdenyut. Sakit. Emilia benar-benar tidak bisa mengingat kejadian semalam,
tapi samar-samar, ada ingatan tentang sesuatu yang mengganggunya.
"Ayo, teman-teman di kamp sudah menunggu," ujar pemuda
bernama Ren itu sambil mengulurkan tangannya.
Tanpa mengatakan apapun, Emilia meraihnya. Ketika tangannya
menyentuh tangan Ren, di dalam kepalanya muncul bayangan seseorang. Samar.
Emilia terdiam berusaha meraba ingatan kabur itu. Hal itu membuat Ren bingung
melihat sikap Emilia.
"Emilia." Ren memanggilnya. Emilia tersentak.
"Ah, maaf. Ayo kita segera kembali."
***
Akhir-akhir ini Emilia lebih sering termenung. Entah sudah berapa
kelas dia lewati hanya dengan duduk diam tanpa melakukan apapun. Tak ada
pertanyaan-pertanyaan kritis yang dia lontarkan seperti biasa ketika dosen selesai
menyampaikan materi. Hal ini cukup mengusik seorang gadis yang duduk tepat di
sebelah Emilia.
"Emi. Emiii. Ada apa denganmu? Setelah ikut kamp pelatihan
klub astronomi, kau jadi aneh." Rika, sahabat Emilia, membuka obrolan
setelah beberapa menit dia sebal menatap Emilia hanya mengaduh-aduk minumannya.
"Eemiiii!" Suara cempreng Rika yang cukup keras membuat
Emilia tersentak dari lamunannya.
"Eh, kau memanggilku?" tanya Emilia. Kali ini Rika
memalingkan wajahnya. Pipinya memerah.
"Rika, maaf. Aku hanya sedang bingung," kata Emilia.
"Ceritakan padaku. Bukankah aku ini sahabatmu?" Kalimat
retorik Rika membuat Emilia tersenyum.
"Aku melupakan sesuatu, Ka. Sesuatu yang sangat
penting." Emilia mulai bercerita. Rika mengernyitkan dahi.
"Sesuatu?" tanya Rika penasaran.
"Entahlah, seperti ada setengah dari ingatanku menghilang.
Tentang seseorang."
Pandangan Emilia menembus kaca jendela kantin. Sementara itu Rika
masih menelaah cerita Emilia, tiba-tiba dia teringat sesuatu.
"Saga."
***
Suasana malam di bukit benar-benar berbeda dengan suasana kota
yang letaknya tak lebih dari 1 kilo. Benar-benar gelap. Tapi hal ini sangat
Emilia sukai. Ketika berada di tempat terbuka yang gelap tanpa sedikitpun
polusi cahaya, matanya bisa dengan mudah memandangi lukisan berkilau di langit.
Titik-titik cahaya yang tersebar tak beraturan, tapi dapat menciptakan
keindahan. Bukan susunan yang ditata secara rapi dan teratur. Kadang definisi
manusia tak cukup mewakili sebuah makna.
"Emi. Teleskopnya sudah siap." Suara itu membuat Emilia
menoleh. Dia berjalan mendekat.
"Kenapa kau tidak tinggal saja di sini? Bukankah melelahkan
harus menempuh jarak yang cukup jauh setiap hari hanya untuk datang ke bukit
ini?" tanya Emilia. Mata beriris birunya tengah sibuk mengintip lensa
teleskop.
"Aku tak punya rencana untuk menetap. Lagi pula ...."
Kalimatnya menggantung.
"Lagi pula?" tanya Emilia. Kali ini dia menatap lekat
lawan bicaranya.
"Ada vila kecil yang biasa kugunakan untuk bermalam jika
terlalu lelah." Kalimat itu ditutup oleh seulas senyum yang memamerkan
jajaran gigi yang putih terawat. Emilia terkesima.
Malam ini bulan bergerak lambat. Sepertinya dia tak ingin
ketinggalan untuk unjuk gigi dari cahaya-cahaya kecil di sekelilingnya. Scorpio
mulai meredup dan perlahan hilang. Bersamaan dengan itu, sang pemburu, Orion,
muncul membelah langit. Mata Emilia tak lepas dari teleskop berwarna putih itu.
Setelah puas melihat kilatan meteor orionid yang saling berlomba, Emilia
merebahkan dirinya ke rerumputan. Menatap nanar ke arah bintang yang begitu
jauh jaraknya.
"Bintang adalah cahaya dari masa lalu." Emilia
menggumam.
"Karena mereka bisa saja sudah mati dan yang kita lihat saat
ini adalah hasil pantulan cahaya yang baru tiba dari masa lalu, bukan?"
timpal sosok yang ada di sebelah Emilia. Emilia mengangguk.
"Tolong temani aku sampai Venus muncul," ucap Emilia
tanpa memalingkan wajahnya.
"Tapi ... bagaimana dengan teman-temanmu? Tentu mereka akan
khawatir jika kau tidak kembali."
"Saga, aku mohon." Ada air mata yang tumpah. Membuat
suasana semakin hening.
"Bahkan cahaya tercepat pun membutuhkan waktu untuk bisa
menjangkau sebuah jarak. Setidaknya, beri aku sedikit waktu untuk bisa menutup
jarak kita." Emilia terisak.
"Bahkan jika aku memberikan seluruh waktuku, hal itu tidak
akan pernah cukup untuk memangkas jarak kita," kata Saga sambil masih
menatap langit.
"Saga ...."
"Maaf," kata Saga sambil mengusap kedua matanya,
"aku akan menemanimu, malam ini. Hingga Venus muncul."
***
"Emi, apa kau yakin? Di sini gelap sekali. Aku takut,"
tanya Rika gemetaran.
"Kita sebentar lagi sampai. Ah, itu dia!" Emilia
menunjuk ke arah sebuah vila berwarna putih. Di sekelilingnya terdapat berbagai
macam tanaman hias. Begitu bersih dan terawat. Lampu terasnya menyala,
sementara bagian dalamnya nampak gelap sempurna.
Setelah menarik napas lalu membuangnya, Emilia mendorong pintu
ganda tersebut. Tak terkunci. Dengan lancar, pintu itu terbuka. Cahaya bulan
yang tak lagi penuh menerobos ke dalam ruangan besar itu, seolah membantu
Emilia menemukan saklar lampu yang ada di dinding sebelah kanan.
"Klek." Saklar tersebut memicu lampu kristal di
langit-langit tengah ruangan menyala. Menyingkap tabir temaram, menampakkan
pemandangan sebuah ruangan layaknya ruang tamu. Emilia terdiam. Sementara Rika
yang baru saja melangkah masuk hanya bisa menahan napasnya. Meski hanya tipis,
ruangan tersebut cukup berdebu. Kain-kain putih yang menutupi meja, kursi, dan
berbagai interior lain terlihat kusam. Kepala Emilia berdenyut sementara
pandangan matanya mulai kabur. Dia merasakan sesuatu yang tak beres dalam
kepalanya, seperti ada sebuah film yang masuk ke dalam pikirannya. Membuat
kedua mata Emilia memanas dan mulai berair.
"Emi," panggil Rika yang merasa khawatir. Dia berjalan
mendekati Emilia yang masih diam sambil memegangi kepalanya.
Emilia menoleh ke arah Rika. Air matanya jatuh ketika berujar,
"Rika, aku mengingatnya. Dia ... seseorang yang sangat penting."
~ bersambung
~ bersambung