Heartbeat Memory #1 - Sesuatu yang Terlupakan


http://images.8tracks.com/cover/i/002/797/444/lost-star-night-dark-3402.jpg?rect=0,0,500,500&q=98&fm=jpg&fit=max


Heartbeat Memory

#1 - Sesuatu yang Terlupakan

"Berhenti!" pekik seorang gadis yang terduduk lesu di sudut sofa. Teriakan itu seperti membutuhkan energi yang besar, membuatnya semakin lemah. Tangan kanan seseorang yang tengah menggenggam gagang pintu itu pun menunda gerakannya.
"Maaf, aku tidak ingin menyakitimu lebih dari ini," kata pemuda kurus itu tanpa mengalihkan pandangannya.
"Tapi ....," Gadis itu nampak kepayahan melanjutkan kalimatnya. Wajahnya nampak sangat pucat. Mata sayunya sesekali dapat menatap kepulan asap tipis dari 2 gelas teh hangat di hadapannya yang belum sempat diminum. Tubuhnya pun tak dapat dia gerakkan, seperti ada sesuatu di dalam tubuhnya yang mencoba mengambil alih kendali dirinya. Menggerogoti setiap jengkal kesadaran dirinya. Perlahan secara paksa menariknya ke alam mimpi.
"Aku mencin-" Kalimat itu ditutup dengan suara tubuh gadis itu yang beradu dengan sofa. Pemuda itu menghela nafas lalu menarik pintunya ke arah dalam.
"Aku pun merasakan hal yang sama denganmu."
Segera, tubuh setinggi 170 cm itu melewati pintu. Meninggalkan sosok gadis yang terlelap dalam mimpi yang tak diharapkannya. Ada aliran air mata yang tersamarkan oleh kegelapan yang memenuhi ruangan itu. Hingga fajar mulai mendaki langit timur, pemilik mata beriris biru itu terbangun dalam kebingungan. Dia hanya menangkap siluet yang menghalangi sinar matahari pagi berdiri di seberang meja.
"Emilia, kenapa kau tertidur di sini? Ya ampun. Kau benar-benar pandai membuat orang lain khawatir." Suara berwibawa itu perlahan menuntun kesadaran Emilia kembali. Sosok itu berjalan mendekati sofa tempat Emilia duduk, mengizinkan matahari menyoroti wajah khas asia serta rambut ikal pendeknya.
"Ren. Aku ... aku tak tahu. Aku tidak bisa mengingat apa-apa," kata Emilia lirih sambil memegangi kepalanya yang tiba-tiba berdenyut. Sakit. Emilia benar-benar tidak bisa mengingat kejadian semalam, tapi samar-samar, ada ingatan tentang sesuatu yang mengganggunya.
"Ayo, teman-teman di kamp sudah menunggu," ujar pemuda bernama Ren itu sambil mengulurkan tangannya.
Tanpa mengatakan apapun, Emilia meraihnya. Ketika tangannya menyentuh tangan Ren, di dalam kepalanya muncul bayangan seseorang. Samar. Emilia terdiam berusaha meraba ingatan kabur itu. Hal itu membuat Ren bingung melihat sikap Emilia.
"Emilia." Ren memanggilnya. Emilia tersentak.
"Ah, maaf. Ayo kita segera kembali."
***
Akhir-akhir ini Emilia lebih sering termenung. Entah sudah berapa kelas dia lewati hanya dengan duduk diam tanpa melakukan apapun. Tak ada pertanyaan-pertanyaan kritis yang dia lontarkan seperti biasa ketika dosen selesai menyampaikan materi. Hal ini cukup mengusik seorang gadis yang duduk tepat di sebelah Emilia.
"Emi. Emiii. Ada apa denganmu? Setelah ikut kamp pelatihan klub astronomi, kau jadi aneh." Rika, sahabat Emilia, membuka obrolan setelah beberapa menit dia sebal menatap Emilia hanya mengaduh-aduk minumannya.
"Eemiiii!" Suara cempreng Rika yang cukup keras membuat Emilia tersentak dari lamunannya.
"Eh, kau memanggilku?" tanya Emilia. Kali ini Rika memalingkan wajahnya. Pipinya memerah.
"Rika, maaf. Aku hanya sedang bingung," kata Emilia.
"Ceritakan padaku. Bukankah aku ini sahabatmu?" Kalimat retorik Rika membuat Emilia tersenyum.
"Aku melupakan sesuatu, Ka. Sesuatu yang sangat penting." Emilia mulai bercerita. Rika mengernyitkan dahi.
"Sesuatu?" tanya Rika penasaran.
"Entahlah, seperti ada setengah dari ingatanku menghilang. Tentang seseorang."
Pandangan Emilia menembus kaca jendela kantin. Sementara itu Rika masih menelaah cerita Emilia, tiba-tiba dia teringat sesuatu.
"Saga."

