Tampilkan postingan dengan label Romance. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Romance. Tampilkan semua postingan

Seandainya | AndraxNindi Story

http://vignette1.wikia.nocookie.net/devil-survivor-2-the-animation/images/8/8d/Airi_punches_Jungo.png/revision/latest?cb=20130519082317
ilustrasi dari anime Devil Survivor 2 The Animation

'Seandainya'


"Nin, nanya boleh?" tanya Andra.

"Boleh, tapi bayar," jawab Nindi sambil menahan tawa.

"Ya udah, nggak jadi. Dasar matre." Andra mendengus kesal.

Kalimat itu dibalas dengan jitakan tepat di ubun-ubun Andra. Dia mengusap kepalanya sambil meringis kesakitan. Sementara Nindi nampak memasang tampang cemberut andalan. Pipi yang menggembung dan bibir manyun. Pose yang selalu muncul tiap kali Andra membuatnya kesal. Dia tidak menyadari kalau ada mata yang menikmatinya. Ya, siapa lagi kalau bukan Andra.

"Aku rela deh Nin, kamu jitakin sampe botak asal bisa lihat tampang cemberut kamu yang menawan itu," ucap Andra sambil membalik halaman buku di hadapannya.

"Bodo!" bentak Nindi. Wajahnya memerah. "Kamu mau tanya apa, tadi?"

"Gini. Andai suatu saat nanti, kamu dinyatakan punya penyakit yang nggak bisa sembuh lalu divonis bakal mati nggak lama lagi, apa yang akan kamu lakukan?" Pertanyaan itu terlontar tanpa Andra sedikit pun berpaling dari bukunya. Entah kenapa Nindi tiba-tiba merasa khawatir.

"Ndra, kenapa kamu--"

"Udah, jawab aja," potong Andra. Nindi menelan ludah.

"Aku ... bakal ... menghabiskan sisa waktuku sama keluarga dan melakukan hal-hal yang menyenangkan bareng orang yang kucintai." Pipi Nindi kembali memerah.

"Indahnya. Kalau aku apa ya?" Kali ini Andra menutup bukunya. Dari ekor matanya, Nindi melihat Andra yang mendongak dengan tatapan menerawang jauh.

"Kamu ... nggak papa kan, Ndra?" Kali ini kekhawatiran Nindi tak bisa disembunyikan. Dari balik kacamata ber-frame hitamnya, Nindi menatap lekat Andra.

"Hiii! Nin, kenapa?" Andra kaget melihat cara Nindi menatapnya.

"Eh, nggak." Nindi berusaha menyembunyikan sikap kikuknya yang, sayangnya, sudah terbaca Andra.

"Kalo aku ... mungkin bakalan nraktir kamu bakso sampe warungnya tutup," kata Andra diirungi senyuman yang memamerkan barisan gigi yang putih menawan. Kali ini, Nindi yang diam-diam menikmati senyuman itu.

"Ndra."

"Apaan?"

"Kapan kamu mau kena penyakit yang parah terus nggak bisa sembuh?" tanya Nindi. Membuat Andra merinding. Dia bingung kemana pergi kekhawatiran Nindi tadi. Ah, pasti karena bakso.

"Dasar penggila bakso. Tega amat mentingin bakso daripada nyawa teman sendiri. Lagi pula ...." Kalimat Andra tertahan di ujung lidah.

"Lagi pula?"

"Kalau emang suatu saat nanti tiba-tiba waktuku diperpendek Tuhan, yang bakal aku lakukan adalah ngungkapin perasaanku ke kamu. Dan aku nggak bakal mati sebelum melakukannya," ucap Andra. Di dalam hatinya. Membuat Nindi merinding melihat Andra senyum-senyum sendiri.

"Ndra?"

"Aku lapar. Ke tempatnya pak Aji, yuk. Aku yang traktir," kata Andra sambil berdiri merapikan barang-barangnya.

"Sampe warungnya tutup?" tanya Nindi dengan tampang polos. Andra bereaksi dengan menjulurkan tangannya ke wajah Nindi lalu mencubit kuat-kuat hidung mancungnya hingga memerah. Membuat pemiliknya meronta kesakitan.

"Kamu beneran mau aku mati?!"
 
~ fin
 
Yay! Cerita AndraxNindi baru nih. Review-nya ^^ 
Share:

Heartbeat Memory #3 - Iblis Karma

http://img00.deviantart.net/8fd9/i/2008/214/8/c/if_i_was_a_heartless_by_launite.jpg
heartless by launite@deviantart

Sebelumnya,

"Tak perlu khawatir," kata seseorang yang sudah berdiri di samping Rika, "mereka akan baik-baik saja."
Rika menoleh dan kaget melihat siapa yang ada di sampingnya saat ini, "Ren?!"

3 – Iblis Karma
"Tapi, apa yang sebenarnya terjadi? Bukankah Saga seharusnya sudah meninggal? Lalu, bagaimana kau bisa ada di sini?" Pertanyaan Rika meluncur begitu saja. Rasa ingin tahunya lebih unggul dari kecemasan dan kepanikannya. Dasar Rika.
Ren tak langsung menjawabnya. Dia mengarahkan pandangannya ke ujung cahaya yang menyelubungi Saga dan Emilia. Rika memandanginya dengan penuh rasa takjub dan heran. Jujur saja, jika dia lebih memilih untuk menjadi egois, mungkin dia sudah dengan penuh semangat mengejar Ren dari dulu. Dia jatuh cinta padanya, tepat setelah mereka berebut sebatang coklat edisi khusus di sebuah toko. Tapi, dia rela meredamnya demi menolong seseorang yang sudah dia anggap sebagai saudaranya sendiri. Dia merelakan apa yang orang-orang sebut "cinta" demi sesuatu yang menurutnya berharga. Ah, betapa indahnya.
"Saga memang sudah mati, tapi dia tidak benar-benar mati." Kalimat yang diucapkan oleh Ren entah kenapa terasa tak enak didengar oleh Rika. Terutama kata "mati" yang dua kali dia dengar. Rika tak menyukainya.
"Eh, maaf," kata Ren ketika melihat ekspresi Rika, "Saga sedikit berbeda dari kita. Dia-- awas!"
Rika yang sedang fokus mendengarkan kalimat Ren tiba-tiba dikagetkan oleh tangan yang menarik tubuhnya. Membuatnya tenggelam ke dalam dada busung Ren yang kemudian berguling di atas lantai. Rika baru tersadar dan kembali mengontrol dirinya ketika dia melihat Ren tepat berada di bawahnya.
"Kau ... lumayan berat, ya." Wajah Rika memerah, lalu langsung menampar Ren dan berusaha menghindar.
"Apa kau tidak paham kalau mengomentari berat badan perempuan itu tidak sopan?!" bentak Rika. Pipinya masih semerah tomat. Ren melongo.
"Hahaha, maaf. Aku memang payah kalau berurusan dengan perempuan," canda Ren sambil menepuk-nepuk pakaiannya yang kotor.
"Lalu, apa-apaan yang tiba-tiba kau lakukan tadi?" Ren menjawab pertanyaan Rika dengan satu acungan jari ke arahnya berdiri tadi. Rika menoleh, lalu menutupi mulutnya ketika melihat bekas hitam terbakar di situ.
"Apa ini?" tanya Rika gugup.
"Percikan api."
"Api? Aaah, aku benar-benar tidak mengerti!" ujar Rika kesal.
"Rika. Apa kau pernah mendengar cerita tentang 'Iblis Karma'?"

***
Ini adalah kisah yang terjadi sekitar delapan puluh tahun yang lalu. Ada seorang anak laki-laki yang tinggal di sebuah desa. Dia adalah seorang anak yang sangat cerdas dengan masa depan yang sangat terang dan menjanjikan. Tapi meskipun dia terlihat begitu sempurna, dia tetap memiliki sebuah cacat. Saat ia mulai tumbuh, cacat ini semakin nampak dan semakin jelas terlihat. Ia sangat bangga pada kecerdasan dan melihat segala sesuatu yang lain dengan pandangan jijik dan meremehkan.
Dia berpura-pura untuk menerima pelajaran di sekolah dan dari orang dewasa di sekitarnya, tetapi nyatanya pelajaran penting yang seharusnya dia terima tak pernah benar-benar bisa mencapai hatinya. Dia mulai mencemooh kebodohan orang dewasa dan menertawakan hukum dunia.
Arogansi mulai menabur benih-benih karma.
Anak itu secara bertahap mulai menjauh dari lingkaran pertemanan. Menghindar dari keramaian dan mengurung diri dalam kesendirian. Kesepianlah satu-satunya yang menjadi pendamping dan kepercayaannya.
Kesepian adalah tempat persemaian sempurna untuk karma.
Dalam kesendiriannya, anak itu menghabiskan banyak waktu untuk berpikir. Dia berpikir tentang hal-hal yang seharusnya dilarang untuk dipikirkan dan mempertanyakan hal-hal yang lebih baik dibiarkan saja.
Pikiran yang tak jernih menyebabkan karma tumbuh tak terkendali.
Anak itu tidak sadar kalau dia sedang menciptakan lebih dan lebih banyak karma, hingga dia berubah menjadi sesuatu yang tidak manusiawi – Iblis Karma. Sebelum ada yang tahu, desa itu sudah kosong. Semua orang telah melarikan diri dalam ketakutan bayang-bayang Iblis Karma.
Anak itu, Sang Iblis Karma, memutuskan pergi untuk hidup di hutan, tapi semua binatang di hutan pun juga menghilang. Ketika Iblis Karma berjalan, tanaman di sekitarnya tiba-tiba bergerak dan berubah menjadi berbagai bentuk yang tak terbayangkan lalu membusuk dan pada akhirnya mati. Semua makanan yang tersentuh olehnya berubah menjadi racun yang mematikan. Iblis Karma berkeliaran tanpa tujuan melalui bangkai-bangkai hewan, hutan yang termutasi. Akhirnya, ia memperoleh satu kesimpulan.
Dia tak seharusnya hidup di dunia ini.
Iblis Karma meninggalkan kegelapan hutan. Di tepi hutan, di sebuah puncak bukit, ia melihat hal itu. Dihujani oleh cahaya berkilauan, sebuah danau yang dalam terletak di pegunungan. Iblis Karma perlahan berjalan ke danau, berpikir bahwa air yang murni seperti ini pasti akan membersihkan dirinya dari karmanya. Tetapi satu detik setelah dia melangkah masuk ke dalam dalau, air di sekitarnya langsung menjadi gelap dan keruh, dan mulai berubah menjadi racun.
Dia ingin menangis, namun tak ada satu tetes air matapun yang keluar dari matanya. Di dalam dirinya mulai muncul rasa dingin. Menyakitkan. Tak tertahankan. Lolongannya yang tak terdengar membelah malam. Penyesalan akan kebanggaan.
Bagaimana rasanya kehilangan sesuatu yang sangat kau banggakan?
Hingga seseorang muncul di depan matanya yang telah memerah. Seorang yang menjanjikannya sebuah pembebasan.
***
“Penyesalannya berbuah pada sebuah keputusan. Dia tidak bersikap seperti manusia. Tidak menggunakan hati untuk berinteraksi. Iblis Karma tahu, hidupnya benar-benar tak lagi perlu. Lalu … dia pun membelah dadanya sendiri lalu mencabut jantungnya. Berharap dia akan mati. Tapi karmanya melebihi apa yang dia kira. Iblis Karma tetap hidup bahkan setelah jantungnya berhenti berdetak, tepat di hadapannya.”
“Sa—“
“Aku adalah Iblis Karma itu,” tutup Saga. Emilia masih tak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. Tiba-tiba tangan Saga meraih tangan Emilia lalu menuntunnya ke dadanya.
“Apakah kau bisa merasakannya?” tanya Saga. Dada Emilia terasa sesak. Air matanya mulai mengalir membasahi pipinya. Dia tak merasakan apapun di telapak tangannya. Dia tak merasakan denyut jantung Saga!
“Karena itulah,” lanjut Saga, “aku tidak mungkin bisa bersama denganmu, Emilia. Meskipun aku merasakan hal yang sama denganmu.”
“Tapi … aku tidak apa-apa. Aku bisa menerimanya. Aku—“
“Kau juga akan mati jika terlalu lama dekat denganku! Apa kau lupa dengan semua rasa sakit dan berapa kali kau pingsan setiap bersamaku?” potong Saga.
Tangan mungil Emilia mengusap wajah Saga. Ada senyuman yang terlukis di wajah yang masih menitikkan air mata. Perlahan, merangkul tubuh kurus Saga ke dalam pelukannya. Membuat Saga hendak memberontak, tetapi kemudian diam ketika perlahan merasakan kehangatan untuk pertama kalinya. Di dalam pelukan Emilia, dia menutup matanya, merasakan sesuatu yang selama ini dia cari. Air mata yang selama ini seolah mongering, perlahan cair dan mengaliri pipi tirusnya.
***
“Lalu, apa maksudnya pembebasan itu, Ren?” tanya Rika.
“Dia akan terbebas dari karma ketika ada orang yang dapat memberikannya cinta. Dan kupikir, Emilia adalah orang yang dimaksud,” kata Ren. Tapi dari sudut matanya, Rika dapat melihat raut tak bahagia di wajah Ren.
“Apa kau cemburu? Kenapa wajahmu seperti itu?”
“Ah, tidak. Hanya saja.” Ren memberikan jeda yang cukup lama, hingga dia melanjutkan kalimatnya, “Iblis Karma adalah makhluk yang hidup karena karma yang ada di tubuhnya. Jika karma itu terangkat, maka ….”
“Dia akan mati.” Rika membungkam mulutnya.

===

~ bersambung
Share:

Heartbeat Memory #2 - Rooftop

http://cache.desktopnexus.com/thumbseg/1800/1800209-bigthumbnail.jpg

Heartbeat Memory

#2 - Rooftop

Malam semakin gelap. Suasana pun terasa semakin senyap, hanya suara hewan malam yang terdengar seolah sedang melantunkan nada rindu entah ke mana. Bagi Emilia, perburuan malam ini terasa menyenangkan. Bukan karena ini pertama kalinya pergi bersama klub astronomi. Toh, dia malah "menghilang" dan justru pergi bersama Saga. Namun karena bersama Saga lah, dia benar-benar merasa senang. Meski sebenarnya hampir tiap saat dia akan menemui Saga ketika malam tiba.

"Sudah larut. Sebaiknya kau kembali ke kamp," kata Saga memecah sepi.

"Tidak! Aku ingin tetap bersamamu, setidaknya sampai venus muncul." Emilia berkeras. Kali ini, Saga mau tak mau harus menyerah kepada sifat keras kepala Emilia.

"Kalau begitu, kita ke vila saja. Dinginnya mulai terasa," ajak Saga sambil merapikan peralatan.

Mereka berjalan ke sebelah timur bukit. Ke arah sebuah vila yang letaknya agak jauh dari pemukiman. Selama perjalanan, sesekali mereka membicarakan hal-hal astronomi, atau sekadar saling melempar candaan kemudian tertawa satu sama lain. Tak ada satupun dari mereka yang benar-benar mencoba membicarakan hal yang paling dalam yang mereka pendam satu sama lain.

"Jadi, alasan apa yang nanti akan kau katakan kepada teman-temanmu setelah menghilang semalaman?" tanya Saga setelah meletakkan 2 gelas berisi teh di atas meja.

"Uh, em ... cukup bilang kalau aku tersesat lalu diselamatkan oleh pemuda tampan dan menginap di tempatnya," kata Emilia yang disambut dengan sebuah nampan yang mendarat di atas kepalanya. Emilia meringis.

"Kau pikir kita ada di dalam cerita dongeng?" tanya Saga. Emilia tersipu.

"Tapi, aku benar-benar berpikir kalau saat ini aku sedang berada di dalam dongeng." Seulas senyum terlukis di wajah Emilia. Membuat wajah Saga memerah dan aliran darahnya serasa berbalik. Tapi sejurus kemudian, dia tenggelam dalam kecamuk pikirannya sendiri. Dia berdiri di samping jendela menatap langit malam, tidak menyadari Emilia yang berdiri di dekatnya.

"Saga, aku ingin menyampaikan sesuatu padamu." Saga kaget melihat Emilia yang sudah berdiri sangat dekat dengannya.

"Ap-" Saga kaget sampai tak bisa berkata.

"Sebenarnya, aku ... sejak pertama kali bertemu denganmu ... ak-" Sebuah kilatan cahaya yang muncul tiba-tiba membuat Emilia mendadak merasa lemas. Dia mengangkat kepalanya, mendapati wajah Saga yang tertunduk tertutup oleh rambut perak yang seperti memantulkan cahaya-cahaya malam. Perlahan, dia merasakan tubuhnya diangkat lalu diletakkan di sofa. Kesadarannya perlahan memudar. Dalam kondisinya tersebut, matanya samar-samar melihat sosok Saga yang nampak mulai menjauh.

***
Emilia dan Rika duduk di sebuah sofa yang kainnya mereka singkap. Sebuah sofa berwarna merah marun. Tangan kanan Emilia menyusuri pegangan samping sofa tersebut. Dia meletakkan kepalanya di situ tanpa menghiraukan tatapan aneh Rika.

"Ini aroma parfum Saga, Ka," kata Emilia. Matanya terpejam.

"Emi. Apakah kau benar-benar sudah ingat tentang Saga?" tanya Rika sedikit khawatir. Emilia bangkit.

"Ya, tentu saja aku ingat. Pendiri dan mantan ketua klub astronomi, mahasiswa semester 4 jurusan bahasa. Dan-"

"Dia sudah meninggal 6 bulan yang lalu, Emilia!" potong Rika. Tangannya memegang pundak Emilia. Ada sedikit kekagetan di raut wajah Emilia.

"Aku tahu, Rika. Aku juga di sana saat kebakaran melahap rumah Saga," ujar Emilia tenang. Begitu tenang hingga membuat Rika kebingungan.

"Tapi kenyataannya, aku masih sering bertemu dengannya. Saat malam di acara kamp klub astronomi, aku kembali bertemu dengannya. Bahkan saat itu, di sini, aku mencoba mengutarakan perasaanku. Tapi ..." Emilia memegangi kepalanya. Denyutan itu kembali terasa.

"Emi, ada apa?" Rika membantu Emilia bersandar.

"Aku tidak apa-apa. Hanya sedikit pusing."

"Um ... vila ini terawat bukan? Mungkin ada minuman di dapur. Biar kucarikan sesuatu untukmu," kata Rika. Dia bangkit lalu berjalan ke arah yang ditunjuk Emilia. Meski berkata seperti itu, sebenarnya Rika sendiri tak yakin bisa menemukan sesuatu di sini.

"Mana mungkin ada makanan dan minuman di tempat ini?" desah Rika pelan. Tangannya membuka pintu lemari es. Matanya terbelalak mendapati bagian dalam lemari es yang setengah terisi penuh. "Delusi Emi sedikit berlebihan."

Setelah mengambil sebotol air dari dalam lemari es, Rika mengambil dua buah gelas dari rak. Matanya menangkap dua gelas kotor di tempat cucian. Lagi-lagi dia bergumam, "Ya ampun, Emi."

Rika berjalan kembali sambil menenteng sebotol air mineral dan dua buah gelas. Dia masih terus memutar otak bagaimana menarik Emilia dari delusinya, terlebih kini ada sosok Ren yang kapan saja akan siap berada di samping Emilia. Tapi sepertinya tidak untuk malam ini.

"Ren, ya? Orang yang baik, tapi tuan putri yang satu ini sepertinya cukup sulit untuknya."

Setelah meminum segelas air yang dibawa Rika, rona wajah Emilia terlihat lebih cerah. Sepertinya pusing yang dia rasakan sudah sedikit reda. Mereka mulai kembali mengobrol setelah Rika membukanya dengan topik yang ringan. Sebenarnya, bukan tanpa maksud Rika mengajak Emilia mengobrol. Dia hanya sedang mencari timing yang pas untuk membicarakan Ren. Bukan berarti Rika tak peduli dengan perasaan Emilia. Justru karena dia tahu betul tentang seberapa penting seorang Saga dan bagaimana insiden beberapa bulan lalu telah merenggut sahabat terbaiknya. Dan dia hanya ingin Emilia kembali dari khayalannya.

"Rika, ayo kita ke atap." Emilia sudah berdiri sebelum Rika menyadarinya.

"He? Ini sudah malam, Emi," kata Rika beralasan.

"Sudahlah, ikut saja. Ayo." Emilia meraih tangan Rika yang belum sempat menyampaikan keberatan. Lalu menariknya, memaksa Rika berlari mengikuti Emilia menaiki tangga. Sekilas, Rika dapat melihat senyum di wajah Emilia. Senyum yang membuat Rika berpikir keras untuk memaknainya. Dia tak tahu harus merasa sedih atau bahagia. Dia tak tahu harus berbuat apa.

***

Angin malam berhembus pelan. Menyibak rambut perak Saga yang nampak berkilau di bawah paparan cahaya bulan. Sweater dan syal yang melingkari lehernya sudah cukup untuk menghangatkan sekujur tubuh kurusnya. Tapi jauh di dalam dirinya, ada rasa dingin menyakitkan yang terus merongrong dirinya. Setiap usaha yang dia lakukan untuk menghapus rasa dingin tersebut selalu berujung ke titik beku. Dia benar-benar tersiksa.

"Kenapa harus aku?" tanya Saga. Sebuah pertanyaan yang selalu dia lontarkan, entah kepada siapa. Hingga dia merasa lelah lalu kembali menjatuhkan dirinya ke permukaan beton yang keras.

Mata Saga masih terbuai oleh kedipan manja bintang, ketika ada suara tak asing yang memanggil namanya.

"Saga!"

"Emi?!"

***

Kedua pasang mata itu saling menatap. Begitu dalam, menembus khayalan mereka sendiri. Ada pusaran harapan dan keputusasaan yang berputar saling menguasai. Senyuman Emilia nampak berkilau di mata Saga. Terlalu menyilaukan hingga membuatnya enggan menatap dan memilih memalingkan muka. Meredupkan senyuman secerah matahari itu. Sementara Rika tak mampu bergerak, hanya nafasnya yang agak tertahan melihat pemandangan di depannya. Saga masih hidup.

"Saga, waktu itu aku belum sempat menyelesaikannya. Kalimatku. Jadi--"

"Apakah kau masih belum mengerti juga, Emi. Kita berbeda!" Saga mengatakannya tanpa menatap Emilia. Persis seperti terakhir kali mereka terpisah. Setidaknya, itu yang Emilia ingat.

"Aku sama sekali tidak keberatan dengan apa yang terjadi padamu. Aku hanya ingin bersamamu lebih lama!"

"Kau sama sekali tidak mengerti, Emi."

"Kalau begitu ... kalau begitu, tolong beritahu aku. Agar aku mengerti." Emilia melangkahkan kakinya satu demi satu mendekati punggung yang terbungkus sweater warna merah itu.

Saga berbalik. Dia dapat melihat dengan jelas mata beriris biru yang berkaca-kaca milik Emilia yang berada satu langkah di hadapannya. Dadanya kembali terasa sakit. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Saga sedikit membungkuk. Menyejajarkan matanya dengan mata Emilia. Ada semu merah di pipi Emilia. Tangan Saga perlahan meraih pipi Emilia yang memerah, lalu yang selanjutnya terjadi, muncul berkas cahaya yang menyelubungi mereka. Lagi-lagi meninggalkan Rika dalam kebingungannya sendiri.

"Tak perlu khawatir," kata seseorang yang sudah berdiri di samping Rika, "mereka akan baik-baik saja."

Rika menoleh dan kaget melihat siapa yang ada di sampingnya saat ini, "Ren?!"

===

~ bersambung
Share:

Heartbeat Memory #1 - Sesuatu yang Terlupakan


http://images.8tracks.com/cover/i/002/797/444/lost-star-night-dark-3402.jpg?rect=0,0,500,500&q=98&fm=jpg&fit=max


Heartbeat Memory

#1 - Sesuatu yang Terlupakan

"Berhenti!" pekik seorang gadis yang terduduk lesu di sudut sofa. Teriakan itu seperti membutuhkan energi yang besar, membuatnya semakin lemah. Tangan kanan seseorang yang tengah menggenggam gagang pintu itu pun menunda gerakannya.
"Maaf, aku tidak ingin menyakitimu lebih dari ini," kata pemuda kurus itu tanpa mengalihkan pandangannya.
"Tapi ....," Gadis itu nampak kepayahan melanjutkan kalimatnya. Wajahnya nampak sangat pucat. Mata sayunya sesekali dapat menatap kepulan asap tipis dari 2 gelas teh hangat di hadapannya yang belum sempat diminum. Tubuhnya pun tak dapat dia gerakkan, seperti ada sesuatu di dalam tubuhnya yang mencoba mengambil alih kendali dirinya. Menggerogoti setiap jengkal kesadaran dirinya. Perlahan secara paksa menariknya ke alam mimpi.
"Aku mencin-" Kalimat itu ditutup dengan suara tubuh gadis itu yang beradu dengan sofa. Pemuda itu menghela nafas lalu menarik pintunya ke arah dalam.
"Aku pun merasakan hal yang sama denganmu."
Segera, tubuh setinggi 170 cm itu melewati pintu. Meninggalkan sosok gadis yang terlelap dalam mimpi yang tak diharapkannya. Ada aliran air mata yang tersamarkan oleh kegelapan yang memenuhi ruangan itu. Hingga fajar mulai mendaki langit timur, pemilik mata beriris biru itu terbangun dalam kebingungan. Dia hanya menangkap siluet yang menghalangi sinar matahari pagi berdiri di seberang meja.
"Emilia, kenapa kau tertidur di sini? Ya ampun. Kau benar-benar pandai membuat orang lain khawatir." Suara berwibawa itu perlahan menuntun kesadaran Emilia kembali. Sosok itu berjalan mendekati sofa tempat Emilia duduk, mengizinkan matahari menyoroti wajah khas asia serta rambut ikal pendeknya.
"Ren. Aku ... aku tak tahu. Aku tidak bisa mengingat apa-apa," kata Emilia lirih sambil memegangi kepalanya yang tiba-tiba berdenyut. Sakit. Emilia benar-benar tidak bisa mengingat kejadian semalam, tapi samar-samar, ada ingatan tentang sesuatu yang mengganggunya.
"Ayo, teman-teman di kamp sudah menunggu," ujar pemuda bernama Ren itu sambil mengulurkan tangannya.
Tanpa mengatakan apapun, Emilia meraihnya. Ketika tangannya menyentuh tangan Ren, di dalam kepalanya muncul bayangan seseorang. Samar. Emilia terdiam berusaha meraba ingatan kabur itu. Hal itu membuat Ren bingung melihat sikap Emilia.
"Emilia." Ren memanggilnya. Emilia tersentak.
"Ah, maaf. Ayo kita segera kembali."
***
Akhir-akhir ini Emilia lebih sering termenung. Entah sudah berapa kelas dia lewati hanya dengan duduk diam tanpa melakukan apapun. Tak ada pertanyaan-pertanyaan kritis yang dia lontarkan seperti biasa ketika dosen selesai menyampaikan materi. Hal ini cukup mengusik seorang gadis yang duduk tepat di sebelah Emilia.
"Emi. Emiii. Ada apa denganmu? Setelah ikut kamp pelatihan klub astronomi, kau jadi aneh." Rika, sahabat Emilia, membuka obrolan setelah beberapa menit dia sebal menatap Emilia hanya mengaduh-aduk minumannya.
"Eemiiii!" Suara cempreng Rika yang cukup keras membuat Emilia tersentak dari lamunannya.
"Eh, kau memanggilku?" tanya Emilia. Kali ini Rika memalingkan wajahnya. Pipinya memerah.
"Rika, maaf. Aku hanya sedang bingung," kata Emilia.
"Ceritakan padaku. Bukankah aku ini sahabatmu?" Kalimat retorik Rika membuat Emilia tersenyum.
"Aku melupakan sesuatu, Ka. Sesuatu yang sangat penting." Emilia mulai bercerita. Rika mengernyitkan dahi.
"Sesuatu?" tanya Rika penasaran.
"Entahlah, seperti ada setengah dari ingatanku menghilang. Tentang seseorang."
Pandangan Emilia menembus kaca jendela kantin. Sementara itu Rika masih menelaah cerita Emilia, tiba-tiba dia teringat sesuatu.
"Saga."

***


Suasana malam di bukit benar-benar berbeda dengan suasana kota yang letaknya tak lebih dari 1 kilo. Benar-benar gelap. Tapi hal ini sangat Emilia sukai. Ketika berada di tempat terbuka yang gelap tanpa sedikitpun polusi cahaya, matanya bisa dengan mudah memandangi lukisan berkilau di langit. Titik-titik cahaya yang tersebar tak beraturan, tapi dapat menciptakan keindahan. Bukan susunan yang ditata secara rapi dan teratur. Kadang definisi manusia tak cukup mewakili sebuah makna.
"Emi. Teleskopnya sudah siap." Suara itu membuat Emilia menoleh. Dia berjalan mendekat.
"Kenapa kau tidak tinggal saja di sini? Bukankah melelahkan harus menempuh jarak yang cukup jauh setiap hari hanya untuk datang ke bukit ini?" tanya Emilia. Mata beriris birunya tengah sibuk mengintip lensa teleskop.
"Aku tak punya rencana untuk menetap. Lagi pula ...." Kalimatnya menggantung.
"Lagi pula?" tanya Emilia. Kali ini dia menatap lekat lawan bicaranya.
"Ada vila kecil yang biasa kugunakan untuk bermalam jika terlalu lelah." Kalimat itu ditutup oleh seulas senyum yang memamerkan jajaran gigi yang putih terawat. Emilia terkesima.
Malam ini bulan bergerak lambat. Sepertinya dia tak ingin ketinggalan untuk unjuk gigi dari cahaya-cahaya kecil di sekelilingnya. Scorpio mulai meredup dan perlahan hilang. Bersamaan dengan itu, sang pemburu, Orion, muncul membelah langit. Mata Emilia tak lepas dari teleskop berwarna putih itu. Setelah puas melihat kilatan meteor orionid yang saling berlomba, Emilia merebahkan dirinya ke rerumputan. Menatap nanar ke arah bintang yang begitu jauh jaraknya.
"Bintang adalah cahaya dari masa lalu." Emilia menggumam.
"Karena mereka bisa saja sudah mati dan yang kita lihat saat ini adalah hasil pantulan cahaya yang baru tiba dari masa lalu, bukan?" timpal sosok yang ada di sebelah Emilia. Emilia mengangguk.
"Tolong temani aku sampai Venus muncul," ucap Emilia tanpa memalingkan wajahnya.
"Tapi ... bagaimana dengan teman-temanmu? Tentu mereka akan khawatir jika kau tidak kembali."
"Saga, aku mohon." Ada air mata yang tumpah. Membuat suasana semakin hening.
"Bahkan cahaya tercepat pun membutuhkan waktu untuk bisa menjangkau sebuah jarak. Setidaknya, beri aku sedikit waktu untuk bisa menutup jarak kita." Emilia terisak.
"Bahkan jika aku memberikan seluruh waktuku, hal itu tidak akan pernah cukup untuk memangkas jarak kita," kata Saga sambil masih menatap langit.
"Saga ...."
"Maaf," kata Saga sambil mengusap kedua matanya, "aku akan menemanimu, malam ini. Hingga Venus muncul."
***
"Emi, apa kau yakin? Di sini gelap sekali. Aku takut," tanya Rika gemetaran.
"Kita sebentar lagi sampai. Ah, itu dia!" Emilia menunjuk ke arah sebuah vila berwarna putih. Di sekelilingnya terdapat berbagai macam tanaman hias. Begitu bersih dan terawat. Lampu terasnya menyala, sementara bagian dalamnya nampak gelap sempurna.
Setelah menarik napas lalu membuangnya, Emilia mendorong pintu ganda tersebut. Tak terkunci. Dengan lancar, pintu itu terbuka. Cahaya bulan yang tak lagi penuh menerobos ke dalam ruangan besar itu, seolah membantu Emilia menemukan saklar lampu yang ada di dinding sebelah kanan.
"Klek." Saklar tersebut memicu lampu kristal di langit-langit tengah ruangan menyala. Menyingkap tabir temaram, menampakkan pemandangan sebuah ruangan layaknya ruang tamu. Emilia terdiam. Sementara Rika yang baru saja melangkah masuk hanya bisa menahan napasnya. Meski hanya tipis, ruangan tersebut cukup berdebu. Kain-kain putih yang menutupi meja, kursi, dan berbagai interior lain terlihat kusam. Kepala Emilia berdenyut sementara pandangan matanya mulai kabur. Dia merasakan sesuatu yang tak beres dalam kepalanya, seperti ada sebuah film yang masuk ke dalam pikirannya. Membuat kedua mata Emilia memanas dan mulai berair.
"Emi," panggil Rika yang merasa khawatir. Dia berjalan mendekati Emilia yang masih diam sambil memegangi kepalanya.
Emilia menoleh ke arah Rika. Air matanya jatuh ketika berujar, "Rika, aku mengingatnya. Dia ... seseorang yang sangat penting."

~ bersambung
Share:

Kisah Tanpa Rupa | Monolog Random


Title : Kisah Tanpa Rupa
Author : @NVRstepback

Belajar monolog

ilustrasi, thaivisa.com

Maaf jika tiba-tiba aku datang tanpa mengabari kalian terlebih dahulu. Aku hanya kesepian dan butuh teman. Jadi, ketika kulihat tenda kalian, aku pun memutuskan datang. Begini ... aku ingin curhat kepada kalian. Ada sesuatu yang terasa mengganjal di dalam diriku. Sudikah kalian mendengarkannya? Tenang, hanya sebentar. Kenapa kalian diam saja? Jadi kalian setuju? Baiklah kalau begitu. Aku ingin bercerita tentang ... kisah cintaku.

Mungkin kalian tak akan menyadarinya, tetapi aku adalah seorang keturunan cina. Darah cinaku berasal dari kakek buyut yang asli orang cina. Eh, sepertinya aku ngelantur, ya. Baiklah. Ehm.... Saat itu, aku resmi menjadi seorang pelajar berseragam putih abu-abu. Hari-hari damai terlewati begitu saja tanpa terasa. Hingga hari-hari damai itu perlahan menjadi hari penuh kegelisahan. Bukan, bukan karena aku menerima bully seperti yang sering kalian lakukan kepada murid-murid baru beberapa bulan yang lalu. Tapi, aku melihat sosok bidadari di sekolahku. Dan, tentu saja karena aku lelaki normal, aku pun jatuh cinta.

Awalnya, kupikir kisah cintaku akan seperti kisah romantis di ftv. Tapi ternyata jauh berbeda. Benar-benar mengejutkan, sekaligus ... mengecewakan. Gadis itu, idola sekolah itu, dia bernama Wina, ternyata jatuh cinta kepada sahabatku sendiri. Menyakitkan sekali jika harus mengingatnya, tapi aku harus menceritakannya. Agar bebanku sedikit berkurang dan sedikit tenang.

Aku mengidap sindrom bernama aleksitimia. Kata seorang psikiater, sindrom itu membuat aku kesulitan untuk mengungkapkan perasaanku. Ehm, bukan seperti kalian yang sok memendam perasaan kepada seseorang karena tak berani bilang. Aleksitimia membuatku tidak bisa mengekspresikan emosi dan perasaanku. Aku tidak bisa mengungkapkan rasa senang ketika aku mendapat peringkat satu ulangan semester, rasa sedih ketika kakakmu mati di depan mataku, rasa marah ketika ada yang menuangkan saus ke dalam minumanku, dan ... rasa sayang ketika aku jatuh cinta.

Beruntung, aku berteman dengan seorang yang sangat baik. Toni. Aku bisa sedikit terbuka ketika berbicara dengannya. Dan pada suatu kesempatan, dengan usaha keras, aku jujur kepada Toni tentang perasaanku kepada Wina. Di luar dugaan, dia merespon dengan positif. Toni, yang sudah mengerti tentang sindrom anehku, mengajukan diri menjadi perantara antara aku dan Wina. Aku benar-benar senang. Tapi, aku kesulitan mengungkapkannya.

Hampir setiap hari, aku menulis sebuah puisi dan membeli hadiah untuk diberikan kepada Wina, melalui Toni. Dan sekembalinya Toni dari mengantarkan hadiah, selalu ada kalimat manis yang Wina katakan, tentu yang kudengar dari mulut Toni. Kian hari, aku merasa kalau hubungan, via perantara, antara aku dan Wina semakin baik. Aku pun merasa kalau ada kekuatan besar mengalir di dalam diriku yang mencoba mengalahkan sindrom aleksitimiaku. Aku ingin bertemu dengan Wina. Ya, aku ingin bertemu dengannya. Mendengar langsung kalimat-kalimat indah itu dari mulutnya. Semakin aku memikirkannya, angan-anganku semakin melayang. Terlalu tinggi.

Suatu hari, aku sengaja tidak mengirimkan apapun kepadanya. Aku ingin memberinya kejutan! Sepulang sekolah, aku pergi ke belakang aula, tempat yang selalu diceritakan oleh Toni. Tempat di mana hadiah dan puisi-puisiku tersampaikan kepada Wina. Hatiku semakin berdebar. Kekuatan untuk menumbangkan ketakutanku kurasakan semakin besar. Mungkinkah karena cinta? Ah, tentu indah bukan?

Tapi tebakanku meleset.

Setibanya di belakang aula, aku melihat pemandangan yang menyakitkan. Wina dan Toni duduk berdampingan begitu dekat. Terlebih lagi ada senyum dan tawa kecil di sela pembicaraan mereka. Senyum dan tawa menjijikkan itu seketika surut ketika ekor mata Toni menangkap kehadiranku. Mukanya merah padam. Sementara Wina nampak kebingungan. Toni mulai berjalan ke arahku, sambil berusaha melepas pegangan tangan Wina. Sementara aku hanya bisa melongo.

Lalu ... ada teriakan yang terdengar dari dalam diriku.

Secepat kilat, aku meraih pena di saku baju seragamku. Tepat ketika Toni berada di hadapanku, tangan kananku yang memegang erat pena meluncur deras tepat ke dada Toni. Dia terdiam sambil sesekali bergantian menatap wajahku dan pena yang setengah lebih masuk ke dalam dadanya. Seragam putihnya mulai memerah. Dia jatuh berlutut di hadapanku. Seringai di wajahku tak bisa kusembunyikan. Tapi tak lama, teriakan histeris Wina menyadarkanku. Kutengok tubuh Toni di bawah kakiku. Ada darah yang mulai menggenang di bawah tubuhnya yang tidak bergerak.

Kepanikan mulai menjalariku.

Aku berlari secepat mungkin dari tempat itu. Semakin jauh, aku semakin sadar. Aku telah melakukan sesuatu yang mengerikan. Aku membunuh seseorang. Tapi ... bukankah Toni pantas menerimanya? Bagaimana menurut kalian? Hm, lagi-lagi kalian hanya diam. Kalian penasaran dengan ceritaku, ya? Baiklah, akan kulanjutkan.

Jadi, aku berlari secepat yang kubisa. Menghindari setiap tatapan siswa-siswa yang masih tinggal karena mengikuti kegiatan ekstra. Aku panik dan takut, tapi aku juga merasa lega. Tapi tetap saja aku terus berlari. Aku telah membunuh seseorang. Aku tak memperhatikan arah lariku. Ketika sadar, aku telah melompat melewati gerbang sekolah. Kuhentikan langkahku yang mulah payah. Aku sedang mencoba mengatur nafas ketika kudengar teriakan dari arah sekolah.
 
Aku tak dapat mendengarnya dengan jelas. Nampak satpam sekolah dan beberapa orang nampak meneriaki dan menunjuk ke arah yang sama. Kutegakkan tubuhku. Ketika aku menoleh, aku dapat dengan jelas melihat seorang pria paruh baya menatap nanar di balik sebuah kaca. Sesaat kemudian, aku dapat merasakan sesuatu yang besar dan berat mengenai tubuhku. Membuatku terlempar dan terpelanting beberapa meter. Kedua tangan dan kakiku patah karena beberapa kali menjadi tumpuan ketika aku terpental. Sejauh yang kuingat, tulang tengkorakku retak ditambah darah segar yang keluar dari tubuhku. Lebih banyak dari darah milik Toni. Dan terakhir kali mataku melihat jalan, ada ban hitam yang menutupi pandanganku. Menyisakan suara gemeratak yang samar-samar kudengar sebelum aku tenggelam dalam kegelapan sempurna.

Ehm. Terima kasih sudah mendengarkan ceritaku. Bebanku sedikit berkurang. Sekali lagi, maaf jika aku mengganggu waktu kalian. Lagipula ... ehehm ... berbicara bukan dengan suaraku sendiri rasanya agak aneh. Tapi cukup nyaman untuk menyampaikan cerita daripada dengan tubuh dan suaraku yang sering membuat orang lari bahkan sebelum aku mulai bicara. Baiklah, aku pergi.

===@===
Share:

A Secret Admirer's Admirer | Flash Fiction

Yak! Flash Fiction lagi~ kenapa flashfic lagi? Well, saya masih belajar bikin konflik. Nah, daripada bikin konflik di dunia nyata dengan ngompor-ngomporin orang, kan mending bikinnya di dunia tulis yang fiktik. Kan? Hoehehe

Title : A Secret Admirer's Admirer
Terinspirasi dari buku Relationshit-nya bang @shitlicious


A Secret Admirer's Admirer
"Cinta yang tak diungkapkan ibarat pedang bermata dua. Dia mampu membunuh dua hati sekaligus."
pic from "Ao Haru Ride" anime
Dia masih berdiri terpaku di tempatnya kini berdiri. Kalimat yang baru saja dia dengar dari seseorang yang sangat berarti baginya begitu lancar menusuk jantungnya. Sorot matanya kosong, meski ada bulir-bulir air tertahan di ujungnya. Terulas senyum getir di ujung bibirnya yang gemetar menahan kalut di dalam dadanya.

"Jadi begitu ... ya? Ah, aku benar-benar bodoh."

***

Seorang gadis dengan sweater rajut warna biru muda nampak berdiri cemas di depan pintu lusuh sebuah kost-kostan. Di tangan kirinya tergantung kantong plastik hitam berisi buah-buahan. Tangan kanannya, dengan sedikit ragu, dia angkat lalu mengetuk pintu yang warnanya memudar itu. Sesaat kemudian, pintu itu ditarik ke arah dalam. Muncul sosok pemuda yang lehernya terbelit syal dan tubuhnya terbungkus jaket tebal.

"Rara! Eh, kok di sini?" Pemuda itu kaget dengan kedatangan tamu itu. Tubuhnya menjadi terasa lebih panas.
"Hai, Rio. Aku dengar kamu sakit. Kebetulan juga aku lewat sini, jadi sekalian mampir deh." Rara menyerahkan bungkusan buah itu sambil tersenyum.
"Duh, bisa pingsan aku kalau kelamaan melihat senyum Rara," batin Rio.
"Eh, sini masuk tapi ruangannya berantakan. Hehe." Rio segera mempersilakan Rara masuk. "Mau minum apa? Biar aku pesan di warung depan."
"Aduh, jangan deh. Nanti ngrepotin. Kamu kan juga lagi sakit." Rara mencoba menolak.
"Ra, aku udah agak baikan kok," tegas Rio.
"Ya udah, teh botol aja," jawab Rara pasrah. Rio pun bergegas keluar.

Mata Rara tak henti-hentinya memandangi ruangan berukuran 3x4 meter itu beserta berbagai interior serta atribut dindingnya. Dia tersenyum simpul menyadari bahwa teman barunya ini tidak terlalu pintar dalam menata ruangan seprivat kamar. Pandangannya tiba-tiba tertuju ke tumpukan kertas di dekat kaki meja. Rasa penasarannya membuatnya meraih selembar kertas berwarna kuning pucat. Kertas itu nampak lusuh.

Rara mulai membaca kata demi kata pada kertas itu. Semakin lama dia membaca, semakin kuat pula tekanan yang dia rasakan dalam dadanya. Dia kenal betul dengan kalimat-kalimat indah itu. Dia pun hampir hafal separuhnya, karena ... dia memiliki versi utuh puisi itu yang tersimpan rapi di salah satu laci kamarnya. Air matanya mulai menetes ketika Rio tiba-tiba muncul.

"Ra ... kamu kenapa?" Tapi Rio langsung bungkam tak mengharap jawaban apapun ketika melihat apa yang sedang berada di tangan Rara saat ini. Hening datang. Mereka terdiam.
"Rara. Sebenarnya aku--"
"Kamu jahat, Rio. Kamu jahat!" Rara memotong kalimat Rio. "Kenapa harus sekarang?"
"Aku cuma nggak tahu bagaimana caranya, Ra. Kupikir dengan puisi-puisi anonim itu, aku bisa bikin kamu bahagia dan--"
"Bahagia kamu bilang? Mungkin di mata kamu aku bahagia, Rio. Tapi pernah nggak kamu berpikir lebih jauh? Di dalam sini aku tersiksa! Kamu di posisi yang lebh baik karena bisa tahu kepada siapa kamu mencurahkan cinta. Tapi bisa nggak kamu mengerti posisiku? Tiap malam aku dibuat bertanya-tanya siapa pemilik kalimat-kalimat indah itu, Rio. Aku jatuh cinta. Tapi aku nggak tahu seperti apa sosoknya. Itu benar-benar bikin aku tersiksa sendirian, Rio!" Dada Rio terasa lega sekaligus sesak mendengar kalimat-kalimat Rara. Pengakuan yang tak disangka-sangka.
"Maafin aku, Ra. Aku memang sudah lama jatuh cinta kepadamu. Aku--" Rio lagi-lagi tak sempat menyelesaikan kalimatnya.
"Tapi semuanya sudah terlambat. Aku nggak mungkin menerima perasaan kamu, Rio. Terlebih setelah dengan seenaknya kamu menguburku dalam rasa penasaran yang akhirnya membunuhku. Permisi." Dengan mata sembab, Rara pergi melewati Rio yang sama sekali tak bergerak. Langkah kakinya perlahan mulai menghilang dari jangkauan indera dengar Rio. Dia pergi. Sangat jauh.

***

Dia masih berdiri terpaku di tempatnya kini berdiri. Minuman teh botol yang dia bawa terjatuh begitu saja. Menggenang di sekitar kakinya. Kalimat yang baru saja dia dengar dari seseorang yang sangat berarti baginya begitu lancar menusuk jantungnya. Sesalnya kini tak ada arti. Merutuki kebodohannya pun tak akan membuat waktu terulang kembali.

"Sepertinya menjadi seorang pemuja rahasia bukan hal yang bagus. Aku membuat dua hati yang seharusnya saling mengenal pada akhirnya mati di tempat yang saling berjauhan." Rio terduduk lesu. Malam ini dia tak bisa lagi menulis puisi untuk Rara. Dia sudah membunuh hati Rara ... dan hatinya sendiri. Mati dalam sesal yang tak seharunya terjadi, andai dia mengakui perasaannya jauh-jauh hari.

~ fin


Review-nya kak
Share: