Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan

Sekarang Giliranmu

dream by headlinebox.com

Sekarang Giliranmu


Setiap orang pasti punya mimpi. Namun, tak banyak yang memiliki cukup keberanian untuk berusaha mewujudkannya. Sebagian besar orang akan meletakkan mimpinya di sudut ingatan paling dalam lalu perlahan melupakannya. Orang-orang seperti itu lebih memilih hidup mengikuti arus, mencari situasi teraman yang minim risiko. Tapi ada sebagian kecil yang tetap gigih mewujudkan mimpinya di tengah kesulitan dan cercaan. Melawan arus. Bukan berarti ingin mencari sensasi, tapi karena mereka tahu, mimpi terlalu berharga jika hanya dibiarkan berlalu.


Dan sebagian lagi berpikir, mereka tak akan bisa hidup tanpa mimpi.


“Na. Bangun, Na. Sebentar lagi kita berangkat.” Pemuda berambut jabrik yang dari tadi tertidur itu perlahan mulai membuka matanya setelah keempat rekannya mengguncang-guncangkan tubuhnya.


Dengan mata yang masih tampak mengantuk, dia memandangi satu per satu wajah-wajah yang kini berdiri di hadapannya. Dia tersenyum sambil mengacungkan kedua jempolnya. “Good luck ya, guys. Gue masih ngantuk. Mau tidur dulu.”


“Arjunaaa!” pekik keempat orang itu sambil menyeret paksa tubuh yang jiwanya sudah terlempar jauh ke alam mimpi itu. Memasukkannya ke dalam mobil setelah sebelumnya mengganti pakaiannya dan berangkat menuju ke tempat tujuan mereka. Lokasi final ajang kompetisi grup band, Music Heroes.


“Ini anak makannya apa sih, kalo tidur gampang amat,” celetuk Fandi, si penggebuk drum, yang duduk tepat di sebelah Arjuna yang saat ini sedang tertidur.


“Tau tuh. Kalo lagi tidur sering bikin jantungan,” timpal Arka, gitaris, yang saat ini sedang bertugas sebagai sopir.


“Lho, emang kenapa, Ka?”


“Soalnya kalo lagi tidur, dia kayak orang mati! Susahnya minta ampun buat dibangunin. Hahahaha,” sela Genta, bassist, diikuti tawa teman-temannya.


Tawa menggelegar itu perlahan kehilangan intensitasnya dan mulai kembali berubah menjadi suasana hening. Hanya suara gitar Jo Satriani yang terdengar meraung di sela-sela deru mesin mobil yang dikendalikan Arka yang meluncur mulus membelah jalanan kota yang lengang.


Dari ekor matanya, Vina ,sang vokalis, menatap dalam-dalam wajah Arjuna yang terlihat menikmati waktu tidurnya. Dibandingkan ketiga laki-laki yang saat ini ada di mobil tersebut, sebagai perempuan, Vina memiliki perasaan yang lebih peka dan sensitif. Oleh karenanya, dia sering, entah secara sengaja atau tidak, diam-diam memperhatikan kegiatan Arjuna ketika tidak bersama mereka untuk mengurus band dan musik. Dan semalam pun, sesuai dengan jadwal “stalking”-nya, Vina datang ke kamar Arjuna. Mengamati pemuda bertubuh kurus itu berkutat di depan komputer dua layar dan sibuk berhadapan dengan berbagai aplikasi multimedia. Beberapa potongan video dan juga suara-suara hasil rekaman yang diputar berkali-kali.


“Menurut kalian, Arjuna benar-benar suka musik nggak sih?” Tiba-tiba Vina, sang vokalis, satu-satunya perempuan di dalam mobil itu bersuara.


“Suka lah, kalo nggak suka, mana mungkin dia ngumpulin kita?” Arka balik bertanya.


“Yah, gue cuma tahu kalau Juna ngajakin gue buat main musik dan wujudin mimpi gue. Heh, entah kenapa gue jadi ngerasa kalau selama ini gue nggak benar-benar kenal sama dia,” timpal Fandi.


“Menurut lo gimana, Ta?” Vina melempar pertanyaan kepada Genta yang nampak bertopang dagu mengingat-ingat sesuatu.


“Juna sebenarnya nggak benar-benar suka musik. Jauh di dalam hatinya, dia punya mimpinya sendiri. Tapi dia lebih suka melihat mimpi orang lain terwujud. Dia bukan tipe orang egois dan juga terobsesi pada mimpinya. Dia orang yang terlalu baik.” Genta menghentikan kalimatnya. Arka, Fandi, dan Vina melongo mendengar Genta yang biasanya paling sering berdebat dengan Arjuna, kali ini memujinya. “Kalian tahu kan video-video kita yang ada di Youtube? Gimana menurut kalian tentang video-video itu?”


“Keren banget, Ta,” Arka langsung menjawab.


“Iya, gue yang kuliah di jurusan Multimedia juga belum tentu bikin video yang sekeren itu.” Fandi menambahi.


“Mungkin, kalau bisa disebut sebagai bentuk keegoisan, video kita itu adalah salah satu bentuk keegoisan yang dimiliki Juna … yang nggak pernah dia pamerin ke kita,” ujar Genta.


“Jadi, sebenarnya Juna lebih suka video? Lebih tepatnya bikin video?” tanya Arka memastikan. Genta menjawabnya dengan anggukan.


“Mungkin lebih tepatnya, dia suka film. Suka banget,” kata Vina. 2 kata terakhir dia ucapkan dengan lirih, hampir tak terdengar. Arka, Genta, dan Fandi menghela napas panjang.


“Dasar tukang tidur,” ujar Fandi sambil menoyor kepala Juna. Dan suasana kembali hening.


“Kalian masih ingat nggak pertama kali kita ketemu terus sampai sekarang bisa main musik bareng?” Tiba-tiba Vina kembali bersuara. Seolah dapat saling membaca pikiran satu sama lain, keempat orang yang masih terjaga itu tersenyum. Masing-masing dari mereka mulai tenggelam dalam angan dan ingatan mereka sendiri. Dalam diam, angan-angan mereka seperti sepakat tertuju ke satu orang. Orang yang saat ini terlihat paling tenang karena sedang tenggelam dalam mimpi indahnya sendiri.


***


“Ta, nge-band yok,” ajak Arjuna kepada Genta yang masih sibuk berkutat dengan buku-buku materi di hadapannya. Dan sesuai perkiraan Arjuna, Genta seolah tenggelam di dalam lautan rumus dan peribahasa yang saat ini sedang dipelajarinya.


Tak mau lelah bersuara, Arjuna meraih gitar berwarna hitam yang bersandar di sudut kamar. Jari jemarinya mulai memposisikan diri di masing-masing kolom. Lalu, setelah memperoleh pose terbaik, dengan kaki kanannya menginjak meja kecil yang biasa mereka gunakan untuk bermalas-malasan di lantai, tangan kanan Arjuna mulai memetik satu demi satu senar gitar tersebut. Dan usaha itu berhasil. Wajah Genta mulai terangkat dan menoleh. Bukan hanya itu, dia pun berdiri dari kursinya dan mulai berjalan ke arah Arjuna.


Tepat di hadapan Arjuna, Genta berdiri. Tangan kanannya dengan sigap menggenggam lengan gitar yang sedang dimainkan oleh Arjuna, membuat suara gitarnya hilang. Lalu dengan mimik muka datar berkata,”Juna, berisik. Lo nggak bakat main gitar.”


“Emang gue nggak bisa main gitar, Ta. Lo sendiri tahu nilai seni musik gue waktu SMP dulu,” kata Arjuna setelah meletakkan gitar ke tempat semula.


“Terus, kenapa lo ngajak gue nge-band?” tanya Genta. Sepertinya dia mulai tertarik dengan ajakan Arjuna tadi.


“Ayo ikut aja dulu. Nggak bakal nyesel, deh.” Genta masih tidak mengerti apa mau Arjuna. Terlebih setelah melihat seringai di wajah Arjuna, dia mulai sedikit merasa takut. Wah, ada yang nggak beres nih.


Setelah bersiap-siap, Genta yang sudah menggendong bass kesayangannya yang terbungkus dalam tas hitam berjalan keluar mengikuti Arjuna ke arah motor MX hitamnya. Semenit kemudian, mereka sudah meluncur di jalan, menuju ke sebuah tempat yang Genta tidak tahu. Yang dia ingat, setelah mendapat sebuah pesan di ponselnya, Arjuna nampak bersemangat dan mengajaknya untuk segera berangkat.


“Sebentar lagi kita sampai,” ucap Arjuna kepada Genta ketika melewati sebuah pertigaan yang sepi dengan bangunan kosong di sekitarnya.


***


“Sumpah deh, kalo gue nggak temenan sama dia dari kecil, gue nggak bakal mau diajak ke tempat sepi kayak gitu. Berasa mau diculik,” tutup Genta sambil bergidik ngeri. Teman-temannya tertawa.


“Lo masih mending Ta, udah kenal dia dari kecil. Lah gue? Kenal cuma dari FB, eh tiba-tiba diajak main band. Berasa jadi target om-om pedofil deh gue,” kenang Arka. Lalu sebuah sepatu mengenai kepalanya. Membuat konsentrasi Arka sedikit terganggu dan mobil oleng sejenak sebelum bisa kembali ke jalur.


“Dilihat dari sisi mana pun, lo tuh sama sekali nggak imut, Ka,” ledek Fandi disambut tawa yang pecah di dalam mobil. Membuat suara melengking Axl Rose dari music player di dasbor mobil tak terdengar.


“Kampret lo.”


“Nah, lo sendiri gimana, Fan bisa kenal sama si Juna?” tanya Genta. Fandi tak langsung menjawabnya. Dia menghirup lalu menghela napas cukup panjang.


“Gara-gara dia, gue nggak jadi mati.” Kalimat itu sukses mengubah atmosfer di dalam mobil. Genta dan Vina menoleh ke arah Fandi yang berada di kursi paling belakang. Sementara Arka hanya memasang telinga. Mereka bertiga hanya mengenal Fandi tepat setelah dia diajak oleh Arjuna untuk mengisi posisi drummer yang kosong tanpa tahu seperti apa latar belakangnya. Itu pun karena Arjuna yang meminta mereka untuk tidak menanyakan masa lalu seseorang yang tidak ingin menceritakannya.


“Maksud lo, Fan?” selidik Vina. Fandi kembali menghela napas.


“Kalian pernah dengar insiden bullying di salah satu SMA ternama di kota kita?” Fandi melemparkan sebuah pertanyaan. Membuat Arka, Genta, dan Vina berpikir sejenak. Lalu dalam waktu yang hampir bersamaan mengucapkan kata “Ya.”


“Iya, Fan gue tahu. Beberapa tahun lalu, sempat ada insiden bullying ke seorang siswa yang menurut gue lumayan parah. Sampai korbannya gue dengar mutusin buat bunuh diri.” Vina menyampaikan jawabannya. Mendengarnya, Fandi tersenyum.


“Siswa malang itu … gue,” kata Fandi singkat. Genta, Vina, dan juga Arka tercekat. Mobil lagi-lagi hampir keluar dari jalan aspal.


“Somplak, nyetir yang benar,” bentak Genta kepada Arka.


“Sorry,” balas Arka sambil nyengir.


Fandi menyadari kekagetan teman-temannya itu. Sudah lama dia menyembunyikan masa lalu yang menyakitkan itu, tapi dia merasa sekarang adalah saat yang tepat untuk mengungkapkannya. Karena dia merasa orang-orang yang sedang duduk semobil dengannya saat ini adalah orang-orang yang dapat dia percaya.


“Jadi waktu itu …”


***


Fandi memasuki gerbang sekolah dengan raut wajah penuh kegelisahan. Semalaman dia tidak bisa tidur memikirkan seperti apa nasibnya hari ini. Ada ketakutan yang membayangi setiap langkah yang dia ambil. Semakin jauh dia masuk ke dalam sekolah, semakin berat tubuhnya dia rasakan. Semakin lama dia berjalan di koridor sekolah, semakin mencekam pula tekanan yang mencengkeramnya. Terlebih setelah dia memasuki kelas yang seharusnya bisa menyambutnya dengan baik layaknya seorang siswa SMA yang menyambut temannya. 

Tapi dia tidak mendapatkannya.


“Oy, si drummer busuk udah datang!” teriak salah seorang siswa laki-laki bertubuh besar dari tempat duduk yang berada di barisan paling depan. Bersamaan dengan itu, sorakan mulai terdengar.


Telinga Fandi terasa panas karena lagi-lagi harus menghabiskan harinya di sekolah dengan mendengar cemoohan itu. Tangan kirinya menggenggam erat tas punggung hitam yang ada di pelukannya. Sementara tangan kanannya memegang erat sepasang stik drum dengan warna yang sudah kusam.


Kepalanya yang dari tadi tertunduk terpaksa dia angkat ketika tiba-tiba ada tangan yang mengambil dengan seenaknya stik itu dari genggamannya. Anak laki-laki yang tadi meneriakinya. Saat ini sedang menggunakan stik drum kesayangannya untuk mengaduk-aduk tempat sampah setelah sebelumnya menggunakannya untuk  memukul-mukul meja dengan seenaknya.


“Benda ini nggak cocok dipakai buat mukul drum. Tapi lebih cocok buat ngaduk-aduk sampah. Hahahaha!” Tawa dan olok-olok yang di dengar Fandi hampir setiap harinya sama. Karenanya, dia dapat menahan dirinya.

Tapi hari ini berbeda.


Anak laki-laki bertubuh gempal itu berjalan mendekati Fandi. Lalu berbicara tepat di sebelah telinganya, “Apalagi pernah dipakai sama seorang pembunuh.”


Pembunuh. Kata terakhir yang diucapkan dengan penekanan itu sukses membuat dada Fandi mendidih. Pertahanan yang dia bangun selama berbulan-bulan akhirnya jebol. Tanpa berkata apa-apa lagi, sebuah bogem mentah berhasil mendarat di dagu pembully-nya. Membuat tubuh gempal itu tumbang hanya dengan satu pukulan. Dengan sigap, Fandi merebut stik drum itu dari tangan tubuh yang masih tergeletak kesakitan itu. Dia tidak menghiraukan teriakan histeris seisi kelasnya. Dia meraih ranselnya kemudian berlari keluar dari kelas.


***


“Tepat saat itu, hati gue benar-benar hancur. Entah kenapa gue nggak sanggup membalas ejekan itu. Mungkin karena ejekan itu benar. Setelah pergi dari kelas, satu-satunya yang gue pikirin cuma gimana caranya supaya gue bisa nggak perlu lagi dengar ejekan-ejekan itu lagi. Gue gelap mata. Dan satu-satunya solusi yang bisa gue dapat adalah … bunuh diri.” Fandi menarik napas dalam-dalam. Ada bulir-bulir air di sudut matanya. Genta, Vina, dan Arka masih diam. Mereka mempersilakan Fandi untuk bercerita, melepas semua beban yang ada di dalam dadanya.


“Hari di mana gue berencana mengakhiri hidup gue, gue ketemu sama tukang tidur satu ini,” kata Fandi sambil menunjuk muka Arjuna yang ilernya kian bertambah. “Ketika gue berencana buat lompat dari atap gedung tertinggi sekolah, suasana sedih gue dirusak sama Juna dengan suara gitarnya yang fals dan suara cempreng dia yang bikin telinga sakit.”


“Juna banget,” celetuk Genta. Diikuti tawa Arka dan Vina.


“Terus, Fan?” pinta Vina. Tiba-tiba Fandi tertawa, membuat pendengarnya kebingungan.


“Gue gagal bunuh diri, Vin. Yang ada, gue malah ngasih ceramah panjang lebar ke Juna soal musik dan lain sebagainya.” Fandi kembali tertawa. Lalu kembali melanjutkan. “Dan satu kalimat balasan dari dia setelah gue ceramah berhasil nampar gue sangat keras.”


Genta dan Vina menoleh ke arahnya, sementara mata Arka nampak melirik dari cermin dasbor. Meminta kelanjutan cerita itu. Fandi nampak menikmati raut muka penasaran ketiga pendengarnya tersebut. Dia pun tersenyum. “Juna bilang, ‘kalau lo masih sebegitu cintanya sama musik, kenapa lo pengen bunuh diri?’”


“Dan harusnya lo malu sama diri lo sendiri. Kenapa kalimat-kalimat dari orang luar bisa mengusik mimpi yang lo punya. Padahal cuma diri lo sendiri yang lebih tahu betapa hebatnya mimpi itu dari orang lain.” Tiba-tiba terdengar suara yang bukan dari milik keempat orang itu.


“Junaaa?!” pekik keempat orang itu mendapati si tukang tidur ternyata sudah bangun dan dengan wajah tak berdosa ikut nimbrung dalam perbincangan mereka.


***


Malam ini, The Sophomores, band yang digawangi oleh Vina, Arka, Genta, dan Fandi sukses menghibur pecinta musik yang menghadiri acara final Music Heroes sebagai bintang tamu. Lagu-lagu yang mereka bawakan berhasil menyihir para penonton untuk melompat dalam beat cepat dan melambaikan tangan kala terbawa dalam alunan ballad. Dan setelah menyanyikan 3 lagu, mereka turun. Setibanya di belakang panggung, mereka berempat sudah ditunggu oleh seseorang.


“Kalian luar biasaaa~” ucap Arjuna sambil mengacungkan kedua jempolnya. Genta, Arka, dan Fandi merangkul Arjuna. Hanya Vina yang nampak enggan bergabung dengan keempat pemuda itu. Wajar, karena dia satu-satunya perempuan di antara mereka.


“Juna,” panggil Vina. Yang dipanggil pun melepaskan diri dari teman-temannya. Mendekat ke tempat Vina berdiri.


“Kenapa, Vin?” tanya Arjuna sesampainya di hadapan Vina.


Vina tak langsung menjawab pertanyaan itu. Kepalanya masih tertunduk. Setelah menghela napas panjang, dia mengulurkan sesuatu kepada Arjuna. Sebuah map warna merah marun dengan sebuah logo universitas di sampulnya. Hal itu ternyata tak hanya menarik perhatian Arjuna, tetapi juga ketiga temannya.


“Apa ini?” tanya Arjuna ketika menerima map itu.


“Juna, gue tahu sebenarnya lo punya mimpi yang lebih besar dari gue dan teman-teman. Gue juga tahu selama ini lo berusaha dukung kita dengan kebohongan lo tentang kecintaan terhadap musik. Diam-diam gue selalu ngelihat lo sibuk di depan komputer setiap malam.” Kalimat Vina tertahan.


“Tanpa sepengetahuan lo, gue ngirim salah satu film yang lo bikin buat ujian masuk akademi perfilman itu. Maafin gue, Na. Tapi gue … gue pengen lo mulai berpikir buat menggapai mimpi lo sendiri. Sekarang giliran lo Na, setelah selama ini ngebantu kami untuk mewujudkan mimpi kami. Jadi--”


Vina tak butuh kalimat dan kata untuk mengetahui jawaban Arjuna. Karena sebuah pelukan erat dan hangat sudah cukup untuk menggambarkan jawaban Arjuna saat itu juga. Tak mau ketinggalan, Genta, Arka, dan Fandi pun ikut membaur. Berbagi kebahagiaan tentang bagaimana sebuah mimpi yang akhirnya dapat terwujud.


Setiap orang pasti punya mimpi. Namun, tak banyak yang memiliki cukup keberanian untuk berusaha mewujudkannya. Sebagian besar orang akan meletakkan mimpinya di sudut ingatan paling dalam lalu perlahan melupakannya. Tapi ada sebagian kecil yang tetap gigih mewujudkan mimpinya di tengah kesulitan dan cercaan. Melawan arus. Bukan berarti ingin mencari sensasi, tapi karena mereka tahu, mimpi terlalu berharga jika hanya dibiarkan berlalu.


Ada pula yang berpikir, mereka tak akan bisa hidup tanpa mimpi. Sementara ada beberapa yang berpikir bahwa sebuah mimpi mampu menyelamatkan hidup seseorang.


Dan mungkin nanti, kau akan menemukannya. Seseorang yang cukup tulus untuk membohongi diri dan mimpinya sendiri demi orang lain. Karena dia tahu betapa membahagiakannya dapat melihat sebuah mimpi yang terwujud, sekalipun itu bukan miliknya.

~ fin

Okay, mohon review-nya yaaa ^^ 
Share:

Kisah Tanpa Rupa | Monolog Random


Title : Kisah Tanpa Rupa
Author : @NVRstepback

Belajar monolog

ilustrasi, thaivisa.com

Maaf jika tiba-tiba aku datang tanpa mengabari kalian terlebih dahulu. Aku hanya kesepian dan butuh teman. Jadi, ketika kulihat tenda kalian, aku pun memutuskan datang. Begini ... aku ingin curhat kepada kalian. Ada sesuatu yang terasa mengganjal di dalam diriku. Sudikah kalian mendengarkannya? Tenang, hanya sebentar. Kenapa kalian diam saja? Jadi kalian setuju? Baiklah kalau begitu. Aku ingin bercerita tentang ... kisah cintaku.

Mungkin kalian tak akan menyadarinya, tetapi aku adalah seorang keturunan cina. Darah cinaku berasal dari kakek buyut yang asli orang cina. Eh, sepertinya aku ngelantur, ya. Baiklah. Ehm.... Saat itu, aku resmi menjadi seorang pelajar berseragam putih abu-abu. Hari-hari damai terlewati begitu saja tanpa terasa. Hingga hari-hari damai itu perlahan menjadi hari penuh kegelisahan. Bukan, bukan karena aku menerima bully seperti yang sering kalian lakukan kepada murid-murid baru beberapa bulan yang lalu. Tapi, aku melihat sosok bidadari di sekolahku. Dan, tentu saja karena aku lelaki normal, aku pun jatuh cinta.

Awalnya, kupikir kisah cintaku akan seperti kisah romantis di ftv. Tapi ternyata jauh berbeda. Benar-benar mengejutkan, sekaligus ... mengecewakan. Gadis itu, idola sekolah itu, dia bernama Wina, ternyata jatuh cinta kepada sahabatku sendiri. Menyakitkan sekali jika harus mengingatnya, tapi aku harus menceritakannya. Agar bebanku sedikit berkurang dan sedikit tenang.

Aku mengidap sindrom bernama aleksitimia. Kata seorang psikiater, sindrom itu membuat aku kesulitan untuk mengungkapkan perasaanku. Ehm, bukan seperti kalian yang sok memendam perasaan kepada seseorang karena tak berani bilang. Aleksitimia membuatku tidak bisa mengekspresikan emosi dan perasaanku. Aku tidak bisa mengungkapkan rasa senang ketika aku mendapat peringkat satu ulangan semester, rasa sedih ketika kakakmu mati di depan mataku, rasa marah ketika ada yang menuangkan saus ke dalam minumanku, dan ... rasa sayang ketika aku jatuh cinta.

Beruntung, aku berteman dengan seorang yang sangat baik. Toni. Aku bisa sedikit terbuka ketika berbicara dengannya. Dan pada suatu kesempatan, dengan usaha keras, aku jujur kepada Toni tentang perasaanku kepada Wina. Di luar dugaan, dia merespon dengan positif. Toni, yang sudah mengerti tentang sindrom anehku, mengajukan diri menjadi perantara antara aku dan Wina. Aku benar-benar senang. Tapi, aku kesulitan mengungkapkannya.

Hampir setiap hari, aku menulis sebuah puisi dan membeli hadiah untuk diberikan kepada Wina, melalui Toni. Dan sekembalinya Toni dari mengantarkan hadiah, selalu ada kalimat manis yang Wina katakan, tentu yang kudengar dari mulut Toni. Kian hari, aku merasa kalau hubungan, via perantara, antara aku dan Wina semakin baik. Aku pun merasa kalau ada kekuatan besar mengalir di dalam diriku yang mencoba mengalahkan sindrom aleksitimiaku. Aku ingin bertemu dengan Wina. Ya, aku ingin bertemu dengannya. Mendengar langsung kalimat-kalimat indah itu dari mulutnya. Semakin aku memikirkannya, angan-anganku semakin melayang. Terlalu tinggi.

Suatu hari, aku sengaja tidak mengirimkan apapun kepadanya. Aku ingin memberinya kejutan! Sepulang sekolah, aku pergi ke belakang aula, tempat yang selalu diceritakan oleh Toni. Tempat di mana hadiah dan puisi-puisiku tersampaikan kepada Wina. Hatiku semakin berdebar. Kekuatan untuk menumbangkan ketakutanku kurasakan semakin besar. Mungkinkah karena cinta? Ah, tentu indah bukan?

Tapi tebakanku meleset.

Setibanya di belakang aula, aku melihat pemandangan yang menyakitkan. Wina dan Toni duduk berdampingan begitu dekat. Terlebih lagi ada senyum dan tawa kecil di sela pembicaraan mereka. Senyum dan tawa menjijikkan itu seketika surut ketika ekor mata Toni menangkap kehadiranku. Mukanya merah padam. Sementara Wina nampak kebingungan. Toni mulai berjalan ke arahku, sambil berusaha melepas pegangan tangan Wina. Sementara aku hanya bisa melongo.

Lalu ... ada teriakan yang terdengar dari dalam diriku.

Secepat kilat, aku meraih pena di saku baju seragamku. Tepat ketika Toni berada di hadapanku, tangan kananku yang memegang erat pena meluncur deras tepat ke dada Toni. Dia terdiam sambil sesekali bergantian menatap wajahku dan pena yang setengah lebih masuk ke dalam dadanya. Seragam putihnya mulai memerah. Dia jatuh berlutut di hadapanku. Seringai di wajahku tak bisa kusembunyikan. Tapi tak lama, teriakan histeris Wina menyadarkanku. Kutengok tubuh Toni di bawah kakiku. Ada darah yang mulai menggenang di bawah tubuhnya yang tidak bergerak.

