Belum Saatnya | Flash Fiction

from alicekat.com


Belum Saatnya

 Mata gadis itu menatap tajam sosok yang ada di hadapannya. Seolah sebuah pisau bedah, tatapan itu menusuk jauh dan membelah dalam setiap senti rasa takut milik orang yang saat ini dipandangnya.

"Ini. Kukembalikan." Tangan gadis itu terulur ke depan. Menyerahkan sesuatu yang ada di telapak tangannya yang terbuka di depan dada pemuda itu.

"Kenapa? Bukankah aku sudah katakan padamu kalau kau bisa membuangnya jika tak mau?" Dari suara tegasnya, si pemuda nampak berusaha melawan ketakutan akibat tatapan tajam gadis yang berdiri 2 meter di depannya.

Gadis itu meraih tangan si pemuda. Lalu memberikan benda yang ada di tangannya kepada si pemuda itu. "Aku tak tega jika membuangnya. Benda ini terlalu indah jika harus dibuang. Lagi pula, kau lebih membutuhkannya daripada aku."

Pemuda itu terdiam. Matanya beralih ke benda yang memancarkan kilatan warna merah di tangannya. Matanya sembab.

"Maaf."

"Kau tidak salah, kak. Apa yang terjadi padaku adalah akibat dari tindakanku sendiri. Jika kau terlibat di dalamnya, aku tahu, itu karena kau sangat peduli padaku. Semua yang sudah kaulakukan bagiku sudah cukup untuk membuatku yakin. Sekarang, aku ingin membalasnya." Gadis itu menggenggam tangan si pemuda. Membimbingnya ke dada pemuda yang kini tak bisa lagi menahan panas di matanya.

Pandangan mereka saling beradu. Kali ini tatapan tajam itu mulai meredup, beralih menjadi tatapan teduh. Dalam satu kedipan, tangan si gadis bergerak menusuk dada si pemuda yang kemudian mengerang kesakitan. Perlahan kemudian, pemuda itu tumbang.

"Belum saatnya kau ada di sini, kak," ujar lirih gadis itu setelah melempar tubuh si pemuda ke dalam pusaran hitam. "Kau harus tetap hidup."


~ fin
Share:

Sekarang Giliranmu

dream by headlinebox.com

Sekarang Giliranmu


Setiap orang pasti punya mimpi. Namun, tak banyak yang memiliki cukup keberanian untuk berusaha mewujudkannya. Sebagian besar orang akan meletakkan mimpinya di sudut ingatan paling dalam lalu perlahan melupakannya. Orang-orang seperti itu lebih memilih hidup mengikuti arus, mencari situasi teraman yang minim risiko. Tapi ada sebagian kecil yang tetap gigih mewujudkan mimpinya di tengah kesulitan dan cercaan. Melawan arus. Bukan berarti ingin mencari sensasi, tapi karena mereka tahu, mimpi terlalu berharga jika hanya dibiarkan berlalu.


Dan sebagian lagi berpikir, mereka tak akan bisa hidup tanpa mimpi.


“Na. Bangun, Na. Sebentar lagi kita berangkat.” Pemuda berambut jabrik yang dari tadi tertidur itu perlahan mulai membuka matanya setelah keempat rekannya mengguncang-guncangkan tubuhnya.


Dengan mata yang masih tampak mengantuk, dia memandangi satu per satu wajah-wajah yang kini berdiri di hadapannya. Dia tersenyum sambil mengacungkan kedua jempolnya. “Good luck ya, guys. Gue masih ngantuk. Mau tidur dulu.”


“Arjunaaa!” pekik keempat orang itu sambil menyeret paksa tubuh yang jiwanya sudah terlempar jauh ke alam mimpi itu. Memasukkannya ke dalam mobil setelah sebelumnya mengganti pakaiannya dan berangkat menuju ke tempat tujuan mereka. Lokasi final ajang kompetisi grup band, Music Heroes.


“Ini anak makannya apa sih, kalo tidur gampang amat,” celetuk Fandi, si penggebuk drum, yang duduk tepat di sebelah Arjuna yang saat ini sedang tertidur.


“Tau tuh. Kalo lagi tidur sering bikin jantungan,” timpal Arka, gitaris, yang saat ini sedang bertugas sebagai sopir.


“Lho, emang kenapa, Ka?”


“Soalnya kalo lagi tidur, dia kayak orang mati! Susahnya minta ampun buat dibangunin. Hahahaha,” sela Genta, bassist, diikuti tawa teman-temannya.


Tawa menggelegar itu perlahan kehilangan intensitasnya dan mulai kembali berubah menjadi suasana hening. Hanya suara gitar Jo Satriani yang terdengar meraung di sela-sela deru mesin mobil yang dikendalikan Arka yang meluncur mulus membelah jalanan kota yang lengang.


Dari ekor matanya, Vina ,sang vokalis, menatap dalam-dalam wajah Arjuna yang terlihat menikmati waktu tidurnya. Dibandingkan ketiga laki-laki yang saat ini ada di mobil tersebut, sebagai perempuan, Vina memiliki perasaan yang lebih peka dan sensitif. Oleh karenanya, dia sering, entah secara sengaja atau tidak, diam-diam memperhatikan kegiatan Arjuna ketika tidak bersama mereka untuk mengurus band dan musik. Dan semalam pun, sesuai dengan jadwal “stalking”-nya, Vina datang ke kamar Arjuna. Mengamati pemuda bertubuh kurus itu berkutat di depan komputer dua layar dan sibuk berhadapan dengan berbagai aplikasi multimedia. Beberapa potongan video dan juga suara-suara hasil rekaman yang diputar berkali-kali.


“Menurut kalian, Arjuna benar-benar suka musik nggak sih?” Tiba-tiba Vina, sang vokalis, satu-satunya perempuan di dalam mobil itu bersuara.


“Suka lah, kalo nggak suka, mana mungkin dia ngumpulin kita?” Arka balik bertanya.


“Yah, gue cuma tahu kalau Juna ngajakin gue buat main musik dan wujudin mimpi gue. Heh, entah kenapa gue jadi ngerasa kalau selama ini gue nggak benar-benar kenal sama dia,” timpal Fandi.


“Menurut lo gimana, Ta?” Vina melempar pertanyaan kepada Genta yang nampak bertopang dagu mengingat-ingat sesuatu.


“Juna sebenarnya nggak benar-benar suka musik. Jauh di dalam hatinya, dia punya mimpinya sendiri. Tapi dia lebih suka melihat mimpi orang lain terwujud. Dia bukan tipe orang egois dan juga terobsesi pada mimpinya. Dia orang yang terlalu baik.” Genta menghentikan kalimatnya. Arka, Fandi, dan Vina melongo mendengar Genta yang biasanya paling sering berdebat dengan Arjuna, kali ini memujinya. “Kalian tahu kan video-video kita yang ada di Youtube? Gimana menurut kalian tentang video-video itu?”


“Keren banget, Ta,” Arka langsung menjawab.


“Iya, gue yang kuliah di jurusan Multimedia juga belum tentu bikin video yang sekeren itu.” Fandi menambahi.


“Mungkin, kalau bisa disebut sebagai bentuk keegoisan, video kita itu adalah salah satu bentuk keegoisan yang dimiliki Juna … yang nggak pernah dia pamerin ke kita,” ujar Genta.


“Jadi, sebenarnya Juna lebih suka video? Lebih tepatnya bikin video?” tanya Arka memastikan. Genta menjawabnya dengan anggukan.


“Mungkin lebih tepatnya, dia suka film. Suka banget,” kata Vina. 2 kata terakhir dia ucapkan dengan lirih, hampir tak terdengar. Arka, Genta, dan Fandi menghela napas panjang.


“Dasar tukang tidur,” ujar Fandi sambil menoyor kepala Juna. Dan suasana kembali hening.


“Kalian masih ingat nggak pertama kali kita ketemu terus sampai sekarang bisa main musik bareng?” Tiba-tiba Vina kembali bersuara. Seolah dapat saling membaca pikiran satu sama lain, keempat orang yang masih terjaga itu tersenyum. Masing-masing dari mereka mulai tenggelam dalam angan dan ingatan mereka sendiri. Dalam diam, angan-angan mereka seperti sepakat tertuju ke satu orang. Orang yang saat ini terlihat paling tenang karena sedang tenggelam dalam mimpi indahnya sendiri.


***


“Ta, nge-band yok,” ajak Arjuna kepada Genta yang masih sibuk berkutat dengan buku-buku materi di hadapannya. Dan sesuai perkiraan Arjuna, Genta seolah tenggelam di dalam lautan rumus dan peribahasa yang saat ini sedang dipelajarinya.


Tak mau lelah bersuara, Arjuna meraih gitar berwarna hitam yang bersandar di sudut kamar. Jari jemarinya mulai memposisikan diri di masing-masing kolom. Lalu, setelah memperoleh pose terbaik, dengan kaki kanannya menginjak meja kecil yang biasa mereka gunakan untuk bermalas-malasan di lantai, tangan kanan Arjuna mulai memetik satu demi satu senar gitar tersebut. Dan usaha itu berhasil. Wajah Genta mulai terangkat dan menoleh. Bukan hanya itu, dia pun berdiri dari kursinya dan mulai berjalan ke arah Arjuna.


Tepat di hadapan Arjuna, Genta berdiri. Tangan kanannya dengan sigap menggenggam lengan gitar yang sedang dimainkan oleh Arjuna, membuat suara gitarnya hilang. Lalu dengan mimik muka datar berkata,”Juna, berisik. Lo nggak bakat main gitar.”


“Emang gue nggak bisa main gitar, Ta. Lo sendiri tahu nilai seni musik gue waktu SMP dulu,” kata Arjuna setelah meletakkan gitar ke tempat semula.


“Terus, kenapa lo ngajak gue nge-band?” tanya Genta. Sepertinya dia mulai tertarik dengan ajakan Arjuna tadi.


“Ayo ikut aja dulu. Nggak bakal nyesel, deh.” Genta masih tidak mengerti apa mau Arjuna. Terlebih setelah melihat seringai di wajah Arjuna, dia mulai sedikit merasa takut. Wah, ada yang nggak beres nih.


Setelah bersiap-siap, Genta yang sudah menggendong bass kesayangannya yang terbungkus dalam tas hitam berjalan keluar mengikuti Arjuna ke arah motor MX hitamnya. Semenit kemudian, mereka sudah meluncur di jalan, menuju ke sebuah tempat yang Genta tidak tahu. Yang dia ingat, setelah mendapat sebuah pesan di ponselnya, Arjuna nampak bersemangat dan mengajaknya untuk segera berangkat.


“Sebentar lagi kita sampai,” ucap Arjuna kepada Genta ketika melewati sebuah pertigaan yang sepi dengan bangunan kosong di sekitarnya.


***


“Sumpah deh, kalo gue nggak temenan sama dia dari kecil, gue nggak bakal mau diajak ke tempat sepi kayak gitu. Berasa mau diculik,” tutup Genta sambil bergidik ngeri. Teman-temannya tertawa.


“Lo masih mending Ta, udah kenal dia dari kecil. Lah gue? Kenal cuma dari FB, eh tiba-tiba diajak main band. Berasa jadi target om-om pedofil deh gue,” kenang Arka. Lalu sebuah sepatu mengenai kepalanya. Membuat konsentrasi Arka sedikit terganggu dan mobil oleng sejenak sebelum bisa kembali ke jalur.


“Dilihat dari sisi mana pun, lo tuh sama sekali nggak imut, Ka,” ledek Fandi disambut tawa yang pecah di dalam mobil. Membuat suara melengking Axl Rose dari music player di dasbor mobil tak terdengar.


“Kampret lo.”


“Nah, lo sendiri gimana, Fan bisa kenal sama si Juna?” tanya Genta. Fandi tak langsung menjawabnya. Dia menghirup lalu menghela napas cukup panjang.


“Gara-gara dia, gue nggak jadi mati.” Kalimat itu sukses mengubah atmosfer di dalam mobil. Genta dan Vina menoleh ke arah Fandi yang berada di kursi paling belakang. Sementara Arka hanya memasang telinga. Mereka bertiga hanya mengenal Fandi tepat setelah dia diajak oleh Arjuna untuk mengisi posisi drummer yang kosong tanpa tahu seperti apa latar belakangnya. Itu pun karena Arjuna yang meminta mereka untuk tidak menanyakan masa lalu seseorang yang tidak ingin menceritakannya.


“Maksud lo, Fan?” selidik Vina. Fandi kembali menghela napas.


“Kalian pernah dengar insiden bullying di salah satu SMA ternama di kota kita?” Fandi melemparkan sebuah pertanyaan. Membuat Arka, Genta, dan Vina berpikir sejenak. Lalu dalam waktu yang hampir bersamaan mengucapkan kata “Ya.”


“Iya, Fan gue tahu. Beberapa tahun lalu, sempat ada insiden bullying ke seorang siswa yang menurut gue lumayan parah. Sampai korbannya gue dengar mutusin buat bunuh diri.” Vina menyampaikan jawabannya. Mendengarnya, Fandi tersenyum.


“Siswa malang itu … gue,” kata Fandi singkat. Genta, Vina, dan juga Arka tercekat. Mobil lagi-lagi hampir keluar dari jalan aspal.


“Somplak, nyetir yang benar,” bentak Genta kepada Arka.


“Sorry,” balas Arka sambil nyengir.


Fandi menyadari kekagetan teman-temannya itu. Sudah lama dia menyembunyikan masa lalu yang menyakitkan itu, tapi dia merasa sekarang adalah saat yang tepat untuk mengungkapkannya. Karena dia merasa orang-orang yang sedang duduk semobil dengannya saat ini adalah orang-orang yang dapat dia percaya.


“Jadi waktu itu …”


***


Fandi memasuki gerbang sekolah dengan raut wajah penuh kegelisahan. Semalaman dia tidak bisa tidur memikirkan seperti apa nasibnya hari ini. Ada ketakutan yang membayangi setiap langkah yang dia ambil. Semakin jauh dia masuk ke dalam sekolah, semakin berat tubuhnya dia rasakan. Semakin lama dia berjalan di koridor sekolah, semakin mencekam pula tekanan yang mencengkeramnya. Terlebih setelah dia memasuki kelas yang seharusnya bisa menyambutnya dengan baik layaknya seorang siswa SMA yang menyambut temannya. 

Tapi dia tidak mendapatkannya.


“Oy, si drummer busuk udah datang!” teriak salah seorang siswa laki-laki bertubuh besar dari tempat duduk yang berada di barisan paling depan. Bersamaan dengan itu, sorakan mulai terdengar.


Telinga Fandi terasa panas karena lagi-lagi harus menghabiskan harinya di sekolah dengan mendengar cemoohan itu. Tangan kirinya menggenggam erat tas punggung hitam yang ada di pelukannya. Sementara tangan kanannya memegang erat sepasang stik drum dengan warna yang sudah kusam.


Kepalanya yang dari tadi tertunduk terpaksa dia angkat ketika tiba-tiba ada tangan yang mengambil dengan seenaknya stik itu dari genggamannya. Anak laki-laki yang tadi meneriakinya. Saat ini sedang menggunakan stik drum kesayangannya untuk mengaduk-aduk tempat sampah setelah sebelumnya menggunakannya untuk  memukul-mukul meja dengan seenaknya.


“Benda ini nggak cocok dipakai buat mukul drum. Tapi lebih cocok buat ngaduk-aduk sampah. Hahahaha!” Tawa dan olok-olok yang di dengar Fandi hampir setiap harinya sama. Karenanya, dia dapat menahan dirinya.

Tapi hari ini berbeda.


Anak laki-laki bertubuh gempal itu berjalan mendekati Fandi. Lalu berbicara tepat di sebelah telinganya, “Apalagi pernah dipakai sama seorang pembunuh.”


Pembunuh. Kata terakhir yang diucapkan dengan penekanan itu sukses membuat dada Fandi mendidih. Pertahanan yang dia bangun selama berbulan-bulan akhirnya jebol. Tanpa berkata apa-apa lagi, sebuah bogem mentah berhasil mendarat di dagu pembully-nya. Membuat tubuh gempal itu tumbang hanya dengan satu pukulan. Dengan sigap, Fandi merebut stik drum itu dari tangan tubuh yang masih tergeletak kesakitan itu. Dia tidak menghiraukan teriakan histeris seisi kelasnya. Dia meraih ranselnya kemudian berlari keluar dari kelas.


***


“Tepat saat itu, hati gue benar-benar hancur. Entah kenapa gue nggak sanggup membalas ejekan itu. Mungkin karena ejekan itu benar. Setelah pergi dari kelas, satu-satunya yang gue pikirin cuma gimana caranya supaya gue bisa nggak perlu lagi dengar ejekan-ejekan itu lagi. Gue gelap mata. Dan satu-satunya solusi yang bisa gue dapat adalah … bunuh diri.” Fandi menarik napas dalam-dalam. Ada bulir-bulir air di sudut matanya. Genta, Vina, dan Arka masih diam. Mereka mempersilakan Fandi untuk bercerita, melepas semua beban yang ada di dalam dadanya.


“Hari di mana gue berencana mengakhiri hidup gue, gue ketemu sama tukang tidur satu ini,” kata Fandi sambil menunjuk muka Arjuna yang ilernya kian bertambah. “Ketika gue berencana buat lompat dari atap gedung tertinggi sekolah, suasana sedih gue dirusak sama Juna dengan suara gitarnya yang fals dan suara cempreng dia yang bikin telinga sakit.”


“Juna banget,” celetuk Genta. Diikuti tawa Arka dan Vina.


“Terus, Fan?” pinta Vina. Tiba-tiba Fandi tertawa, membuat pendengarnya kebingungan.


“Gue gagal bunuh diri, Vin. Yang ada, gue malah ngasih ceramah panjang lebar ke Juna soal musik dan lain sebagainya.” Fandi kembali tertawa. Lalu kembali melanjutkan. “Dan satu kalimat balasan dari dia setelah gue ceramah berhasil nampar gue sangat keras.”


Genta dan Vina menoleh ke arahnya, sementara mata Arka nampak melirik dari cermin dasbor. Meminta kelanjutan cerita itu. Fandi nampak menikmati raut muka penasaran ketiga pendengarnya tersebut. Dia pun tersenyum. “Juna bilang, ‘kalau lo masih sebegitu cintanya sama musik, kenapa lo pengen bunuh diri?’”


“Dan harusnya lo malu sama diri lo sendiri. Kenapa kalimat-kalimat dari orang luar bisa mengusik mimpi yang lo punya. Padahal cuma diri lo sendiri yang lebih tahu betapa hebatnya mimpi itu dari orang lain.” Tiba-tiba terdengar suara yang bukan dari milik keempat orang itu.


“Junaaa?!” pekik keempat orang itu mendapati si tukang tidur ternyata sudah bangun dan dengan wajah tak berdosa ikut nimbrung dalam perbincangan mereka.


***


Malam ini, The Sophomores, band yang digawangi oleh Vina, Arka, Genta, dan Fandi sukses menghibur pecinta musik yang menghadiri acara final Music Heroes sebagai bintang tamu. Lagu-lagu yang mereka bawakan berhasil menyihir para penonton untuk melompat dalam beat cepat dan melambaikan tangan kala terbawa dalam alunan ballad. Dan setelah menyanyikan 3 lagu, mereka turun. Setibanya di belakang panggung, mereka berempat sudah ditunggu oleh seseorang.


“Kalian luar biasaaa~” ucap Arjuna sambil mengacungkan kedua jempolnya. Genta, Arka, dan Fandi merangkul Arjuna. Hanya Vina yang nampak enggan bergabung dengan keempat pemuda itu. Wajar, karena dia satu-satunya perempuan di antara mereka.


“Juna,” panggil Vina. Yang dipanggil pun melepaskan diri dari teman-temannya. Mendekat ke tempat Vina berdiri.


“Kenapa, Vin?” tanya Arjuna sesampainya di hadapan Vina.


Vina tak langsung menjawab pertanyaan itu. Kepalanya masih tertunduk. Setelah menghela napas panjang, dia mengulurkan sesuatu kepada Arjuna. Sebuah map warna merah marun dengan sebuah logo universitas di sampulnya. Hal itu ternyata tak hanya menarik perhatian Arjuna, tetapi juga ketiga temannya.


“Apa ini?” tanya Arjuna ketika menerima map itu.


“Juna, gue tahu sebenarnya lo punya mimpi yang lebih besar dari gue dan teman-teman. Gue juga tahu selama ini lo berusaha dukung kita dengan kebohongan lo tentang kecintaan terhadap musik. Diam-diam gue selalu ngelihat lo sibuk di depan komputer setiap malam.” Kalimat Vina tertahan.


“Tanpa sepengetahuan lo, gue ngirim salah satu film yang lo bikin buat ujian masuk akademi perfilman itu. Maafin gue, Na. Tapi gue … gue pengen lo mulai berpikir buat menggapai mimpi lo sendiri. Sekarang giliran lo Na, setelah selama ini ngebantu kami untuk mewujudkan mimpi kami. Jadi--”


Vina tak butuh kalimat dan kata untuk mengetahui jawaban Arjuna. Karena sebuah pelukan erat dan hangat sudah cukup untuk menggambarkan jawaban Arjuna saat itu juga. Tak mau ketinggalan, Genta, Arka, dan Fandi pun ikut membaur. Berbagi kebahagiaan tentang bagaimana sebuah mimpi yang akhirnya dapat terwujud.


Setiap orang pasti punya mimpi. Namun, tak banyak yang memiliki cukup keberanian untuk berusaha mewujudkannya. Sebagian besar orang akan meletakkan mimpinya di sudut ingatan paling dalam lalu perlahan melupakannya. Tapi ada sebagian kecil yang tetap gigih mewujudkan mimpinya di tengah kesulitan dan cercaan. Melawan arus. Bukan berarti ingin mencari sensasi, tapi karena mereka tahu, mimpi terlalu berharga jika hanya dibiarkan berlalu.


Ada pula yang berpikir, mereka tak akan bisa hidup tanpa mimpi. Sementara ada beberapa yang berpikir bahwa sebuah mimpi mampu menyelamatkan hidup seseorang.


Dan mungkin nanti, kau akan menemukannya. Seseorang yang cukup tulus untuk membohongi diri dan mimpinya sendiri demi orang lain. Karena dia tahu betapa membahagiakannya dapat melihat sebuah mimpi yang terwujud, sekalipun itu bukan miliknya.

~ fin

Okay, mohon review-nya yaaa ^^ 
Share:

Selepas Hujan | AndraxNindi Story

https://lamifidel.files.wordpress.com/2011/09/sun-rays-after-rain.jpg
pic from lamfidel.wordpress.com
 
"Selepas Hujan"


"Yuk pulang," ajakku kepada Nindi yang masih berkutat dengan ponselnya. Dia bergeming.

"Cantiiik~" Kali ini jari-jariku memerangkap hidung mancung Nindi. Memaksanya menengadah. Mengalihkan pandangannya kepadaku.

Tangan kanannya langsung menampik udara. Gagal mengenai tanganku yang sudah duluan menghindar. "Aku udah cantik dari lahir, Ndra." Nindi menjulurkan lidahnya.

Aku tersenyum. Tanpa bicara apa pun, aku bangkit dan mulai melangkah meninggalkan halte. Setelah melangkah sejauh 5 meter, dari ekor mataku, aku melihat Nindi yang berlari mengejarku.

"Andra! Kok aku ditinggal." Nindi cemberut.

"Kamu dari tadi sibuk sendiri, sih," balasku sambil menunjuk ponsel dengan softcase warna biru di genggamannya. Nindi tersenyum.

Hujan baru saja reda beberapa menit yang lalu. Jalan aspal dan trotoar yang kami lewati masih basah menyisakan jejak air yang tadi sempat bergemuruh. Namun hawa dingin yang sejak tadi menyergap masih tertinggal. Beberapa kali kulirik Nindi yang nampak menggigil. Jaketnya terlalu tipis untuk menangkis dingin.

"Nin."

"Hm?" Matanya masih terpaku di layar ponselnya. Lalu memasukkan ponsel tersebut ke dalam tas.

"Dingin nggak?" tanyaku.

"Iya, nih. Mana jaketku tipis lagi." Nindi menyilangkan tangannya. Mendekap tubuhnya sendiri. Ah, ingin rasanya aku menggantikan kedua tangannya yang kurus itu.

"Nih." Kupakaikan jaketku yang cukup tebal ke tubuhnya yang mungil. Kedua tangannya reflek menerimanya. Dia hanya diam.

"Udah nggak dingin, kan?" tanyaku memastikan. Nindi hanya menjawabnya dengan anggukan. Tangannya yang sudah masuk ke dalam lengan jaket tebalku kembali meraih ponsel lagi. Jemarinya dengan lincah menari di atas layar.

Kami berjalan dalam diam. Karena kehabisan bahan ngobrol, aku ikut-ikutan mengeluarkan ponsel hitam yang sudah baret-baret di sana sini. Dengan beberapa kali ketukan, layar selebar 4 inchi di genggamanku sudah menampilkan sebuah halaman berisi baris-baris kalimat dengan sebuah logo burung berwarna biru. Twitter.

Jariku berhenti men-scroll layar ketika mataku menangkap sebuah tweet di halaman tersebut.

"Aku menyukai hujan, seperti aku menyukaimu. Memang seringkali terasa dingin, tapi selalu ada kejutan yang bisa menghangatkanku."

Tweet dari sebuah akun dengan avatar sebuah kacamata ber-frame hitam dengan username yang sangat kukenal.

Jantungku seolah tersengat listrik. Tersentak, hampir membuatku pingsan. Mataku beralih dari ponselku. Melirik pemilik akun yang saat ini sedang senyum-senyum sendiri di sebelahku. Apa-apaan ini?

 ~ fin
Share:

Heartbeat Memory #4 - Daybreak

daybreak cerbung
daybreak from wikinut.com

Daybreak

Bersamaan dengan itu, cahaya yang sedari tadi menyelubungi Saga dan Emilia mulai memudar dan perlahan lenyap. Meninggalkan Emilia yang kemudian jatuh terduduk. Tangannya tergenggam erat di depan dadanya.

“Emi!” Rika dan Ren bergegas mendekati Emilia.


“Rika … aku berhasil mengungkapkan perasaanku kepada Saga,” diikuti sebuah senyum.

Tangis Rika meledak. Dia menghambur memeluk Emilia yang pada akhirnya tak dapat menahan tangisnya. Ren memandang jauh ke langit. Ke titik terang yang memancarkan sinar perak. Lalu tersenyum dan berjalan menjauh. Memberikan waktu bagi dua wanita yang saat ini sedang saling menguatkan satu sama lain.


***


“Terima kasih, kau sudah membebaskanku.” Saga mengusap pucuk rambut Emilia. “Sudah saatnya aku pergi.”


“Apa maksudmu? Kau akan pergi ke mana?” tanya Emilia.


“Emmm … aku harus pergi ke tempat seharusnya aku berada. Tempat yang cukup jauh,” kata Saga yang akan berbalik.


“Apakah kau akan kembali?” Tangan Emilia menarik ujung sweater Saga.


“Entahlah. Tapi jika kau merindukanku, kau bisa menunggu Venus muncul. Aku akan datang menemuimu.” Tangannya meraih tangan Emilia.


Saga berbalik. Dia berjalan menuju selubung cahaya yang menyilaukan mata Emilia. Semakin jauh, punggung itu dari pandangan mata. Rambut perak berkilau itu pun perlahan seolah memaksa Emilia untuk tak melihatnya untuk terakhir kalinya. Membuat Emilia ingin menjerit sekuatnya memanggil pemilik nama Saga itu agar kembali.


***


Emilia mengerjapkan matanya. Mimpi itu datang lagi. Sebenarnya bukan sekadar mimpi, tapi ingatan tentang kenangan terakhirnya bersama Saga. Jika dia pikir-pikir lagi, semua kejadian yang dia alami hari-hari sebelumnya memang benar-benar terasa seperti mimpi. Sebuah mimpi yang sangat nyata baginya.


“Pembohong,” gumam Emilia sambil memandang rona merah langit timur tanda matahari mulai naik melewati horizon. Dia berbalik, meninggalkan balkon rumahnya lalu bersiap untuk berangkat ke kampus.


“Emi, apa kau sudah menyelesaikan tugas essay dari Pak Darwin?” tanya Rika yang duduk di hadapannya.


“Ah, ya. Sudah selesai, ada apa? Kau ingin menconteknya?” tanya Emilia waspada.


“Ya ampun, aku hanya bertanya, Emi. Kau jahat sekali.” Rika cemberut. Pipinya memerah. Emilia yang melihatnya tertawa terbahak. Mendengar tawa itu, Rika mau tak mau harus merasa terharu. Sudah lama tawa itu tak dia dengar. Dan kini, setelah mencubit kedua pipinya sendiri dan merasa sakit, dia merasa lega kalau dia tidak bermimpi.


“Rika, kau tahu? Setiap pagi aku selalu menunggu Venus muncul. Tapi sampai langit cerah, aku tidak bisa bertemu dengan Saga. Ah, aku merindukannya.” Mata Emilia menerawang melewati kaca jendela kantin.


“Emilia,” panggil Rika, dengan lengkap. Ada kekhawatiran di suaranya.


“Hehehe, tenanglah Rika. Aku tahu kalau aku mungkin tidak bisa bertemu lagi dengan Saga, meskipun aku sangat merindukannya. Lagipula …” Emilia menggantung kalimatnya.


“Lagipula?”


“Apa yang akan kau lakukan dengan lelaki yang dari tadi duduk di sampingmu ini?” tanya Emilia sambil mengarahkan pandangannya ke sebelah Rika. Membuat Rika menoleh.


“Ren?!” Rika kaget dan sedikit bergeser dari duduknya semula.


“Hai, Rika. Emilia,” sapa Ren. Tiba-tiba saja atmosfer berubah kikuk.


“Ah, aku lupa. Aku ada janji untuk menjaga perpustakaan siang ini. Aku duluan, ya.” Emilia beranjak dari duduknya. Sebenarnya janji yang dia sebutkan bohong. Dia hanya ingin memberikan waktu kepada Ren dan Rika untuk berdua, karena dia tahu, sudah lama Rika menyukai Ren. Dan baru kemarin, Ren curhat kepadanya kalau dia jatuh cinta kepada Rika, setelah dia ditampar oleh Rika sewaktu di atap tempo hari. Masokis.

Dan sepertinya atmosfer kikuk justru semakin kuat seperginya Emilia.


“Ya ampun, mereka pandai menguatkan dan memberi semangat orang lain, tapi payah ketika menguatkan diri mereka sendiri,” gumam Emilia.

Kelas berikutnya masih sekitar 45 menit lagi. Karena tak ada yang bisa dia kerjakan, Emilia memutuskan untuk pergi ke ruang klub astronomi. Ada beberapa buku yang ingin dia baca di sana. Langkah ringannya membuat Emilia sudah hampir tiba di ruang klub, ketika tiba-tiba dia menabrak seseorang saat berbelok di sebuah koridor hingga terjatuh.


“Oh. Apa kau terluka?” Terdengar suara diikuti sebuah uluran tangan.


Emilia mendongak. Matanya terbelalak melihat wajah yang diliputi kecemasan itu. Bukan, bukan karena gurat kecemasan itu, tapi Emilia terkejut karena sosok yang tiba-tiba muncul di hadapannya saat ini memiliki wajah yang sangat mirip dengan seseorang yang sangat dia kenal. Terlebih rambut berwarna perak yang memikat itu.

~ END(?)
Share:

Seandainya | AndraxNindi Story

http://vignette1.wikia.nocookie.net/devil-survivor-2-the-animation/images/8/8d/Airi_punches_Jungo.png/revision/latest?cb=20130519082317
ilustrasi dari anime Devil Survivor 2 The Animation

'Seandainya'


"Nin, nanya boleh?" tanya Andra.

"Boleh, tapi bayar," jawab Nindi sambil menahan tawa.

"Ya udah, nggak jadi. Dasar matre." Andra mendengus kesal.

Kalimat itu dibalas dengan jitakan tepat di ubun-ubun Andra. Dia mengusap kepalanya sambil meringis kesakitan. Sementara Nindi nampak memasang tampang cemberut andalan. Pipi yang menggembung dan bibir manyun. Pose yang selalu muncul tiap kali Andra membuatnya kesal. Dia tidak menyadari kalau ada mata yang menikmatinya. Ya, siapa lagi kalau bukan Andra.

"Aku rela deh Nin, kamu jitakin sampe botak asal bisa lihat tampang cemberut kamu yang menawan itu," ucap Andra sambil membalik halaman buku di hadapannya.

"Bodo!" bentak Nindi. Wajahnya memerah. "Kamu mau tanya apa, tadi?"

"Gini. Andai suatu saat nanti, kamu dinyatakan punya penyakit yang nggak bisa sembuh lalu divonis bakal mati nggak lama lagi, apa yang akan kamu lakukan?" Pertanyaan itu terlontar tanpa Andra sedikit pun berpaling dari bukunya. Entah kenapa Nindi tiba-tiba merasa khawatir.

"Ndra, kenapa kamu--"

"Udah, jawab aja," potong Andra. Nindi menelan ludah.

"Aku ... bakal ... menghabiskan sisa waktuku sama keluarga dan melakukan hal-hal yang menyenangkan bareng orang yang kucintai." Pipi Nindi kembali memerah.

"Indahnya. Kalau aku apa ya?" Kali ini Andra menutup bukunya. Dari ekor matanya, Nindi melihat Andra yang mendongak dengan tatapan menerawang jauh.

"Kamu ... nggak papa kan, Ndra?" Kali ini kekhawatiran Nindi tak bisa disembunyikan. Dari balik kacamata ber-frame hitamnya, Nindi menatap lekat Andra.

"Hiii! Nin, kenapa?" Andra kaget melihat cara Nindi menatapnya.

"Eh, nggak." Nindi berusaha menyembunyikan sikap kikuknya yang, sayangnya, sudah terbaca Andra.

"Kalo aku ... mungkin bakalan nraktir kamu bakso sampe warungnya tutup," kata Andra diirungi senyuman yang memamerkan barisan gigi yang putih menawan. Kali ini, Nindi yang diam-diam menikmati senyuman itu.

"Ndra."

"Apaan?"

"Kapan kamu mau kena penyakit yang parah terus nggak bisa sembuh?" tanya Nindi. Membuat Andra merinding. Dia bingung kemana pergi kekhawatiran Nindi tadi. Ah, pasti karena bakso.

"Dasar penggila bakso. Tega amat mentingin bakso daripada nyawa teman sendiri. Lagi pula ...." Kalimat Andra tertahan di ujung lidah.

"Lagi pula?"

"Kalau emang suatu saat nanti tiba-tiba waktuku diperpendek Tuhan, yang bakal aku lakukan adalah ngungkapin perasaanku ke kamu. Dan aku nggak bakal mati sebelum melakukannya," ucap Andra. Di dalam hatinya. Membuat Nindi merinding melihat Andra senyum-senyum sendiri.

"Ndra?"

"Aku lapar. Ke tempatnya pak Aji, yuk. Aku yang traktir," kata Andra sambil berdiri merapikan barang-barangnya.

"Sampe warungnya tutup?" tanya Nindi dengan tampang polos. Andra bereaksi dengan menjulurkan tangannya ke wajah Nindi lalu mencubit kuat-kuat hidung mancungnya hingga memerah. Membuat pemiliknya meronta kesakitan.

"Kamu beneran mau aku mati?!"
 
~ fin
 
Yay! Cerita AndraxNindi baru nih. Review-nya ^^ 
Share:

Heartbeat Memory #3 - Iblis Karma

http://img00.deviantart.net/8fd9/i/2008/214/8/c/if_i_was_a_heartless_by_launite.jpg
heartless by launite@deviantart

Sebelumnya,

"Tak perlu khawatir," kata seseorang yang sudah berdiri di samping Rika, "mereka akan baik-baik saja."
Rika menoleh dan kaget melihat siapa yang ada di sampingnya saat ini, "Ren?!"

3 – Iblis Karma
"Tapi, apa yang sebenarnya terjadi? Bukankah Saga seharusnya sudah meninggal? Lalu, bagaimana kau bisa ada di sini?" Pertanyaan Rika meluncur begitu saja. Rasa ingin tahunya lebih unggul dari kecemasan dan kepanikannya. Dasar Rika.
Ren tak langsung menjawabnya. Dia mengarahkan pandangannya ke ujung cahaya yang menyelubungi Saga dan Emilia. Rika memandanginya dengan penuh rasa takjub dan heran. Jujur saja, jika dia lebih memilih untuk menjadi egois, mungkin dia sudah dengan penuh semangat mengejar Ren dari dulu. Dia jatuh cinta padanya, tepat setelah mereka berebut sebatang coklat edisi khusus di sebuah toko. Tapi, dia rela meredamnya demi menolong seseorang yang sudah dia anggap sebagai saudaranya sendiri. Dia merelakan apa yang orang-orang sebut "cinta" demi sesuatu yang menurutnya berharga. Ah, betapa indahnya.
"Saga memang sudah mati, tapi dia tidak benar-benar mati." Kalimat yang diucapkan oleh Ren entah kenapa terasa tak enak didengar oleh Rika. Terutama kata "mati" yang dua kali dia dengar. Rika tak menyukainya.
"Eh, maaf," kata Ren ketika melihat ekspresi Rika, "Saga sedikit berbeda dari kita. Dia-- awas!"
Rika yang sedang fokus mendengarkan kalimat Ren tiba-tiba dikagetkan oleh tangan yang menarik tubuhnya. Membuatnya tenggelam ke dalam dada busung Ren yang kemudian berguling di atas lantai. Rika baru tersadar dan kembali mengontrol dirinya ketika dia melihat Ren tepat berada di bawahnya.
"Kau ... lumayan berat, ya." Wajah Rika memerah, lalu langsung menampar Ren dan berusaha menghindar.
"Apa kau tidak paham kalau mengomentari berat badan perempuan itu tidak sopan?!" bentak Rika. Pipinya masih semerah tomat. Ren melongo.
"Hahaha, maaf. Aku memang payah kalau berurusan dengan perempuan," canda Ren sambil menepuk-nepuk pakaiannya yang kotor.
"Lalu, apa-apaan yang tiba-tiba kau lakukan tadi?" Ren menjawab pertanyaan Rika dengan satu acungan jari ke arahnya berdiri tadi. Rika menoleh, lalu menutupi mulutnya ketika melihat bekas hitam terbakar di situ.
"Apa ini?" tanya Rika gugup.
"Percikan api."
"Api? Aaah, aku benar-benar tidak mengerti!" ujar Rika kesal.
"Rika. Apa kau pernah mendengar cerita tentang 'Iblis Karma'?"

***
Ini adalah kisah yang terjadi sekitar delapan puluh tahun yang lalu. Ada seorang anak laki-laki yang tinggal di sebuah desa. Dia adalah seorang anak yang sangat cerdas dengan masa depan yang sangat terang dan menjanjikan. Tapi meskipun dia terlihat begitu sempurna, dia tetap memiliki sebuah cacat. Saat ia mulai tumbuh, cacat ini semakin nampak dan semakin jelas terlihat. Ia sangat bangga pada kecerdasan dan melihat segala sesuatu yang lain dengan pandangan jijik dan meremehkan.
Dia berpura-pura untuk menerima pelajaran di sekolah dan dari orang dewasa di sekitarnya, tetapi nyatanya pelajaran penting yang seharusnya dia terima tak pernah benar-benar bisa mencapai hatinya. Dia mulai mencemooh kebodohan orang dewasa dan menertawakan hukum dunia.
Arogansi mulai menabur benih-benih karma.
Anak itu secara bertahap mulai menjauh dari lingkaran pertemanan. Menghindar dari keramaian dan mengurung diri dalam kesendirian. Kesepianlah satu-satunya yang menjadi pendamping dan kepercayaannya.
Kesepian adalah tempat persemaian sempurna untuk karma.
Dalam kesendiriannya, anak itu menghabiskan banyak waktu untuk berpikir. Dia berpikir tentang hal-hal yang seharusnya dilarang untuk dipikirkan dan mempertanyakan hal-hal yang lebih baik dibiarkan saja.
Pikiran yang tak jernih menyebabkan karma tumbuh tak terkendali.
Anak itu tidak sadar kalau dia sedang menciptakan lebih dan lebih banyak karma, hingga dia berubah menjadi sesuatu yang tidak manusiawi – Iblis Karma. Sebelum ada yang tahu, desa itu sudah kosong. Semua orang telah melarikan diri dalam ketakutan bayang-bayang Iblis Karma.
Anak itu, Sang Iblis Karma, memutuskan pergi untuk hidup di hutan, tapi semua binatang di hutan pun juga menghilang. Ketika Iblis Karma berjalan, tanaman di sekitarnya tiba-tiba bergerak dan berubah menjadi berbagai bentuk yang tak terbayangkan lalu membusuk dan pada akhirnya mati. Semua makanan yang tersentuh olehnya berubah menjadi racun yang mematikan. Iblis Karma berkeliaran tanpa tujuan melalui bangkai-bangkai hewan, hutan yang termutasi. Akhirnya, ia memperoleh satu kesimpulan.
Dia tak seharusnya hidup di dunia ini.
Iblis Karma meninggalkan kegelapan hutan. Di tepi hutan, di sebuah puncak bukit, ia melihat hal itu. Dihujani oleh cahaya berkilauan, sebuah danau yang dalam terletak di pegunungan. Iblis Karma perlahan berjalan ke danau, berpikir bahwa air yang murni seperti ini pasti akan membersihkan dirinya dari karmanya. Tetapi satu detik setelah dia melangkah masuk ke dalam dalau, air di sekitarnya langsung menjadi gelap dan keruh, dan mulai berubah menjadi racun.
Dia ingin menangis, namun tak ada satu tetes air matapun yang keluar dari matanya. Di dalam dirinya mulai muncul rasa dingin. Menyakitkan. Tak tertahankan. Lolongannya yang tak terdengar membelah malam. Penyesalan akan kebanggaan.
Bagaimana rasanya kehilangan sesuatu yang sangat kau banggakan?
Hingga seseorang muncul di depan matanya yang telah memerah. Seorang yang menjanjikannya sebuah pembebasan.
***
“Penyesalannya berbuah pada sebuah keputusan. Dia tidak bersikap seperti manusia. Tidak menggunakan hati untuk berinteraksi. Iblis Karma tahu, hidupnya benar-benar tak lagi perlu. Lalu … dia pun membelah dadanya sendiri lalu mencabut jantungnya. Berharap dia akan mati. Tapi karmanya melebihi apa yang dia kira. Iblis Karma tetap hidup bahkan setelah jantungnya berhenti berdetak, tepat di hadapannya.”
“Sa—“
“Aku adalah Iblis Karma itu,” tutup Saga. Emilia masih tak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. Tiba-tiba tangan Saga meraih tangan Emilia lalu menuntunnya ke dadanya.
“Apakah kau bisa merasakannya?” tanya Saga. Dada Emilia terasa sesak. Air matanya mulai mengalir membasahi pipinya. Dia tak merasakan apapun di telapak tangannya. Dia tak merasakan denyut jantung Saga!
“Karena itulah,” lanjut Saga, “aku tidak mungkin bisa bersama denganmu, Emilia. Meskipun aku merasakan hal yang sama denganmu.”
“Tapi … aku tidak apa-apa. Aku bisa menerimanya. Aku—“
“Kau juga akan mati jika terlalu lama dekat denganku! Apa kau lupa dengan semua rasa sakit dan berapa kali kau pingsan setiap bersamaku?” potong Saga.
Tangan mungil Emilia mengusap wajah Saga. Ada senyuman yang terlukis di wajah yang masih menitikkan air mata. Perlahan, merangkul tubuh kurus Saga ke dalam pelukannya. Membuat Saga hendak memberontak, tetapi kemudian diam ketika perlahan merasakan kehangatan untuk pertama kalinya. Di dalam pelukan Emilia, dia menutup matanya, merasakan sesuatu yang selama ini dia cari. Air mata yang selama ini seolah mongering, perlahan cair dan mengaliri pipi tirusnya.
***
“Lalu, apa maksudnya pembebasan itu, Ren?” tanya Rika.
“Dia akan terbebas dari karma ketika ada orang yang dapat memberikannya cinta. Dan kupikir, Emilia adalah orang yang dimaksud,” kata Ren. Tapi dari sudut matanya, Rika dapat melihat raut tak bahagia di wajah Ren.
“Apa kau cemburu? Kenapa wajahmu seperti itu?”
“Ah, tidak. Hanya saja.” Ren memberikan jeda yang cukup lama, hingga dia melanjutkan kalimatnya, “Iblis Karma adalah makhluk yang hidup karena karma yang ada di tubuhnya. Jika karma itu terangkat, maka ….”
“Dia akan mati.” Rika membungkam mulutnya.

===

~ bersambung
Share: