daybreak from wikinut.com |
Daybreak
Bersamaan
dengan itu, cahaya yang sedari tadi menyelubungi Saga dan Emilia mulai memudar
dan perlahan lenyap. Meninggalkan Emilia yang kemudian jatuh terduduk.
Tangannya tergenggam erat di depan dadanya.
“Emi!”
Rika dan Ren bergegas mendekati Emilia.
“Rika … aku berhasil mengungkapkan perasaanku kepada Saga,” diikuti sebuah senyum.
Tangis
Rika meledak. Dia menghambur memeluk Emilia yang pada akhirnya tak dapat
menahan tangisnya. Ren memandang jauh ke langit. Ke titik terang yang
memancarkan sinar perak. Lalu tersenyum dan berjalan menjauh. Memberikan waktu
bagi dua wanita yang saat ini sedang saling menguatkan satu sama lain.
***
“Terima kasih, kau sudah membebaskanku.” Saga mengusap pucuk rambut Emilia. “Sudah saatnya aku pergi.”
“Apa maksudmu? Kau akan pergi ke mana?” tanya Emilia.
“Emmm … aku harus pergi ke tempat seharusnya aku berada. Tempat yang cukup jauh,” kata Saga yang akan berbalik.
“Apakah kau akan kembali?” Tangan Emilia menarik ujung sweater Saga.
“Entahlah. Tapi jika kau merindukanku, kau bisa menunggu Venus muncul. Aku akan datang menemuimu.” Tangannya meraih tangan Emilia.
Saga berbalik. Dia berjalan menuju selubung cahaya yang menyilaukan mata Emilia. Semakin jauh, punggung itu dari pandangan mata. Rambut perak berkilau itu pun perlahan seolah memaksa Emilia untuk tak melihatnya untuk terakhir kalinya. Membuat Emilia ingin menjerit sekuatnya memanggil pemilik nama Saga itu agar kembali.
***
Emilia mengerjapkan matanya. Mimpi itu datang lagi. Sebenarnya bukan sekadar mimpi, tapi ingatan tentang kenangan terakhirnya bersama Saga. Jika dia pikir-pikir lagi, semua kejadian yang dia alami hari-hari sebelumnya memang benar-benar terasa seperti mimpi. Sebuah mimpi yang sangat nyata baginya.
“Pembohong,” gumam Emilia sambil memandang rona merah langit timur tanda matahari mulai naik melewati horizon. Dia berbalik, meninggalkan balkon rumahnya lalu bersiap untuk berangkat ke kampus.
“Emi, apa kau sudah menyelesaikan tugas essay dari Pak Darwin?” tanya Rika yang duduk di hadapannya.
“Ah, ya. Sudah selesai, ada apa? Kau ingin menconteknya?” tanya Emilia waspada.
“Ya ampun, aku hanya bertanya, Emi. Kau jahat sekali.” Rika cemberut. Pipinya memerah. Emilia yang melihatnya tertawa terbahak. Mendengar tawa itu, Rika mau tak mau harus merasa terharu. Sudah lama tawa itu tak dia dengar. Dan kini, setelah mencubit kedua pipinya sendiri dan merasa sakit, dia merasa lega kalau dia tidak bermimpi.
“Rika, kau tahu? Setiap pagi aku selalu menunggu Venus muncul. Tapi sampai langit cerah, aku tidak bisa bertemu dengan Saga. Ah, aku merindukannya.” Mata Emilia menerawang melewati kaca jendela kantin.
“Emilia,” panggil Rika, dengan lengkap. Ada kekhawatiran di suaranya.
“Hehehe, tenanglah Rika. Aku tahu kalau aku mungkin tidak bisa bertemu lagi dengan Saga, meskipun aku sangat merindukannya. Lagipula …” Emilia menggantung kalimatnya.
“Lagipula?”
“Apa yang akan kau lakukan dengan lelaki yang dari tadi duduk di sampingmu ini?” tanya Emilia sambil mengarahkan pandangannya ke sebelah Rika. Membuat Rika menoleh.
“Ren?!” Rika kaget dan sedikit bergeser dari duduknya semula.
“Hai, Rika. Emilia,” sapa Ren. Tiba-tiba saja atmosfer berubah kikuk.
“Ah, aku lupa. Aku ada janji untuk menjaga perpustakaan siang ini. Aku duluan, ya.” Emilia beranjak dari duduknya. Sebenarnya janji yang dia sebutkan bohong. Dia hanya ingin memberikan waktu kepada Ren dan Rika untuk berdua, karena dia tahu, sudah lama Rika menyukai Ren. Dan baru kemarin, Ren curhat kepadanya kalau dia jatuh cinta kepada Rika, setelah dia ditampar oleh Rika sewaktu di atap tempo hari. Masokis.
Dan
sepertinya atmosfer kikuk justru semakin kuat seperginya Emilia.
“Ya ampun, mereka pandai menguatkan dan memberi semangat orang lain, tapi payah ketika menguatkan diri mereka sendiri,” gumam Emilia.
Kelas
berikutnya masih sekitar 45 menit lagi. Karena tak ada yang bisa dia kerjakan,
Emilia memutuskan untuk pergi ke ruang klub astronomi. Ada beberapa buku yang
ingin dia baca di sana. Langkah ringannya membuat Emilia sudah hampir tiba di
ruang klub, ketika tiba-tiba dia menabrak seseorang saat berbelok di sebuah
koridor hingga terjatuh.
“Oh. Apa kau terluka?” Terdengar suara diikuti sebuah uluran tangan.
Emilia mendongak. Matanya terbelalak melihat wajah yang diliputi kecemasan itu. Bukan, bukan karena gurat kecemasan itu, tapi Emilia terkejut karena sosok yang tiba-tiba muncul di hadapannya saat ini memiliki wajah yang sangat mirip dengan seseorang yang sangat dia kenal. Terlebih rambut berwarna perak yang memikat itu.
~ END(?)