Kepanikan mulai menjalariku.

Aku berlari secepat mungkin dari tempat itu. Semakin jauh, aku semakin sadar. Aku telah melakukan sesuatu yang mengerikan. Aku membunuh seseorang. Tapi ... bukankah Toni pantas menerimanya? Bagaimana menurut kalian? Hm, lagi-lagi kalian hanya diam. Kalian penasaran dengan ceritaku, ya? Baiklah, akan kulanjutkan.

Jadi, aku berlari secepat yang kubisa. Menghindari setiap tatapan siswa-siswa yang masih tinggal karena mengikuti kegiatan ekstra. Aku panik dan takut, tapi aku juga merasa lega. Tapi tetap saja aku terus berlari. Aku telah membunuh seseorang. Aku tak memperhatikan arah lariku. Ketika sadar, aku telah melompat melewati gerbang sekolah. Kuhentikan langkahku yang mulah payah. Aku sedang mencoba mengatur nafas ketika kudengar teriakan dari arah sekolah.
 
Aku tak dapat mendengarnya dengan jelas. Nampak satpam sekolah dan beberapa orang nampak meneriaki dan menunjuk ke arah yang sama. Kutegakkan tubuhku. Ketika aku menoleh, aku dapat dengan jelas melihat seorang pria paruh baya menatap nanar di balik sebuah kaca. Sesaat kemudian, aku dapat merasakan sesuatu yang besar dan berat mengenai tubuhku. Membuatku terlempar dan terpelanting beberapa meter. Kedua tangan dan kakiku patah karena beberapa kali menjadi tumpuan ketika aku terpental. Sejauh yang kuingat, tulang tengkorakku retak ditambah darah segar yang keluar dari tubuhku. Lebih banyak dari darah milik Toni. Dan terakhir kali mataku melihat jalan, ada ban hitam yang menutupi pandanganku. Menyisakan suara gemeratak yang samar-samar kudengar sebelum aku tenggelam dalam kegelapan sempurna.

Ehm. Terima kasih sudah mendengarkan ceritaku. Bebanku sedikit berkurang. Sekali lagi, maaf jika aku mengganggu waktu kalian. Lagipula ... ehehm ... berbicara bukan dengan suaraku sendiri rasanya agak aneh. Tapi cukup nyaman untuk menyampaikan cerita daripada dengan tubuh dan suaraku yang sering membuat orang lari bahkan sebelum aku mulai bicara. Baiklah, aku pergi.

===@===
Share:

Kegelapan, Hujan, dan Cinta | Satire Kebangsaan

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhByxXtdP8Q8VwvBPVKy0INyBPetXshEEhCVoNzEtg7t2r4yIcPmdR5qK6-IeMwGJgiNqcLaudoI5plV5uh8IwGTk8JEw29PrVk88n8bjQxP7ajiz3sjZxJMzNqQaVlPfQrfbGNJGIioCg/s1600/Indonesia+amerika.jpg
Yeah ... "friendship" (pic from salamlingkungan.blogspot.com)

Title : Kegelapan, Hujan, dan Cinta
Author : @NVRstepback
Genre : Satire, sedikit ngubek2 tentang kebangsaan
Enjoy!

Kegelapan, Hujan, dan Cinta
 

"Karena aku mencintai mereka."

Seorang pemuda berpakaian rapi tengah duduk di sebuah kursi. Matanya menatap pilu menembus lensa kacamata bergagang hitamnya. Tak ada yang bisa dia lihat. Pandangannya terhalang kegelapan dan asap. Menyerah, dia menengadah. Mencoba menemukan awan mendung yang bisa mengusir kegelapan ini dengan hujan. Mungkin tidak bisa sepenuhnya menyingkap kegelapan, tapi setidaknya asap. Tapi tak ada. Justru panas benderang matahari yang begitu kuat menerjang. Dia tertunduk. Lunglai.

"Indonesia. Bukankah aku sudah berkali-kali mengundangmu? Kenapa kau masih tetap kukuh dengan pendirian naifmu itu?" Tiba-tiba seorang pria berambut pirang datang.

"Mau apa lagi kau, Amerika?" tanya pemuda itu ketus.

"Hahaha, dasar anak muda. Tanpa aku bilang pun pasti kau sudah tahu bukan? Kau tidak bodoh, aku tahu itu, Panji." Pria berjas hitam itu berdiri di hadapan pemuda itu. Memamerkan seringai licik yang dapat terlihat dengan jelas dari balik kacamata si pemuda yang dipanggil Panji.

"Terserah kau ingin datang dan mengundangku berkali-kali. Tapi jawabanku tidak akan pernah berubah, Tuan George." Suara Panji terdengar begitu tenang. Namun begitu mengganggu suasana hati si tuan, terlebih seulas senyum yang terasa seperti suasana tenang sebelum badai.

"Lihatlah di sekelilingmu. Kegelapan sudah begitu pekat. Bahkan orang-orangmu kini tak bisa lagi dengan jelas membedakan mana benar mana salah. Dan kau ingin mandiri? Omong kosong! Bukankah tawaranku bisa membuat kondisimu jadi lebih baik? Sudah banyak yang membuktikannya."

"Lebih baik? Heh, aku sedikit ragu dengan definisi 'lebih baik' itu. Semakin kupikir justru semakin membuatku tertawa. Hahahaha." Panji terbahak. Dia sadar dengan tatapan tajam dan dengusan kesal tuan George. Tapi tak dihiraukan karena dia memang ingin memancing amarah si tua itu.

"APAKAH KAU MASIH BELUM SADAR KALAU ORANG-ORANGMU SUDAH TAK LAGI MEMPEDULIKANMU, HAH?!" hardik George. Panji terdiam. George tersenyum penuh kemenangan. Di atas kepala mereka mendung mulai menggulung, seolah menciptakan efek dramatis ucapan si Adidaya itu.

"Tapi aku tetap mencintai mereka. Meskipun mereka sudah tak lagi peduli padaku, aku akan tetap peduli pada mereka. Karena aku percaya pada mereka." Panji tersenyum diiringi rintik hujan yang perlahan datang. Menyamarkan air mata yang 1 detik lebih dulu terjatuh. George tertegun.

"Lihatlah itu, Tuan. Sekalipun orang-orang besarku rusak dan tak peduli, aku masih memiliki mereka." Panji menunjuk ke sebuah arah. Pandangan mata George mengikutinya.
 

Di sebuah tanah lapang, terdapat sejumlah besar orang yang nampak selesai melaksanakan prosesi ibadah. Untuk meminta hujan. Lidah George kelu. Asap yang tadinya menutupi pandangan perlahan sirna. Deru hujan semakin deras.

"Bukan hanya mereka, tapi masih banyak yang belum kehilangan rasa cinta dan kepedulian padaku. Jika sudah begitu, bukankah aneh rasanya jika dengan egois aku menerima ajakanmu lalu membiarkan mereka terkekang lagi? Aku memang masih muda dan bodoh. Ada banyak kesalahan yang berulang kali terjadi. Ada banyak penyimpangan yang belum terselesaikan. Tapi aku akan terus percaya kepada mereka. Karena aku yakin, suatu saat nanti kegelapan akan lenyap dan mata garuda akan dapat kembali jelas memandang dari ujung ke ujung negeri, bersamaan dengan kepakan sayap yang membawa angin perdamaian."

"Naif," dengus si tuan besar. Kesal.

"Aku jauh lebih percaya kepada mereka yang sudah lama bersamaku dibandingkan denganmu. Aku tidak akan pernah menyerahkan hadiah dari pahlawan-pahlawanku di masa lalu hanya demi utopia semu. Kau mungkin tidak mengerti karena kami sudah terikat jauh sebelum nenek moyangmu menemukan tanah tempat rumahmu berdiri sekarang. Pulanglah, kau bisa sakit jika terlalu lama kehujanan."

"Tapi mereka ... sudah tak peduli. Kenapa? Bagaimana mungkin-"

"Bukankah sudah kukatakan padamu? Karena aku mencintai mereka."

=====

Cerpen yang menurut saya sendiri cukup aneh. Inspirasinya dari gaya personifikasi seri Hetalia Axis Power, tapi saya pake tokoh bikinan sendiri. Menulis cerita dengan membuat tokoh dari personifikasi sebuah negara ternyata susah. Terlebih, secara pribadi, saya bukan tipikal pemuda nasionalis yang "sangat cinta" kepada negara. Honestly, I don't really care ... ironis, ya?

Review-nya ya, reader =]
Share:

A Secret Admirer's Admirer | Flash Fiction

Yak! Flash Fiction lagi~ kenapa flashfic lagi? Well, saya masih belajar bikin konflik. Nah, daripada bikin konflik di dunia nyata dengan ngompor-ngomporin orang, kan mending bikinnya di dunia tulis yang fiktik. Kan? Hoehehe

Title : A Secret Admirer's Admirer
Terinspirasi dari buku Relationshit-nya bang @shitlicious


A Secret Admirer's Admirer
"Cinta yang tak diungkapkan ibarat pedang bermata dua. Dia mampu membunuh dua hati sekaligus."
pic from "Ao Haru Ride" anime
Dia masih berdiri terpaku di tempatnya kini berdiri. Kalimat yang baru saja dia dengar dari seseorang yang sangat berarti baginya begitu lancar menusuk jantungnya. Sorot matanya kosong, meski ada bulir-bulir air tertahan di ujungnya. Terulas senyum getir di ujung bibirnya yang gemetar menahan kalut di dalam dadanya.

"Jadi begitu ... ya? Ah, aku benar-benar bodoh."

***

Seorang gadis dengan sweater rajut warna biru muda nampak berdiri cemas di depan pintu lusuh sebuah kost-kostan. Di tangan kirinya tergantung kantong plastik hitam berisi buah-buahan. Tangan kanannya, dengan sedikit ragu, dia angkat lalu mengetuk pintu yang warnanya memudar itu. Sesaat kemudian, pintu itu ditarik ke arah dalam. Muncul sosok pemuda yang lehernya terbelit syal dan tubuhnya terbungkus jaket tebal.

"Rara! Eh, kok di sini?" Pemuda itu kaget dengan kedatangan tamu itu. Tubuhnya menjadi terasa lebih panas.
"Hai, Rio. Aku dengar kamu sakit. Kebetulan juga aku lewat sini, jadi sekalian mampir deh." Rara menyerahkan bungkusan buah itu sambil tersenyum.
"Duh, bisa pingsan aku kalau kelamaan melihat senyum Rara," batin Rio.
"Eh, sini masuk tapi ruangannya berantakan. Hehe." Rio segera mempersilakan Rara masuk. "Mau minum apa? Biar aku pesan di warung depan."
"Aduh, jangan deh. Nanti ngrepotin. Kamu kan juga lagi sakit." Rara mencoba menolak.
"Ra, aku udah agak baikan kok," tegas Rio.
"Ya udah, teh botol aja," jawab Rara pasrah. Rio pun bergegas keluar.

Mata Rara tak henti-hentinya memandangi ruangan berukuran 3x4 meter itu beserta berbagai interior serta atribut dindingnya. Dia tersenyum simpul menyadari bahwa teman barunya ini tidak terlalu pintar dalam menata ruangan seprivat kamar. Pandangannya tiba-tiba tertuju ke tumpukan kertas di dekat kaki meja. Rasa penasarannya membuatnya meraih selembar kertas berwarna kuning pucat. Kertas itu nampak lusuh.

Rara mulai membaca kata demi kata pada kertas itu. Semakin lama dia membaca, semakin kuat pula tekanan yang dia rasakan dalam dadanya. Dia kenal betul dengan kalimat-kalimat indah itu. Dia pun hampir hafal separuhnya, karena ... dia memiliki versi utuh puisi itu yang tersimpan rapi di salah satu laci kamarnya. Air matanya mulai menetes ketika Rio tiba-tiba muncul.

"Ra ... kamu kenapa?" Tapi Rio langsung bungkam tak mengharap jawaban apapun ketika melihat apa yang sedang berada di tangan Rara saat ini. Hening datang. Mereka terdiam.
"Rara. Sebenarnya aku--"
"Kamu jahat, Rio. Kamu jahat!" Rara memotong kalimat Rio. "Kenapa harus sekarang?"
"Aku cuma nggak tahu bagaimana caranya, Ra. Kupikir dengan puisi-puisi anonim itu, aku bisa bikin kamu bahagia dan--"
"Bahagia kamu bilang? Mungkin di mata kamu aku bahagia, Rio. Tapi pernah nggak kamu berpikir lebih jauh? Di dalam sini aku tersiksa! Kamu di posisi yang lebh baik karena bisa tahu kepada siapa kamu mencurahkan cinta. Tapi bisa nggak kamu mengerti posisiku? Tiap malam aku dibuat bertanya-tanya siapa pemilik kalimat-kalimat indah itu, Rio. Aku jatuh cinta. Tapi aku nggak tahu seperti apa sosoknya. Itu benar-benar bikin aku tersiksa sendirian, Rio!" Dada Rio terasa lega sekaligus sesak mendengar kalimat-kalimat Rara. Pengakuan yang tak disangka-sangka.
"Maafin aku, Ra. Aku memang sudah lama jatuh cinta kepadamu. Aku--" Rio lagi-lagi tak sempat menyelesaikan kalimatnya.
"Tapi semuanya sudah terlambat. Aku nggak mungkin menerima perasaan kamu, Rio. Terlebih setelah dengan seenaknya kamu menguburku dalam rasa penasaran yang akhirnya membunuhku. Permisi." Dengan mata sembab, Rara pergi melewati Rio yang sama sekali tak bergerak. Langkah kakinya perlahan mulai menghilang dari jangkauan indera dengar Rio. Dia pergi. Sangat jauh.

***

Dia masih berdiri terpaku di tempatnya kini berdiri. Minuman teh botol yang dia bawa terjatuh begitu saja. Menggenang di sekitar kakinya. Kalimat yang baru saja dia dengar dari seseorang yang sangat berarti baginya begitu lancar menusuk jantungnya. Sesalnya kini tak ada arti. Merutuki kebodohannya pun tak akan membuat waktu terulang kembali.

"Sepertinya menjadi seorang pemuja rahasia bukan hal yang bagus. Aku membuat dua hati yang seharusnya saling mengenal pada akhirnya mati di tempat yang saling berjauhan." Rio terduduk lesu. Malam ini dia tak bisa lagi menulis puisi untuk Rara. Dia sudah membunuh hati Rara ... dan hatinya sendiri. Mati dalam sesal yang tak seharunya terjadi, andai dia mengakui perasaannya jauh-jauh hari.

~ fin


Review-nya kak
Share:

Cerita Untukmu

Title : Cerita Untukmu
Author : @NVRstepback
Genre : romance




Cerita Untukmu




Hari lulusan sekolah sebentar lagi tiba. Hampir seluruh siswa di sekolah, termasuk aku, merasakan 1 hal yang sama : cemas! Bagaimana tidak? Usaha kami selama 3 tahun belajar, dan telah melalui ujian akhir akan diumumkan besok. Bagi siswa-siswa cerdas mungkin tak jadi soal. Tapi bagi siswa berotak sedang yang hanya mengandalkan kerja keras dan  keberuntungan sepertiku, hal itu adalah sesuatu yang meresahkan. Meskipun ada hal lain yang tak kalah meresahkan dari hasil ujian… persoalan hati.

Mungkin terdengar konyol. Menahan hati, menyimpan dan menjaga sesuatu yang padahal tidak dimiliki, selama hampir 6 tahun. Ya, konyol. Dan yang lebih konyol lagi, aku sama sekali tak punya nyali sedikitpun meski hanya untuk mengungkapkannya. Jika diibaratkan rangkaian proses eksekusi prosesor komputer, terjadi bottleneck karena aliran input yang terlalu besar dibandingkan jalur proses yang menyebabkan alur eksekusi kode program dalam otakku tertahan. Membuatku hank. Linglung. Ah, hati memang bisa membuat otak bekerja lebih keras dari biasanya.

Dan saat ini aku sedang duduk berhadapan dengan biang keladi yang menjadi otakku sering mengalami hank. Aku mencoba bersikap setenang mungkin, meskipun di dalam, aku merasa kikuk. Tapi berkat pengalamanku menahan perasaan, aku bisa dengan baik berpura-pura bersikap tenang dan menutupi rasa gugupku.

“Jadi, setelah lulus nanti kamu mau nglanjutin ke mana, Ga? Suara itu terdengar merdu meskipun dia mengaku sedang menderita batuk sehingga suaranya serak. Dan memang sesudah bertanya, dia batuk.
“Eh? Eng, kayaknya aku mau kerja dulu deh, Rin.” jawabku sambil memegang botol minumanku.
“Nggak pengen kuliah? Kan sayang banget, kamu orangnya pinter lho.” Aku sedikit melotot dan aku yakin saat ini pipiku sedang bersemu merah karena pujian “pinter” yang dialamatkan Airin kepadaku.
“Pinter darimana? Pinter sih enggak, kalo bejo baru iya. Hahaha.” jawabku sambil bercanda.
“Hahaha, dasar kamu. Aku serius, Ga. Kamu nggak pengen apa nerusin kuliah gitu? Kan kalo kuliah kita nggak terlalu ribet kayak pas sekolah biasa. Lebih fokus ke minat kita.” terang Airin. Dan dia batuk lagi.
“Sejujurnya sih pengen. Tapi kan kondisi orang tuaku sekarang nggak mungkin mampu. Jadi aku milih kerja dulu aja, dan nabung. Kalo udah kekumpul baru aku kuliah. Itu kalo niat kuliah masih ada. Hihihi.” Segera kuminum minuman yang masih tersisa setengah di botolku, menenangkan diriku.
“Kalo kamu mau nerusin ke mana, Rin? Jadi ngelanjutin ke jurusan sastra?” tanyaku.
“Hehehe. Tau aja. Iya dong, kamu kan tau sendiri aku suka banget nulis. Jadi buat matengin kemampuan, aku mutusin buat kuliah jurusan sastra.” Suara seraknya tetap terdengar lembut di telingaku.
“Terus, udah ada tujuan bakal kuliah di mana?” Aku lanjut bertanya.
“Jogja.” jawab Airin singkat. Aku sedikit tercekat. Jogja? Artinya Airin akan pergi cukup jauh dari Semarang. Memang tak cukup jauh. Tapi jarak, dan tentu saja waktu serta aktivitas, pasti membuat jarak semakin jauh. Kepalaku tertunduk. Ada sesuatu yang tiba-tiba seperti menekan hatiku. Sedikit sakit. Rasa sakit baru yang belum pernah aku rasakan. Rasa yang coba kutahan agar tidak merongrong dan membuatku semakin konyol.
“Yoga.” Suara Airin membuyarkan lamunanku.
“Y-Ya. Kenapa, Rin?” balasku. Aku sedikit tergagap menanggapi Airin. Mata Airin sedikit tajam membuatku tak mengerti. Sepertinya ada hal serius yang ingin dikatakan Airin.
“Kalo seandainya ada cewek yang suka sama kamu tiba-tiba nembak kamu, apa yang akan kamu lakuin?” Dengan lancar Airin menyampaikan pertanyaan dan dengan lancar pula aku mendengar dan menerima rangkaian kata-kata itu. Tapi tiba-tiba saja aku terbelalak ketika memproses pertanyaan itu.
“A..aku..” Belum sempat aku menjawab pertanyaan itu, ada seseorang yang tiba-tiba datang dan duduk di sebelah Airin. Rambut keriting pendek dan juga kacamata frame hitam itu cukup membuatku tahu siapa dia. Vian, kapten tim basket –dan sahabatku.
“Hai Airin. Eh, kebetulan ada lo juga, Ga. Gue pengin lo jadi saksi.” Vian nampak bersemangat mengucapkannya.
“Saksi?” tanyaku kebingungan. Vian mengangguk.

“Airin, selama ini gue suka sama lo. Lo mau nggak jadi pacar gue?” setelah kalimat itu meluncur dari mulut Vian, atmosfer tiba-tiba berubah. Airin nampak kaget mendapatkan pernyataan cinta dari Vian. Begitu pun aku yang tak kalah kaget karena ternyata Vian, sahabatku sendiri juga menyukai Airin. Nafasku sedikit kutahan menunggu jawaban apa yang akan disampaikan Airin. Tapi tiba-tiba Airin menatapku dengan pandangan aneh, lalu kembali menatap Vian.

“Vian… aku…” Nafasku benar-benar tertahan menunggu Airin menyelesaikan kalimatnya.
“Maaf ya, aku nggak bisa jadi pacar kamu.” Kalimat itu terdengar biasa bagiku, meskipun aku sedikit khawatir menunggu jawaban Airin. Tapi sepertinya hal itu benar-benar pukulan telak bagi Vian. Dia tertunduk lesu, lalu tanpa kata dia bangkit dan pergi. Nampak raut wajah menyesal di wajah Airin.

“Kenapa, Rin. Kok kamu keliatan nyesel gitu?” tanyaku penasaran.
“Aku nggak enak sama Vian, Ga.” jawab Airin.
“Udah lah. Nggak mungkin juga kan kamu nerima Vian cuma gara-gara nggak enak sama dia.” Aku berusaha menghiburnya.
“Iya juga sih. Uhuk.” Aku sedikit lega mendengar Airin batuk, karena aku takut dia lupa kalau sedang batuk.
“Kamu sendiri gimana, Ga? Ada cewek yang mau kamu tembak nggak?” tanya Airin tiba-tiba.
“Eh? Eng.. nggak ada. Belum.” jawabku gugup.

Entah kenapa setelah kalimat itu, diam muncul di antara kami berdua yang tiba-tiba buyar oleh suara dering ponsel. Airin terlihat mengeluarkan ponsel dari saku jaketnya lalu mengetik beberapa kata. Beberapa detik kemudian, Airin bangkit dari duduknya setelah sebelumnya membereskan tasnya. Tanpa aba-aba, aku mengikuti Airin. Ada perasaan aneh yang kurasakan ketika melihat wajah Airin. Aku penasaran dengan ekspresi itu, tapi tak kuhiraukan hingga kami berjalan pulang dan kemudian berpisah di persimpangan.

“Da, Yoga. Sampai ketemu lagi ya.” Diikuti lambaian tangan, Airin berbalik pergi sebelum aku sempat membalasnya. Dan setelahnya aku sadar, itu adalah pertemuan terakhirku dengan Airin.

***

Solo, atau juga dikenal dengan Surakarta. Benar-benar di luar dugaan, pada akhirnya waktu membawaku terdampar ke kota ini. Kota yang benar-benar asing karena selama hidupku belum pernah menjamahnya. Tapi seiring berjalan waktu aku pun bisa mengenalnya. Memang tak seperti yang kuharapkan dulu, tapi setidaknya keinginanku untuk kuliah bisa terwujud.

Bekerja ekstra untuk membiayai hidup dan kuliah. Hal yang harus kulakukan mengingat keputusan ini kuambil dengan syarat tidak membebani kedua orang tuaku. Sulit, tapi harus kujalani demi mewujudkan mimpiku. Ujian yang harus aku hadapi jika ingin mendapatkan kehidupan yang lebih baik.

Hari yang sibuk, waktu yang selalu padat. Tapi ada kalanya aku memiliki waktu senggang, seperti saat ini, aku harus berangkat kerja dan kebetulan mendapatkan shift siang ketika tidak ada jadwal kuliah.

“Yoga!” Terdengar suara memanggilku. Ketika menoleh, kudapati sosok gadis bertubuh mungil berlari dengan tas punggung warna hitam yang sedikit lebih besar dari tubuhnya.

“Nia. Ada apa?” tanyaku kepada Nia yang sedang mengatur nafas.
“Bantuin aku. Ngerjain tugas Mikroprosesor.” pintanya.
“Aduh, aku mau berangkat kerja, nih.” balasku. Jika memang sedang longgar, aku pasti akan membantu Nia, mengingat dia selalu baik padaku. Dan terlebih lagi, aku sudah menganggapnya seperti adikku sendiri, meski kami seumuran.
“Yah, yaudah deh. Nanti kamu nggak ada kelas kan? Datang ke rumah ya?” Nia masih belum menyerah. Melihat kobaran semangat di matanya, aku pun tak kuasa menolak.
“Iya, iya. Nanti pulang kerja aku langsung ke rumahmu.”
“Yey! Yaudah, yuk.” Dia menarik lengan kiriku.
“Ke mana?” tanyaku heran. Tapi aku mengikutinya berjalan, karena aku memang menuju ke arah yang sama dengannya. Untuk saat ini.
“Ke tempat kamu kerja, Ga. Aku mau beli novel rilisan baru. Katanya sih hari ini udah nyampe di Solo.” terangnya penuh semangat.

Aku tak membalas kalimat terakhir Nia karena setibanya di halte BST, kami langsung masuk ke dalam bus dan duduk di kursi yang berjauhan. Tapi tanpa dijelaskan lagi, aku langsung tahu novel yang dimaksud oleh Nia. Novel yang saat ini sedang viral menjadi perbincangan hangat di sosial media.

Sesampainya di halte BST dekat toko buku tempatku bekerja, aku dan Nia turun. Beberapa orang juga nampak turun namun langsung mengambil arah yang berbeda-beda dengan kami. Ya, meski beberapa juga sepertinya menuju ke toko buku.

Baru saja masuk, aku langsung disambut oleh Pak Bayu, manager toko, “Yoga, buruan ke lantai atas ya, Mas Toni nggak masuk. Ika sendirian nyiapin tempat buat acara nanti sore.”
“Ya, pak.” Aku bergegas ke lantai atas setelah menaruh tasku di loker.
“Nia, aku ke atas ya.”
“Jangan lupa, nanti ke rumahku ya, Ga.” balas Nia. Aku mengangguk lalu segera menaiki tangga menuju lantai atas.

Di lantai atas, pengunjung toko tidak terlalu ramai, tapi memang terlihat beberapa  buku yang tidak tertata di rak paling. Mungkin baru saja dilihat-lihat oleh pengunjung tapi tidak dikembalikan lagi ke tempat semula. Lalu di bagian komputer, aku melihat Ika yang nampak sibuk membantu seorang pengunjung mencari buku. Setelah dia tidak sibuk, aku segera mendekatinya.

“Hei, Ka. Rame ya?” tanyaku berbasa basi.
“Iya, lumayan dari tadi pagi. Tapi pasti nanti sore bakalan lebih rame.” Ika nampak sibuk mengoperasikan komputer di hadapannya.
“Ya udah, sini aku bantuin bersih-bersih sama nyiapin tempat.” ujarku. Kemudian, kegiatanku adalah bersih-bersih dan menyiapkan tempat untuk acara perilisan tersebut.

Setelah persiapan selesai, aku pun kembali ke aktivitas biasa. Menata, membersihkan, dan merapikan rak serta buku yang kotor dan kurang rapi. Entah kenapa ketika memegang sebuah buku tentang sastra, tiba-tiba aku kembali teringat kepada Airin.

Dari kabar yang kudengar, setelah acara kelulusan, dia beserta keluarganya langsung pindah ke Jogja, sesuai dengan apa yang Airin ceritakan dulu. Tapi setelahnya aku sama sekali tidak bisa menghubunginya. Sudah berulang kali aku mencoba menghubunginya lewat berbagai media, setelah sebelumnya melawan rasa gugup, tapi sama sekali tak bisa. Beberapa kali aku mengecek akun sosial medianya, tapi sama sekali tak ada update seperti yang kuharapkan.

Menyesakkan, karena hal yang kutakutkan sepertinya benar-benar terjadi dan parahnya baru kusadari baru-baru ini. Aku merindukan Airin. Sosok yang tidak kumiliki, tapi juga sama sekali tidak bisa kulupakan. Sebuah perasaan klise, di mana aku merindukan seseorang yang jelas-jelas bukan milikku.

“Yoga, kamu istirahat dulu sana. Aku udah selesai.” Tiba-tiba lamunanku buyar oleh suara Ika. Aku pun bergegas turun dan keluar toko untuk mencari santapan pengisi perut.

Sekembalinya dari mengisi perut, aku bisa melihat begitu banyak orang yang ada di dalam toko. Sepertinya novel itu benar-benar sukses menyedot perhatian. Aku segera menuju ke lantai atas, takut jika Ika kewalahan karena sendirian.

Tiba di lantai atas, aku melihat jejeran kursi yang tadi kutata sudah penuh terisi, bahkan ada beberapa orang yang berdiri di belakangnya. Aku berjalan pelan ke arah komputer yang ada di dekat tangga. Nampak Ika berada di situ. Tiba-tiba dia menyodorkan sebuah buku kepadaku. Novel ‘Tanpa Kata’.

“Apaan nih, Ka?” tanyaku kebingungan.
“Ada yang ngasih itu buat kamu.” jawab Ika.
“Ha?” Aku bertanya-tanya siapa yang memberikan novel itu padaku. Lalu aku teringat seseorang yang kukenal. Nia.

Acara berlangsung dengan lancar, tapi peserta yang datang harus menahan kecewa karena tidak bisa bertemu dengan penulis novel itu sehingga tidak bisa meminta foto dan tanda tangan secara langsung. Yang kudengar dari Ika, penulisnya tiba-tiba ada kepentingan mendadak dan tidak bisa hadir di acara hari ini. Dan hal itu nampaknya benar-benar mengecewakan para penggemarnya.

***

“Udah, ngerti?” tanyaku kepada Nia yang dibalas dengan acungan jempol olehnya.
“Makasih ya, Ga. Berkat kamu tugasku bisa selesai tepat waktu. Diminum dulu itu tehnya.” kata Nia.

Sesuai janjiku sebelumnya, sepulang kerja aku mampir ke rumah Nia dan membantunya menyelesaikan tugas kuliahnya. Beruntung, Nia cukup cerdas sehingga tak perlu waktu lama hingga semua soal selesai dikerjakan. Tiba-tiba mataku tertuju kepada sebuah buku bersampul biru yang berada di atas meja. Aku pun berniat menanyakan sesuatu pada Nia, sebelum ponselku berdering.

Sebuah panggilan singkat, yang membuatku memutuskan untuk segera pulang ke kontrakan. Pemilik kontrakan menagih uang sewa.

***

Aku duduk sendirian di taman kota. Sebuah pesan dari nomor tak dikenal menyuruhku menunggu di situ. Sebenarnya enggan, tapi entah kenapa aku mau saja menuruti pesan yang bisa saja hanya tingkah iseng seseorang untuk mengerjaiku. Untung saja hari ini aku libur sehingga acara duduk-dudukku di taman kali ini bisa kuanggap sebagai media istirahat.

Matahari sudah tenggelam beberapa jam lalu. Lampu-lampu di sekitar taman pun mulai menyala, mencoba menggantikan benderang matahari yang tak tergantikan. Nampak beberapa penjual makanan mulai datang dan memamerkan jualan mereka. Para pekerja kantoran dan anak-anak kuliah yang baru selesai dengan aktivitas masing-masing juga terlihat datang satu persatu guna melepas penat.

Waktu yang berlalu membuatku bosan menunggu. Ingin rasanya pergi dan kembali ke kontrakan lalu merebahkan diri di kasur, tapi entah kenapa ada keinginan yang lebih kuat untuk tetap menunggu di sini. Akhirnya aku membuka novel “Tanpa Kata” yang ada di dalam tasku. Membacanya sambil menunggu si pengirim pesan iseng itu datang.

Aku ingin mengungkapkannya kepadamu. Tapi aku tak punya keberanian yang cukup sehingga kata yang menggantung di ujung lidahku menguap setiap kali ada di depanmu. Sekalipun banyak orang mengagumkan hadir dan mengungkapkan perasaan mereka padaku, aku masih saja berharap kepadamu. Aku sempat berpikir, apa yang sebenarnya aku lihat darimu? Aku mencari alasan untuk tidak lagi berharap dan pergi. Namun semakin kucari, semakin tak bisa pula aku menemukannya. Dan semakin dalam pula perasaanku untuk bisa selalu berada di dekatmu. Aku benar-benar berharap agar aku cukup berani untuk mengungkapkannya. Tak apa sekalipun terlambat. Asal aku dapat mengungkapkannya. Aku tak ingin menyesal.

Paragraph pertamanya sudah cukup memukulku. Membuatku enggan meneruskannya. Dan… membuatku harus mengingat lagi sosok Airin yang entah bagaimana rupanya sekarang. Apakah rambut ikal sebahunya masih selalu digerai tak terikat? Apakah dia masih suka memakai gelang hitam di tangan kirinya? Apakah dia masih suka ngambek ketika belanja ke minimarket dan es krim favoritnya ternyata habis? Apakah… dia masih mengingatku? Apakah dia…

“Hai.” Terdengar sapaan yang membuatku terlepas dari angan-angan kosong tentang Airin.
Aku menoleh.
“Apa kabar, Yoga?”
“….”
“Hei, kok diem aja. Kenapa?”
“….”
“Yoga?”

Mataku belum mau berkedip. Mulutku terkunci. Kata-kata di ujung lidahku tak mau melompat keluar. Hanya kedua tanganku yang tiba-tiba bergerak lalu memegang pundak sosok seperti bidadari yang kini ada di depanku. Err… secara teknis, ada di sampingku, sih.

“Airin?” Suaraku agak serak ketika menyebutkan nama itu. Nama usang yang sudah tak pernah kusebut sejak 3 tahun yang lalu. Membuatku sulit untuk mengucapkannya.

“Iya.” Airin membalasnya. Disertai senyuman yang sudah tak kulihat sejak kami berpisah di persimpangan setelah hari kelulusan sekolah saat itu. Tanganku lepas dari pundaknya. Aku menyandarkan tubuhku yang tiba-tiba terasa berat ke punggung kursi taman. Ada senyum kecil yang terulas di wajahku. Mewakili perasaan lega dan bahagia yang tak terkira di dalam hatiku.

“Kamu udah baca novel itu?” tanya Airin tiba-tiba.
“Oh, eng… baru paragraf pertama. Belum selesai.” Aku bersyukur kegugupanku sudah hilang.
“Aku boleh minta tolong nggak, Ga?” Airin lagi-lagi bertanya. Tapi pertanyaannya tiba-tiba terasa berbeda.
“Ya? Apa?”
“Tolong baca novel itu sampai selesai, ya.” Kalimat itu terucap dengan sedikit penekanan. Kalimat terakhir yang kudengar dari Airin, setidaknya hari ini.

***

Aku hanya ingin kau mengetahui sebuah hal yang sangat sederhana, tapi aku tak tahu bagaimana cara menyampaikannya. Tak mungkin aku berharap agar kau memiliki kemampuan membaca pikiran lalu tiba-tiba mengerti isi pikiranku dan paham apa maksudku. Tak mungkin juga aku memberimu kode-kode bodoh lalu berharap kau mengerti dan mampu memecahkannya sehingga mengerti isi hatiku. Aku tak senaif itu!

Aku hanya ingin menyampaikannya lewat kata. Agar kau dapat mendengarnya. Agar kau bisa mengerti. Tapi aku tak cukup berani. Wajahmu selalu saja mengerikan. Tingkah bodohmu selalu saja menakutkan. Membuatku takut kau tak akan mau menerimanya lalu pergi dariku. Lalu aku harus bagaimana? Aku tersiksa!

Aku menutup novel itu. Hampir selesai, tapi paragraf-paragraf yang kubaca seperti tamparan keras untukku. Kenapa Airin memintaku menyelesaikan membaca novel ini? Apa jangan-jangan dia yang menulisnya? Tapi ketika aku mengecek nama pengarangnya, yang tertulis di situ bukanlah nama Airin, tapi nama orang lain. Nama laki-laki. Atau jangan-jangan, penulis novel ini adalah seseorang yang menyukai Airin lalu menulis novel ini sebagai media mengungkapkan perasaannya kepada Airin? Ah, imajinasiku kembali liar dan memikirkan sesuatu yang tak perlu.

Jam yang menggantung di dinding menunjukkan pukul 7 pagi. Tak terasa aku begadang hanya untuk membaca hingga selesai novel ini. Jika bukan karena permintaan Airin, mungkin novel ini sudah kubuang dan kubakar. Segera aku bersiap-siap untuk bekerja dan berusaha melupakan hal-hal aneh yang masuk ke dalam pikiranku.

“Ga, ada yang cari kamu.” kata-kata pak Bayu menyambutku setibanya di tempat kerja.
“Siapa, Pak?” tanyaku sambil melepas jaket dan tas. Pak Bayu membalasnya dengan menunjuk ke arah seseorang yang sedang melihat-lihat buku.

Airin.

Aku berjalan ke tempat Airin berdiri. Mengabaikan pak Bayu dan hal-hal lain di sekitarku. Di bawah lampu terang, aku dapat dengan jelas memperhatikan sosok Airin dibandingkan ketika berada di bawah remang-remang lampu taman. Rambut ikalnya masih sama tak terikat, meski sedikit lebih panjang. Gelang hitam di gelang kirinya pun masih ada. Dan kulihat, ada kacamata ber-frame hitam yang bersandar di hidung mancungnya. Meski membuatnya terlihat berbeda, tapi di mataku, dia tetap sama.

“Rin.”
“Hei, Yoga.” Dia membalas sapaanku sambil tersenyum.

Tak ada yang bisa kuucapkan lagi. Aku benar-benar berubah menjadi sangat bodoh ketika berada di hadapannya. Memalukan rasanya. Tapi aku teringat pada novel itu, yang baru saja memotong jatah tidurku untuk menyelesaikannya. Kalimat demi kalimat yang berhasil menyindirku dan sisi pengecutku. Aku tak ingin menyesal. Satu-satunya hal yang kupikirkan setelah membaca novel itu, dan satu-satunya hal yang terlintas di dalam pikiranku saat ini.

“Rin, aku…”
“Airin! Udah jam berapa nih? Waktunya berangkat!” teriak seseorang dari depan pintu toko yang membuatku menghentikan kalimatku. Membuatnya kembali bersembunyi di balik lidahku.

Tanpa mengucapkan apapun kepadaku, Airin berjalan melewatiku. Langkahnya masih sama. Aroma parfum lavendernya pun tak berubah. Andai saja…

“Yoga.” Airin memanggilku. Aku menoleh.
“Maaf, aku belum cukup punya keberanian.”
He? Apa maksudnya?
“Aku…”

Airin… jangan-jangan dia…

Tanganku meraih tangannya, lalu menarik tubuhnya ke dalam dekapanku. Benar-benar tindakan nekat yang tak pernah kupikirkan sebelumnya. Apalagi dilakukan di dalam toko yang notabene tempat banyak orang berkumpul dan… tempatku bekerja. Maafkan karyawanmu yang nekat ini, pak Bayu.

“Aku menyukaimu. Aku sayang kamu. Aku cinta kamu. Rin. Aku…” kalimat-kalimat yang lebih seperti igauan orang tidur itu terucap begitu saja dari mulutku. Suasana mendadak hening.

Aku bisa merasakan tangan Airin mendekap punggungku.

“Yoga. Maaf udah maksa kamu. Tapi… makasih udah menghilangkan kekhawatiranku. Dan juga ketakutanku. Aku juga sayang sama kamu, Ga. Maaf aku terlalu angkuh dan pengecut buat nahan perasaanku selama ini.” balas Airin.

“Cieeeeee~~~~” seisi toko seolah sedang melihat sebuah acara. Mereka memberikan reaksi yang kurang lebih sama. Membuatku segera melepas pelukanku dari Airin. Membuat muka kami berdua memerah.

***

“Jadi, Airin. Kamu setuju, kan untuk mengubah ending ceritanya?” tanya seseorang yang sedang menyetir mobil. Dia yang tadi berteriak di depan toko, editor Airin. Airin mengangguk setuju. Ah, aku lupa mengatakannya. Aku ‘diculik’ Airin, dan dengan izin dari pak Bayu, Airin ditemani editornya mengajakku pergi.

“Rin, cerita apa?” tanyaku tak paham. Airin tersenyum. Dia menarik tanganku lalu menuliskan sesuatu di telapak tanganku. Membuat mataku terbelalak.
“Alamat blog ini…” mataku beralih ke Airin.
“Blog kamu, kan Ga?” Aku mengangguk.
“Aku selalu nunggu cerita-cerita baru di blog kamu, Ga. Dan ada satu cerita yang bikin hatiku tergerak. Cerita yang memaksa aku untuk jadi berani.” Airin mengambil sebuah buku lalu menunjukkannya padaku. Aku meraih buku itu lalu membaca di bagian Airin menunjukkannya. Bagian yang membuatku tertawa terbahak.
“Aku yang nulis novel ini, Ga. Tapi semua yang tertulis di sini adalah balasan untuk semua yang tertulis di blog kamu. Karena aku nggak cukup berani…” Airin menghela nafas lalu melanjutkan kalimatnya, “tapi seenggaknya sekarang aku cukup berani buat ngomong berkat sikap nekat kamu.”
Wajahku memerah. Aku tak bisa berkata apa-apa lagi. Sikap spontanku benar-benar memalukan. Apalagi kulakukan di dalam toko tempatku bekerja. Aku harus minta maaf kepada pak Bayu nanti.
“Tapi, Rin. Kita sebenernya mau ke mana?” tanyaku penasaran.
“Mengubah ending cerita. Eng, bukan. Tapi melanjutkan cerita.” balas Airin sambil tersenyum.

Ya, tanpa bertanya apa-apa lagi, aku sudah paham cerita apa yang dimaksud Airin. Sebuah cerita tentang dua orang pengecut yang tak punya keberanian menyampaikan perasaannya. Masing-masing dari mereka menumpahkan rasa ke dalam rangkaian aksara. Membuat mereka, secara tak langsung, terus terhubung. Dan berkat keteguhan hati masing-masing, setelah terpisah, mereka kembali diizinkan untuk bertemu guna meraih lagi kesempatan kedua untuk mengubah cerita mereka. Hingga akhirnya mereka percaya dan memperoleh jalan untuk dapat melanjutkan cerita. Serta menuliskan berbagai cerita baru yang akan terus berlanjut dan terus tertulis dalam ingatan dan hati mereka hingga akhir nanti.


 =====



Done! Ini cerpen yang dulu sebenernya pengen di-submit buat ikutan kumcer JCDD2. Tapi karena kelar nggak tepat waktu, akhirnya nggak jadi di-submit. Mohon komentarnya.
Share: