“Segenap asaku yang pedih tertahan oleh jiwa
pengecutku, perlahan digerogoti oleh kenyataan yang dengan lantang mengungkapkan
ketidakmampuanku menghapusmu dari alur kisah hidupku…”
Hujan masih
setia bernyanyi menemaniku. Nada-nada tak beraturan itu saling bersahutan satu
sama lain. Aku mendengarkannya sambil sesekali mengulurkan tanganku untuk
menyentuh hujan. Beberapa kali tersenyum, beberapa kali tertawa. Yah, untung
saja aku sendiri. Jika tidak, aku sudah diteriaki ‘orang gila!’ hahaha.
Sore ini memang
terasa lain. Hujan seperti sedang betah untuk bersenandung. Langit yang sedari
tadi murung bertopeng mendung. Entah ada apa dengan mereka. Tapi, sepertinya
mereka sedang ikut merayakan kesedihanku. Benarkah? Aku pun tak tahu. Tapi aku
berpikir begitu, agar aku tak semakin kalut hanyut dalam sepi.
“Rio!” tiba-tiba
terdengar teriakan seseorang memanggil namaku. Aku menoleh, dan kulihat seorang
gadis berambut hitam panjang sedang cemberut menatapku.
“Iya.” Jawabku
pendek sambil melempar senyum. Dia pun berjalan ke arahku, sambil masih
cemberut tentunya. Semakin dekat dan semakin dekat. Dan…
“Aaawwww!”
sebuah cubitan yang cukup telak membuat lengan kiriku lebam dan sakit tentunya.
“Ke mana aja
sih, dari tadi ditungguin di kantin malah ngilang gak tau ke mana.” Kata gadis itu sambil masih cemberut. Kali
ini ditambah berkacak pinggang.
“Gak ke
mana-mana sipit.” Kataku sambil mengacak-acak rambutnya. Dan kulihat, level
cemberutnya sudah mulai berkurang. Tapi masih belum mau tersenyum.
“Ih, manggil aku
sipit. Dasar Rio tuh cungkring.” Balasnya kemudian menjulurkan lidah. Aku hanya
tertawa melihat dia seperti itu.
“Iya iya. Udah
sore nih. Ujannya juga udah reda. Yuk pulang, nanti papa kamu nyariin.” Ajakku
kemudian menarik tangannya. Tanpa berkata apa-apa, dia mengikuti langkahku.
Verianna A…
Nama gadis yang saat ini berjalan di sebelah kiriku. Seperti aku memanggilnya
tadi, matanya cukup sipit karena dia memang keturunan Jepang. Kulitnya pun
putih. Rambut hitam, panjang, lurus. Wajah oriental yang sangat manis bila
sedang tersenyum. Tapi sayangnya dia sangat pelit untuk tersenyum. Tapi tak
apalah, yang penting aku sudah pernah melihat senyum ‘langka’ seorang Verianna Azuka.
Haha.
Sepanjang
perjalanan menyusuri citiwalk, aku menghabiskan waktu untuk melihat sosok Anna,
begitu aku biasa memanggilnya, yang masih cemberut dan tak mau bicara padaku.
Ah sial, gadis ini memang menyusahkan kalau sedang marah.
***
Sampai di depan
gerbang rumahnya, Anna menghentikan langkahnya. Cukup lama dia berdiri, tidak
segera masuk ke rumahnya. Aku mencoba menengok melihat wajahnya. Dan.. Demi
apapun yang jatuh dari langit, aku melihat seorang Anna menangis! Hal yang
cukup.. langka.
“Kamu kenapa
An?” tanyaku. Anna hanya terdiam dan tertunduk. Kelihat, kedua tangannya
seperti menggenggam sesuatu. Dia seperti ingin menyembunyikan benda itu dariku.
“Anna… Ada apa?”
tanyaku lagi. Kali ini Anna langsung memelukku. Dan.. Aku hanya bisa diam tak
bergerak. Sesekali kudengar isak tangis Anna yang berusaha dia tahan. Beberapa
detik kemudian, Anna melepaskan pelukannya.
“Denis mutusin
aku Yo. Dia kasih surat ini tadi, tanpa ngomong apa-apa.” Kata-kata Anna yang
cukup lancar meskipun terselip isak tangisnya.
Aku meraih secarik
kertas yang disodorkan oleh Anna. Kubaca sebentar. Tapi isi surat itu sama
sekali tak kubaca seluruhnya. Karena yang sekarang mengganggu pikiranku adalah
Anna yang sedang sedih, sangat sedih. Kami bersahabat sejak kecil, karena orang
tua kami memang rekan bisnis dan juga sangat saling mengenal. Dan memang aku
sudah lama memendam rasa suka, cinta, atau apalah namanya pada Anna semenjak
kami masih kelas 3 SMP, dan sialnya aku masih belum bisa menghilangkan rasa itu
hingga kini, kelas 3 SMA, dan hampir lulus.
“Udah An, masih
banyak kok cowok di dunia ini gak cuma Denis aja. Jangan sedih yaa.” Kataku
berusaha menghibur kesedihan Anna.
“Tapi Rio…”
“Move On dong
sipiiit. Masa iya semangat Bushido-nya seorang Anna tumbang gara-gara diputusin
seorang cowok. Ganbatte!” kata-kataku yang begitu saja terlontar, sambil
tersenyum. Senyum yang agak kupaksakan.
“Cungkriiing!
Berapa kali aku bilang, jangan panggil aku sipiiit!!” teriaknya sambil
mencubiti kedua lenganku. Ya, kata-kataku tadi ternyata cukup manjur. Kulihat Anna
tak lagi murung seperti beberapa menit tadi.
“Udah udah.
Masuk sana gih, mandi terus makan. Jangan lupa belajar, besok ada ulangan lho.”
“Siap Rio
cungkriing.” Katanya sambil berlari masuk. Aku hanya tersenyum melihat sosok
Anna hilang di balik gerbang tinggi itu.
Sepanjang
perjalanan menuju rumah, aku masih merenungkan Anna dan perasaanku padanya. Apa
aku harus mengungkapkannya, atau kutahan saja? Ah.. Sial, hampir saja aku
menabrak tiang listrik karena memikirkan hal itu.
Sesampainya di
rumah, setelah mandi, makan, dan sholat, aku langsung melahap materi-materi
yang ada di dalam buku tebal di meja belajarku. Hampir muntah ketika aku
mengerjakan soal latihan matematika yang ada di buku. Dan aku tak jadi muntah
ketika kudengar handphoneku berdering. Ada SMS masuk.
[from: ~sipit]
Rio, mksh ya td ud ksih smngat buatku.. J
Lumayan,
pikirku, aku bisa sedikit tersenyum karena SMS Anna, dan tak jadi muntah karena
soal latihan matematika.
[to: ~sipit]
Sama2 An. Ud shrusnya seorg shbat, ksh smngat bwt
shbatnya yg lg down.. ^^
[from: ~sipit]
Oiya Yo, bsok jgn lupa jmput lho ya. Awas klo lupa..
[to: ~sipit]
Siap sipiiit.. dijamin gak lupa kok.. :p
[from: ~sipit]
Aaakk! Cungkring nybeliiin.. dasarr.. :@
[to: ~sipit]
:p ud, bljar sana. Ingt, bsok ulangan..
[from: ~sipit]
Iya iya, siap bos cungkring.. :p
Aku tak membalas
SMS terakhirnya. Pikiranku bisa sedikit tenang karena Anna sudah bisa bercanda
seperti biasanya. Kulanjutkan lagi pergulatanku dengan soal ujicoba
matematika.. Fighting!
***
Keesokan
harinya, seperti biasa aku datang untuk menjemput Anna. Sesampainya di rumah
Anna, aku sudah disambut bi Inah, pembantu di keluarga Anna, yang sedang
menyapu halaman depan. Sambil menunggu, aku ngobrol dengan bi Inah, hingga aku
mendapat kabar yang cukup tak mengenakkan hati dan perasaanku.
“Mas Rio udah
tau belum?” tanya bi Inah di tengah obrolan. Sontak aku kaget dan bingung.
“Apaan bi?” aku
balik bertanya.
“Non Anna mau
pindah keluar negeri mas Rio. Mau kuliahnya di sana.” Terang bi Inah sambil
terus menyapu. Jantungku seperti berhenti berdetak selama 2 detik mendengarnya.
Anna akan pindah?
“Tapi kok Anna
sama sekali gak cerita ke saya ya bi.” Aku mengucapkannya sambil berusaha
menenangkan tubuhku yang bergetar.
“Emang baru tadi
malam mas Rio, Tuan nyuruh non Anna nerusin kuliah di luar negeri. Mungkin
nanti non Anna bakal cerita ke mas Rio.” Terang bi Inah.
“Iya bi.” Kataku
lemah. Beberapa menit kemudian, kulihat Anna sudah keluar dari rumahnya.
Wajahnya tampak sedikit murung. Dia berjalan ke arahku dan bi Inah.
“Yuk berangkat
An. Mari bi Inah.” Bi Inah hanya tersenyum dan melambaikan tangannya.
Seperti biasa,
aku berjalan di samping kanan Anna. Dan seperti kemarin sore, sama sekali tak
ada suara dari mulutku maupun mulut Anna. Sedikit kulirik Anna, dia berjalan
sambil menundukkan kepalanya. Rambut panjangnya seolah menolak pandangan mataku
untuk menatap lebih jelas wajah Anna. Saat hampir sampai gerbang sekolah,
karena tak tahan, aku pun menegur Anna.
“Anna.” Kataku
sambil menghentikan langkahku. Anna ikut menghentikan langkahnya, tapi masih
diam saja.
“Ada apa An?
Kenapa diem aja? Masih ngambek gara-gara kemarin ya?” tanyaku. Tapi Anna justru
semakin menunduk. Aku coba membungkuk dan menatap ke wajah Anna. Dan… Anna
menangis lagi.
“Maaf Rio.” Kata
Anna singkat kemudian berlari masuk ke sekolah meninggalkanku.
Aku pun
melangkah pelan melewati gerbang sekolah, kemudian berjalan menuju kelas.
Pikiranku tak henti-hentinya memikirkan Anna, hingga aku tak sadar ada
seseorang yang berjalan di depanku.
“Buggg!!”
tabrakan pun tak terhindarkan.
“Maaf, gak
sengaja.” Kataku sambil membantunya merapikan buku-bukunya yang jatuh.
Aku berdiri dan
menyerahkan buku-buku di tanganku. Saat kulihat, ternyata seorang gadis. Dan
cukup familiar. Aku mengernyitkan dahi ketika gadis itu hanya cengar-cengir
misterius kepadaku. Dia mengambil bukunya yang ada di tanganku.
“Rio lupa ya
sama aku?” tanya gadis itu. Ha? Kenapa dia tahu namaku? Siapa gadis ini?
“Siapa ya?”
tanyaku, sambil masih berusaha mengingat-ingat.
“Sahabat sejati
adalah mereka yang selalu ada untukmu bagaimanapun keadaanmu. Mereka ikut
tertawa melihat kebahagiaanmu, dan mereka memberi semangat melihat
kesedihanmu.” Katanya sambil tersenyum.
“Ira?” Ira
tersenyum dan mengangguk. Aku pun teringat pada gadis ini, Ira. Sahabat yang
aku dan Anna kenal ketika sedang berlibur ke rumah kakek Anna di Bandung. Tapi,
ada apa dia di sini? Bukankah jarak Bandung dan Jogja cukup jauh?
“Kamu ngapain di
sini?” tanyaku penasaran.
“Aku pindah ke
sini Rio.” Kata Ira sambil membetulkan tumpukan bukunya.
“Loh, kok
tanggung banget? Kan tinggal beberapa bulan lagi ujian.” Tanyaku, kali ini kami
berbincang sambil berjalan menyusuri koridor sekolah. Kemudian duduk di bangku
taman sekolah.
“Orang tuaku
dipindah tugas ke sini Yo. Dan karena aku pernah denger Anna sama kamu sekolah
di sini, ya akhirnya aku memutuskan pindah ke sini.” Terang Ira sambil
tersenyum.
“Oh, gitu.”
Ujarku pendek sambil memencet-mencet handphone-ku asal-asalan.
“Anna mana Yo?”
Tanya Ira tiba-tiba.
“Dia udah ke
kelas tadi.” Jawabku dengan nada lesu.
“Udah lama nih,
gak ketemu kalian berdua. Pengen maen bareng lagi.” Kata Ira.
“Hahaha, iya
dong. Tapi kalo ujian udah kelar pastinya.” Timpalku. Ira tersenyum.
“Yaudah, aku
duluan ya Yo. Mau ke ruang kepala sekolah.” Kata Ira yang kemudian bangkit
berdiri.
“Ok, ati-ati ya
Ra.” Ira pun tersenyum kemudian pergi.
Ira Adinda.. Tak
kusangka bisa bertemu dengan gadis riang ini di sini. Masih tetap seperti dulu
dan tak berubah. Selalu membawa atmosfer menyenangkan setiap kali ngobrol
dengannya. Sudahlah, tak perlu terlalu lama dipikirkan.
Aku bergegas
bangkit dari dudukku untuk lekas menuju ke kelas. Saat berbalik, aku hampir
melompat ke belakang karena kaget. Ada Anna yang berdiri di situ.
“Eh, Anna. Dari
kapan berdiri di situ?” tanyaku sambil melangkah ke arahnya. Tapi Anna hanya
diam saja dan perlahan melangkah mundur kemudian berlari pergi.
“An! Anna!” panggilku, tapi Anna sama sekali tak
berhenti.
***
to be continued...
Hey YO! Butuh komentar, kritik, dan saran untuk kelanjutannya... Ayolah, jangan pelit ngisi kotak komentar.. OK? ^^,