Tampilkan postingan dengan label Cerita. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerita. Tampilkan semua postingan

Heartbeat Memory #1 - Sesuatu yang Terlupakan


http://images.8tracks.com/cover/i/002/797/444/lost-star-night-dark-3402.jpg?rect=0,0,500,500&q=98&fm=jpg&fit=max


Heartbeat Memory

#1 - Sesuatu yang Terlupakan

"Berhenti!" pekik seorang gadis yang terduduk lesu di sudut sofa. Teriakan itu seperti membutuhkan energi yang besar, membuatnya semakin lemah. Tangan kanan seseorang yang tengah menggenggam gagang pintu itu pun menunda gerakannya.
"Maaf, aku tidak ingin menyakitimu lebih dari ini," kata pemuda kurus itu tanpa mengalihkan pandangannya.
"Tapi ....," Gadis itu nampak kepayahan melanjutkan kalimatnya. Wajahnya nampak sangat pucat. Mata sayunya sesekali dapat menatap kepulan asap tipis dari 2 gelas teh hangat di hadapannya yang belum sempat diminum. Tubuhnya pun tak dapat dia gerakkan, seperti ada sesuatu di dalam tubuhnya yang mencoba mengambil alih kendali dirinya. Menggerogoti setiap jengkal kesadaran dirinya. Perlahan secara paksa menariknya ke alam mimpi.
"Aku mencin-" Kalimat itu ditutup dengan suara tubuh gadis itu yang beradu dengan sofa. Pemuda itu menghela nafas lalu menarik pintunya ke arah dalam.
"Aku pun merasakan hal yang sama denganmu."
Segera, tubuh setinggi 170 cm itu melewati pintu. Meninggalkan sosok gadis yang terlelap dalam mimpi yang tak diharapkannya. Ada aliran air mata yang tersamarkan oleh kegelapan yang memenuhi ruangan itu. Hingga fajar mulai mendaki langit timur, pemilik mata beriris biru itu terbangun dalam kebingungan. Dia hanya menangkap siluet yang menghalangi sinar matahari pagi berdiri di seberang meja.
"Emilia, kenapa kau tertidur di sini? Ya ampun. Kau benar-benar pandai membuat orang lain khawatir." Suara berwibawa itu perlahan menuntun kesadaran Emilia kembali. Sosok itu berjalan mendekati sofa tempat Emilia duduk, mengizinkan matahari menyoroti wajah khas asia serta rambut ikal pendeknya.
"Ren. Aku ... aku tak tahu. Aku tidak bisa mengingat apa-apa," kata Emilia lirih sambil memegangi kepalanya yang tiba-tiba berdenyut. Sakit. Emilia benar-benar tidak bisa mengingat kejadian semalam, tapi samar-samar, ada ingatan tentang sesuatu yang mengganggunya.
"Ayo, teman-teman di kamp sudah menunggu," ujar pemuda bernama Ren itu sambil mengulurkan tangannya.
Tanpa mengatakan apapun, Emilia meraihnya. Ketika tangannya menyentuh tangan Ren, di dalam kepalanya muncul bayangan seseorang. Samar. Emilia terdiam berusaha meraba ingatan kabur itu. Hal itu membuat Ren bingung melihat sikap Emilia.
"Emilia." Ren memanggilnya. Emilia tersentak.
"Ah, maaf. Ayo kita segera kembali."
***
Akhir-akhir ini Emilia lebih sering termenung. Entah sudah berapa kelas dia lewati hanya dengan duduk diam tanpa melakukan apapun. Tak ada pertanyaan-pertanyaan kritis yang dia lontarkan seperti biasa ketika dosen selesai menyampaikan materi. Hal ini cukup mengusik seorang gadis yang duduk tepat di sebelah Emilia.
"Emi. Emiii. Ada apa denganmu? Setelah ikut kamp pelatihan klub astronomi, kau jadi aneh." Rika, sahabat Emilia, membuka obrolan setelah beberapa menit dia sebal menatap Emilia hanya mengaduh-aduk minumannya.
"Eemiiii!" Suara cempreng Rika yang cukup keras membuat Emilia tersentak dari lamunannya.
"Eh, kau memanggilku?" tanya Emilia. Kali ini Rika memalingkan wajahnya. Pipinya memerah.
"Rika, maaf. Aku hanya sedang bingung," kata Emilia.
"Ceritakan padaku. Bukankah aku ini sahabatmu?" Kalimat retorik Rika membuat Emilia tersenyum.
"Aku melupakan sesuatu, Ka. Sesuatu yang sangat penting." Emilia mulai bercerita. Rika mengernyitkan dahi.
"Sesuatu?" tanya Rika penasaran.
"Entahlah, seperti ada setengah dari ingatanku menghilang. Tentang seseorang."
Pandangan Emilia menembus kaca jendela kantin. Sementara itu Rika masih menelaah cerita Emilia, tiba-tiba dia teringat sesuatu.
"Saga."

***


Suasana malam di bukit benar-benar berbeda dengan suasana kota yang letaknya tak lebih dari 1 kilo. Benar-benar gelap. Tapi hal ini sangat Emilia sukai. Ketika berada di tempat terbuka yang gelap tanpa sedikitpun polusi cahaya, matanya bisa dengan mudah memandangi lukisan berkilau di langit. Titik-titik cahaya yang tersebar tak beraturan, tapi dapat menciptakan keindahan. Bukan susunan yang ditata secara rapi dan teratur. Kadang definisi manusia tak cukup mewakili sebuah makna.
"Emi. Teleskopnya sudah siap." Suara itu membuat Emilia menoleh. Dia berjalan mendekat.
"Kenapa kau tidak tinggal saja di sini? Bukankah melelahkan harus menempuh jarak yang cukup jauh setiap hari hanya untuk datang ke bukit ini?" tanya Emilia. Mata beriris birunya tengah sibuk mengintip lensa teleskop.
"Aku tak punya rencana untuk menetap. Lagi pula ...." Kalimatnya menggantung.
"Lagi pula?" tanya Emilia. Kali ini dia menatap lekat lawan bicaranya.
"Ada vila kecil yang biasa kugunakan untuk bermalam jika terlalu lelah." Kalimat itu ditutup oleh seulas senyum yang memamerkan jajaran gigi yang putih terawat. Emilia terkesima.
Malam ini bulan bergerak lambat. Sepertinya dia tak ingin ketinggalan untuk unjuk gigi dari cahaya-cahaya kecil di sekelilingnya. Scorpio mulai meredup dan perlahan hilang. Bersamaan dengan itu, sang pemburu, Orion, muncul membelah langit. Mata Emilia tak lepas dari teleskop berwarna putih itu. Setelah puas melihat kilatan meteor orionid yang saling berlomba, Emilia merebahkan dirinya ke rerumputan. Menatap nanar ke arah bintang yang begitu jauh jaraknya.
"Bintang adalah cahaya dari masa lalu." Emilia menggumam.
"Karena mereka bisa saja sudah mati dan yang kita lihat saat ini adalah hasil pantulan cahaya yang baru tiba dari masa lalu, bukan?" timpal sosok yang ada di sebelah Emilia. Emilia mengangguk.
"Tolong temani aku sampai Venus muncul," ucap Emilia tanpa memalingkan wajahnya.
"Tapi ... bagaimana dengan teman-temanmu? Tentu mereka akan khawatir jika kau tidak kembali."
"Saga, aku mohon." Ada air mata yang tumpah. Membuat suasana semakin hening.
"Bahkan cahaya tercepat pun membutuhkan waktu untuk bisa menjangkau sebuah jarak. Setidaknya, beri aku sedikit waktu untuk bisa menutup jarak kita." Emilia terisak.
"Bahkan jika aku memberikan seluruh waktuku, hal itu tidak akan pernah cukup untuk memangkas jarak kita," kata Saga sambil masih menatap langit.
"Saga ...."
"Maaf," kata Saga sambil mengusap kedua matanya, "aku akan menemanimu, malam ini. Hingga Venus muncul."
***
"Emi, apa kau yakin? Di sini gelap sekali. Aku takut," tanya Rika gemetaran.
"Kita sebentar lagi sampai. Ah, itu dia!" Emilia menunjuk ke arah sebuah vila berwarna putih. Di sekelilingnya terdapat berbagai macam tanaman hias. Begitu bersih dan terawat. Lampu terasnya menyala, sementara bagian dalamnya nampak gelap sempurna.
Setelah menarik napas lalu membuangnya, Emilia mendorong pintu ganda tersebut. Tak terkunci. Dengan lancar, pintu itu terbuka. Cahaya bulan yang tak lagi penuh menerobos ke dalam ruangan besar itu, seolah membantu Emilia menemukan saklar lampu yang ada di dinding sebelah kanan.
"Klek." Saklar tersebut memicu lampu kristal di langit-langit tengah ruangan menyala. Menyingkap tabir temaram, menampakkan pemandangan sebuah ruangan layaknya ruang tamu. Emilia terdiam. Sementara Rika yang baru saja melangkah masuk hanya bisa menahan napasnya. Meski hanya tipis, ruangan tersebut cukup berdebu. Kain-kain putih yang menutupi meja, kursi, dan berbagai interior lain terlihat kusam. Kepala Emilia berdenyut sementara pandangan matanya mulai kabur. Dia merasakan sesuatu yang tak beres dalam kepalanya, seperti ada sebuah film yang masuk ke dalam pikirannya. Membuat kedua mata Emilia memanas dan mulai berair.
"Emi," panggil Rika yang merasa khawatir. Dia berjalan mendekati Emilia yang masih diam sambil memegangi kepalanya.
Emilia menoleh ke arah Rika. Air matanya jatuh ketika berujar, "Rika, aku mengingatnya. Dia ... seseorang yang sangat penting."

~ bersambung
Share:

Kisah Tanpa Rupa | Monolog Random


Title : Kisah Tanpa Rupa
Author : @NVRstepback

Belajar monolog

ilustrasi, thaivisa.com

Maaf jika tiba-tiba aku datang tanpa mengabari kalian terlebih dahulu. Aku hanya kesepian dan butuh teman. Jadi, ketika kulihat tenda kalian, aku pun memutuskan datang. Begini ... aku ingin curhat kepada kalian. Ada sesuatu yang terasa mengganjal di dalam diriku. Sudikah kalian mendengarkannya? Tenang, hanya sebentar. Kenapa kalian diam saja? Jadi kalian setuju? Baiklah kalau begitu. Aku ingin bercerita tentang ... kisah cintaku.

Mungkin kalian tak akan menyadarinya, tetapi aku adalah seorang keturunan cina. Darah cinaku berasal dari kakek buyut yang asli orang cina. Eh, sepertinya aku ngelantur, ya. Baiklah. Ehm.... Saat itu, aku resmi menjadi seorang pelajar berseragam putih abu-abu. Hari-hari damai terlewati begitu saja tanpa terasa. Hingga hari-hari damai itu perlahan menjadi hari penuh kegelisahan. Bukan, bukan karena aku menerima bully seperti yang sering kalian lakukan kepada murid-murid baru beberapa bulan yang lalu. Tapi, aku melihat sosok bidadari di sekolahku. Dan, tentu saja karena aku lelaki normal, aku pun jatuh cinta.

Awalnya, kupikir kisah cintaku akan seperti kisah romantis di ftv. Tapi ternyata jauh berbeda. Benar-benar mengejutkan, sekaligus ... mengecewakan. Gadis itu, idola sekolah itu, dia bernama Wina, ternyata jatuh cinta kepada sahabatku sendiri. Menyakitkan sekali jika harus mengingatnya, tapi aku harus menceritakannya. Agar bebanku sedikit berkurang dan sedikit tenang.

Aku mengidap sindrom bernama aleksitimia. Kata seorang psikiater, sindrom itu membuat aku kesulitan untuk mengungkapkan perasaanku. Ehm, bukan seperti kalian yang sok memendam perasaan kepada seseorang karena tak berani bilang. Aleksitimia membuatku tidak bisa mengekspresikan emosi dan perasaanku. Aku tidak bisa mengungkapkan rasa senang ketika aku mendapat peringkat satu ulangan semester, rasa sedih ketika kakakmu mati di depan mataku, rasa marah ketika ada yang menuangkan saus ke dalam minumanku, dan ... rasa sayang ketika aku jatuh cinta.

Beruntung, aku berteman dengan seorang yang sangat baik. Toni. Aku bisa sedikit terbuka ketika berbicara dengannya. Dan pada suatu kesempatan, dengan usaha keras, aku jujur kepada Toni tentang perasaanku kepada Wina. Di luar dugaan, dia merespon dengan positif. Toni, yang sudah mengerti tentang sindrom anehku, mengajukan diri menjadi perantara antara aku dan Wina. Aku benar-benar senang. Tapi, aku kesulitan mengungkapkannya.

Hampir setiap hari, aku menulis sebuah puisi dan membeli hadiah untuk diberikan kepada Wina, melalui Toni. Dan sekembalinya Toni dari mengantarkan hadiah, selalu ada kalimat manis yang Wina katakan, tentu yang kudengar dari mulut Toni. Kian hari, aku merasa kalau hubungan, via perantara, antara aku dan Wina semakin baik. Aku pun merasa kalau ada kekuatan besar mengalir di dalam diriku yang mencoba mengalahkan sindrom aleksitimiaku. Aku ingin bertemu dengan Wina. Ya, aku ingin bertemu dengannya. Mendengar langsung kalimat-kalimat indah itu dari mulutnya. Semakin aku memikirkannya, angan-anganku semakin melayang. Terlalu tinggi.

Suatu hari, aku sengaja tidak mengirimkan apapun kepadanya. Aku ingin memberinya kejutan! Sepulang sekolah, aku pergi ke belakang aula, tempat yang selalu diceritakan oleh Toni. Tempat di mana hadiah dan puisi-puisiku tersampaikan kepada Wina. Hatiku semakin berdebar. Kekuatan untuk menumbangkan ketakutanku kurasakan semakin besar. Mungkinkah karena cinta? Ah, tentu indah bukan?

Tapi tebakanku meleset.

Setibanya di belakang aula, aku melihat pemandangan yang menyakitkan. Wina dan Toni duduk berdampingan begitu dekat. Terlebih lagi ada senyum dan tawa kecil di sela pembicaraan mereka. Senyum dan tawa menjijikkan itu seketika surut ketika ekor mata Toni menangkap kehadiranku. Mukanya merah padam. Sementara Wina nampak kebingungan. Toni mulai berjalan ke arahku, sambil berusaha melepas pegangan tangan Wina. Sementara aku hanya bisa melongo.

Lalu ... ada teriakan yang terdengar dari dalam diriku.

Secepat kilat, aku meraih pena di saku baju seragamku. Tepat ketika Toni berada di hadapanku, tangan kananku yang memegang erat pena meluncur deras tepat ke dada Toni. Dia terdiam sambil sesekali bergantian menatap wajahku dan pena yang setengah lebih masuk ke dalam dadanya. Seragam putihnya mulai memerah. Dia jatuh berlutut di hadapanku. Seringai di wajahku tak bisa kusembunyikan. Tapi tak lama, teriakan histeris Wina menyadarkanku. Kutengok tubuh Toni di bawah kakiku. Ada darah yang mulai menggenang di bawah tubuhnya yang tidak bergerak.

Kepanikan mulai menjalariku.

Aku berlari secepat mungkin dari tempat itu. Semakin jauh, aku semakin sadar. Aku telah melakukan sesuatu yang mengerikan. Aku membunuh seseorang. Tapi ... bukankah Toni pantas menerimanya? Bagaimana menurut kalian? Hm, lagi-lagi kalian hanya diam. Kalian penasaran dengan ceritaku, ya? Baiklah, akan kulanjutkan.

Jadi, aku berlari secepat yang kubisa. Menghindari setiap tatapan siswa-siswa yang masih tinggal karena mengikuti kegiatan ekstra. Aku panik dan takut, tapi aku juga merasa lega. Tapi tetap saja aku terus berlari. Aku telah membunuh seseorang. Aku tak memperhatikan arah lariku. Ketika sadar, aku telah melompat melewati gerbang sekolah. Kuhentikan langkahku yang mulah payah. Aku sedang mencoba mengatur nafas ketika kudengar teriakan dari arah sekolah.
 
Aku tak dapat mendengarnya dengan jelas. Nampak satpam sekolah dan beberapa orang nampak meneriaki dan menunjuk ke arah yang sama. Kutegakkan tubuhku. Ketika aku menoleh, aku dapat dengan jelas melihat seorang pria paruh baya menatap nanar di balik sebuah kaca. Sesaat kemudian, aku dapat merasakan sesuatu yang besar dan berat mengenai tubuhku. Membuatku terlempar dan terpelanting beberapa meter. Kedua tangan dan kakiku patah karena beberapa kali menjadi tumpuan ketika aku terpental. Sejauh yang kuingat, tulang tengkorakku retak ditambah darah segar yang keluar dari tubuhku. Lebih banyak dari darah milik Toni. Dan terakhir kali mataku melihat jalan, ada ban hitam yang menutupi pandanganku. Menyisakan suara gemeratak yang samar-samar kudengar sebelum aku tenggelam dalam kegelapan sempurna.

Ehm. Terima kasih sudah mendengarkan ceritaku. Bebanku sedikit berkurang. Sekali lagi, maaf jika aku mengganggu waktu kalian. Lagipula ... ehehm ... berbicara bukan dengan suaraku sendiri rasanya agak aneh. Tapi cukup nyaman untuk menyampaikan cerita daripada dengan tubuh dan suaraku yang sering membuat orang lari bahkan sebelum aku mulai bicara. Baiklah, aku pergi.

===@===
Share:

A Secret Admirer's Admirer | Flash Fiction

Yak! Flash Fiction lagi~ kenapa flashfic lagi? Well, saya masih belajar bikin konflik. Nah, daripada bikin konflik di dunia nyata dengan ngompor-ngomporin orang, kan mending bikinnya di dunia tulis yang fiktik. Kan? Hoehehe

Title : A Secret Admirer's Admirer
Terinspirasi dari buku Relationshit-nya bang @shitlicious


A Secret Admirer's Admirer
"Cinta yang tak diungkapkan ibarat pedang bermata dua. Dia mampu membunuh dua hati sekaligus."
pic from "Ao Haru Ride" anime
Dia masih berdiri terpaku di tempatnya kini berdiri. Kalimat yang baru saja dia dengar dari seseorang yang sangat berarti baginya begitu lancar menusuk jantungnya. Sorot matanya kosong, meski ada bulir-bulir air tertahan di ujungnya. Terulas senyum getir di ujung bibirnya yang gemetar menahan kalut di dalam dadanya.

"Jadi begitu ... ya? Ah, aku benar-benar bodoh."

***

Seorang gadis dengan sweater rajut warna biru muda nampak berdiri cemas di depan pintu lusuh sebuah kost-kostan. Di tangan kirinya tergantung kantong plastik hitam berisi buah-buahan. Tangan kanannya, dengan sedikit ragu, dia angkat lalu mengetuk pintu yang warnanya memudar itu. Sesaat kemudian, pintu itu ditarik ke arah dalam. Muncul sosok pemuda yang lehernya terbelit syal dan tubuhnya terbungkus jaket tebal.

"Rara! Eh, kok di sini?" Pemuda itu kaget dengan kedatangan tamu itu. Tubuhnya menjadi terasa lebih panas.
"Hai, Rio. Aku dengar kamu sakit. Kebetulan juga aku lewat sini, jadi sekalian mampir deh." Rara menyerahkan bungkusan buah itu sambil tersenyum.
"Duh, bisa pingsan aku kalau kelamaan melihat senyum Rara," batin Rio.
"Eh, sini masuk tapi ruangannya berantakan. Hehe." Rio segera mempersilakan Rara masuk. "Mau minum apa? Biar aku pesan di warung depan."
"Aduh, jangan deh. Nanti ngrepotin. Kamu kan juga lagi sakit." Rara mencoba menolak.
"Ra, aku udah agak baikan kok," tegas Rio.
"Ya udah, teh botol aja," jawab Rara pasrah. Rio pun bergegas keluar.

Mata Rara tak henti-hentinya memandangi ruangan berukuran 3x4 meter itu beserta berbagai interior serta atribut dindingnya. Dia tersenyum simpul menyadari bahwa teman barunya ini tidak terlalu pintar dalam menata ruangan seprivat kamar. Pandangannya tiba-tiba tertuju ke tumpukan kertas di dekat kaki meja. Rasa penasarannya membuatnya meraih selembar kertas berwarna kuning pucat. Kertas itu nampak lusuh.

Rara mulai membaca kata demi kata pada kertas itu. Semakin lama dia membaca, semakin kuat pula tekanan yang dia rasakan dalam dadanya. Dia kenal betul dengan kalimat-kalimat indah itu. Dia pun hampir hafal separuhnya, karena ... dia memiliki versi utuh puisi itu yang tersimpan rapi di salah satu laci kamarnya. Air matanya mulai menetes ketika Rio tiba-tiba muncul.

"Ra ... kamu kenapa?" Tapi Rio langsung bungkam tak mengharap jawaban apapun ketika melihat apa yang sedang berada di tangan Rara saat ini. Hening datang. Mereka terdiam.
"Rara. Sebenarnya aku--"
"Kamu jahat, Rio. Kamu jahat!" Rara memotong kalimat Rio. "Kenapa harus sekarang?"
"Aku cuma nggak tahu bagaimana caranya, Ra. Kupikir dengan puisi-puisi anonim itu, aku bisa bikin kamu bahagia dan--"
"Bahagia kamu bilang? Mungkin di mata kamu aku bahagia, Rio. Tapi pernah nggak kamu berpikir lebih jauh? Di dalam sini aku tersiksa! Kamu di posisi yang lebh baik karena bisa tahu kepada siapa kamu mencurahkan cinta. Tapi bisa nggak kamu mengerti posisiku? Tiap malam aku dibuat bertanya-tanya siapa pemilik kalimat-kalimat indah itu, Rio. Aku jatuh cinta. Tapi aku nggak tahu seperti apa sosoknya. Itu benar-benar bikin aku tersiksa sendirian, Rio!" Dada Rio terasa lega sekaligus sesak mendengar kalimat-kalimat Rara. Pengakuan yang tak disangka-sangka.
"Maafin aku, Ra. Aku memang sudah lama jatuh cinta kepadamu. Aku--" Rio lagi-lagi tak sempat menyelesaikan kalimatnya.
"Tapi semuanya sudah terlambat. Aku nggak mungkin menerima perasaan kamu, Rio. Terlebih setelah dengan seenaknya kamu menguburku dalam rasa penasaran yang akhirnya membunuhku. Permisi." Dengan mata sembab, Rara pergi melewati Rio yang sama sekali tak bergerak. Langkah kakinya perlahan mulai menghilang dari jangkauan indera dengar Rio. Dia pergi. Sangat jauh.

***

Dia masih berdiri terpaku di tempatnya kini berdiri. Minuman teh botol yang dia bawa terjatuh begitu saja. Menggenang di sekitar kakinya. Kalimat yang baru saja dia dengar dari seseorang yang sangat berarti baginya begitu lancar menusuk jantungnya. Sesalnya kini tak ada arti. Merutuki kebodohannya pun tak akan membuat waktu terulang kembali.

"Sepertinya menjadi seorang pemuja rahasia bukan hal yang bagus. Aku membuat dua hati yang seharusnya saling mengenal pada akhirnya mati di tempat yang saling berjauhan." Rio terduduk lesu. Malam ini dia tak bisa lagi menulis puisi untuk Rara. Dia sudah membunuh hati Rara ... dan hatinya sendiri. Mati dalam sesal yang tak seharunya terjadi, andai dia mengakui perasaannya jauh-jauh hari.

~ fin


Review-nya kak
Share:

Suatu Hari di Musim Dingin | A Flash Fan Fiction

Yosh! Ini adalah fanfict pertama saya. Kebetulan ini adalah fanfict dari fandom Hyouka, fandom yang mungkin nggak se-mainstream fandom lainnya. Dan karena ini adalah fanfict pertama yang sukses ditulis setelah cari inspirasi sambil goleran di atas kasur, pasti bakal ada banyak kesalahan. Entah itu cerita yang ngawur, typo, serta karakter yang OOC. Jadi, dengan penuh kerendahan hati, saya mohon review-nya.

Title : Suatu Hari di Musim Dingin
Type : Flash Fan Fiction
Genre : Romance, One-shot
Fandom : Hyouka
Pairing : SatoshixMayaka
Disclaimer : karakter pada cerita ini sepenuhnya milik dari sang kreatornya.


Suatu Hari di Musim Dingin

http://stuffpoint.com/hyouka/image/94988-hyouka-fukube-satoshi-ibara-mayaka.jpg
#Fukube Satoshi #Ibara Mayaka from stuffpoint.com


"Apa kau merasakannya?" Sebuah tanya terdengar dari seorang gadis berjaket pink tebal.

Tapi karena tubuhnya yang mungil, gadis itu nampak sedang dimakan oleh jaketnya sendiri.

"Fuku-chan! Apa kau mendengarku?!" Gadis berambut pendek itu menyenggol pemuda yang saat ini berjalan di sebelahnya. Membuat pemuda beriris coklat cerah itu tersentak dari lamunannya.

"Ah, maaf Mayaka. Aku tidak mendengarmu." Pemuda itu tersenyum menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal. Membuat wajah Mayaka memerah.

"Selalu saja begitu," gerutu Mayaka lirih. Membuat pemuda bersyal kuning itu kebingungan dengan sikap Mayaka.

Mereka kembali berjalan dalam diam. Musim dingin kali ini entah kenapa terasa lebih dingin dari tahun-tahun sebelumnya. Terutama bagi Mayaka yang hampir dibuat membeku oleh Fukube Satoshi, cinta pertamanya, yang tak pernah mau menanggapinya dengan serius.

"Mayaka!" Terdengar teriakan yang membuat Mayaka menoleh, kembali dari lamunan. Tapi apa yang dia dapatinya adalah sekaleng kopi hangat yang mendarat tepat di dahinya yang terhalang poni. Dia meraih minuman itu, lalu mendelik ke arah Satoshi yang tak bisa menahan tawa dan terbahak sambil bersandar di mesin penjual minuman.

Segera dia mengalihkan pandangannya dari Satoshi, kemudian memegang kopi itu dengan kedua tangannya. Dia meresapi sensasi yang dia rasakan dari balik sarung tangan warna putihnya. "Tidak bisakah kau sehangat kopi ini?" bisik Mayaka, "sedikit saja ... untukku."

"Mayaka, apa kau tahu?" Satoshi menahan kalimatnya. Membuat Mayaka memperhatikannya. "Aku sedang menyukai seseorang. Sudah lama sekali, tapi aku tak punya keberanian untuk mengungkapkan perasaanku padanya."

Nafas Mayaka tertahan dan udara dingin semakin membuatnya tersekat. Dia baru saja mendengar sesuatu yang tak biasanya dari sosok Satoshi yang dia kenal tak pernah serius dan selalu bercanda. Dan kali ini, pemuda berambut spike itu memberitahunya kalau dia sedang menyukai seseorang. Dan, lagi, sama sekali tak nampak candaan dari wajah, kalimat, maupun intonasi bicaranya. Dia merasa aneh. Terlebih ketika dia merasa ada yang sedang menghantam dadanya. Sesak. Membuat matanya panas.

"Jadi ... Mayaka. Maukah kau membantuku ... berlatih?" Kali ini mereka berdiri berhadapan. Saling menatap satu sama lain dengan pengharapan yang berbeda.

"Fuku-chan bodoh." Bisikan lirih yang hampir tak terdengar dari Mayaka. Dia kemudian tertunduk. Menggeretakkan gigi agar dia tidak menangis adalah satu hal yang bisa dilakukannya saat ini.

Tanpa menghiraukan Mayaka, Satoshi nampak mengeluarkan sesuatu dari tas rajut warna kuning bergaris oranye yang selalu menggantung di tangannya. Lalu mengenakan benda itu kepada Mayaka. Sebuah topeng dengan wajah gadis yang dia sukai. Wajah Satoshi pun langsung merona merah melihat wajah pada topeng itu. Mayaka dapat dengan jelas melihatnya dari balik lubang kecil pada topeng itu.

Satoshi menarik nafas panjang. Tangannya meraih kedua tangan Mayaka, yang saat ini adalah tangan gadis yang dia suka. "Aku ... sudah lama ... menyukaimu."

Hentikan.

"Maukah kau ..."

Kumohon, Fuku-chan. Aku tak sanggup. Air mata Mayaka pun tumpah. Dia tak sanggup lagi menahannya.

"Maukah kau pergi berkencan ... denganku?" Suara Satoshi terdengar gemetar dan gugup namun begitu terasa ketulusannya. Setidaknya itulah yang dirasakan oleh Mayaka yang sedetik kemudian melepas paksa genggaman tangan Satoshi. Dia segera melepas topeng konyol itu dan berniat menghempaskannya ke salju di bawah kakinya ketika dia melihat wajah yang ada di topeng itu. Wajah yang sangat dia kenali.

"Fuku … -chan? Apa ... ini? Apa kau … sedang menjahiliku? Kau ... benar-benar keterlaluan!" Tangisan Mayaka tak lagi bisa terbendung. Seolah seluruh perasaannya kepada Satoshi tengah ikut mengalir keluar. Membuat Satoshi terpaku di tempatnya. Lalu tanpa kata meraih tubuh mungil relawan penjaga perpustakaan itu dan menariknya ke dalam pelukannya. Membuat tangisan Mayaka yang sempat terhenti semakin deras.

"Maaf, satu-satunya hal yang bisa kupikirkan adalah ini," kata Satoshi lembut seiring tangis Mayaka yang perlahan reda.

"Fuku-chan bodoh. Kau harus membayarnya dengan secangkir cokelat panas. Lagipula ...."

"Hm?"

"Aku tak terlalu suka kopi … apa lagi yang sudah dingin," kata Mayaka lirih sambil menatap sekaleng kopi yang hampir beku. Membuat Satoshi tertawa.

Musim dingin kali ini entah kenapa terasa lebih dingin dari tahun-tahun sebelumnya. Tapi beberapa menit lalu sepertinya berubah menjadi musim dingin terhangat bagi Mayaka. Dia tak lagi harus membeku dan menahan perasaannya kepada Fukube Satoshi, cinta pertamanya, yang saat ini duduk di hadapannya bersama sepasang cokelat hangat. Yang beberapa menit lalu mengajaknya berkencan dengan cara yang ... agak ... pengecut. Menggunakan topeng dengan wajah gadis yang disukainya. Membuat Mayaka seperti hampir terhempas ke ujung semesta ketika tahu siapa wajah di topeng itu. Wajah seorang gadis relawan perpustakaan yang suka bicara blak-blakan dan selama 3 tahun memendam perasaannya kepada orang yang dia suka. Ibara Mayaka.

===

Maaf, cuma dikit karena emang baru bisa segitu. Gimana? Mohon kritik dan sarannya ya? ^^,
Share:

Cerita Untukmu

Title : Cerita Untukmu
Author : @NVRstepback
Genre : romance




Cerita Untukmu




Hari lulusan sekolah sebentar lagi tiba. Hampir seluruh siswa di sekolah, termasuk aku, merasakan 1 hal yang sama : cemas! Bagaimana tidak? Usaha kami selama 3 tahun belajar, dan telah melalui ujian akhir akan diumumkan besok. Bagi siswa-siswa cerdas mungkin tak jadi soal. Tapi bagi siswa berotak sedang yang hanya mengandalkan kerja keras dan  keberuntungan sepertiku, hal itu adalah sesuatu yang meresahkan. Meskipun ada hal lain yang tak kalah meresahkan dari hasil ujian… persoalan hati.

Mungkin terdengar konyol. Menahan hati, menyimpan dan menjaga sesuatu yang padahal tidak dimiliki, selama hampir 6 tahun. Ya, konyol. Dan yang lebih konyol lagi, aku sama sekali tak punya nyali sedikitpun meski hanya untuk mengungkapkannya. Jika diibaratkan rangkaian proses eksekusi prosesor komputer, terjadi bottleneck karena aliran input yang terlalu besar dibandingkan jalur proses yang menyebabkan alur eksekusi kode program dalam otakku tertahan. Membuatku hank. Linglung. Ah, hati memang bisa membuat otak bekerja lebih keras dari biasanya.

Dan saat ini aku sedang duduk berhadapan dengan biang keladi yang menjadi otakku sering mengalami hank. Aku mencoba bersikap setenang mungkin, meskipun di dalam, aku merasa kikuk. Tapi berkat pengalamanku menahan perasaan, aku bisa dengan baik berpura-pura bersikap tenang dan menutupi rasa gugupku.

“Jadi, setelah lulus nanti kamu mau nglanjutin ke mana, Ga? Suara itu terdengar merdu meskipun dia mengaku sedang menderita batuk sehingga suaranya serak. Dan memang sesudah bertanya, dia batuk.
“Eh? Eng, kayaknya aku mau kerja dulu deh, Rin.” jawabku sambil memegang botol minumanku.
“Nggak pengen kuliah? Kan sayang banget, kamu orangnya pinter lho.” Aku sedikit melotot dan aku yakin saat ini pipiku sedang bersemu merah karena pujian “pinter” yang dialamatkan Airin kepadaku.
“Pinter darimana? Pinter sih enggak, kalo bejo baru iya. Hahaha.” jawabku sambil bercanda.
“Hahaha, dasar kamu. Aku serius, Ga. Kamu nggak pengen apa nerusin kuliah gitu? Kan kalo kuliah kita nggak terlalu ribet kayak pas sekolah biasa. Lebih fokus ke minat kita.” terang Airin. Dan dia batuk lagi.
“Sejujurnya sih pengen. Tapi kan kondisi orang tuaku sekarang nggak mungkin mampu. Jadi aku milih kerja dulu aja, dan nabung. Kalo udah kekumpul baru aku kuliah. Itu kalo niat kuliah masih ada. Hihihi.” Segera kuminum minuman yang masih tersisa setengah di botolku, menenangkan diriku.
“Kalo kamu mau nerusin ke mana, Rin? Jadi ngelanjutin ke jurusan sastra?” tanyaku.
“Hehehe. Tau aja. Iya dong, kamu kan tau sendiri aku suka banget nulis. Jadi buat matengin kemampuan, aku mutusin buat kuliah jurusan sastra.” Suara seraknya tetap terdengar lembut di telingaku.
“Terus, udah ada tujuan bakal kuliah di mana?” Aku lanjut bertanya.
“Jogja.” jawab Airin singkat. Aku sedikit tercekat. Jogja? Artinya Airin akan pergi cukup jauh dari Semarang. Memang tak cukup jauh. Tapi jarak, dan tentu saja waktu serta aktivitas, pasti membuat jarak semakin jauh. Kepalaku tertunduk. Ada sesuatu yang tiba-tiba seperti menekan hatiku. Sedikit sakit. Rasa sakit baru yang belum pernah aku rasakan. Rasa yang coba kutahan agar tidak merongrong dan membuatku semakin konyol.
“Yoga.” Suara Airin membuyarkan lamunanku.
“Y-Ya. Kenapa, Rin?” balasku. Aku sedikit tergagap menanggapi Airin. Mata Airin sedikit tajam membuatku tak mengerti. Sepertinya ada hal serius yang ingin dikatakan Airin.
“Kalo seandainya ada cewek yang suka sama kamu tiba-tiba nembak kamu, apa yang akan kamu lakuin?” Dengan lancar Airin menyampaikan pertanyaan dan dengan lancar pula aku mendengar dan menerima rangkaian kata-kata itu. Tapi tiba-tiba saja aku terbelalak ketika memproses pertanyaan itu.
“A..aku..” Belum sempat aku menjawab pertanyaan itu, ada seseorang yang tiba-tiba datang dan duduk di sebelah Airin. Rambut keriting pendek dan juga kacamata frame hitam itu cukup membuatku tahu siapa dia. Vian, kapten tim basket –dan sahabatku.
“Hai Airin. Eh, kebetulan ada lo juga, Ga. Gue pengin lo jadi saksi.” Vian nampak bersemangat mengucapkannya.
“Saksi?” tanyaku kebingungan. Vian mengangguk.

“Airin, selama ini gue suka sama lo. Lo mau nggak jadi pacar gue?” setelah kalimat itu meluncur dari mulut Vian, atmosfer tiba-tiba berubah. Airin nampak kaget mendapatkan pernyataan cinta dari Vian. Begitu pun aku yang tak kalah kaget karena ternyata Vian, sahabatku sendiri juga menyukai Airin. Nafasku sedikit kutahan menunggu jawaban apa yang akan disampaikan Airin. Tapi tiba-tiba Airin menatapku dengan pandangan aneh, lalu kembali menatap Vian.

“Vian… aku…” Nafasku benar-benar tertahan menunggu Airin menyelesaikan kalimatnya.
“Maaf ya, aku nggak bisa jadi pacar kamu.” Kalimat itu terdengar biasa bagiku, meskipun aku sedikit khawatir menunggu jawaban Airin. Tapi sepertinya hal itu benar-benar pukulan telak bagi Vian. Dia tertunduk lesu, lalu tanpa kata dia bangkit dan pergi. Nampak raut wajah menyesal di wajah Airin.

“Kenapa, Rin. Kok kamu keliatan nyesel gitu?” tanyaku penasaran.
“Aku nggak enak sama Vian, Ga.” jawab Airin.
“Udah lah. Nggak mungkin juga kan kamu nerima Vian cuma gara-gara nggak enak sama dia.” Aku berusaha menghiburnya.
“Iya juga sih. Uhuk.” Aku sedikit lega mendengar Airin batuk, karena aku takut dia lupa kalau sedang batuk.
“Kamu sendiri gimana, Ga? Ada cewek yang mau kamu tembak nggak?” tanya Airin tiba-tiba.
“Eh? Eng.. nggak ada. Belum.” jawabku gugup.

Entah kenapa setelah kalimat itu, diam muncul di antara kami berdua yang tiba-tiba buyar oleh suara dering ponsel. Airin terlihat mengeluarkan ponsel dari saku jaketnya lalu mengetik beberapa kata. Beberapa detik kemudian, Airin bangkit dari duduknya setelah sebelumnya membereskan tasnya. Tanpa aba-aba, aku mengikuti Airin. Ada perasaan aneh yang kurasakan ketika melihat wajah Airin. Aku penasaran dengan ekspresi itu, tapi tak kuhiraukan hingga kami berjalan pulang dan kemudian berpisah di persimpangan.

“Da, Yoga. Sampai ketemu lagi ya.” Diikuti lambaian tangan, Airin berbalik pergi sebelum aku sempat membalasnya. Dan setelahnya aku sadar, itu adalah pertemuan terakhirku dengan Airin.

***

Solo, atau juga dikenal dengan Surakarta. Benar-benar di luar dugaan, pada akhirnya waktu membawaku terdampar ke kota ini. Kota yang benar-benar asing karena selama hidupku belum pernah menjamahnya. Tapi seiring berjalan waktu aku pun bisa mengenalnya. Memang tak seperti yang kuharapkan dulu, tapi setidaknya keinginanku untuk kuliah bisa terwujud.

Bekerja ekstra untuk membiayai hidup dan kuliah. Hal yang harus kulakukan mengingat keputusan ini kuambil dengan syarat tidak membebani kedua orang tuaku. Sulit, tapi harus kujalani demi mewujudkan mimpiku. Ujian yang harus aku hadapi jika ingin mendapatkan kehidupan yang lebih baik.

Hari yang sibuk, waktu yang selalu padat. Tapi ada kalanya aku memiliki waktu senggang, seperti saat ini, aku harus berangkat kerja dan kebetulan mendapatkan shift siang ketika tidak ada jadwal kuliah.

“Yoga!” Terdengar suara memanggilku. Ketika menoleh, kudapati sosok gadis bertubuh mungil berlari dengan tas punggung warna hitam yang sedikit lebih besar dari tubuhnya.

“Nia. Ada apa?” tanyaku kepada Nia yang sedang mengatur nafas.
“Bantuin aku. Ngerjain tugas Mikroprosesor.” pintanya.
“Aduh, aku mau berangkat kerja, nih.” balasku. Jika memang sedang longgar, aku pasti akan membantu Nia, mengingat dia selalu baik padaku. Dan terlebih lagi, aku sudah menganggapnya seperti adikku sendiri, meski kami seumuran.
“Yah, yaudah deh. Nanti kamu nggak ada kelas kan? Datang ke rumah ya?” Nia masih belum menyerah. Melihat kobaran semangat di matanya, aku pun tak kuasa menolak.
“Iya, iya. Nanti pulang kerja aku langsung ke rumahmu.”
“Yey! Yaudah, yuk.” Dia menarik lengan kiriku.
“Ke mana?” tanyaku heran. Tapi aku mengikutinya berjalan, karena aku memang menuju ke arah yang sama dengannya. Untuk saat ini.
“Ke tempat kamu kerja, Ga. Aku mau beli novel rilisan baru. Katanya sih hari ini udah nyampe di Solo.” terangnya penuh semangat.

Aku tak membalas kalimat terakhir Nia karena setibanya di halte BST, kami langsung masuk ke dalam bus dan duduk di kursi yang berjauhan. Tapi tanpa dijelaskan lagi, aku langsung tahu novel yang dimaksud oleh Nia. Novel yang saat ini sedang viral menjadi perbincangan hangat di sosial media.

Sesampainya di halte BST dekat toko buku tempatku bekerja, aku dan Nia turun. Beberapa orang juga nampak turun namun langsung mengambil arah yang berbeda-beda dengan kami. Ya, meski beberapa juga sepertinya menuju ke toko buku.

Baru saja masuk, aku langsung disambut oleh Pak Bayu, manager toko, “Yoga, buruan ke lantai atas ya, Mas Toni nggak masuk. Ika sendirian nyiapin tempat buat acara nanti sore.”
“Ya, pak.” Aku bergegas ke lantai atas setelah menaruh tasku di loker.
“Nia, aku ke atas ya.”
“Jangan lupa, nanti ke rumahku ya, Ga.” balas Nia. Aku mengangguk lalu segera menaiki tangga menuju lantai atas.

Di lantai atas, pengunjung toko tidak terlalu ramai, tapi memang terlihat beberapa  buku yang tidak tertata di rak paling. Mungkin baru saja dilihat-lihat oleh pengunjung tapi tidak dikembalikan lagi ke tempat semula. Lalu di bagian komputer, aku melihat Ika yang nampak sibuk membantu seorang pengunjung mencari buku. Setelah dia tidak sibuk, aku segera mendekatinya.

“Hei, Ka. Rame ya?” tanyaku berbasa basi.
“Iya, lumayan dari tadi pagi. Tapi pasti nanti sore bakalan lebih rame.” Ika nampak sibuk mengoperasikan komputer di hadapannya.
“Ya udah, sini aku bantuin bersih-bersih sama nyiapin tempat.” ujarku. Kemudian, kegiatanku adalah bersih-bersih dan menyiapkan tempat untuk acara perilisan tersebut.

Setelah persiapan selesai, aku pun kembali ke aktivitas biasa. Menata, membersihkan, dan merapikan rak serta buku yang kotor dan kurang rapi. Entah kenapa ketika memegang sebuah buku tentang sastra, tiba-tiba aku kembali teringat kepada Airin.

Dari kabar yang kudengar, setelah acara kelulusan, dia beserta keluarganya langsung pindah ke Jogja, sesuai dengan apa yang Airin ceritakan dulu. Tapi setelahnya aku sama sekali tidak bisa menghubunginya. Sudah berulang kali aku mencoba menghubunginya lewat berbagai media, setelah sebelumnya melawan rasa gugup, tapi sama sekali tak bisa. Beberapa kali aku mengecek akun sosial medianya, tapi sama sekali tak ada update seperti yang kuharapkan.

Menyesakkan, karena hal yang kutakutkan sepertinya benar-benar terjadi dan parahnya baru kusadari baru-baru ini. Aku merindukan Airin. Sosok yang tidak kumiliki, tapi juga sama sekali tidak bisa kulupakan. Sebuah perasaan klise, di mana aku merindukan seseorang yang jelas-jelas bukan milikku.

“Yoga, kamu istirahat dulu sana. Aku udah selesai.” Tiba-tiba lamunanku buyar oleh suara Ika. Aku pun bergegas turun dan keluar toko untuk mencari santapan pengisi perut.

Sekembalinya dari mengisi perut, aku bisa melihat begitu banyak orang yang ada di dalam toko. Sepertinya novel itu benar-benar sukses menyedot perhatian. Aku segera menuju ke lantai atas, takut jika Ika kewalahan karena sendirian.

Tiba di lantai atas, aku melihat jejeran kursi yang tadi kutata sudah penuh terisi, bahkan ada beberapa orang yang berdiri di belakangnya. Aku berjalan pelan ke arah komputer yang ada di dekat tangga. Nampak Ika berada di situ. Tiba-tiba dia menyodorkan sebuah buku kepadaku. Novel ‘Tanpa Kata’.

“Apaan nih, Ka?” tanyaku kebingungan.
“Ada yang ngasih itu buat kamu.” jawab Ika.
“Ha?” Aku bertanya-tanya siapa yang memberikan novel itu padaku. Lalu aku teringat seseorang yang kukenal. Nia.

Acara berlangsung dengan lancar, tapi peserta yang datang harus menahan kecewa karena tidak bisa bertemu dengan penulis novel itu sehingga tidak bisa meminta foto dan tanda tangan secara langsung. Yang kudengar dari Ika, penulisnya tiba-tiba ada kepentingan mendadak dan tidak bisa hadir di acara hari ini. Dan hal itu nampaknya benar-benar mengecewakan para penggemarnya.

***

“Udah, ngerti?” tanyaku kepada Nia yang dibalas dengan acungan jempol olehnya.
“Makasih ya, Ga. Berkat kamu tugasku bisa selesai tepat waktu. Diminum dulu itu tehnya.” kata Nia.

Sesuai janjiku sebelumnya, sepulang kerja aku mampir ke rumah Nia dan membantunya menyelesaikan tugas kuliahnya. Beruntung, Nia cukup cerdas sehingga tak perlu waktu lama hingga semua soal selesai dikerjakan. Tiba-tiba mataku tertuju kepada sebuah buku bersampul biru yang berada di atas meja. Aku pun berniat menanyakan sesuatu pada Nia, sebelum ponselku berdering.

Sebuah panggilan singkat, yang membuatku memutuskan untuk segera pulang ke kontrakan. Pemilik kontrakan menagih uang sewa.

***

Aku duduk sendirian di taman kota. Sebuah pesan dari nomor tak dikenal menyuruhku menunggu di situ. Sebenarnya enggan, tapi entah kenapa aku mau saja menuruti pesan yang bisa saja hanya tingkah iseng seseorang untuk mengerjaiku. Untung saja hari ini aku libur sehingga acara duduk-dudukku di taman kali ini bisa kuanggap sebagai media istirahat.

Matahari sudah tenggelam beberapa jam lalu. Lampu-lampu di sekitar taman pun mulai menyala, mencoba menggantikan benderang matahari yang tak tergantikan. Nampak beberapa penjual makanan mulai datang dan memamerkan jualan mereka. Para pekerja kantoran dan anak-anak kuliah yang baru selesai dengan aktivitas masing-masing juga terlihat datang satu persatu guna melepas penat.

Waktu yang berlalu membuatku bosan menunggu. Ingin rasanya pergi dan kembali ke kontrakan lalu merebahkan diri di kasur, tapi entah kenapa ada keinginan yang lebih kuat untuk tetap menunggu di sini. Akhirnya aku membuka novel “Tanpa Kata” yang ada di dalam tasku. Membacanya sambil menunggu si pengirim pesan iseng itu datang.

Aku ingin mengungkapkannya kepadamu. Tapi aku tak punya keberanian yang cukup sehingga kata yang menggantung di ujung lidahku menguap setiap kali ada di depanmu. Sekalipun banyak orang mengagumkan hadir dan mengungkapkan perasaan mereka padaku, aku masih saja berharap kepadamu. Aku sempat berpikir, apa yang sebenarnya aku lihat darimu? Aku mencari alasan untuk tidak lagi berharap dan pergi. Namun semakin kucari, semakin tak bisa pula aku menemukannya. Dan semakin dalam pula perasaanku untuk bisa selalu berada di dekatmu. Aku benar-benar berharap agar aku cukup berani untuk mengungkapkannya. Tak apa sekalipun terlambat. Asal aku dapat mengungkapkannya. Aku tak ingin menyesal.

Paragraph pertamanya sudah cukup memukulku. Membuatku enggan meneruskannya. Dan… membuatku harus mengingat lagi sosok Airin yang entah bagaimana rupanya sekarang. Apakah rambut ikal sebahunya masih selalu digerai tak terikat? Apakah dia masih suka memakai gelang hitam di tangan kirinya? Apakah dia masih suka ngambek ketika belanja ke minimarket dan es krim favoritnya ternyata habis? Apakah… dia masih mengingatku? Apakah dia…

“Hai.” Terdengar sapaan yang membuatku terlepas dari angan-angan kosong tentang Airin.
Aku menoleh.
“Apa kabar, Yoga?”
“….”
“Hei, kok diem aja. Kenapa?”
“….”
“Yoga?”

Mataku belum mau berkedip. Mulutku terkunci. Kata-kata di ujung lidahku tak mau melompat keluar. Hanya kedua tanganku yang tiba-tiba bergerak lalu memegang pundak sosok seperti bidadari yang kini ada di depanku. Err… secara teknis, ada di sampingku, sih.

“Airin?” Suaraku agak serak ketika menyebutkan nama itu. Nama usang yang sudah tak pernah kusebut sejak 3 tahun yang lalu. Membuatku sulit untuk mengucapkannya.

“Iya.” Airin membalasnya. Disertai senyuman yang sudah tak kulihat sejak kami berpisah di persimpangan setelah hari kelulusan sekolah saat itu. Tanganku lepas dari pundaknya. Aku menyandarkan tubuhku yang tiba-tiba terasa berat ke punggung kursi taman. Ada senyum kecil yang terulas di wajahku. Mewakili perasaan lega dan bahagia yang tak terkira di dalam hatiku.

“Kamu udah baca novel itu?” tanya Airin tiba-tiba.
“Oh, eng… baru paragraf pertama. Belum selesai.” Aku bersyukur kegugupanku sudah hilang.
“Aku boleh minta tolong nggak, Ga?” Airin lagi-lagi bertanya. Tapi pertanyaannya tiba-tiba terasa berbeda.
“Ya? Apa?”
“Tolong baca novel itu sampai selesai, ya.” Kalimat itu terucap dengan sedikit penekanan. Kalimat terakhir yang kudengar dari Airin, setidaknya hari ini.

***

Aku hanya ingin kau mengetahui sebuah hal yang sangat sederhana, tapi aku tak tahu bagaimana cara menyampaikannya. Tak mungkin aku berharap agar kau memiliki kemampuan membaca pikiran lalu tiba-tiba mengerti isi pikiranku dan paham apa maksudku. Tak mungkin juga aku memberimu kode-kode bodoh lalu berharap kau mengerti dan mampu memecahkannya sehingga mengerti isi hatiku. Aku tak senaif itu!

Aku hanya ingin menyampaikannya lewat kata. Agar kau dapat mendengarnya. Agar kau bisa mengerti. Tapi aku tak cukup berani. Wajahmu selalu saja mengerikan. Tingkah bodohmu selalu saja menakutkan. Membuatku takut kau tak akan mau menerimanya lalu pergi dariku. Lalu aku harus bagaimana? Aku tersiksa!

Aku menutup novel itu. Hampir selesai, tapi paragraf-paragraf yang kubaca seperti tamparan keras untukku. Kenapa Airin memintaku menyelesaikan membaca novel ini? Apa jangan-jangan dia yang menulisnya? Tapi ketika aku mengecek nama pengarangnya, yang tertulis di situ bukanlah nama Airin, tapi nama orang lain. Nama laki-laki. Atau jangan-jangan, penulis novel ini adalah seseorang yang menyukai Airin lalu menulis novel ini sebagai media mengungkapkan perasaannya kepada Airin? Ah, imajinasiku kembali liar dan memikirkan sesuatu yang tak perlu.

Jam yang menggantung di dinding menunjukkan pukul 7 pagi. Tak terasa aku begadang hanya untuk membaca hingga selesai novel ini. Jika bukan karena permintaan Airin, mungkin novel ini sudah kubuang dan kubakar. Segera aku bersiap-siap untuk bekerja dan berusaha melupakan hal-hal aneh yang masuk ke dalam pikiranku.

“Ga, ada yang cari kamu.” kata-kata pak Bayu menyambutku setibanya di tempat kerja.
“Siapa, Pak?” tanyaku sambil melepas jaket dan tas. Pak Bayu membalasnya dengan menunjuk ke arah seseorang yang sedang melihat-lihat buku.

Airin.

Aku berjalan ke tempat Airin berdiri. Mengabaikan pak Bayu dan hal-hal lain di sekitarku. Di bawah lampu terang, aku dapat dengan jelas memperhatikan sosok Airin dibandingkan ketika berada di bawah remang-remang lampu taman. Rambut ikalnya masih sama tak terikat, meski sedikit lebih panjang. Gelang hitam di gelang kirinya pun masih ada. Dan kulihat, ada kacamata ber-frame hitam yang bersandar di hidung mancungnya. Meski membuatnya terlihat berbeda, tapi di mataku, dia tetap sama.

“Rin.”
“Hei, Yoga.” Dia membalas sapaanku sambil tersenyum.

Tak ada yang bisa kuucapkan lagi. Aku benar-benar berubah menjadi sangat bodoh ketika berada di hadapannya. Memalukan rasanya. Tapi aku teringat pada novel itu, yang baru saja memotong jatah tidurku untuk menyelesaikannya. Kalimat demi kalimat yang berhasil menyindirku dan sisi pengecutku. Aku tak ingin menyesal. Satu-satunya hal yang kupikirkan setelah membaca novel itu, dan satu-satunya hal yang terlintas di dalam pikiranku saat ini.

“Rin, aku…”
“Airin! Udah jam berapa nih? Waktunya berangkat!” teriak seseorang dari depan pintu toko yang membuatku menghentikan kalimatku. Membuatnya kembali bersembunyi di balik lidahku.

Tanpa mengucapkan apapun kepadaku, Airin berjalan melewatiku. Langkahnya masih sama. Aroma parfum lavendernya pun tak berubah. Andai saja…

“Yoga.” Airin memanggilku. Aku menoleh.
“Maaf, aku belum cukup punya keberanian.”
He? Apa maksudnya?
“Aku…”

Airin… jangan-jangan dia…

Tanganku meraih tangannya, lalu menarik tubuhnya ke dalam dekapanku. Benar-benar tindakan nekat yang tak pernah kupikirkan sebelumnya. Apalagi dilakukan di dalam toko yang notabene tempat banyak orang berkumpul dan… tempatku bekerja. Maafkan karyawanmu yang nekat ini, pak Bayu.

“Aku menyukaimu. Aku sayang kamu. Aku cinta kamu. Rin. Aku…” kalimat-kalimat yang lebih seperti igauan orang tidur itu terucap begitu saja dari mulutku. Suasana mendadak hening.

Aku bisa merasakan tangan Airin mendekap punggungku.

“Yoga. Maaf udah maksa kamu. Tapi… makasih udah menghilangkan kekhawatiranku. Dan juga ketakutanku. Aku juga sayang sama kamu, Ga. Maaf aku terlalu angkuh dan pengecut buat nahan perasaanku selama ini.” balas Airin.

“Cieeeeee~~~~” seisi toko seolah sedang melihat sebuah acara. Mereka memberikan reaksi yang kurang lebih sama. Membuatku segera melepas pelukanku dari Airin. Membuat muka kami berdua memerah.

***

“Jadi, Airin. Kamu setuju, kan untuk mengubah ending ceritanya?” tanya seseorang yang sedang menyetir mobil. Dia yang tadi berteriak di depan toko, editor Airin. Airin mengangguk setuju. Ah, aku lupa mengatakannya. Aku ‘diculik’ Airin, dan dengan izin dari pak Bayu, Airin ditemani editornya mengajakku pergi.

“Rin, cerita apa?” tanyaku tak paham. Airin tersenyum. Dia menarik tanganku lalu menuliskan sesuatu di telapak tanganku. Membuat mataku terbelalak.
“Alamat blog ini…” mataku beralih ke Airin.
“Blog kamu, kan Ga?” Aku mengangguk.
“Aku selalu nunggu cerita-cerita baru di blog kamu, Ga. Dan ada satu cerita yang bikin hatiku tergerak. Cerita yang memaksa aku untuk jadi berani.” Airin mengambil sebuah buku lalu menunjukkannya padaku. Aku meraih buku itu lalu membaca di bagian Airin menunjukkannya. Bagian yang membuatku tertawa terbahak.
“Aku yang nulis novel ini, Ga. Tapi semua yang tertulis di sini adalah balasan untuk semua yang tertulis di blog kamu. Karena aku nggak cukup berani…” Airin menghela nafas lalu melanjutkan kalimatnya, “tapi seenggaknya sekarang aku cukup berani buat ngomong berkat sikap nekat kamu.”
Wajahku memerah. Aku tak bisa berkata apa-apa lagi. Sikap spontanku benar-benar memalukan. Apalagi kulakukan di dalam toko tempatku bekerja. Aku harus minta maaf kepada pak Bayu nanti.
“Tapi, Rin. Kita sebenernya mau ke mana?” tanyaku penasaran.
“Mengubah ending cerita. Eng, bukan. Tapi melanjutkan cerita.” balas Airin sambil tersenyum.

Ya, tanpa bertanya apa-apa lagi, aku sudah paham cerita apa yang dimaksud Airin. Sebuah cerita tentang dua orang pengecut yang tak punya keberanian menyampaikan perasaannya. Masing-masing dari mereka menumpahkan rasa ke dalam rangkaian aksara. Membuat mereka, secara tak langsung, terus terhubung. Dan berkat keteguhan hati masing-masing, setelah terpisah, mereka kembali diizinkan untuk bertemu guna meraih lagi kesempatan kedua untuk mengubah cerita mereka. Hingga akhirnya mereka percaya dan memperoleh jalan untuk dapat melanjutkan cerita. Serta menuliskan berbagai cerita baru yang akan terus berlanjut dan terus tertulis dalam ingatan dan hati mereka hingga akhir nanti.


 =====



Done! Ini cerpen yang dulu sebenernya pengen di-submit buat ikutan kumcer JCDD2. Tapi karena kelar nggak tepat waktu, akhirnya nggak jadi di-submit. Mohon komentarnya.
Share: