Kegelapan, Hujan, dan Cinta | Satire Kebangsaan

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhByxXtdP8Q8VwvBPVKy0INyBPetXshEEhCVoNzEtg7t2r4yIcPmdR5qK6-IeMwGJgiNqcLaudoI5plV5uh8IwGTk8JEw29PrVk88n8bjQxP7ajiz3sjZxJMzNqQaVlPfQrfbGNJGIioCg/s1600/Indonesia+amerika.jpg
Yeah ... "friendship" (pic from salamlingkungan.blogspot.com)

Title : Kegelapan, Hujan, dan Cinta
Author : @NVRstepback
Genre : Satire, sedikit ngubek2 tentang kebangsaan
Enjoy!

Kegelapan, Hujan, dan Cinta
 

"Karena aku mencintai mereka."

Seorang pemuda berpakaian rapi tengah duduk di sebuah kursi. Matanya menatap pilu menembus lensa kacamata bergagang hitamnya. Tak ada yang bisa dia lihat. Pandangannya terhalang kegelapan dan asap. Menyerah, dia menengadah. Mencoba menemukan awan mendung yang bisa mengusir kegelapan ini dengan hujan. Mungkin tidak bisa sepenuhnya menyingkap kegelapan, tapi setidaknya asap. Tapi tak ada. Justru panas benderang matahari yang begitu kuat menerjang. Dia tertunduk. Lunglai.

"Indonesia. Bukankah aku sudah berkali-kali mengundangmu? Kenapa kau masih tetap kukuh dengan pendirian naifmu itu?" Tiba-tiba seorang pria berambut pirang datang.

"Mau apa lagi kau, Amerika?" tanya pemuda itu ketus.

"Hahaha, dasar anak muda. Tanpa aku bilang pun pasti kau sudah tahu bukan? Kau tidak bodoh, aku tahu itu, Panji." Pria berjas hitam itu berdiri di hadapan pemuda itu. Memamerkan seringai licik yang dapat terlihat dengan jelas dari balik kacamata si pemuda yang dipanggil Panji.

"Terserah kau ingin datang dan mengundangku berkali-kali. Tapi jawabanku tidak akan pernah berubah, Tuan George." Suara Panji terdengar begitu tenang. Namun begitu mengganggu suasana hati si tuan, terlebih seulas senyum yang terasa seperti suasana tenang sebelum badai.

"Lihatlah di sekelilingmu. Kegelapan sudah begitu pekat. Bahkan orang-orangmu kini tak bisa lagi dengan jelas membedakan mana benar mana salah. Dan kau ingin mandiri? Omong kosong! Bukankah tawaranku bisa membuat kondisimu jadi lebih baik? Sudah banyak yang membuktikannya."

"Lebih baik? Heh, aku sedikit ragu dengan definisi 'lebih baik' itu. Semakin kupikir justru semakin membuatku tertawa. Hahahaha." Panji terbahak. Dia sadar dengan tatapan tajam dan dengusan kesal tuan George. Tapi tak dihiraukan karena dia memang ingin memancing amarah si tua itu.

"APAKAH KAU MASIH BELUM SADAR KALAU ORANG-ORANGMU SUDAH TAK LAGI MEMPEDULIKANMU, HAH?!" hardik George. Panji terdiam. George tersenyum penuh kemenangan. Di atas kepala mereka mendung mulai menggulung, seolah menciptakan efek dramatis ucapan si Adidaya itu.

"Tapi aku tetap mencintai mereka. Meskipun mereka sudah tak lagi peduli padaku, aku akan tetap peduli pada mereka. Karena aku percaya pada mereka." Panji tersenyum diiringi rintik hujan yang perlahan datang. Menyamarkan air mata yang 1 detik lebih dulu terjatuh. George tertegun.

"Lihatlah itu, Tuan. Sekalipun orang-orang besarku rusak dan tak peduli, aku masih memiliki mereka." Panji menunjuk ke sebuah arah. Pandangan mata George mengikutinya.
 

Di sebuah tanah lapang, terdapat sejumlah besar orang yang nampak selesai melaksanakan prosesi ibadah. Untuk meminta hujan. Lidah George kelu. Asap yang tadinya menutupi pandangan perlahan sirna. Deru hujan semakin deras.

"Bukan hanya mereka, tapi masih banyak yang belum kehilangan rasa cinta dan kepedulian padaku. Jika sudah begitu, bukankah aneh rasanya jika dengan egois aku menerima ajakanmu lalu membiarkan mereka terkekang lagi? Aku memang masih muda dan bodoh. Ada banyak kesalahan yang berulang kali terjadi. Ada banyak penyimpangan yang belum terselesaikan. Tapi aku akan terus percaya kepada mereka. Karena aku yakin, suatu saat nanti kegelapan akan lenyap dan mata garuda akan dapat kembali jelas memandang dari ujung ke ujung negeri, bersamaan dengan kepakan sayap yang membawa angin perdamaian."

"Naif," dengus si tuan besar. Kesal.

"Aku jauh lebih percaya kepada mereka yang sudah lama bersamaku dibandingkan denganmu. Aku tidak akan pernah menyerahkan hadiah dari pahlawan-pahlawanku di masa lalu hanya demi utopia semu. Kau mungkin tidak mengerti karena kami sudah terikat jauh sebelum nenek moyangmu menemukan tanah tempat rumahmu berdiri sekarang. Pulanglah, kau bisa sakit jika terlalu lama kehujanan."

"Tapi mereka ... sudah tak peduli. Kenapa? Bagaimana mungkin-"

"Bukankah sudah kukatakan padamu? Karena aku mencintai mereka."

=====

Cerpen yang menurut saya sendiri cukup aneh. Inspirasinya dari gaya personifikasi seri Hetalia Axis Power, tapi saya pake tokoh bikinan sendiri. Menulis cerita dengan membuat tokoh dari personifikasi sebuah negara ternyata susah. Terlebih, secara pribadi, saya bukan tipikal pemuda nasionalis yang "sangat cinta" kepada negara. Honestly, I don't really care ... ironis, ya?

Review-nya ya, reader =]
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Abis baca, jangan segan2 buat kasih komentarnya ya guys.. Supaya post selanjutnya bisa lebih bagus. Terimakasih... ^^,