A Bittersweet Way #3 : Jalan Yang Terlewat

Title: A Bittersweet Way #3 : Jalan Yang Terlewat
Genre: Slice of Life, Drama, Romance
Author: @NVRstepback


empty road on desktopnexus.com


Jika kebohongan adalah sebilah pedang, maka tusukannya sangat mematikan. Terlebih apabila ada kepercayaan dan juga perasaan yang terkena. Semua yang semula terasa menyenangkan dan sarat senyum bahagia bisa berbalik menjadi hal yang benar-benar berbeda. Lebih dari berbeda, seperti menjadi kebalikannya.


Selama di kampus, Raka menjadi jauh lebih pendiam daripada biasanya. Tak ada lagi intimidasi yang dilakukan Randi dan gengnya. Namun jauh lebih berat, hampir seluruh penghuni akademi memandangnya dengan tatapan serupa. Tatapan menghakimi.


Tak hanya Raka, Vira yang selalu berusaha mendekati Raka perlahan mulai menyerah. Setiap kali dia berjalan dan memasuki jarak pandang Raka, selalu saja dia mendapati punggung Raka yang pergi menjauh darinya. Sampai akhirnya dia tak pernah lagi melihat Raka di akademi. Dan dia cukup yakin kalau Raka sudah cukup lelah menahan beban cacian dari seluruh warga akademi.


“Raka ke mana ya…” Vira berucap.


“Kenapa, Ra? Bukannya dia anak dari orang yang mau celakain bokap lo?” Timpal Ina, teman Vira.


“Na, kenapa sih semua anak akademi bisa langsung musuhin Raka cuma karena artikel anonym itu? Kenapa bisa dengan gampang percaya? Hal ini terlalu nggak adil buat Raka.” kata Vira. Dadanya masih terasa sakit jika mengingat bagaimana terakhir kali dia berbicara dengan Raka.


“Err… sorry deh, Ra.”


Karena tak puas dan merasa sesak dengan percakapan itu, Vira bangkit berdiri lalu berjalan pergi. Langkah kakinya menuntunnya keluar dari akademi. Menuju ke sebuah taman bermain yang berada tidak jauh dari gedung kampus. Di situ dia duduk di sebuah ayunan dengan tempat duduk yang terbuat besi dengan rantai yang berperan sebagai tali penggantungnya.


“Raka… padahal kita udah bisa ngobrol dan ketawa bareng lagi setelah sekian lama. Tapi kenapa mendadak jadi gini?” desah Vira sambil menatap benda kecil berwarna hitam yang ada di telapak tangannya. Tiba-tiba dia teringat pada Aida yang masih dirawat di rumah sakit. Tanpa berpikir lama, Vira memutuskan untuk pergi menjenguk Aida. Mengabaikan jadwal kuliah yang cukup padat hari itu.


***


“Da, gimana keadaan lo? Udah mendingan kan?” Tanya Vira kepada Aida yang masih berbaring.


“Yah, lumayan lah Ra. Udah bisa nyender, nggak harus tiduran melulu.” Jawab Aida lalu mencoba bangun dan menyandarkan punggungnya di bantal, dibantu Vira. “Makasih Ra”.


“Gimana kabar kampus?” Tanya Aida berbasa-basi. Vira tak langsung menjawab. Aida dapat melihat wajah murung Vira yang membuatnya mengurungkan kalimat tanya selanjutnya.


“Gara-gara gue, beban Raka makin berat, Da.” Kata Vira.


“Maksud lo, isu yang ada di homepage akademi? Tenang, Ra. Raka bukan orang yang bakal jatuh cuma karena hal itu.” Tanya Aida. Vira mengangkat wajahnya, kaget karena ternyata Aida sudah mengetahui hal itu. Namun untuk kalimat terakhir, dia sedikit sangsi.


“Lo… udah tahu, Da?”


“Iya lah, Ra. Tuh henpon kan masih bisa dipake, Ra.” Jawab Aida sambil menunjuk ke arah ponsel berwarna hitam. Menuntaskan rasa penasaran Vira.


“Beberapa hari lalu, Randi sempet ke sini jenguk gue. Dia minta maaf dan ngejelasin semua yang terjadi.” Lanjut Aida. Hal yang kembali membuat Vira kaget.


“Semuanya?” Tanya Vira. Aida mengangguk.


“Gue sempet nahan tawa pas lihat giginya yang ompong. Dan gue langsung tahu kalo itu gara-gara pukulannya Raka.” Kata Aida diikuti tawa kecil.


“Da, lo tahu kan kalo Raka itu kuat. Tapi kenapa waktu itu dia sama sekali nggak bales pukulannya Randi?” sebuah pertanyaan yang lama ditahan oleh Vira, kini akhirnya tersampaikan.


“Raka bukan orang yang gampang marah, Ra. Terutama kalo ada yang nginjek-injek harga dirinya. Dia bakal marah kalo orang-orang di sekitarnya, yang peduli sama dia, disakiti. Makanya dia terima semua pukulan Randi pas Randi kena hukuman skorsing, tapi langsung marah pas dia tahu kalo Randi cuma mainin gue.” Terang Aida. Vira semakin tertunduk. Ternyata ada banyak hal tentang Raka yang sama sekali tidak dia ketahui. Seolah mengetahui isi hati Vira, Aida melanjutkan ceritanya.


“Vira. Lo udah tahu kan tentang kondisi Raka yang kehilangan kedua orang tuanya pas masih kecil?” Tanya Aida yang ditanggapi dengan anggukan oleh Vira. “Jadi setelah itu, Raka tinggal dan dirawat di keluarga gue. Awalnya dia tertutup dan susah banget buat diajak ngobrol. Tapi setelah beberapa lama, dia mulai mau buka diri. Dia mulai akrab sama gue dan kakak gue, Denis.”


“Raka jadi sosok kakak buat gue karena kakak kandung gue, Denis harus pergi ke luar kota buat ngelanjutin studi. Dia yang selalu ngelindungi gue dari apapun.” Kenang Aida. Dari cerita itu, Vira pun akhirnya dapat menyimpulkan kenapa saat itu Aida begitu perhatian pada Raka.


“Aida, gue juga mau cerita sesuatu sama lo.” Pinta Vira.


***


Suasana kamar tempat Aida di rawat terasa cukup ramai. Raka yang datang menjenguknya beberapa kali menceritakan kisah lucu yang sukses membuat Aida terbahak. Namun atmosfer langsung berubah ketika topik pembicaraan diubah oleh Aida tentang Vira, yang direspon Raka dengan sinis.


"Ka, Vira udah cerita semuanya ke gue. Dia juga bilang kalau dia nyesel udah ngebongkar masa lalu yang lo simpan dalam-dalam. Well, sebenernya salah gue juga sih karena cerita banyak hal tentang elo ke dia. Tapi 1 hal yang pasti. Dia tulus sayang sama elo, Ka." Ucap Aida panjang lebar.


"Kalo emang dia tulus, kenapa dia masih nglanjutin pencarian dia tentang gue, Da?" Raka tak terima. Aida pun tersenyum.


"Setelah pertama kali Vira jenguk gue, gue sadar kalo perasaan dia ke lo begitu besar. Dan beberapa jam sebelum lo ke sini, dia jenguk gue lagi dan cerita tentang betapa kuatnya elo juga tentang artikel itu. Yah, meskipun sebenernya gue udah tahu." Kata Aida. "Dia masih nerusin penelusuran tentang masa lalu elo karena dia diancam sama Randi."


"Diancam?"


"Iya, diancam. Randi nggak ngancam bakal nyakitiin dia, tapi Randi ngancam Vira kalo dia bakal nyakitiin bahkan bunuh elo seandainya Vira nggak nerusin penelusurannya." Kata Aida. Raka tertegun mendengar semua itu.


"Dia bilang, dia lebih baik kehilangan kepercayaan dan rasa sayang dari elo asal lo selamat daripada harus kehilangan elo." Lanjut Aida. Raka semakin terdiam dan tertunduk.


"Gue tahu, Ka. Jauh di dalam hati lo, elo masih nyimpen rasa sayang buat Vira. Jadi sebelum terlambat, lo harus perbaiki hubungan lo sama dia." Kata Aida memberi nasehat.


"Maksud lo terlambat, apa Da?" Tanya Raka penasaran.


"Hari ini Vira bakal ketemu sama bokapnya yang baru balik dari Aussie. Dan dia bilang kalo bokapnya mau kenalin dia sama putra dari mendiang sahabatnya. Katanya sih udah dijodohin sejak mereka masih kecil. Dia tadi pergi buru-buru abis dapet telepon yang kayaknya dari bokapnya." Kata Aida. Tanpa berkata apa-apa, Raka segera bangkit dan akan keluar dari kamar Aida sebelum Aida menghentikannya.


"Raka!" Panggil Aida.


"Apa, Da?" Tanya Raka yang sudah berdiri di ambang pintu.


"Bawa benda kesayangan lo tuh." Kata Aida sambil menunjuk dadu hitam yang ada di atas meja.


"Ah, ini. Makasih udah jaga dadu ini ya Da. Gue pergi dulu." Raka meraih dadu itu lalu melangkah menuju pintu, tapi tiba-tiba berhenti lalu berkata, "Cepet sembuh ya, adik gue yang paling cantik."


"Iya kakak gue yang paling ganteng." Balas Aida.


Aida lega karena dia bisa membantu menjelaskan kesalahpahaman yang terjadi antara Raka dan Vira. Namun jauh di lubuk hatinya yang paling dalam, dia merasakan sakit karena kalimat terakhir yang diucapkan oleh Raka.


"Gue cuma adik yang cuma bisa support lo dari belakang. Bukan seseorang yang bisa nemenin dan selalu ada di samping lo." Bisik Aida kepada awan putih berarak di seberang jarang pandangnya.


***


November mulai mencapai akhir. Hujan semakin sering datang membelai bumi, mencoba memisahkannya dari hangat sang mentari. Genangan air pun nampak menutupi lubang-lubang di jalanan, menciptakan jebakan bagi pengendara yang tak waspada. Seperti yang dialami Raka, dia harus rela berjalan kaki setelah motornya terjebak di sebuah lubang besar yang cukup dalam sehingga membuat velg depan motornya bengkok dan harus menginap lagi di bengkel untuk mendapatkan penggantian.


"Aah, motor baru keluar dari bengkel udah masuk bengkel lagi." Gerutu Raka sambil terus melangkahkan kakinya.


Tiba-tiba ponselnya bergetar. Ternyata ada 1 pesan masuk dari nomor yang tak tersimpan di daftar kontaknya.


From: +628xxxxxxxxxx

Text: Datang ke Ventura Tower lantai 13, hari ini 1pm.


Raka melirik ujung kiri atas ponselnya dan terbelalak karena ternyata pukul 1 siang tinggal setengah jam lagi. Apalagi dia belum tahu di mana alamat Ventura Tower. Bergegas dia membuka Google Maps untuk mencari tahu letak Ventura Tower. Beruntung, jaraknya tidak terlalu jauh dan bisa ditempuh dengan jalan kaki.


Setelah berjalan-dan juga berlari-selama 15 menit, Raka pun tiba di depan Ventura Tower. Dia tak langsung masuk karena masih takjub dengan benda raksasa berbentuk persegi yang memanjang ke atas dengan permukaan hampir seluruhnya kaca yang kini menjulang di depannya. Raka sama sekali tak menyangka kalau ada gedung seperti itu di sini.


Raka berlari masuk dan bergegas mencari lift. Beruntung, dia berhasil masuk ke dalam lift yang hampir menutup. Dia pun bersandar di dinding samping lift dan menghela nafas panjang.


Bunyi 'ting' terdengar diikuti pintu lift yang bergeser terbuka perlahan. Lampu led merah yang ada di atas membentuk angka 13. Raka pun bergegas keluar dari lift. Tapi baru beberapa langkah berjalan setelah keluar dari lift, ada lengan kuat yang mengunci tubuhnya lalu menyumpal mulut dan menutupi kepalanya dengan kantong hitam. Raka bisa merasakan tubuhnya diangkat, dan karena merasa kalau usaha berontaknya sia-sia, dia pasrah.
 
"Vira..." desisnya lemah.

====

to be continued...
Share:

Bakso, Laptop, dan Rasa

Yoho~

Ini tulisan yang awalnya pengen dibikin cerita dengan multiple jleb combo. Tapi entah kenapa bisa jadi berubah absurd. Jleb enggak, lucu juga enggak, plot-nya juga entahlah. Ah sudahlah itung-itung buat belajar. Seperti biasa, jangan lupa kasih feedback ya~

Title: Bakso, Laptop, dan Rasa
Genre: Slice of Life
Author: @NVRstepback


http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/2/28/Bakso_mi_bihun.jpg
bakso_mi_bihun.jpg by en.wikipedia.org

Hujan hari ini sepertinya sedikit lebih deras daripada hujan di hari-hari sebelumnya. Hanya saja angin yang tiba-tiba bernyanyi membuat hujan menari. Kesana kemari menyibak lengan dahan dan dedaunan dengan hawa dingin. Lembut tapi membuatnya menggigil. Aspal berlubang nampak diam menerawang sambil menadah segerombolan air hujan yang terjatuh. Memberi mereka tempat melepas penat.

Beberapa kali, secara tak sengaja, kakiku menginjak mereka yang sedang melepas penat. Membuat sepatuku yang baru tadi pagi kering kembali basah. Beruntung ada payung di genggaman tanganku. Jika tidak, bukan hanya sepatu. Jaket dan seluruh pakaian yang menempel di tubuhku pasti ikut basah. Membuat sekujur tubuhku kedinginan. Persis seperti lengan dahan dan dedaunan pohon-pohon di tepian jalan kiri-kanan ku.

Aku menyembunyikan tangan kiriku yang menganggur di saku jaketku. Jika kulihat tangan kananku yang menggenggam gagang payung, dia terlihat iri ingin ikut bersembunyi. Tapi apa daya, dia punya tanggung jawab besar melindungi seluruh tubuhku dari hujan. Dengan payung. Mungkin nanti si tangan kiri bisa kusuruh mengganti perannya. Nanti.

Di sebuah persimpangan jalan, aku memilih jalan sebelah kanan. Berjalan agak cepat lalu melompat ke atas trotoar. Sesegera mungkin menghindari sekumpulan air hujan yang tengah rehat di sebuah aspal yang berlubang. Setelah cukup jauh, aku kembali memelan langkah. Lalu berjalan perlahan memasuki pintu warung kecil, setelah sebelumnya menyibak kain hijau bertulis "Bakso Sapi Pak Aji" yang menggigil kebasahan.

Kulihat ruangan 5x5 meter itu cukup ramai. Beberapa nampak masih menikmati mangkok berisi bakso sambil meniupi kepul asap. Sementara ada yang hanya duduk mengobrol menghadapi mangkok kosong sambil mengepul asap rokok dari mulut mereka.

"Pak, bakso satu mangkok. Kayak biasa." Pintaku ke seorang bapak yang nampak menggerakkan kedua tangannya dengan cepat meracik satu, dua, tiga... lima mangkok bakso di depannya.

"Oh, mas Andra. Minumnya apa mas?" Tanya si bapak membuyarkan lamunanku. Lalu tak lama kukatakan apa minuman yang kuinginkan, "Jeruk anget ya pak."

7 menit setelah duduk di tempat agak pojok, seorang gadis datang ke arahku membawa sebuah nampan dengan semangkuk bakso, aku dapat melihat pucuk porsinya, dan sebuah gelas berisi jeruk hangat.

"Silakan dinikmati bakso dan jeruk angetnya." Kata gadis itu setelah meletakkan pesananku. Dia pun berbalik dan pergi setelah tersenyum kepadaku.

Ringtone lagu dari grup band Indonesia yang jaya di era 90-an mengalun dari saku celanaku. Setelah cukup kesulitan menariknya dari sakuku, ponsel warna putih yang sudah ada di genggaman tangan kiriku segera kuusap bagian layarnya. Lalu menempelkan bagian atasnya ke telingaku.

"Halo." Kataku dengan intonasi sedatar papan. Kudengar dengus nafas tanda kesal di speaker ponselku.

"Andra, kamu di mana? Aku mau minta tolong." Pinta suara yang kupastikan sebagai suara perempuan.

"Ee... siapa ya?" Tanyaku beberapa detik kemudian setelah berpikir sambil mengunyah butiran bakso berdiameter 2 cm. Ah, sial aku lupa memberikan saus, kecap, dan sambal.

"Iih! Dasar Andra bego! Ini aku, Nindi!" Bentak suara itu. Ya, setelah memberikan saus, kecap, dan sambal di atas baksoku, aku ingat kalau di kampus, aku memiliki seorang teman. Gadis yang cantik dan juga cerdas. Teman masa kecil yang mulai kusukai sejak kami bertengkar tentang siapa penemu bakso ketika SMP dulu.

"Ah, halo Nin. Kenapa?" Tanyaku dengan nada sepenasaran mungkin. Lagi-lagi kudengar dengusan kesal tepat setelah aku menelan bihun putih panjang.

"Iiih! Aku mau minta tolong. Laptopku error, padahal mau aku pake buat ngerjain tugas." Suara Nindi yang sedang kesal namun berusaha ditahan terdengar lucu. Aku tak langsung menjawabnya karena sedang mengunyah bulatan bakso keduaku.

"Oh, iya. Nanti aku ke tempatmu. Baksoku belum habis." Kataku kemudian.

"Iiiih! Kok makan bakso nggak ngajak-ngajak." Nindi merajuk. Oh iya, aku lupa kalau dia sangat suka bakso. Kalau saja aku adalah bakso, dia pasti akan berpacaran denganku. Saking sukanya. Pada bakso.

"Nin."

"Apa?"

"Iiih. Iya nanti aku bungkusin buat kamu." Kataku meniru gaya bicaranya, meskipun intonasiku masih sedatar papan. Lalu aku meneguk sedikit jeruk hangat. Samar-samar kudengar dia menahan tawa. Ya, kupikir tak masalah menahan tawa, asal tak menahan kentut. Karena kata kakek itu berbahaya.

"Hehe. Iya, cepetan ya." Katanya mengakhiri panggilan.

Setelah memasukkan ponsel ke dalam saku jaket, agar lebih mudah mengambilnya, aku segera menghabiskan baksoku secepat mungkin. Meski kenyataannya aku baru berhasil menyelesaikannya dalam waktu 20 menit. Aku meneguk habis jeruk hangat, yang kehilangan kehangatannya, lalu bangkit dan berjalan ke tempat bapak penjual bakso.

"Semuanya 35 ribu mas." Kata pak Aji setelah menghitung semua pesananku, termasuk bakso Nindi.

"Nih pak, ambil aja kembaliannya." Kataku sambil mengulurkan selembar uang 50ribuan berwarna biru yang tadi kutemukan di bawah meja tempatku. Aku tahu kalau itu uang mainan, tapi iseng kupakai untuk bercanda dengan pak Aji.

"Wah, beneran mas?" Tanya pak Aji sambil menyerahkan kresek hitam berisi bakso pesanan Nindi. Aku menjawabnya dengan acungan jempol. Lalu setelah membuka payung lipatku, aku bergegas menuju ke rumah Nindi. Tapi aku seperti melupakan sesuatu yang penting.

***

Setelah kembali berjalan menembus hujan yang semakin dingin dan deras selama 15 menit, akhirnya aku sampai di depan gerbang rumah Nindi. Kupencet bel berwarna putih yang dipasang di tembok sebelah kanan gerbang. Beberapa saat kemudian, muncul seseorang berwajah sangar dengan kumis selebat hutan amazon. Tatapan mata besarnya seolah menusuk keberanian orang yang dipandangnya.
"Halo pak bro." Sapaku.

"Oh, mas bro. Sini masuk, mau ketemu non Nindi?" Balas pak Jono, satpam rumah Nindi lalu membuka pintu kecil di bagian tepi gerbang itu. Mempersilakanku masuk. Aku tak langsung menuju rumah, tapi mampir dulu ke pos satpam.

"Mau kencan ya mas? Padahal kan lagi hujan." Tanya pak Jono sekembalinya dari mengunci pintu gerbang.

"Yakali pak hujan-hujan gini mau kencan, kurang kerjaan amat. Mending tidur. Eh lagian saya sama Nindi kan cuma temen." Jawabku sekenanya.

"APAA?! MAS BRO MAU NGAJAK NON NINDI JADI TEMEN TIDUR??!" Tanya pak Jono dengan gaya khas emak-emak di sinetron, plus begron musik berupa petir menyambar. Kebetulan ada petir, jadi bukan sekedar imajinasiku.

"Pak bro..." kataku sambil memegang pundak pak Jono, "jangan kebanyakan nonton sinetron. Inget umur pak. Yaudah saya masuk dulu." Kutinggalkan pak Jono yang cengar-cengir sendirian. Tebakanku dia pasti sedang nonton FTV.

Kulipat payungku lalu menggantungkannya di gantungan yang ada di sebelah kanan pintu masuk. Setelah menekan bel, aku berdiri di depan pintu sambil memainkan ponselku, mengirim pesan ke Nindi. Di tangan kiriku masih tergantung kresek hitam bakso pesanan Nindi yang sudah agak dingin. Beberapa saat menunggu, pintu kembar itu terbuka ke arah dalam. Menampakkan sesosok bidadari yang memakai tanktop putih dan hotpants jeans biru. Rambut panjang bergelombangnya diikat sekenanya. Sementara kulihat mata berbinar di balik kacamata minus ber-frame hitam.

"Uwaaa! Baksoo!" Teriaknya seperti anak kecil. Dia langsung menghambur ke arah tangan kiriku. Setelah berada tepat di depanku, dia tiba-tiba berhenti setelah kutempelkan telapak tanganku yang sedikit basah ke dahinya. Kedua tangannya berusaha meraih bakso yang kuangkat tinggi.

"Nindi. Pake baju kayak gitu emang nggak dingin?" Tanyaku kepada Nindi yang masih berusaha meraih baksonya.

"Aah, Andra. Nanti juga anget kalo udah makan bakso." Katanya berdalih. Tangannya masih menggapai-gapai bungkusan bakso yang ada di tangan kiriku. Ah, andai perasaanku seberuntung bakso di tanganku.

"Yaudah nih." Kataku lalu meletakkan bungkusannya di kepala Nindi. Dia tib-tiba diam.

"Kyaaa! Panas, Ndra!" Nindi melompat mundur sambil mengusap kepalanya. Wajahnya menunjukkan ekspresi kesal yang sangat kukenal. Bibirnya manyun dan pipinya menggembung. Mata beriris coklat khas lokalnya berkaca-kaca di balik kacamatanya. Ah, aku rela mati demi melihat hal ini selamanya. Tapi lamunanku buyar oleh suara dari dalam rumah.

"Ciyee... ciyee... ciyee... ciyee..." terdengar suara yang berciye-ciye dari dalam rumah.

"Mama Papa! Udah deh jangan godain." Teriak Nindi kepada ayah dan ibunya. Orang yang tadi berciye-ciye.

"Halo om, tante." Sapaku. Aku tak menyadari kalau bungkusan plastik bakso di tangan kiriku sudah berpindah ke tangan Nindi yang kemudian lari masuk ke dalam rumah.

"Udah sana masuk. Kalo perlu apa-apa tinggal bilang bi Inah." Kata ayah Nindi. Aku segera masuk lalu berjalan menuju ruang makan. Di situ kudapati anak kecil bertubuh dewasa yang sedang menikmati semangkok bakso.

"Nin, mana laptopnya?" Tanyaku langsung ke pokok permasalahan. Tangan kiri Nindi menunjuk ke arah depan. Aku mengikuti arah telunjuk Nindi yang mengarah ke sebuah laptop yang berada di atas meja.

"Error-nya kenapa?" Tanyaku setelah berada di hadapan laptop ASUS putih dengan back cover bergambar karakter anime.

"Nggak mau keluar gambarnya, Ndra. Padahal semalem masih bisa." Jawab Nindi memberi keterangan.

Setelah membalik posisi laptopnya, aku mengeluarkan set obeng dari tas pinggangku lalu mulai melepaskan sekrup yang ada di bagian bawah laptop. Hanya sekrup yang ada di bagian tengah. Kemudian perlahan aku menarik bidang kotak yang sekrupnya tadi kulepas. Dengan hati-hati, aku mengangkat SO-DIMM dari slot-nya lalu membersihkannya dengan penghapus yang ada di atas tumpukan kertas, yang kuyakini sebagai tugas-tugas Nindi.

Setelah kurasa cukup, aku kembali memasangnya dan mengembalikan penutup dan juga sekrupnya seperti semula. Kubalik laptopnya lalu kunyalakan. Mula-mula led indikator menyala hijau. Kemudian layar gelap laptop itu berpendar menampilkan tampilan loading OS. Aku menoleh ke arah Nindi bermaksud memberitahunya, tapi dia tidak ada. Aku menunggunya sambil menatap layar LCD laptop itu bertransisi dari tampilan gradasi biru hijau dan loading menuju desktop dengan wallpaper wajah Nindi bersama seorang lelaki. Sangat dekat.

"Waaah, udah jadi! Yay!" Pekik Nindi girang yang mengagetkanku.

"Udah nih. Tadi cuma RAM-nya aja yang kotor." Kataku dengan nada datar.

"Makasih ya Ndra, untung kamu. Tugasku bisa dilanjutin deh." Ucap Nindi sambil tersenyum. Aku juga menanggapinya dengan senyuman.

"Yaudah, balik dulu ya, Nin. Salam buat om sama tante." Aku mohon pamit.

"Kan masih hujan, Ndra. Nunggu di sini dulu aja kenapa." Kata Nindi dari balik laptopnya.

"Nggak ah, temenku dari luar kota ada yang mau dateng. Aku mau bersih-bersih kamar." Kataku beralasan.

"Oh, yaudah deh ati-ati. Makasih ya udah dibenerin laptopnya. Sama baksonya juga." Kata Nindi.

"Daa..."
   
***

Aku berjalan melewati gerbang setelah sebelumnya berusaha membangunkan pak Jono yang tertidur di pos satpam. Hujan sudah sedikit reda meski samar-samar gerimis masih berbisik menjatuhkan asa kepada bumi. Aku masih berjalan di bawah payung yang kali ini digenggam tangan kiri, mempersilakan tangan kananku istirahat dan bersembunyi.

Hujan hari ini sepertinya sedikit lebih keras daripada hujan di hari-hari sebelumnya. Kehangatan bakso yang tadi kumakan pun menguap karenanya. Ditambah angin dingin yang menusuk. Bertiup searah dengan emosi dan langkahku. Memintaku segera menuju tempat melepas penat. Mengistirahatkan hati yang tiba-tiba sesak. Namun tiba-tiba sebuah ringtone berbunyi. Ada SMS yang masuk. Dengan malas kubuka pesan itu. Pesan yang memutar balik arah emosiku.

From: Nindi
Text: Ndra, inget foto di wallpaper laptopku? Kamu skrg lebih cakep, tapi tetep aja konyol. =p

Ah, aku lupa. Wallpaper itu adalah foto kenangan beberapa tahun lalu ketika kami lulus SMA... di sebuah warung bakso.


===

Komennya plis~~~
Share:

A Bittersweet Way #2 : Persimpangan

Title : A Bittersweet Way #2 : Persimpangan
Genre : Slice of Life, Drama, Romance
Author : @NVRstepback

http://s0.geograph.org.uk/geophotos/01/66/40/1664055_c371976e.jpg
1664055_c371976e.jpg by geograph.co.uk

Raka duduk termenung di depan ruang ICU tempat Aida berada. Saat ini dia bersama ayah dan ibu Aida yang nampak sedih dan cemas menunggu keterangan dokter mengenai kondisi Aida. Dari ujung lorong menuju ruang ICU, nampak seorang pemuda yang berlari dengan wajah panik.

"Pa, Ma, gimana kondisi Aida?" Tanya pemuda itu setelah sebelumnya meletakkan ransel besarnya.
"Dia masih ditangani sama dokter di dalam." Terang ayah Aida. Pemuda tertunduk. Lalu memalingkan pandangannya kepada Raka yang masih melamun.
"Raka! Lo janji bakal jaga Aida buat gue, tapi kenapa sekarang adik gue jadi gini, Ka?!" Hardik pemuda itu sambil menarik Raka. Tangan kanannya mengepalkan tinju. Raka tak mengatakan apapun.
"Dimas, udah! Aida kecelakaan bukan karena Raka. Justru dia yang susah payah bawa Aida ke sini." Kata ibu Aida berusaha menenangkan suasana.

Dokter keluar dari ruang ICU diikuti beberapa suster. Beliau pun berjalan ke arah ayah dan ibu Aida yang juga bergegas mendekati dokter. Sementara itu, mengetahui dokter sudah datang, Raka melepaskan cengkraman Dimas di jaketnya. Lalu dengan tatapan tajam ke arah Dimas, dia pergi tanpa berkata apa-apa. Dimas sendiri entah kenapa gemetar mendapati tatapan itu.

***

Sejak kasus insiden plagiarisme Randi yang mencuat ke permukaan, Raka mendadak menjadi buah bibir seluruh warga akademi. Tapi kini dia semakin terkenal, bukan karena punya keberanian untuk melaporkan kasus yang menyangkut anak dari salah satu dewan rektor, tetapi karena masa lalunya yang entah darimana tiba-tiba ramai tersebar di situs homepage akademi.
Bisik-bisik yang berulang kali terdengar di telinga Raka terasa panas. Langkah kakinya semakin cepat mencari celah untuk mendapatkan kesunyian. Dia menemukan sebuah tempat yang cukup tepat untuk sekedar menikmati kesepian. Bekas bengkel teknik otomotif yang ada di pojok area akademi. Tapi baru saja melangkahkan kakinya mendekati bangunan itu, seseorang menghadangnya.

"Raka." Orang itu menatap Raka dengan tatapan sedih bercampur marah.
"Vira, kok lo ada di sini?" Tanya Raka sambil berjalan mendekat.
"Kenapa lo nggak pernah cerita tentang masa lalu lo? Kenapa lo dulu bantuin gue dari preman-preman itu?" Vira melontarkan pertanyaan tanpa menghiraukan pertanyaan Raka. Mendengar kalimat Vira, Raka menghentikan langkahnya.
"Kenapa lo diem aja, Ka? Jawab gue!" Air mata Vira mulai menetes. Melihatnya membuat perasaan Raka tak keruan.
"Apa karena gue anak tunggal pemilik PT Digdaya? Atau karena..."
"Cukup, Ra!" Kata-kata Vira terhenti oleh suara keras Raka. "Gue cukup ngerti gimana perasaan lo tentang kenyataan masa lalu gue, tentang orang tua gue dan orang tua lo.
"Kebencian dan dendam terhadap PT Digdaya biar dibawa kedua orang tua gue ke alam kubur. Gue nggak mau ikutan ngebenci orang tua lo, apalagi sampe harus ngebenci lo, Ra." Raka menghentikan rentetan kalimatnya. Di saat itu juga, Raka sudah berdiri tepat di depan Vira. Dengan jelas, dia dapat melihat bulir-bulir bening menetes dari mata Vira.

Vira mendengarkan setiap kata dari Raka dengan penuh sesak di dadanya. Cerita yang selama ini dia dengar jauh berbeda. Meski dia tak terlalu mempercayainya, ada rasa benci yang berkecamuk ketika cerita tentang orang tua Raka yang ingin mencelakai orang tuanya dia dengar dari seseorang. Sementara baru-baru ini, versi lain cerita itu mengemuka. Orang tua Raka hanyalah kambing hitam dari operasi pembunuhan orang tuanya.

"Gue... gue cuma nggak mau lo nyimpen rasa sakit dan cerita pahit itu sendirian, Ka..." ucap Vira lirih diselingi isak tangis, tapi masih terdengar oleh telinga Raka.
"Gue cukup kuat untuk itu, Ra. Lo nggak perlu khawatir." Nada suara Raka kembali tenang. "Tapi... lo tahu darimana soal cerita itu?"
"Dari Aida." Jawab Vira singkat. Raka terkejut.
"Aida?" Tanya Raka. Vira mengangguk.
"Kemarin gue jenguk dia dan sempet tanya beberapa hal, termasuk tentang hubungan dia sama Randi. Awalnya dia nolak buat cerita, tapi setelah gue desak, dia akhirnya ceritain semuanya." Terang Vira.
"Terus, hubungan Aida sama Randi?" Tanya Raka penasaran.
"Itu semua cuma rekayasa Randi buat ngejebak lo, Ka." Jawab Vira. Raka terdiam. Dia tak menyangka ternyata Aida hanyalah umpan.
"Dan berkat dia, gue tahu apa yang harus gue lakuin buat ngehancurin hidup lo yang nggak berguna!" Tiba-tiba seseorang muncul dengan senyum licik di wajahnya. Randi.
"Randi? Lo..." Vira terkejut dengan kedatangan Randi.
"Makasih ya, Ra. Berkat lo dan Aida, gue jadi tahu kulit asli dari bocah ini." Kata Randi.
"Maksud Randi apa, Ra? Jangan bilang kalo..." Raka melangkah mundur sedikit menjauh dari Vira.
"Ya, bener banget, Ka. Gue yang bikin artikel tentang lo di homepage akademi. Dan semua cerita itu berkat kemampuan interogasi Vira ke Aida! Hahahaha!" Randi terbahak. Raka terhenyak. Sementara Vira hanya bisa tertunduk.
"Dan gue heran sama si Aida, Ka. Bisa-bisanya dia datangin gue cuma buat minta gue nggak gangguin elo. Dia juga mau jalanin syarat yang gue ajuin supaya mau nemenin gue jalan Tapi sayang karena dia berisik dan terlalu tahu banyak hal, dan juga pengen laporin gue ke rektorat, gue harus bikin dia diem." Kata Randi ringan. Vira terkejut dan menutupi mulutnya dengan kedua telapak tangannya. Sementara Raka semakin marah dan dadanya semakin panas.

Beberapa detik kemudian, sebuah pukulan melayang dengan cepat dan menerjang tepat di pipi kiri Randi. Dia terpental dan jatuh bergulung. Kepalanya terasa pusing, dan dia mendapati 2 giginya copot. Randi pun bergegas bangkit dan mencoba melancarkan pukulan balasan kepada Raka. Namun dengan sigap Raka menghindari pukulan itu dan mengangkat kakinya, membuat Randi tersandung dan kembali jatuh. Saat kembali berdiri dan menarik kepalan tinjunya, Randi dibuat merinding oleh tatapan tajam Raka.

"Sekali lagi lo bikin ulah dan bikin gue marah, gue bakal rontokin semua gigi lo." Ancam Raka. Ketakutan, Randi segera berlari menjauh dari situ.
"Raka..." Vira terpana melihat Raka mempermainkan Randi.
"Jadi?" Tanya Raka kepada Vira.
"Awalnya gue emang penasaran tentang siapa lo, Ka. Dan karena cerita-cerita itu, gue semakin penasaran buat cari tahu." Vira berhenti berbicara lalu melirik ekspresi Raka yang nampak kacau, lalu melanjutkan, "Tapi setelah gue kenal lo, gue mulai kehilangan alasan buat membongkar masa lalu lo karena..."
"Udah Ra. Cukup. Selama ini gue udah berusaha buat hidup ngikutin arus. Tanpa bertindak banyak hal yang nggak penting supaya gue aman dan tenang. Tapi artikel di homepage itu... arggh!" Raka memegangi kepalanya.
"Raka!" Teriak Vira panik. Tapi isyarat tangan Raka membuatnya diam.
"Gue suka sama elo, Ra. Sejak saat itu gue mulai bimbang dengan prinsip gue tentang hidup sesuai arus. Dan lama kelamaan, gue jadi sayang sama elo." Kata Raka. Mendengar hal itu, hati Vira berbunga-bunga.
"Gue..." kata-kata Vira tertahan di ujung lidah.
"Tapi maaf, Ra. Mungkin karena terlalu berharap, apa yang baru aja gue denger malah bikin hati gue sakit. Ada yang salah dengan semua ini." Raka berbalik memunggungi Vira lalu berjalan pergi.
"Gue juga sayang sama elo Raka..." bisik Vira diikuti isak tangis dan air mata yang kembali membasahi pipinya. Punggung Raka yang nampak semakin jauh dan kecil terbiaskan oleh air mata di pelupuk matanya. Membuatnya semakin sedih, semakin menumpahkan air mata. Dan mulai saat itu, arah mereka mulai mengalami persimpangan. Meski searah, sebenarnya enggan untuk berbeda jalan.

===

to be continued~

Gimana? Plot-nya makin absurd & gak nyambung? Hihihiw, sudah kuduga... 
Share:

A Bittersweet Way #1 : Arah Yang Sama

Title : Bittersweet Way #1 : Arah Yang Sama
Genre : Slice of Life, Drama, Romance
Author : @NVRstepback

http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/7/78/Coral_Way_20100321.jpg
Coral_Way_20100321.jpg by en.wikipedia.org

Kampus pusat Akademi Teknik Widya Dharma nampak lengang. Hanya nampak beberapa sepeda motor dan mobil yang masih terparkir di tempat parkir dengan jarak yang cukup berjauhan satu dengan yang lainnya. Hujan yang tadi reda tiba-tiba kembali turun. Air yang menggenangi salah satu jalan yang berlubang kembali beriak tak tenang. Suara rintik-rintik hujan yang mengenai atap bangunan kampus terdengar cukup jelas, menyamarkan suara ribut dari arah belakang gudang yang terletak di bagian belakang kantin.

"Randi, udah lah. Lagian juga nggak ada gunanya lo mukulin dia." Kata Vira mencoba menghentikan Randi.
"Diem lo, Ra. Gara-gara bocah ini, gue jadi diskors!" Teriak Randi sambil melayangkan pukulan ke arah seorang pemuda kurus di depan. Yang mendapat pukulan pun terhempas ke tembok dan tersungkur. Wajahnya penuh memar. Vira hanya bisa menutup matanya dan mengutuk setiap pukulan yang dilayangkan Randi.
"Lo udah berani ngelawan gue, itu artinya lo udah siap dapetin yang lebih dari ini!" Kata Randi lalu pergi dari situ.
"Kenapa lo tiba-tiba jadi ngelawan Randi sih, Ka? Akhirnya lo sendiri yang bonyok." Tanya Vira.
"Raka!" Gadis bernama Vira itu melepaskan payungnya dan berusaha membantu Raka yang kembali terjatuh saat mencoba berdiri.
"Terus... kenapa lo nggak ngikutin Randi pergi malah bantuin gue?" Raka balik bertanya.

Vira tak memberikan jawaban. Dia meraih kembali payungnya dan membantu Raka berjalan menuju klinik. Dalam hatinya, Vira masih merutuki keputusan Raka melaporkan tindakan plagiat Randi terhadap salah satu tugas mahasiswa. Tapi jauh di dalam hatinya, dia merasa lega karena akhirnya Raka bisa bertindak atas keputusannya sendiri. Meski beberapa hal masih sedikit mengusik pikiran dan perasaannya.

Mereka berjalan tanpa kata. Sesampainya di klinik, Vira membantu Raka berbaring kemudian membersihkan dan mengobati luka-luka Raka.

"Vira." Panggil Raka.
"Apa, Ka?" Tanya Vira.
"Makasih udah bantu gue." Kata Raka sambil tersenyum.
"Gue cuma nggak mau punya hutang budi sama orang, Ka. Jadi jangan salah paham." Ujar Vira sambil masih sibuk membersihkan luka di lengan Raka.
"Lo nggak harus sampe ngrasa punya hutang budi, Ra. Apa yang dulu gue lakuin buat bantuin lo tuh tulus, nggak perlu lah sampe lo ng...mm..." Vira membungkam mulut Raka dengan handuk basah.
"Cerewet. Mending sekarang lo diem, istirahat. Biar cepet pulih." Kata Vira menasehati. Raka pun diam.
"Ah... coba orang tua gue bukan seorang bos besar yang suka jodoh2in anaknya, pasti gue bisa bebas milih dengan siapa gue jatuh cinta." Batin Vira sambil menatap Raka.

Detik berikutnya, diam memasuki ruangan putih itu. Memasung suara Raka yang masih terbaring memegangi handuk basah untuk mengompres bengkak di sebelah bawah mata kanannya. Sementara Vira sibuk menyandarkan bahunya ke tepian jendela. Matanya menangkap satu-satu titik hujan yang berlomba menjatuhkan diri ke pelukan bumi. Cukup lama hingga tiba-tiba muncul seseorang di ambang pintu klinik sambil mengatur nafas terengah yang tak teratur.

"Raka!" Teriaknya. Raka, juga Vira pun kaget.
"Aida? Raka ada di dalam." Kata Vira saat tahu siapa yang datang.
"Lo... jangan deket-deket Raka lagi. Gara-gara lo, Raka selalu kena masalah!" Gadis bernama Aida itu tak bisa menahan amarahnya.
"Hah? Gue... kenapa gue? Emang gue ngapain, Da?" Tanya Vira.
"Apaan oy bawa-bawa nama gue?" Raka tiba-tiba muncul dari balik gorden putih penutup ruang dia tadinya berbaring. Langkahnya masih tertatih.
"Ka, gue cuma..." Aida gugup melihat Raka.
"Aida, gue kan pernah bilang kalo gue udah siap dengan semua konsekuensi dari keputusan yang gue ambil. Dan gue nggak akan nyesel." Terang Raka sambil tersenyum. Dan menahan sakit.
"Gue cuma nggak mau lo terus kena masalah yang nggak seharusnya lo terima, Ka." Aida tertunduk. Kedua tangannya terlihat gemetar. Raka menghela nafas panjang.
"Haloo... permisii... gue juga ada di sini lho... jangan main sinetron di depan gue."

Tiba-tiba Vira membuka suaranya, memecah hening yang mematung. Dia sedikit kesal karena diperlakukan seperti penonton. Dibiarkan bertanya-tanya dengan apa yang sedang dibicarakan oleh Raka dan Aida.

Tanpa berkata apapun, Raka mengangkat satu tangannya lalu menggunakannya untuk menutup mulut Vira. Dan dengan tangan satunya, dia membuat isyarat diam dengan menempelkan telunjuk ke bibirnya sambil sedikit berdesis. Tapi langsung dia lepaskan karena Vira berontak.

"Gue cuma nggak pengen lo kenapa-kenapa, Ka." Ujar Aida lalu pergi.

Aida menghilang di balik pintu klinik meninggalkan Raka dan Vira dalam hening. Ada berbagai hal yang menggelayut di pikiran mereka. Sesuatu yang baru muncul atau pun yang sudah lama tertahan dan masih enggan untuk dikeluarkan. Hal-hal yang mungkin belum bisa mereka tuangkan karena belum ada wadah yang tepat sebagai tempatnya.

"Yuk pulang." Ujar Raka singkat diikuti anggukan Vira. Dan sore itu warna jingga mencuri kilau indah pelangi.

Setelah berjalan beberapa ratus meter dengan penuh kebisuan, Raka dan Vira pun akhirnya berpisah di persimpangan tempat sebuah mini pom berdiri. Diawali lambaian tangan, mereka berjalan dengan arah berbeda. Menuju tempat yang berjauhan, satu sama lain, meski nyatanya perasaan mereka sudah searah dan sejalan. Dan ingin dekat, meski kini terhalang.

Raka terbaring lesu di atas kasur agak keras yang diletakkan atas lantai. Sesekali dia mengusap memar di wajahnya lalu teringat pada kepalan tangan Randi yang berkali-kali menghujam dirinya. Rasa sakitnya masih terasa, tapi berikutnya dia merasa lega. Keinginannya untuk bisa menjalani hidup dengan keinginannya sendiri mulai bisa terjadi. Meski beresiko harus melawan arus.

Rasa kantuk mulai menyergap tubuhnya. Beberapa saat kemudian, pikirannya pun mulai lelap dan tenggelam ke dalam lautan mimpi.

***

Kamis pagi ini terasa sedikit dingin. Raka berjalan sambil menyembunyikan tangannya di dalam kantong jaket dan menutupi kepalanya dengan kopyah. Setelah berhenti sejenak untuk membeli segelas kopi dan kehangatannya, dia kembali berjalan. Tapi baru beberapa langkah, dia terhenti. Matanya menangkap sepasang sosok yang sangat dia kenal sedang berjalan mesra.

"Aida... sejak kapan dia jalan sama Randi?" Batin Raka.

Setelah meminum habis kopi dan membuang gelas plastiknya ke tong sampah, dia pun mulai berjalan ke arah Aida dan Randi. Dengan agak terburu, Raka mencoba membuntuti "pasangan" itu. Dia menaikkan sedikit kerah jaketnya bermaksud menutupi sebagian wajahnya. Langkahnya terhenti setelah berjalan sekitar 300 meter di depan sebuah toko mainan ketika dia mendapati Aida dan Randi berbelok ke gang beberapa blok dari tempatnya berdiri. Dengan mengendap-endap, Raka berjalan ke gang itu kemudian menempelkan punggungnya ke tembok. Dia menoleh ke arah gang dan mendapati Aida dan Randi sedang berbicara dengan suasana aneh.

Dari tempatnya berdiri, dan juga ramainya suasana, Raka kurang bisa mendengar dengan cukup jelas apa yang sedang mereka bicarakan. Namun beberapa kali dia mendengar namanya disebut membuat Raka terkejut. Dia makin menajamkan indra pendengarannya agar dapat menangkap sedikit saja dari pembicaraan Aida dan Randi.

"Raka... dia bukan tipe orang yang kuat dan bisa bertahan kalo dibohongi. Apalagi sama orang yang udah dia anggap spesial." Ucap Aida.

"Oke." Kata Randi.

Raka yang daritadi fokus menguping pembicaraan "pasangan mencurigakan" itu tidak sadar kalau ada seseorang yang sedang berdiri di hadapannya.

"Raka. Lo ngapain?" Tanya seorang. Raka pun menoleh ke suara itu dan mendapati Vira yang berdiri di hadapannya.

"Vira..." Raka terkejut. Menyadari ada suara langkah kaki yang makin mendekat, tanpa babibu Raka langsung meraih tangan Vira dan mengajaknya berlari dari situ.
Aida dan Randi berdiri di tempat Raka sebelumnya, masih membicarakan beberapa detil tentang rencana mereka. Namun kemudian mata Aida teralihkan ke sebuah benda kecil yang tergeletak di sebelah kakinya. Dia pun memungutnya dan langsung mengenali benda berbentuk kubus berwarna hitam mengkilat dengan titik-titik putih di keenam permukaannya. Dadu milik Raka. Senyum tersungging di wajah Aida.

"Tadi Raka ada di sini." Kata Aida kepada Randi sambil mengamati dadu yang ada di tangannya.

Randi hanya menanggapinya dengan ekspresi datar. Aida menggamit lengan Randi kemudian berjalan. Randi pun mengikuti Aida menuju kerumunan orang yang berlalu lalang.

***

Raka dan Vira duduk berhadapan di dalam sebuah kafe yang berada di sebelah rumah Vira. Sepasang cangkir berisi cappuccino lengkap dengan kepulan asap dan kehangatannya tersaji di hadapan mereka. Tak ada satupun kalimat, kata, ataupun aksara yang membuat sepasang cappuccino itu bosan dan perlahan dingin.

"Raka, lo tadi ngapain?" Vira mencoba membuka percakapan. Raka menghela nafas.
"Gue tadi liat Aida jalan sama Randi, Ra." Jawab Raka kemudian meraih secangkir cappuccino di hadapannya lalu meminumnya sedikit. Mendengar jawaban Raka, Vira pun heran.
"Mereka jadian kali. Emang kenapa? Lo cemburu?" Selidik Vira.
"Hahahah, kayak apaan gue bisa cemburu. Aida udah kayak adik gue sendiri. Gue cuma ngrasa aneh kenapa dia tiba-tiba deket sama Randi." Terang Raka.
"Yaudah tinggal lo tanya aja kali, Ka. Daripada tebak-tebakan terus mikir yang enggak-enggak." Kata Vira datar. Raka tersenyum mendengar kalimat Vira.
"Oke deh. Makasih nasehatnya, Ra. Hari ini biar gue yang bayar." Kata Raka. Vira yang sedang meminum cappuccino-hampir-dingin pun mengacungkan jempolnya.

Setelah berada di luar kafe, Raka terhenti ketika merogoh saku jaketnya. Ada benda yang seharusnya ada di situ. Dadu hitam yang selalu menemaninya. Melihat ekspresi Raka, Vira pun penasaran untuk melempar pertanyaan. Belum sempat bertanya, mereka dikejutkan oleh suara keras dari arah jalan beberapa ratus meter dari tempat mereka berdiri.
Tanpa berkata apa-apa, mereka berdua berlari ke sumber suara itu. Di situ sudah banyak orang berkerumun yang mengelilingi sesuatu. Beberapa lainnya nampak memindahkan sebuah motor yang terlihat bengkok di bagian stang dan roda depan. Serta penyok dan goresan di beberapa bagian. Raka mendekat lalu mengamati skutermatik hitam itu. Dia langsung mengenali stiker yang menempel di bagian body sampingnya. Stiker dengan gambar bulan sabit warna kuning yang dikelilingi lingkaran dengan tekstur seperti tepian matahari. Stiker yang pernah dia desain sebagai hadiah untuk seseorang.

"Aida!" Teriak Raka lalu berlari ke arah kerumunan.

Vira tersentak mendengar teriakan Raka. Dia ikut mendekat ke arah kerumunan yang sedikit terbuka ketika Raka berusaha menerobos. Di tengah kerumunan kecil itu, sosok Aida terkapar tak berdaya dengan luka dan semburat merah darah di kepalanya. Matanya sayu. Kesadarannya perlahan hilang. Raka dengan sigap meminta pertolongan kepada orang-orang untuk segera membawa Aida ke rumah sakit terdekat. Kembali, Vira melihat sisi dari diri Raka yang tak pernah dia lihat sebelumnya.

"Vira. Maaf, gue nggak bisa pulang bareng lo. Gue..." tangan Vira yang menggenggam tangan Raka seolah memaksa Raka berhenti berkata.
"Iya, gue tahu kok Ka. Buruan lo bawa Aida supaya dia bisa segera dirawat." Ucap Vira lalu tersenyum. Hangat. Raka pun mengangguk lalu segera naik ke mobil yang sudah siap mengantar Aida ke rumah sakit.

Dari tempatnya berdiri, Vira melihat siluet Raka di balik kaca mobil yang mulai melaju menjauh dari jangkauan matanya. Setelah mobil itu berbelok dan menghilang di balik sebuah gedung, Vira berbalik arah dan berjalan pulang menuju rumahnya. Tangannya menggenggam erat ponsel yang dia sembunyikan di dalam saku jaketnya. Langkah Vira semakin cepat, seiring dengan semakin terasa panas pelupuk matanya yang kemudian menjatuhkan titik air mata. Sesaat kemudian, langit yang sedari pagi menahan mendung menumpahkan hujannya.

to be continued...
Share:

Meracau -dalam, hingga, karena- Kacau

Samar. Itulah yang saat ini terpampang di depanku. Jalan setapak yang retak di sana-sini pun terlihat enggan menopang langkah kakiku, seolah ingin menjatuhkan tubuhku. Lemah dan terhuyung. Jika saja ada angin kencang, mungkin saja tubuhku tak akan sanggup lagi mencengkeram bumi, juga... tak ada yang akan bisa menolongku sekalipun itu gravitasi. Lemah dan lelah. Tapi tetap saja tak mungkin untuk menyerah, bahkan untuk sekedar istirahat mengendurkan nafas. Beban yang tak seimbang. Kepala yang terlalu penuh. Penat. Pekat tanpa celah.

Sesak dan pengap. Sekali pun jika memang diharuskan terjatuh, aku pun pasrah menerima sakit dan lukanya. Hanya saja aku berharap memiliki kekuatan yang cukup untuk menahannya. Lebih kuat dari sakit dan lukanya ketika terjatuh, agar tubuh dan otakku tidak mati karena kesakitan. Klise. Mati oleh kekuatan rasa sakit sepertinya menyakitkan, ya. Terutama jika penyebabnya hal tak kasat mata juga bila sakit itu hadir tanpa ada luka. Betapa manusia yang kuat bisa begitu lemah di hadapan hal kecil.

Harusnya seperti apa? Otakku tak sanggup lagi menggerakkan otot dan sendi di tubuhku. Apakah karena karena dia dicengkeram sampai tak sanggup lagi menggerakkan otot dan sendi? Atau tubuhku lelah hingga akhirnya berontak menolak perintah otak? Apakah ada yang terjatuh ketika aku tersandung dan jatuh tadi? Gelap rasanya. Menapaki jalan tanpa bergerak, sementara tak ada cukup waktu yang bisa dipakai agar bisa tercapai.

Ah, bahkan tanganku seperti berkehendak sendiri. Meracau di hadapan otak yang tak lagi berkuasa, sekalipun berdaya. Konyol. Nampak lebih menyedihkan dari orang lumpuh. Melihat pun hanya pekat dan samar, lebih dari orang buta. Sementara tak ada seharusnya masalah, tapi tetap terpasung dan terikat. Tak ada. Jika biasanya mataku terasa panas kemudian basah, saat ini sepertinya mata air itu iku-ikut kering, kehilangan suplai. Dan keinginan.

Melihat retakan setapak demi setapak. Sejauh titik tergelap yang terjangkau mata. Merangkak seinci demi seinci, walau sebenarnya tak benar-benar bergerak. Hanya sebatas semu yang ada di dalam pikiran yang tertindih. Sementara meracau mengemukakan kata yang darimana asal datangnya tanpa ada arti juga makna dan rasa. Hanya keanehan dan hampa.
Share: