Untitled Tragedy, The 3rd



“Sam, aku pulang duluan ya. Ayahku sudah datang.” Ujar Tristan sambil melambaikan tangannya. Kemudian berlari menuju mobil ayahnya.
“Ya, hati-hati.” Kata Sam membalas lambaian tangan Tristan. Kini tinggal Sam sendiri di depan gerbang kampus. Diliriknya jam di pergelangan tangannya, ternyata sudah jam 6 dan bus kota yang dia tunggu tak kunjung datang.
Karena sudah tak tahan hanya berdiri menunggu, Sam memutuskan untuk berjalan kaki menuju rumahnya. Tapi saat akan pergi meninggalkan tempatnya, ada suara yang memanggil-manggil dari belakang.
“Hey! Tunggu!” panggil suara itu.
Sam pun menghentikan langkahnya. Dan terlihat seorang gadis bertubuh sedang, berambut sebahu berlari ke arahnya sambil membawa sebuah buku tebal. Sam pun mengernyitkan dahinya.
“Siapa kau? Apa yang kau lakukan sampai malam di kampus?” Tanya Sam.
“Aku mahasiswi baru. Aku dari perpustakaan tapi aku tersesat saat ingin keluar dari lingkungan kampus.” Jawab gadis itu sambil terengah-engah.
“Hahaha. Ada-ada saja kau, bisa tersesat di dalam kampus.” Ujar Sam.
“Sudah, jangan menertawakanku.” Kata gadis itu mendengus kesal.
“Hahaha. Ya, baiklah aku tidak akan menertawakanmu. Oiya, kau bilang tadi, kau mahasiswa baru?” Tanya Sam. Gadis itu hanya mengangguk.
“Sebagai permintaan maafku, ikutlah denganku. Aku traktir kau makan.” Ajak Sam.
“Baiklah.” Kata gadis itu.
Sam pun berjalan berdua dengan gadis itu menuju sebuah rumah makan tak jauh dari kampus. Setelah memilih menu, mereka pun segera duduk dan menunggu pesanan mereka datang. Nampak gadis tersebut mulai membuka lembar demi lembar halaman buku tebal di depannya. Sam pun memperhatikannya dengan seksama.
“Hey, buku apa yang sendang kau baca?” Tanya Sam penasaran.
“Ini.” Jawab gadis itu sambil mengubah posisi buku itu menjadi berdiri sehingga Sam dapat membaca judul buku tersebut.
“Oh, ‘Bias Cinta Di Ujung Senja’. Buku yang bagus.” Ujar Sam kemudian menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. Gadis itu mengernyitkan dahinya.
“Bagus? Jangan sok tahu.” Kata gadis itu. Sam hanya tersenyum.
“Tentu saja aku tahu. Aku sudah berkali-kali membacanya dan kesimpulanku, bagus. Tidak sia-sia kau tersesat untuk buku itu.” Kata Sam sambil sedikit tertawa.
“Ah, kau memang menyebalkan.” Gadis itu mendengus kesal kemudian mulai membaca prolog di awal buku tersebut.
“Dan aku pun tetap bertahan demi ilusi itu meskipun ku tau, semuanya akan sia-sia pada akhirnya. Karena cintaku terlanjur menghempaskan sakitku. Ya, karena ilusi itu telah merenggut mataku dari melihat yang nyata.. Kepergianmu.” Kata-kata Sam mengalir begitu saja. Sejurus kemudian, Sam mulai memakan French Fries di hadapannya.
“Kau benar-benar sudah membaca buku ini.” Ujar gadis itu kagum setelah mendengar kata-kata Sam barusan. Matanya takjub mengamati wajah Sam yang tanpa ekspresi mengunyah French Fries.
“Aku memiliki beberapa buku seperti itu jika kau berminat. Oiya, siapa namamu?” Tanya Sam sambil mengulurkan tangannya. Gadis itu kemudian menyambut uluran tangan Sam.
“Ellena.” Jawab gadis itu singkat. Sam tersenyum.
“Ya, setidaknya namamu cukup cantik untuk gadis segalak dirimu.” Ujar Sam sambil tertawa kecil.
“Hey! Apa maksudmu?!” Tanya Ellena sambil bersungut-sungut. Sam hanya tertawa melihatnya.
***
Di tempat tidurnya, Sam masih terbaring lemah. Matanya sayu memandangi seisi ruangan tempatnya berada. Kekosongan dan kesunyian memadati setiap sudut ruangan itu. Sam pun hanya tersenyum. Sejenak, dia dapat menikmati keberadaannya di dunia.. Kesendiriannya.. Meski dia tahu, masih ada Olivia yang selalu ada untuknya semenjak kematian orang tuanya.
Papa dan Mama adalah orang sangat Sam kagumi karena keteguhan mereka dalam menghadapi hidup. Banyak pelajaran yang Sam peroleh dari cerita yang selalu disampaikan Papa dan Mamanya. Begitu pula ikatan cinta yang selalu dia lihat ketika mereka dulu sedang duduk berdua menemani Sam dan Olivia belajar. Ikatan cinta yang kini membuat Sam iri karena tak bisa memiliki ikatan seperti itu.
“Ah, menyebalkan sekali kalau teringat bagaimana Papa dan Mama dulu selalu saja mengawasiku saat belajar.” Ucap Sam.
Dan setelah mereka berdua harus pergi dari dunia karena sebuah kecelakaan pesawat, Sam pun tinggal berdua bersama Olivia. Sampai kemudian ketika Sam mulai mengenyam bangku kuliah, dia memutuskan untuk tinggal sendiri, terpisah dari Olivia karena ingin belajar mandiri demi kehidupannya nanti.
“Kak Olivia, aku iri padamu. Kau bisa setegar itu setelah kak Brian dengan kejam mengkhianati pertunangan kalian dan menikah dengan wanita lain.” Sam tersenyum getir. Masih teringat di ingatannya bagaimana tangis Olivia yang memecah malam setelah mendengar kabar bahwa Brian sudah menikah.
“Ah. Sepertinya hidupku sangat menyedihkan. Dikelilingi oleh orang-orang yang mengagumkan, tapi aku tak bisa seperti mereka. Gagal memenuhi ekspektasi mereka terhadapku.” Ucap Sam kemudian mengalihkan pandangannya ke arah langit kelabu yang terhalang oleh bening kaca jendela.
Air mata mulai leleh dan menuruni pipi Sam dengan pelan. Dadanya kembali terasa tertusuk oleh sesuatu yang tak terlihat. Sesuatu yang dia sendiri tak mampu menjelaskannya. Rasa sakit itu semakin kuat terasa dan semakin memenuhi rongga dadanya. Tangan kanannya lemah mengusap dadanya yang semakin sesak. Dan tak berapa lama, Sam pun terlelap dalam tidur setelah sang sunyi menyanyikan melodi bisu pengantar tidur untuknya.
***
“Sam, aku baru selesai membaca buku yang minggu lalu kau berikan untukku. Dan memang benar, isinya sangat bagus.” Kata Ellena senang. Sam pun tersenyum kemudian mengacak rambut Ellena.
“Hey, apa yang kau lakukan.” Kata Ellena sambil merapikan rambutnya.
“Ellena, ayo ikut denganku.” Ujar Sam kemudian berjalan pergi.
“Sam! Mau ke mana?” panggil Ellena yang kemudian berlari mengejar Sam.
Deru motor Sam tenggelam dalam pekak suara deru kendaraan lainnya. Tanpa kata, mereka berdua menikmati sepi jalan yang mulai mendaki yang perlahan datang menggantikan keramaian kota yang bergemuruh sejak tadi. Sepanjang jalan Ellena tak henti-hentinya memperhatikan Sam yang terus saja melangkah dan tak mau berkata ke mana dia akan mengajaknya. Ada tanda tanya besar di dalam kepalanya, tapi dia berusaha menahannya.
“Kita sampai.” Kata Sam singkat kepada Ellena. Mereka berdua turun dari motor dan berjalan sebentar.
Sam kemudian duduk dan menghela nafas panjang. Ellena pun menghentikan langkahnya. Matanya pun takjub melihat deretan gedung dan bangunan yang tampak kecil di hadapannya tertata rapi. Pemandangan yang belum pernah dia lihat sebelumnya.
“Sam, bagus sekali. Aku belum pernah melihat pemandangan seperti ini.” Kata Ellena takjub. Matanya pun masih belum mau melepaskan pandangannya dari ‘diorama’ kota yang ada di hadapannya.
“Makanya, jangan terlalu sering tenggelam di balik tumpukan buku. Sesekali kau harus pergi keluar, melihat dan menikmati keindahan alam bukan hanya keindahan kata. Alam memiliki ribuan kata yang jauh lebih indah, yang tersimpan rapat di sekitar kita. Cermati dan kau akan menemukannya.” Ujar Sam yang kemudian merebahkan tubuhnya ke rerumputan hijau.
Ellena tak mampu berkata apa-apa setelah mendengar apa yang baru saja diucapkan oleh Sam. Dia takjub dengan keindahan alam yang selama ini tak terlihat oleh matanya. Tapi dia lebih takjub pada kata-kata Sam. Tak pernah terkira dia akan mendengarnya dari mulut seorang Sam. Dilihatnya sejenak Sam yang nampak mulai terlelap karena buaian angin. Dia pun ikut berbaring di samping Sam, matanya enggan terpejam dan masih asyik menikmati biru langit yang cerah. Nampak sebuah senyuman mengembang di bibirnya.

***

Setitik air mata menetes di pipi Ellena ketika dia teringat kenangannya bersama Sam. Rasa sakit di hatinya semakin bertambah. Rasa sakit akibat penyesalan karena pernah mencampakkan Sam. Rasa sakit yang akan terobati jika dia bisa kembali bersama Sam dan merajut kembali kisah bersamanya.
“Sebentar lagi kita sampai Ellena. Tenanglah.” Kata Olivia membesarkan hati Ellena.
“Terima kasih kak.” Kata Ellena singkat.
“Ellena, ketahuilah. Meskipun Sam enggan bertemu denganmu, tapi aku bisa merasakan kalau dia masih mencintaimu.” Ujar Olivia sambil tetap fokus mengendalikan mobilnya.
“Benarkah itu kak?” Ellena pun kaget mendengar kata-kata Olivia barusan.
“Tentu saja. Entah apa yang membuat dia enggan mengakuinya.” Lanjut Olivia.
Di sela-sela air matanya, Ellena bisa sedikit tersenyum. Ada sedikit harapan untuk bisa bersama Sam lagi memperbaiki apa yang pernah dia hancurkan. Mencintai orang yang juga mencintainya dengan cinta yang sebenarnya. Berjuang meraih sebuah mimpi dari dua jiwa yang memiliki satu tujuan.
Mobil Olivia melaju melewati kendaraan-kendaraan lain di jalanan kota yang hari ini cukup lengang. Seolah memberikan jalan bagi Ellena dan Sam agar segera bertemu kembali. Seperti dongeng yang kisahnya sedang ditulis.
Tapi tiba-tiba saja Olivia seperti kehilangan kendali. Laju mobil menjadi sedikit oleng padahal masih pada kecepatan yang cukup tinggi. Rem mobil pun beberapa kali seperti tak berfungsi. Beberapa kali dia hampir menabrak mobil lain. Sampai ketika tiba pada persimpangan menuju rumah sakit..
“BRAAAKKK!!!” sebuah suara hantaman yang begitu keras terdengar. Nampak dari sumber suara tersebut sebuah mobil sedan yang terguling dan sebuah truk bermuatan yang bagian depannya sudah setengah hancur mengepulkan asap putih membubung. Lalu lintas pun terhenti dan beberapa orang berusaha menolong orang-orang yang ada di mobil sedan maupun truk tersebut.
“El..Elle..na.... ba..ngu..n” kata-kata Olivia terbata-bata menahan sakit berusaha membangunkan Ellena yang tak sadarkan diri.
“M..ma...afkan.... a..ku....” kata-kata Olivia yang lirih pun hilang terbawa angin. Sejurus kemudian dia pun pingsan.


___ to be continued ____


Butuh komentar lho pembaca NVRstepback yang kece-kece & baik hati... Soalnya lagi kehabisan ide buat ngelanjutin ceritanya... Yuk diisi kotak komentarnya, biar rame.. :3
Share:

Still.. With You! -- Part - II



“An! Anna!” panggilku, tapi Anna sama sekali tak berhenti.
“Aneh.” Pikirku melihat sikap Anna. Tanpa pikir panjang, aku segera berlari berusaha mengejarnya ke kelas.
Tak lama kemudian aku sudah sampai di kelas. Ku lihat Anna sedang duduk diam di bangkunya sendirian. Dengan langkah perlahan, aku berjalan mendekatinya kemudian duduk di sampingnya. Dia nampak menyadari kehadiranku dan hendak menghindariku. Tapi segera kuraih pergelangan tangannya. Anna pun kembali duduk, meskipun dengan gestur ‘menolak’ keberadaanku.
“Anna. Dari tadi pagi sikapmu aneh banget loh. Ada apa sih? Kamu ada masalah?” tanyaku. Kulihat Anna masih terdiam.
“An…” panggilku lirih. Dan sepertinya dia memang sama sekali tak ingin bicara.
“Ya udah. Oiya, aku tadi ketemu Ira. Dia pindah ke sini.” Aku bergegas bangkit kemudian pindah ke tempat dudukku yang letaknya di belakang Anna.
Aku masih mengamati Anna, ya lebih tepatnya mengamatinya dari belakang. Meski tak dapat terlihat olehu raut wajahnya, aku bisa tahu kalau dia menyembunyikan sesuatu dariku. Tapi, apakah hanya karena dia akan pergi setelah lulus nanti? Itu terlalu berlebihan kalau Anna harus bersikap seperti ini padaku. Sial…
***
Ulangan kali ini terasa begitu lama. Entah karena aku sedang tidak konsentrasi atau memang ada yang salah dengan waktu hari ini. Tapi yang jelas terasa begitu cepat aku selesai mengerjakan soal di hadapanku ketika kusadari masih ada 30 menit waktu yang tersisa sebelum bel istirahat berbunyi. Baiklah, lebih baik aku keluar duluan.
Aku berdiri, kemudian berjalan ke meja guru, tempat Bu Vera duduk dengan tampang nenek sihirnya. Tampak ada senyum jahat yang terlempar dari mulutnya ketika aku menyerahkan lembar jawabku. Kemudian aku berlalu keluar kelas. Kusempatkan melirik Anna, tampak dia masih berkutat dengan soal di hadapannya. Sudahlah, lebih baik aku menunggunya di kantin.
“Rio!” teriak seseorang yang tiba-tiba saja sudah berada di sampingku. Ah, ternyata Ira.
“Hey, Ra. Lho, kok kamu di luar? Gak pelajaran?” tanyaku.
“Kosong Yo, daripada di kelas mending ke kantin.” Jawabnya sambil tersenyum. Aku ikut tersenyum, tapi tak menanggapinya. Huh! Seandainya yang tersenyum itu adalah Anna..
Sesampainya di kantin, aku dan Ira langsung memesan makanan dan duduk. Tak lama kemudian bakso dan es teh pesanan kami datang. Kami makan tanpa berbicara satu sama lain. Aku merasa tak enak hati pada Ira, tapi aku memang sedang malas berbicara. Dan sepertinya Ira menyadarinya.
“Yo, lagi ada masalah ya? Cerita dong.” Ujar Ira.
Aku menghela nafas, kemudian mulai bercerita, “Anna dari tadi pagi aneh banget Ra. Dia gak mau ngomong sama aku. Pas jemput dia tadi sih, pembantunya bilang kalo Anna bakal pindah ke luar negeri buat ngelanjutin kuliah di sana. Aku pura-pura diem dan berharap dia bakal cerita. Tapi sampai sekarang dia sama sekali gak cerita. Padahal biasanya kalau dia punya masalah, atau ada sesuatu, dia pasti cerita.”
Ya, dan tanpa sadar aku nyerocos panjang lebar kepada Ira. Dan Ira pun tersenyum mendengar ceritaku.
“Kamu khawatir kehilangan Anna ya, Yo?” Tanya Ira kepadaku. Hampir aku tersedak mendengar pertanyaan itu. Kehilangan Anna?
“Ah.. Eng.. Itu, bukan gitu Ra.. Tapi…” aku tergagap menjawab pertanyaan Ira tadi.
“Kamu suka kan sama Anna?” Tanya Ira lagi. Tapi kali ini mimik mukanya berubah, seperti menyimpan kesedihan yang dalam.
“Ya, mungkin.” Jawabku singkat.
“Perjuangkan perasaanmu Yo, jangan sampai kamu nyesel karena memendamnya kelamaan.” Kata Ira sambil memegang tanganku. Aku mengangguk sebagai jawaban.
“Rio..” terdengar suara lirih di sebelahku. Aku menoleh, dan ternyata…
“Anna…” ujarku. Aku segera melepaskan genggaman tangan Ira ketika Anna melihatnya. Tapi Anna lagi-lagi berlari menghindariku. Ah, sial! Tanpa permisi pada Ira aku langsung berlari mengejar Anna. Kali ini aku tak boleh memendam perasaanku terlalu lama lagi padanya, pikirku.
Aku masih berlari, tapi setelah berbelok di koridor yang mengarah ke laboratorium, aku kehilangan Anna. Ke mana dia? Aku berjalan perlahan, ketika langkahku kaki terhenti dan kakiku seolah terpasak di tempatku berdiri ketika aku melihat Anna sedang menangis tersedu di pelukan Denis. Hey! Bukankah Denis sudah memutuskan hubungan dengan Anna? Kenapa malah seperti ini? Aku tak sanggup melihatnya lebih lama, tapi tubuhku enggan beranjak. Wajahku terasa panas, entah karena rasa marah atau apalah aku sendiri tak tahu.
Tak lama kemudian Denis melepaskan pelukan Anna kemudian berjalan.. Ke arahku! Tanpa mampu berbuat apa-apa, aku melihat Denis merangkul Anna berjalan melewatiku. Ada seringai kemenangan di wajah Denis yang menyebalkan. Tatapanku sempat bertemu dengan tatapan mata Anna, tapi hanya sekilas dan kemudian bersama Denis melewatiku yang masih berdiri mematung. Tak mampu bergerak.

***
Mataku terbatas memandang batas. Terikat kuat oleh goresan luka menyayat. Hening suasana pilu yang tak bergeming. Terluka oleh ilusi yang melintas begitu saja.
***

Jam-jam pelajaran berikutnya, aku menghabiskan waktuku mengotori buku tulisku dengan gambar-gambar abstrak tak bermakna sebagai pelampiasan rasa marah, sedih, dan gundahku. Sama sekali tak ada materi pelajaran yang bisa kuserap. Mataku enggan melihat ke depan, karena tentu saja ada Anna yang ada tepat di depan mataku. ARRGHHH!!!
Dan setelah bel pulang sekolah berbunyi, aku bergegas pergi keluar kelas. Tak sanggup rasanya berlama-lama di dalam sana. Kuputuskan untuk pergi ke taman belakang sekolah. Sesampainya di sana, aku langsung duduk di bangku yang kosong. Memasang headset dan memutar music dari ponselku dengan volume yang kuat sehingga aku tak mendengar apapun kecuali music dari ponselku.
Mataku menatap kosong ke arah langit yang sedikit berawan. Gerak lambat segerombol besar awan putih menghipnotisku untuk mengamatinya. Pelan.. Lamban.. Dilengkapi dengan alunan music bertempo rendah dari headset-ku, tanpa sadar aku mengantuk dan tertidur.
“Yo. Rio, bangun! Hey!” sayup-sayup terdengar suara yang makin lama makin keras diiringi sentuhan di wajahku. Saat kubuka mataku, aku terkejut karena ada Ira yang sudah duduk di sampingku. Dan lagi, wajahnya begitu dekat dengan wajahku.
“Eh, Ira.” Ujarku kemudian bergerak agak menjauhinya. Nampak Ira tertawa kecil melihat tingkahku.
“Gak pulang Yo?” Tanya Ira.
“Bentar lagi deh Ra. Oiya, kamu sendiri kenapa belum pulang?”
“Aku tadi habis ketemu sama Bu Sinta gara-gara aku membolos waktu jam-nya.”
“Ha? Hahahah, berani banget Ra bolos pas jam-nya Bu Sinta. Ati-ati lho.”
“Hehe, iya iya Rio.”
“Eh, pulang yuk Ra. Udah mau jam 6.” Ajakku. Ira pun mengangguk tanda setuju.
Kami berdua berjalan keluar sekolah berdampingan. Ada keanehan yang kurasakan saat ini. Ya, seharusnya aku berjalan bersama Anna! Bukan Ira. Tapi, tak apalah karena sudah terlanjur begini. Mungkin besok aku masih punya kesempatan untuk meluruskan permasalahanku dengan Anna agar tak berlarut-larut, pikirku.
“Eh, Yo temenin aku makan yuk. Laper nih.” Kata Ira tiba-tiba sambil tersenyum ke arahku.
“Hah? Jam segini? Makan di mana?” tanyaku sambil mengernyitkan dahi.
“Tuh.” Tunjuk Ira ke sebuah kafe di sudut jalan. Aku hanya mengangguk.
Segera aku berjalan mengikuti Ira masuk ke dalam kafe. Suasananya cukup nyaman. Tempatnya tidak terlalu luas. Dengan desain interior yang minimalis namun rapi dan bersih. Terdengar pula alunan music klasik memenuhi seisi kafe tersebut. Yah, lumayanlah, pikirku. Setelah memesan makanan, kami segera duduk dan menikmatinya.
“Rio, itu Anna kan?” ujar Ira tiba-tiba sehingga membuatku menghentikan makanku tiba-tiba. Aku segera melihat ke arah Ira menunjuk. Setelah kulihat, ternyata benar Anna. Tapi apa yang dia lakukan di sini.
“Aku ajak gabung ke sini ya Yo, biar kita bisa kumpul lagi kayak dulu.” Kata Ira. Aku hampir tersedak mendengarnya. Tapi aku tak bisa menahan Ira karena Ira keburu berlari ke arah Anna. Aku pun segera mengalihkan fokusku ke makanan di hadapanku yang belum habis. Tak berapa lama, Ira sudah kembali duduk ke tempatnya tadi. Dan Anna duduk, tepat di hadapanku.
“Nah, sekarang kita udah ngumpul lagi.” Kata Ira dengan nada senang. Aku tak menanggapinya dan masih terus mengunyah kentang goreng dan memainkan gelas minumku. Kulihat, Anna masih tertunduk diam. Sedangkan Ira terlihat kebingungan melihat sikapku dan Anna.
“Aku permisi ke kamar kecil ya.” Ujarku kemudian pergi meninggalkan Ira dan Anna berdua.
Sesampainya di kamar kecil, segera kubasuh tanganku dengan air. Namun aku sengaja berlama-lama karena memang alasanku memang ingin menghindari Anna setelah aku melihatnya ada di pelukan Denis tadi. Setelah kupikir cukup lama, segera aku kembali ke meja. Kulihat Ira sudah sendirian. Itu berarti Anna sudah pergi.
“Lama banget sih Yo, Anna keburu pergi.” Kata Ira mendengus kesal ke arahku.
“Iya iya maaf, perutku sakit banget tadi. Jadinya ya lama.” Kataku beralasan sambil memasang senyum polos.
“Rio..” panggil Ira, kali ini dengan nada serius.
“Ada apa Ra?” tanyaku.
“Anna tadi udah cerita sama aku.” Jawab Ira.
“Cerita apa Ra?” tanyaku semakin penasaran. Aku bertanya-tanya apa yang sudah Anna ceritakan kepada Ira.
“Anna udah cerita kalau dia mau nglanjutin kuliahnya ke luar negeri. Dia juga bilang, kalo dia pengen minta maaf ke kamu karena udah diemin kamu seharian tadi.” Lanjut Ira.
“Itu aja?” tanyaku sambil memajukan badanku.
“Dia juga berharap kamu gak salah paham pas dia nangis di pelukan.. Eng.. Denis, ya Denis. Dia gak sengaja ketemu Denis dan gak bisa menghindar ketika Denis berusaha nenangin dia karena Anna bilang kepalanya tiba-tiba sakit.” Ujar Ira kemudian.
Aku menghempaskan punggungku ke sandaran kursi. Aku menunduk lesu tak mampu berkata apa-apa mendengar semua kata-kata Ira, bukan. Kata-kata Anna yang disampaikan Ira. Menyebalkan rasanya tersangkut di dalam perangkap perasaan yang rumit ini.
“Udahlah Yo, besok kan masih ketemu di sekolah. Pulang yuk, udah kenyang nih.” Kata Ira. Aku hanya mengangguk kemudian keluar bersama Ira.
***
Di dalam kamar, aku hanya rebahan sambil sesekali memeriksa ponselku. Berharap ada pesan atau telepon dari Anna. Tapi sama sekali tak ada. Dan untuk pertama kalinya, aku merindukan sosok Anna yang selalu marah-marah dan meneriakiku ‘cungkring’ ketika aku memanggilnya ‘sipit’. Momen sederhana yang sekarang sangat kurindukan. Padahal belum tentu dia merindukanku. Lagi pula aku hanya sahabatnya. Ah, benar-benar menyebalkan. Dan karena sudah tak tahan, aku pun mengirim sebuah pesan singkat ke nomor Anna..
[to: ~sipit]
Sipit.. Marahin aku dong :D
Dengan sedikit candaan, aku berharap dia membalasnya. Tapi sampai hampir tengah malam kutunggu, tak ada balasan darinya. Ya sudahlah, aku akhirnya tidur.
Keesokan harinya, aku mengecek ponsel dan tetap tak ada balasan dari Anna. Setelah mempersiapkan diri, aku bergegas berangkat dan tempat pertama yang kutuju adalah.. Rumah kediaman keluarga Anna.
Setelah sampai di sana, aku segera masuk setelah pak satpam membukakan pintu gerbang. Dan seperti biasa, ada bi Inah yang menyambutku dengan senyuman ramahnya.
“Eh, mas Rio. Mau jemput non Anna ya?” tanyanya sambil menyirami tanaman.
“Iya bi. Anna-nya udah berangkat belom?” tanyaku.
“Kayaknya belom mas. Tunggu aja, mungkin bentar lagi keluar.” Jawab bi Inah.
Tak berapa lama, kulihat Anna berjalan keluar dari pintu rumahnya. Jantung berdegup tak keruan menunggu dia mendekat dan semakin mendekat ke arahku dan bi Inah. Dan, ya! Dia sudah berada di hadapanku. Aku mendadak tak bisa bergerak.
“Berangkat dulu ya bi Inah.” Kata Anna kemudian ngeloyor keluar. Dan setelah kudapatkan kembali kesadaranku, segera aku berlari mengejar Anna.
“Anna.” Panggilku setelah aku dapat menyusul langkahnya.
Ya, ada apa Rio?” tanyanya ringan seolah tak terjadi apa-apa. Hah, ada apa ini? Kenapa seperti ini tanggapannya? Begitu ringan. Seharusnya aku senang, tapi justru aku merasa aneh dan canggung.
“Aku khawatir sama kamu An.” Kataku sambil berdiri di hadapannya. Anna pun menghentikan langkah kakinya. Dia terdiam tak menjawab kata-kataku.
“Tolong Anna, cerita sama aku. Kamu kenapa?” tanyaku sambil memegang pundaknya. Tiba-tiba saja Anna memelukku.
“Aku gak mau jauh dari kamu Rio.” Kata Anna lirih. Ya, meskipun sangat lirih, aku masih dapat mendengarnya. Reflek, tanganku langsung memeluk tubuh Anna.
“Aku juga gak mau jauh dari kamu Anna. Aku sayang kamu.” Kata-kataku begitu saja meluncur tanpa bisa kukendalikan karena aku sudah terbawa suasana. Dan yang kurasakan, tangan Anna makin erat memelukku.
“Anna.” Kataku pelan.
“Iya, Rio.”
“Kita mau pelukan sampe kapan? Ini udah jam berapa? Nanti kita telat nyampe sekolah lho.”
“Eh, eng.. Iya iya Yo, maaf.” Katanya kemudian melepaskan pelukannya. Pipinya memerah.
“Yuk, cepetan. Nanti kita bisa telat lho, jam pertama jam-nya Bu Sinta.” Kataku sambil menarik tangan Anna mengajaknya berlari.
“Yuk.” Ujar Anna pelan kemudian mengikutiku berlari.
Entah kenapa pagi ini begitu berbeda dari kemarin. Ada beban berat yang sepertinya sudah terlepas dari punggungku sehingga aku bisa bergerak bebas. Tertawa lepas dan tersenyum puas melihat Anna yang juga tampak tertawa riang.
***
“Teeett!!” Bel istirahat baru saja berbunyi. Suasana kelas yang tadinya senyap mendadak berubah riuh oleh suara siswa yang mulai mengobrol dan juga melangkah keluar menuju ke kantin. Sedangkan aku masih tetap duduk di kursiku dan mengutak-atik rumus matematika yang entah mengapa seolah menantangku dengan variable mematikannya.
“Rio, ke kantin yuk.” Ajak Anna tiba-tiba.
“Wesssss!! Annaaa…” ujarku kaget. Nampak Anna terkekeh melihat tingkahku.
“Hahaha. Serius banget sih Yo. Udah deh, itunya nanti aja. Sekarang ke kantin dulu yuk, laper nih.” Kata Anna sambil mengelus-elus perutnya.
“Iya iya. Yuk.” Aku bangkit berdiri.
Kami berjalan berdua menuju ke kantin sambil sesekali membahas materi pelajaran. Sesekali ada candaan diikuti tawa dari mulut kami. Sesampainya di kantin, kami langsung memesan makanan dan mencari tempat duduk.
“Selamat makaaan.” Ujar Anna ketika bakso dan es sirup pesanan kami datang. Tanpa menunggu aba-aba, Anna langsung melahap bakso di hadapannya. Aku hanya bisa melongo melihatnya.
“An, kamu laper ya?” tanyaku masih tak mengalihkan pandangan dari Anna.
“Banget Yo, tadi pagi gak sempet sarapan. Bangun kesiangan soalnya.” Kata Anna sambil nyengir.
“Makanya jangan begadang terus dong Anna. Jaga kesehatan, jangan sampe gak sarapan. Sarapan itu penting lho. Biar gak lemes kalo pagi-pagi ada aktivitas yang banyak.” Ujarku panjang lebar tanpa sadar.
“Rio.” Kata Anna pelan.
“Iya Anna.” Jawabku. Kulihat raut mukanya berubah serius.
“Aku gak pengen jauh dari kamu Yo. Cuma kamu yang selalu perhatian dan selalu ada buatku bagaimana pun kondisiku.” Dan tangan Anna menggenggam tanganku.
“Aku gak bakal jauh dari kamu An.” Ujarku sambil tersenyum. Namun sejujurnya aku ragu apakah bisa tetap berada di dekat Anna. Karena aku tahu, dia akan pergi jauh selepas lulus nanti. Ah! Semakin tak menentu saja.
“Anna, bisa ngomong sebentar gak?” Tanya seseorang yang tiba-tiba ada di samping Anna.
“Ngomong apa Denis?” Anna bertanya balik.
“Udah, ikut aku dulu yuk.” Ujar Denis kemudian menarik tangan Anna.
“Enggak ah, aku mau makan dulu.” Kata Anna menolak. Tapi Denis sama sekali tak melepaskan tangan Anna.
“Ayolah An.” Kata Denis lagi. Anna tak menjawabnya, hanya berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Denis, tapi tak mampu.
“Eh, jangan gitu dong. Kalo Anna gak mau, ya jangan dipaksa.” Ujarku.
“Jangan ikut campur. Ini urusan gue sama Anna.” Kata Denis tanpa menatapku. Anna masih berusaha menarik tangannya walaupun itu tak mungkin karena tenaga Denis lebih besar.
“Denis. Lepasin Anna!” teriakku karena tak tahan melihat sikap Denis. Sontak, aku menjadi perhatian semua orang yang ada di kantin.
Tanpa berkata apapun, tiba-tiba Denis melepaskan tangan Anna kemudian berjalan ke arahku kemudian.. BUGG!! Sebuah tinju yang cukup kuat melayang ke wajahku. Aku yang tak siap karena masih duduk di kursi pun terjatuh. Kepalaku membentur lantai cukup keras. Mendadak ada rasa sakit yang amat sangat menjalar memenuhi kepalaku dan pandanganku mulai kabur.
“Rio!” aku masih mendengar suara Anna dan melihatnya mendekatiku yang tak mampu bangun. Tapi semuanya semakin gelap dan aku pun tak sadarkan diri.


~ to be continued ~


Yang lagi gak buru-buru, bisa dong ya ninggalin komen di kotak komentar. Gratis kok, gak usah bayar. :p
Share:

Still.. Stuck On You! -- Part - I



“Segenap asaku yang pedih tertahan oleh jiwa pengecutku, perlahan digerogoti oleh kenyataan yang dengan lantang mengungkapkan ketidakmampuanku menghapusmu dari alur kisah hidupku…”


Hujan masih setia bernyanyi menemaniku. Nada-nada tak beraturan itu saling bersahutan satu sama lain. Aku mendengarkannya sambil sesekali mengulurkan tanganku untuk menyentuh hujan. Beberapa kali tersenyum, beberapa kali tertawa. Yah, untung saja aku sendiri. Jika tidak, aku sudah diteriaki ‘orang gila!’ hahaha.
Sore ini memang terasa lain. Hujan seperti sedang betah untuk bersenandung. Langit yang sedari tadi murung bertopeng mendung. Entah ada apa dengan mereka. Tapi, sepertinya mereka sedang ikut merayakan kesedihanku. Benarkah? Aku pun tak tahu. Tapi aku berpikir begitu, agar aku tak semakin kalut hanyut dalam sepi.
“Rio!” tiba-tiba terdengar teriakan seseorang memanggil namaku. Aku menoleh, dan kulihat seorang gadis berambut hitam panjang sedang cemberut menatapku.
“Iya.” Jawabku pendek sambil melempar senyum. Dia pun berjalan ke arahku, sambil masih cemberut tentunya. Semakin dekat dan semakin dekat. Dan…
“Aaawwww!” sebuah cubitan yang cukup telak membuat lengan kiriku lebam dan sakit tentunya.
“Ke mana aja sih, dari tadi ditungguin di kantin malah ngilang gak tau ke mana.”  Kata gadis itu sambil masih cemberut. Kali ini ditambah berkacak pinggang.
“Gak ke mana-mana sipit.” Kataku sambil mengacak-acak rambutnya. Dan kulihat, level cemberutnya sudah mulai berkurang. Tapi masih belum mau tersenyum.
“Ih, manggil aku sipit. Dasar Rio tuh cungkring.” Balasnya kemudian menjulurkan lidah. Aku hanya tertawa melihat dia seperti itu.
“Iya iya. Udah sore nih. Ujannya juga udah reda. Yuk pulang, nanti papa kamu nyariin.” Ajakku kemudian menarik tangannya. Tanpa berkata apa-apa, dia mengikuti langkahku.
Verianna A… Nama gadis yang saat ini berjalan di sebelah kiriku. Seperti aku memanggilnya tadi, matanya cukup sipit karena dia memang keturunan Jepang. Kulitnya pun putih. Rambut hitam, panjang, lurus. Wajah oriental yang sangat manis bila sedang tersenyum. Tapi sayangnya dia sangat pelit untuk tersenyum. Tapi tak apalah, yang penting aku sudah pernah melihat senyum ‘langka’ seorang Verianna Azuka. Haha.
Sepanjang perjalanan menyusuri citiwalk, aku menghabiskan waktu untuk melihat sosok Anna, begitu aku biasa memanggilnya, yang masih cemberut dan tak mau bicara padaku. Ah sial, gadis ini memang menyusahkan kalau sedang marah.
***
Sampai di depan gerbang rumahnya, Anna menghentikan langkahnya. Cukup lama dia berdiri, tidak segera masuk ke rumahnya. Aku mencoba menengok melihat wajahnya. Dan.. Demi apapun yang jatuh dari langit, aku melihat seorang Anna menangis! Hal yang cukup.. langka.
“Kamu kenapa An?” tanyaku. Anna hanya terdiam dan tertunduk. Kelihat, kedua tangannya seperti menggenggam sesuatu. Dia seperti ingin menyembunyikan benda itu dariku.
“Anna… Ada apa?” tanyaku lagi. Kali ini Anna langsung memelukku. Dan.. Aku hanya bisa diam tak bergerak. Sesekali kudengar isak tangis Anna yang berusaha dia tahan. Beberapa detik kemudian, Anna melepaskan pelukannya.
“Denis mutusin aku Yo. Dia kasih surat ini tadi, tanpa ngomong apa-apa.” Kata-kata Anna yang cukup lancar meskipun terselip isak tangisnya.
Aku meraih secarik kertas yang disodorkan oleh Anna. Kubaca sebentar. Tapi isi surat itu sama sekali tak kubaca seluruhnya. Karena yang sekarang mengganggu pikiranku adalah Anna yang sedang sedih, sangat sedih. Kami bersahabat sejak kecil, karena orang tua kami memang rekan bisnis dan juga sangat saling mengenal. Dan memang aku sudah lama memendam rasa suka, cinta, atau apalah namanya pada Anna semenjak kami masih kelas 3 SMP, dan sialnya aku masih belum bisa menghilangkan rasa itu hingga kini, kelas 3 SMA, dan hampir lulus.
“Udah An, masih banyak kok cowok di dunia ini gak cuma Denis aja. Jangan sedih yaa.” Kataku berusaha menghibur kesedihan Anna.
“Tapi Rio…”
“Move On dong sipiiit. Masa iya semangat Bushido-nya seorang Anna tumbang gara-gara diputusin seorang cowok. Ganbatte!” kata-kataku yang begitu saja terlontar, sambil tersenyum. Senyum yang agak kupaksakan.
“Cungkriiing! Berapa kali aku bilang, jangan panggil aku sipiiit!!” teriaknya sambil mencubiti kedua lenganku. Ya, kata-kataku tadi ternyata cukup manjur. Kulihat Anna tak lagi murung seperti beberapa menit tadi.
“Udah udah. Masuk sana gih, mandi terus makan. Jangan lupa belajar, besok ada ulangan lho.”
“Siap Rio cungkriing.” Katanya sambil berlari masuk. Aku hanya tersenyum melihat sosok Anna hilang di balik gerbang tinggi itu.
Sepanjang perjalanan menuju rumah, aku masih merenungkan Anna dan perasaanku padanya. Apa aku harus mengungkapkannya, atau kutahan saja? Ah.. Sial, hampir saja aku menabrak tiang listrik karena memikirkan hal itu.
Sesampainya di rumah, setelah mandi, makan, dan sholat, aku langsung melahap materi-materi yang ada di dalam buku tebal di meja belajarku. Hampir muntah ketika aku mengerjakan soal latihan matematika yang ada di buku. Dan aku tak jadi muntah ketika kudengar handphoneku berdering. Ada SMS masuk.
[from: ~sipit]
Rio, mksh ya td ud ksih smngat buatku.. J
Lumayan, pikirku, aku bisa sedikit tersenyum karena SMS Anna, dan tak jadi muntah karena soal latihan matematika.
[to: ~sipit]
Sama2 An. Ud shrusnya seorg shbat, ksh smngat bwt shbatnya yg lg down.. ^^
[from: ~sipit]
Oiya Yo, bsok jgn lupa jmput lho ya. Awas klo lupa..
[to: ~sipit]
Siap sipiiit.. dijamin gak lupa kok.. :p
[from: ~sipit]
Aaakk! Cungkring nybeliiin.. dasarr.. :@
[to: ~sipit]
:p ud, bljar sana. Ingt, bsok ulangan..
[from: ~sipit]
Iya iya, siap bos cungkring.. :p
Aku tak membalas SMS terakhirnya. Pikiranku bisa sedikit tenang karena Anna sudah bisa bercanda seperti biasanya. Kulanjutkan lagi pergulatanku dengan soal ujicoba matematika.. Fighting!
***
Keesokan harinya, seperti biasa aku datang untuk menjemput Anna. Sesampainya di rumah Anna, aku sudah disambut bi Inah, pembantu di keluarga Anna, yang sedang menyapu halaman depan. Sambil menunggu, aku ngobrol dengan bi Inah, hingga aku mendapat kabar yang cukup tak mengenakkan hati dan perasaanku.
“Mas Rio udah tau belum?” tanya bi Inah di tengah obrolan. Sontak aku kaget dan bingung.
“Apaan bi?” aku balik bertanya.
“Non Anna mau pindah keluar negeri mas Rio. Mau kuliahnya di sana.” Terang bi Inah sambil terus menyapu. Jantungku seperti berhenti berdetak selama 2 detik mendengarnya. Anna akan pindah?
“Tapi kok Anna sama sekali gak cerita ke saya ya bi.” Aku mengucapkannya sambil berusaha menenangkan tubuhku yang bergetar.
“Emang baru tadi malam mas Rio, Tuan nyuruh non Anna nerusin kuliah di luar negeri. Mungkin nanti non Anna bakal cerita ke mas Rio.” Terang bi Inah.
“Iya bi.” Kataku lemah. Beberapa menit kemudian, kulihat Anna sudah keluar dari rumahnya. Wajahnya tampak sedikit murung. Dia berjalan ke arahku dan bi Inah.
“Yuk berangkat An. Mari bi Inah.” Bi Inah hanya tersenyum dan melambaikan tangannya.
Seperti biasa, aku berjalan di samping kanan Anna. Dan seperti kemarin sore, sama sekali tak ada suara dari mulutku maupun mulut Anna. Sedikit kulirik Anna, dia berjalan sambil menundukkan kepalanya. Rambut panjangnya seolah menolak pandangan mataku untuk menatap lebih jelas wajah Anna. Saat hampir sampai gerbang sekolah, karena tak tahan, aku pun menegur Anna.
“Anna.” Kataku sambil menghentikan langkahku. Anna ikut menghentikan langkahnya, tapi masih diam saja.
“Ada apa An? Kenapa diem aja? Masih ngambek gara-gara kemarin ya?” tanyaku. Tapi Anna justru semakin menunduk. Aku coba membungkuk dan menatap ke wajah Anna. Dan… Anna menangis lagi.
“Maaf Rio.” Kata Anna singkat kemudian berlari masuk ke sekolah meninggalkanku.
Aku pun melangkah pelan melewati gerbang sekolah, kemudian berjalan menuju kelas. Pikiranku tak henti-hentinya memikirkan Anna, hingga aku tak sadar ada seseorang yang berjalan di depanku.
“Buggg!!” tabrakan pun tak terhindarkan.
“Maaf, gak sengaja.” Kataku sambil membantunya merapikan buku-bukunya yang jatuh.
Aku berdiri dan menyerahkan buku-buku di tanganku. Saat kulihat, ternyata seorang gadis. Dan cukup familiar. Aku mengernyitkan dahi ketika gadis itu hanya cengar-cengir misterius kepadaku. Dia mengambil bukunya yang ada di tanganku.
“Rio lupa ya sama aku?” tanya gadis itu. Ha? Kenapa dia tahu namaku? Siapa gadis ini?
“Siapa ya?” tanyaku, sambil masih berusaha mengingat-ingat.
“Sahabat sejati adalah mereka yang selalu ada untukmu bagaimanapun keadaanmu. Mereka ikut tertawa melihat kebahagiaanmu, dan mereka memberi semangat melihat kesedihanmu.” Katanya sambil tersenyum.
“Ira?” Ira tersenyum dan mengangguk. Aku pun teringat pada gadis ini, Ira. Sahabat yang aku dan Anna kenal ketika sedang berlibur ke rumah kakek Anna di Bandung. Tapi, ada apa dia di sini? Bukankah jarak Bandung dan Jogja cukup jauh?
“Kamu ngapain di sini?” tanyaku penasaran.
“Aku pindah ke sini Rio.” Kata Ira sambil membetulkan tumpukan bukunya.
“Loh, kok tanggung banget? Kan tinggal beberapa bulan lagi ujian.” Tanyaku, kali ini kami berbincang sambil berjalan menyusuri koridor sekolah. Kemudian duduk di bangku taman sekolah.
“Orang tuaku dipindah tugas ke sini Yo. Dan karena aku pernah denger Anna sama kamu sekolah di sini, ya akhirnya aku memutuskan pindah ke sini.” Terang Ira sambil tersenyum.
“Oh, gitu.” Ujarku pendek sambil memencet-mencet handphone-ku asal-asalan.
“Anna mana Yo?” Tanya Ira tiba-tiba.
“Dia udah ke kelas tadi.” Jawabku dengan nada lesu.
“Udah lama nih, gak ketemu kalian berdua. Pengen maen bareng lagi.” Kata Ira.
“Hahaha, iya dong. Tapi kalo ujian udah kelar pastinya.” Timpalku. Ira tersenyum.
“Yaudah, aku duluan ya Yo. Mau ke ruang kepala sekolah.” Kata Ira yang kemudian bangkit berdiri.
“Ok, ati-ati ya Ra.” Ira pun tersenyum kemudian pergi.
Ira Adinda.. Tak kusangka bisa bertemu dengan gadis riang ini di sini. Masih tetap seperti dulu dan tak berubah. Selalu membawa atmosfer menyenangkan setiap kali ngobrol dengannya. Sudahlah, tak perlu terlalu lama dipikirkan.
Aku bergegas bangkit dari dudukku untuk lekas menuju ke kelas. Saat berbalik, aku hampir melompat ke belakang karena kaget. Ada Anna yang berdiri di situ.
“Eh, Anna. Dari kapan berdiri di situ?” tanyaku sambil melangkah ke arahnya. Tapi Anna hanya diam saja dan perlahan melangkah mundur kemudian berlari pergi.

“An! Anna!” panggilku, tapi Anna sama sekali tak berhenti.

***

to be continued...


Hey YO! Butuh komentar, kritik, dan saran untuk kelanjutannya... Ayolah, jangan pelit ngisi kotak komentar.. OK? ^^,
Share:

Untitled Tragedy, The 2nd



“Semua yang aku lakukan untukmu adalah nyata. Dan aku tak akan menyesalinya. Namun satu yang tak bisa kuterima. Kau pergi karena aku tak mampu penuhi mimpimu. Mimpimu tentang sosok sempurna yang tak ada di diriku…”

“Kondisinya belum stabil. Biarkan dia istirahat terlebih dahulu. Sekarang, tolong anda ikut ke ruangan saya.” Ujar dokter kepada seorang wanita muda berbusana layaknya seorang manager perusahaan.
“Baik dok.” Ujar wanita itu kemudian berjalan di belakang dokter. Sebelum menutup pintu kamar, dia memandang tubuh lemah yang kini sedang tak berdaya, terbaring di ranjang yang ada di dalam ruangan. Sebutir air mata menetes dari ujung matanya ketika dia menutup pintu itu.
“Maafkan kakak, Sam. Kakak gak bisa jaga kamu, seperti yang diwasiatkan papa dan mama.” Batin wanita yang ternyata kakak Sam, Olivia.
Di sepanjang jalan, Olivia sesenggukan sambil sesekali menyeka air matanya. Satu hal yang sangat menyita segenap pikiran dan perasaannya, tak lain dan tak bukan adalah kondisi Sam saat ini. Tak lama kemudian, Dokter dan Olivia sudah berada di ruang dokter untuk membicarakan kondisi Sam.
***
Meanwhile, di kamar tempat Sam dirawat…
Sam ternyata sudah siuman dan kini sedang mengedarkan matanya ke sekeliling ruangan tempatnya kini berada. Sebuah ruangan yang sangat bersih, dengan dominasi warna putih. Lalu pandangannya beralih ke lengan kirinya. Nampak sebuah selang kecil yang berisi cairan bening menembus punggung tangannya. Dia berusaha untuk bisa duduk, tapi gagal karena tubuhnya masih lemah.
“Sial.” Umpat Sam.
Tiba-tiba terdengar bunyi dering ponsel. Sam menoleh ke arah suara itu. Ternyata ponselnya yang berada di atas meja. Dengan kesulitan, Sam meraihnya. Namun belum sempat berhasil teraih, ponsel itu terjatuh dan mati karena menghantam lantai dan terpelanting. Lagi-lagi, Sam hanya bisa pasrah.
Matanya menatap nanar ke arah langit-langit ruangan. Tiba-tiba muncul bayangan Ellena yang seolah menangis meratapinya. Perasaan menyesalnya muncul, tapi ternyata tak cukup untuk memberi maaf atas sakit hati yang dia rasakan. Dan kini, tubuhnya juga ikut sakit.
“Ellena.. Kenapa kisah kita harus berakhir seperti ini.” Ratap Sam lirih. Diikuti air mata yang mengalir dengan malas dari sudut matanya.
Tiba-tiba saja pintu kamar terbuka. Ternyata Olivia yang masuk. Nampak dia berusaha mengusap sisa sisa air mata di wajahnya saat melihat Sam, adiknya, sudah terbangun.
“Sam… Ada apa?” Olivia mengusap lembut rambut cepak Sam. Namun Sam hanya terdiam dan berusaha menghapus tangisnya.
“Sam, tadi Ellena menelpon kakak dan menanyakan keadaanmu. Kalian masih pacaran kan?” Tanya Olivia. Nampak senyum getir tersungging di bibir Sam.
“Sudah berakhir kak…” kata Sam pelan sambil memaksakan seulas senyuman.
“Apa maksudmu? Kalian putus?” Tanya Olivia lagi berusaha mendapat kejelasan. Tanpa berkata apa-apa, Sam hanya mengangguk. Olivia pun terdiam. Dia sama sekali tak menyangka kalau Sam dan Ellena, yang dia tahu sangat mesra dan serasi bisa putus setelah hampir 3 tahun berpacaran. Sebuah pertanyaan pun menggantung di pikiran Olivia saat ini.. Bagaimana bisa?
“Dia memilih lelaki lain kak, dia tak mampu bersabar dengan keadaanku yang sederhana. Akhirnya dia pergi bersama seorang yang jauh lebih baik dariku.” Terang Sam seolah mengerti pikiran Olivia.
“Padahal aku berencana melamarnya setelah aku wisuda 2 bulan lagi. Menyedihkan ya kak.” Lanjut Sam.
“Kuatkan hatimu Sam. Mungkin Ellena bukan yang terbaik untukmu, sehingga Tuhan memisahkan kalian. Bersabarlah.” Hibur Olivia.
Sam tersenyum mendengar perkataan kakaknya. Dan kini ada sedikit pilu yang terhapus, ada sebilah sunyi yang pergi karena kehadiran kakak yang sangat dia sayangi, kakak yang sangat menyayanginya, kakak yang dulu sempat dia sakiti hatinya.
“Kak.” Panggil Sam. Olivia yang sedang menatap ke luar jendela pun menoleh.
“Ada apa Sam?”
“Maafin Sam kak, dulu pernah menyakiti hati kakak.” Ucap Sam lirih tanpa tenaga.
“Iya Sam. Yang berlalu biarlah berlalu. Sekarang cepatlah sembuh, dan segera bangkit.” Ujar Olivia sambil tersenyum.
Namun tak lama berselang Olivia harus segera kembali ke kantor karena ada rapat yang harus dia pimpin. Dengan agak berat hati, Olivia pergi meninggalkan Sam sendirian di dalam kamar.
“Kalau seandainya Ellena bertanya tentangku, tolong katakan padanya aku baik-baik saja kak.” Ujar Sam ketika Olivia akan keluar kamar. Olivia pun mengangguk dan tersenyum, kemudia menutup pintu kamar.
Dan sunyi kembali menghampirinya. Namun hati dan otak Sam justru menikmatinya. Indahnya kesunyian yang menenangkan. Merdunya kesepian yang bernyanyi memenuhi seisi ruang kamar, membuat Sam perlahan terlelap ke dalam dimensi ilusi mimpi. Semakin jauh memasuki alam bawah sadarnya, dan menampakkan sepotong ingatan yang terbalut kebahagiaan usang di hadapannya.
***
“Sam, apakah kau tak pernah merasa keberatan melakukan berbagai macam permintaanku?” Tanya Ellena sambil memandang iring-iringan awan di langit senja.
“Kalau kau bertanya seperti itu, berarti kau tidak mempercayai ketulusan hatiku.” Ujar Sam ringan. Ellena pun tersenyum lalu memeluk erat Sam.
“Aku sangat beruntung bisa bersamamu, Sam.” Kata Ellena.
“Dan aku berharap kita bisa bersama selamanya Ellena. Tak terpisahkan.” Kata Sam sambil menatap lekat mata Ellena.
“Tak terpisahkan..” sambung Ellena.
***
Ellena duduk sendirian di teras rumahnya. Pikirannya nampak kalut karena ucapan selamat tinggal Sam. Tangannya menggenggam sepucuk surat dari Sam. Ingin sekali dia membukanya, tapi ada perasaan yang menahannya. Perasaan yang masih percaya bahwa Sam tak akan pergi menghilang darinya. Berkali-kali Ellena menelpon Sam, tapi nomornya tak pernah aktif. Kekhawatirannya yang tak tertahan pun membawa hatinya memutuskan untuk datang menemui Olivia, kakak Sam.
Setelah membuat janji sebelumnya, Ellena pun dapat bertemu dengan Olivia di sebuah restoran di dekat kantor Olivia. Suasana ketika berhadapan dengan Olivia yang dirasakan Ellena pun seolah berubah canggung semenjak dia dan Sam tak bersama. Lidahnya seakan kelu ingin memulai pembicaraan dengan Olivia. Melihat sikap Ellena yang tidak biasa, dan apa yang telah diceritakan Sam tentang hubungan Sam dan Ellena, Olivia pun membuka obrolan.
“Ellena. Ada apa kau mengajakku bertemu? Apa ada hal penting?” Tanya Olivia bertingkah seolah tidak tahu tentang berakhirnya hubungan Ellena dan Sam.
“Eh, kak Oliv. Anu kak.” Ujar Ellena gugup.
“Ada apa?” Tanya Olivia lembut.
“Begini kak. Apakah Sam baik-baik saja? Aku berusaha menghubunginya tetapi ponselnya tidak pernah aktif. Dia baik-baik saja kan kak?” Tanya Ellena dengan raut wajah khawatir.
Olivia menghela nafas panjang dan tidak langsung menjawabnya. Di hatinya berkecamuk rasa iba untuk Sam dan rasa iba untuk Ellena. Dan Olivia pun tak sanggup melihat Ellena yang sangat khawatir pada keadaan Sam.
“Ellena, apa benar kau dan Sam sudah putus?” Tanya Olivia. Ellena kaget.
“Sam menceritakannya padaku, jadi kau tak perlu kaget.” Lanjut Olivia. Mendengarnya, Ellena pun menunduk.
“Benar kak. Aku sudah menyakitinya dengan memilih pria lain.” Jawab Ellena lirih.
“Lalu?” Tanya Olivia lagi.
“Lalu aku menyadari bahwa Sam adalah pria yang sempurna bagiku kak. Meskipun dia sederhana, tapi kesederhanaannya adalah kesempurnaan yang tidak dimilliki pria lain.” Ujar Ellena sambil menahan air mata. Olivia pun mulai mengerti, dan sedikit tersenyum mendengar jawaban Ellena.
“Apakah kau masih mencintai Sam, Ellena?” Tanya Olivia dengan nada tegas.
“Aku masih dan akan tetap mencintai Sam kak.” Jawab Ellena. Kali ini dia tak mampu menahan air matanya.
“Baiklah, sekarang ikutlah denganku.” Ujar Olivia sambil berdiri dari tempat duduknya diikuti Ellena.
***


to be continued....
Share: