Heartbeat Memory
#2 - Rooftop
Malam semakin gelap. Suasana pun terasa semakin senyap, hanya suara hewan malam yang terdengar seolah sedang melantunkan nada rindu entah ke mana. Bagi Emilia, perburuan malam ini terasa menyenangkan. Bukan karena ini pertama kalinya pergi bersama klub astronomi. Toh, dia malah "menghilang" dan justru pergi bersama Saga. Namun karena bersama Saga lah, dia benar-benar merasa senang. Meski sebenarnya hampir tiap saat dia akan menemui Saga ketika malam tiba.
"Sudah larut. Sebaiknya kau kembali ke kamp," kata Saga memecah sepi.
"Tidak! Aku ingin tetap bersamamu, setidaknya sampai venus muncul." Emilia berkeras. Kali ini, Saga mau tak mau harus menyerah kepada sifat keras kepala Emilia.
"Kalau begitu, kita ke vila saja. Dinginnya mulai terasa," ajak Saga sambil merapikan peralatan.
Mereka berjalan ke sebelah timur bukit. Ke arah sebuah vila yang letaknya agak jauh dari pemukiman. Selama perjalanan, sesekali mereka membicarakan hal-hal astronomi, atau sekadar saling melempar candaan kemudian tertawa satu sama lain. Tak ada satupun dari mereka yang benar-benar mencoba membicarakan hal yang paling dalam yang mereka pendam satu sama lain.
"Jadi, alasan apa yang nanti akan kau katakan kepada teman-temanmu setelah menghilang semalaman?" tanya Saga setelah meletakkan 2 gelas berisi teh di atas meja.
"Uh, em ... cukup bilang kalau aku tersesat lalu diselamatkan oleh pemuda tampan dan menginap di tempatnya," kata Emilia yang disambut dengan sebuah nampan yang mendarat di atas kepalanya. Emilia meringis.
"Kau pikir kita ada di dalam cerita dongeng?" tanya Saga. Emilia tersipu.
"Tapi, aku benar-benar berpikir kalau saat ini aku sedang berada di dalam dongeng." Seulas senyum terlukis di wajah Emilia. Membuat wajah Saga memerah dan aliran darahnya serasa berbalik. Tapi sejurus kemudian, dia tenggelam dalam kecamuk pikirannya sendiri. Dia berdiri di samping jendela menatap langit malam, tidak menyadari Emilia yang berdiri di dekatnya.
"Saga, aku ingin menyampaikan sesuatu padamu." Saga kaget melihat Emilia yang sudah berdiri sangat dekat dengannya.
"Ap-" Saga kaget sampai tak bisa berkata.
"Sebenarnya, aku ... sejak pertama kali bertemu denganmu ... ak-" Sebuah kilatan cahaya yang muncul tiba-tiba membuat Emilia mendadak merasa lemas. Dia mengangkat kepalanya, mendapati wajah Saga yang tertunduk tertutup oleh rambut perak yang seperti memantulkan cahaya-cahaya malam. Perlahan, dia merasakan tubuhnya diangkat lalu diletakkan di sofa. Kesadarannya perlahan memudar. Dalam kondisinya tersebut, matanya samar-samar melihat sosok Saga yang nampak mulai menjauh.
***
Emilia dan Rika duduk di sebuah sofa yang kainnya mereka singkap.
Sebuah sofa berwarna merah marun. Tangan kanan Emilia menyusuri pegangan
samping sofa tersebut. Dia meletakkan kepalanya di situ tanpa menghiraukan
tatapan aneh Rika.
"Ini aroma parfum Saga, Ka," kata Emilia. Matanya terpejam.
"Emi. Apakah kau benar-benar sudah ingat tentang Saga?" tanya Rika sedikit khawatir. Emilia bangkit.
"Ya, tentu saja aku ingat. Pendiri dan mantan ketua klub astronomi, mahasiswa semester 4 jurusan bahasa. Dan-"
"Dia sudah meninggal 6 bulan yang lalu, Emilia!" potong Rika. Tangannya memegang pundak Emilia. Ada sedikit kekagetan di raut wajah Emilia.
"Aku tahu, Rika. Aku juga di sana saat kebakaran melahap rumah Saga," ujar Emilia tenang. Begitu tenang hingga membuat Rika kebingungan.
"Tapi kenyataannya, aku masih sering bertemu dengannya. Saat malam di acara kamp klub astronomi, aku kembali bertemu dengannya. Bahkan saat itu, di sini, aku mencoba mengutarakan perasaanku. Tapi ..." Emilia memegangi kepalanya. Denyutan itu kembali terasa.
"Emi, ada apa?" Rika membantu Emilia bersandar.
"Aku tidak apa-apa. Hanya sedikit pusing."
"Um ... vila ini terawat bukan? Mungkin ada minuman di dapur. Biar kucarikan sesuatu untukmu," kata Rika. Dia bangkit lalu berjalan ke arah yang ditunjuk Emilia. Meski berkata seperti itu, sebenarnya Rika sendiri tak yakin bisa menemukan sesuatu di sini.
"Mana mungkin ada makanan dan minuman di tempat ini?" desah Rika pelan. Tangannya membuka pintu lemari es. Matanya terbelalak mendapati bagian dalam lemari es yang setengah terisi penuh. "Delusi Emi sedikit berlebihan."
Setelah mengambil sebotol air dari dalam lemari es, Rika mengambil dua buah gelas dari rak. Matanya menangkap dua gelas kotor di tempat cucian. Lagi-lagi dia bergumam, "Ya ampun, Emi."
Rika berjalan kembali sambil menenteng sebotol air mineral dan dua buah gelas. Dia masih terus memutar otak bagaimana menarik Emilia dari delusinya, terlebih kini ada sosok Ren yang kapan saja akan siap berada di samping Emilia. Tapi sepertinya tidak untuk malam ini.
"Ren, ya? Orang yang baik, tapi tuan putri yang satu ini sepertinya cukup sulit untuknya."
Setelah meminum segelas air yang dibawa Rika, rona wajah Emilia terlihat lebih cerah. Sepertinya pusing yang dia rasakan sudah sedikit reda. Mereka mulai kembali mengobrol setelah Rika membukanya dengan topik yang ringan. Sebenarnya, bukan tanpa maksud Rika mengajak Emilia mengobrol. Dia hanya sedang mencari timing yang pas untuk membicarakan Ren. Bukan berarti Rika tak peduli dengan perasaan Emilia. Justru karena dia tahu betul tentang seberapa penting seorang Saga dan bagaimana insiden beberapa bulan lalu telah merenggut sahabat terbaiknya. Dan dia hanya ingin Emilia kembali dari khayalannya.
"Rika, ayo kita ke atap." Emilia sudah berdiri sebelum Rika menyadarinya.
"He? Ini sudah malam, Emi," kata Rika beralasan.
"Sudahlah, ikut saja. Ayo." Emilia meraih tangan Rika yang belum sempat menyampaikan keberatan. Lalu menariknya, memaksa Rika berlari mengikuti Emilia menaiki tangga. Sekilas, Rika dapat melihat senyum di wajah Emilia. Senyum yang membuat Rika berpikir keras untuk memaknainya. Dia tak tahu harus merasa sedih atau bahagia. Dia tak tahu harus berbuat apa.
***
Angin malam berhembus pelan. Menyibak rambut perak Saga yang nampak berkilau di bawah paparan cahaya bulan. Sweater dan syal yang melingkari lehernya sudah cukup untuk menghangatkan sekujur tubuh kurusnya. Tapi jauh di dalam dirinya, ada rasa dingin menyakitkan yang terus merongrong dirinya. Setiap usaha yang dia lakukan untuk menghapus rasa dingin tersebut selalu berujung ke titik beku. Dia benar-benar tersiksa.
"Kenapa harus aku?" tanya Saga. Sebuah pertanyaan yang selalu dia lontarkan, entah kepada siapa. Hingga dia merasa lelah lalu kembali menjatuhkan dirinya ke permukaan beton yang keras.
Mata Saga masih terbuai oleh kedipan manja bintang, ketika ada suara tak asing yang memanggil namanya.
"Saga!"
"Emi?!"
***
Kedua pasang mata itu saling menatap. Begitu dalam, menembus khayalan mereka sendiri. Ada pusaran harapan dan keputusasaan yang berputar saling menguasai. Senyuman Emilia nampak berkilau di mata Saga. Terlalu menyilaukan hingga membuatnya enggan menatap dan memilih memalingkan muka. Meredupkan senyuman secerah matahari itu. Sementara Rika tak mampu bergerak, hanya nafasnya yang agak tertahan melihat pemandangan di depannya. Saga masih hidup.
"Saga, waktu itu aku belum sempat menyelesaikannya. Kalimatku. Jadi--"
"Apakah kau masih belum mengerti juga, Emi. Kita berbeda!" Saga mengatakannya tanpa menatap Emilia. Persis seperti terakhir kali mereka terpisah. Setidaknya, itu yang Emilia ingat.
"Aku sama sekali tidak keberatan dengan apa yang terjadi padamu. Aku hanya ingin bersamamu lebih lama!"
"Kau sama sekali tidak mengerti, Emi."
"Kalau begitu ... kalau begitu, tolong beritahu aku. Agar aku mengerti." Emilia melangkahkan kakinya satu demi satu mendekati punggung yang terbungkus sweater warna merah itu.
Saga berbalik. Dia dapat melihat dengan jelas mata beriris biru yang berkaca-kaca milik Emilia yang berada satu langkah di hadapannya. Dadanya kembali terasa sakit. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Saga sedikit membungkuk. Menyejajarkan matanya dengan mata Emilia. Ada semu merah di pipi Emilia. Tangan Saga perlahan meraih pipi Emilia yang memerah, lalu yang selanjutnya terjadi, muncul berkas cahaya yang menyelubungi mereka. Lagi-lagi meninggalkan Rika dalam kebingungannya sendiri.
"Tak perlu khawatir," kata seseorang yang sudah berdiri di samping Rika, "mereka akan baik-baik saja."
Rika menoleh dan kaget melihat siapa yang ada di sampingnya saat ini, "Ren?!"
===
~ bersambung