***


Suasana malam di bukit benar-benar berbeda dengan suasana kota yang letaknya tak lebih dari 1 kilo. Benar-benar gelap. Tapi hal ini sangat Emilia sukai. Ketika berada di tempat terbuka yang gelap tanpa sedikitpun polusi cahaya, matanya bisa dengan mudah memandangi lukisan berkilau di langit. Titik-titik cahaya yang tersebar tak beraturan, tapi dapat menciptakan keindahan. Bukan susunan yang ditata secara rapi dan teratur. Kadang definisi manusia tak cukup mewakili sebuah makna.
"Emi. Teleskopnya sudah siap." Suara itu membuat Emilia menoleh. Dia berjalan mendekat.
"Kenapa kau tidak tinggal saja di sini? Bukankah melelahkan harus menempuh jarak yang cukup jauh setiap hari hanya untuk datang ke bukit ini?" tanya Emilia. Mata beriris birunya tengah sibuk mengintip lensa teleskop.
"Aku tak punya rencana untuk menetap. Lagi pula ...." Kalimatnya menggantung.
"Lagi pula?" tanya Emilia. Kali ini dia menatap lekat lawan bicaranya.
"Ada vila kecil yang biasa kugunakan untuk bermalam jika terlalu lelah." Kalimat itu ditutup oleh seulas senyum yang memamerkan jajaran gigi yang putih terawat. Emilia terkesima.
Malam ini bulan bergerak lambat. Sepertinya dia tak ingin ketinggalan untuk unjuk gigi dari cahaya-cahaya kecil di sekelilingnya. Scorpio mulai meredup dan perlahan hilang. Bersamaan dengan itu, sang pemburu, Orion, muncul membelah langit. Mata Emilia tak lepas dari teleskop berwarna putih itu. Setelah puas melihat kilatan meteor orionid yang saling berlomba, Emilia merebahkan dirinya ke rerumputan. Menatap nanar ke arah bintang yang begitu jauh jaraknya.
"Bintang adalah cahaya dari masa lalu." Emilia menggumam.
"Karena mereka bisa saja sudah mati dan yang kita lihat saat ini adalah hasil pantulan cahaya yang baru tiba dari masa lalu, bukan?" timpal sosok yang ada di sebelah Emilia. Emilia mengangguk.
"Tolong temani aku sampai Venus muncul," ucap Emilia tanpa memalingkan wajahnya.
"Tapi ... bagaimana dengan teman-temanmu? Tentu mereka akan khawatir jika kau tidak kembali."
"Saga, aku mohon." Ada air mata yang tumpah. Membuat suasana semakin hening.
"Bahkan cahaya tercepat pun membutuhkan waktu untuk bisa menjangkau sebuah jarak. Setidaknya, beri aku sedikit waktu untuk bisa menutup jarak kita." Emilia terisak.
"Bahkan jika aku memberikan seluruh waktuku, hal itu tidak akan pernah cukup untuk memangkas jarak kita," kata Saga sambil masih menatap langit.
"Saga ...."
"Maaf," kata Saga sambil mengusap kedua matanya, "aku akan menemanimu, malam ini. Hingga Venus muncul."
***
"Emi, apa kau yakin? Di sini gelap sekali. Aku takut," tanya Rika gemetaran.
"Kita sebentar lagi sampai. Ah, itu dia!" Emilia menunjuk ke arah sebuah vila berwarna putih. Di sekelilingnya terdapat berbagai macam tanaman hias. Begitu bersih dan terawat. Lampu terasnya menyala, sementara bagian dalamnya nampak gelap sempurna.
Setelah menarik napas lalu membuangnya, Emilia mendorong pintu ganda tersebut. Tak terkunci. Dengan lancar, pintu itu terbuka. Cahaya bulan yang tak lagi penuh menerobos ke dalam ruangan besar itu, seolah membantu Emilia menemukan saklar lampu yang ada di dinding sebelah kanan.
"Klek." Saklar tersebut memicu lampu kristal di langit-langit tengah ruangan menyala. Menyingkap tabir temaram, menampakkan pemandangan sebuah ruangan layaknya ruang tamu. Emilia terdiam. Sementara Rika yang baru saja melangkah masuk hanya bisa menahan napasnya. Meski hanya tipis, ruangan tersebut cukup berdebu. Kain-kain putih yang menutupi meja, kursi, dan berbagai interior lain terlihat kusam. Kepala Emilia berdenyut sementara pandangan matanya mulai kabur. Dia merasakan sesuatu yang tak beres dalam kepalanya, seperti ada sebuah film yang masuk ke dalam pikirannya. Membuat kedua mata Emilia memanas dan mulai berair.
"Emi," panggil Rika yang merasa khawatir. Dia berjalan mendekati Emilia yang masih diam sambil memegangi kepalanya.
Emilia menoleh ke arah Rika. Air matanya jatuh ketika berujar, "Rika, aku mengingatnya. Dia ... seseorang yang sangat penting."

~ bersambung
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Abis baca, jangan segan2 buat kasih komentarnya ya guys.. Supaya post selanjutnya bisa lebih bagus. Terimakasih... ^^,