Title : Cerita di Akhir November
Author : Nur Rochman | @NVRstepback
Genre : Family, Slice of Life
November sebentar lagi berakhir. Dendang suara merdu melengking milik Axl Rose masih mengalun dari pengeras suara kafe. Meski cukup keras terdengar, tapi tampaknya tak cukup keras karena suasana kafe yang memang sedang ramai oleh pengunjung. Lagu November Rain pun mulai terdengar mengganti lagu Don't You Cry yang sebelumnya dimainkan. Tiba-tiba seorang pria di depan Rama tertawa.
"Ada apa yah? Kok ketawa?" Tanya Rama heran melihat sikap ayahnya.
"Ini lagu bersejarah buat ayah, Ram." Jawab sang ayah sambil memejamkan matanya. Menikmati lagu itu.
"Bersejarah? Critain dong yah." Rama yang penasaran pun meminta ayahnya untuk bercerita.
"Hahaha. Kamu kalo penasaran balik lagi jadi anak-anak ya." Ayah Rama tergelak.
"Buruan yah." Rama merajuk.
"Iya iya. Jadi lagu itu adalah lagu pertama yang ayah nyanyiin pas pertama kali ketemu sama Ibu kamu." Terang ayah.
"He? Itu aja?" Tanya Rama.
"Iya. Tapi ceritanya gak cuma segitu." Kata ayah misterius.
"Terus?"
"Itu lagu pertama yang ayah nyanyiin pas ketemu sama Ibu kamu. Momennya itu lho... nyesss banget. Apalagi waktu itu pas hujan." Ujar ayah. Pandangannya menerawang seolah mencoba menggali ingatan lama.
"Tunggu bentar deh, yah. Bukannya November Rain itu lagunya tentang perpisahan?" Tanya Rama dengan kening mengkerut.
"Makanya dengerin cerita ayah." Rama pun diam dan mulai menyimak cerita nostalgia ayahnya.
++
Malam terasa dingin setelah hujan semenjak sore mengguyur. Di bawah pohon angsana yang ujungnya tertutup sinar lampu, seorang pria memainkan gitarnya dengan melodi sendu. Kejadian beberapa jam ketika hujan mengguyur membuat senar gitarnya mengeluarkan suara aneh. Pilu. Sama seperti hatinya yang juga pilu karena diguyur kata-kata penuh sembilu.
Rintik gerimis mulai terdengar. Satu-satu mulai mengenai permukaan yang ditemuinya. Dan satu-satu mulai mengenai tubuh dan gitar pria itu. Namun dia sama sekali tak beranjak dari tempatnya. Justru denting dawai gitarnya terdengar makin jelas diiringi ritmik gerimis tak beraturan. Perlahan, dia membuka mulutnya. Mulai bersuara.
When I look into your eyes
I can see a love restrained
But darlin' when I hold you
Don't you know I feel the same
'Cause nothin' lasts forever
And we both know hearts can change
And it's hard to hold a candle
In the cold November rain
We've been through this such a long long time
Just tryin' to kill the pain
But lovers always come and lovers always go
An no one's really sure who's lettin' go today
Walking away
If we could take the time
to lay it on the line
I could rest my head
Just knowin' that you were mine
All mine
So if you want to love me
then darlin' don't refrain
Or I'll just end up walkin'
In the cold November rain
Do you need some time...on your own
Do you need some time...all alone
Everybody needs some time... on their own
Don't you know you need some time...all alone
I know it's hard to keep an open heart
When even friends seem out to harm you
But if you could heal a broken heart
Wouldn't time be out to charm you
Sometimes I need some time...on my own
Sometimes I need some time...
Lagunya terhenti ketika dia mendapati rintik gerimis mulai berubah menjadi hujan di hadapannya, tapi tak lagi mengenai dirinya. Dan ketika menengadah, dia mendapati payung berwarna hijau bermotif bunga sedang menaungi dirinya.
"Lagunya bagus. Sayang sekali isinya begitu sedih." Ujar seseorang yang tiba-tiba duduk di sebelah pria itu.
"Apa kau menyukai lagu tadi?" Ujar pria itu.
"Ya, aku sering mendengarkannya. Tapi menerjemahkannya dengan cara yang berbeda." Mendengar pernyataan itu, si pria pun mulai mengalihkan perhatiannya.
"Maksudmu?" Tanya pria itu masih belum mengerti.
"Aku menerjemahkan lagu itu sebagai cara menanyakan keseriusan untuk terus bersama. Bukan menanyakan keinginan untuk berpisah. Bukankah itu lebih baik?" Terang gadis itu sambil tersenyum.
"Dunia ini berjalan sesuai dengan bagaimana cara kita melihatnya." Lanjut gadis itu.
"Oh. Ya, kupikir begitu." Ujar pria itu.
"Aku Mawar." Gadis mengulurkan tangannya.
"Ah. Aku Raya." Pria bernama Raya itu pun menyambut uluran tangan Mawar.
Di bawah payung kuning itu, Raya dan Mawar melanjutkan perbincangan mereka. Kadang diselingi dengan suara gitar Raya dan suara Mawar yang bersahutan dengan suara Raya. Dan perlahan, hujan seperti terlupakan oleh mereka.
++
"Gitu, Ram. Gimana?" Ayah bertanya kepada Rama yang nampak menikmati cerita itu.
"Lumayan sih, yah." Ujar Rama singkat. Ayahnya nampak sedikit kecewa mendengar reaksi singkat dari Rama.
"Dasar anak jaman sekarang. Keseringan cinta-cintaan dari kecil jadi gak ngerti apa dan bagaimana nikmatnya momen romantis." Ujar ayah sambil menepuk dahinya.
"Dih, ayah udah tua pake acara tepuk jidat segala. Hahaha." Rama tergelak melihat kelakuan ayahnya.
Mereka berhenti berbincang sejenak untuk meminum cappuccino hangat yang sudah tersaji di hadapan mereka. Hujan yang beberapa jam lalu turun mulai reda. Nampak suasana kafe mulai sedikit lengang karena beberapa pengunjung yang memang menunggu hujan reda mulai keluar dari kafe. Hanya beberapa orang saja yang masih betah duduk di dalam kafe. Itu pun dengan jarak yang cukup jauh satu sama lain.
"Yah. Menurut ayah, Rissa orangnya gimana?" Rama mulai membuka topik baru.
"Rissa? Pacar kamu yang mana lagi, Ram? Kamu keseringan bawa perempuan ke rumah sih. Ingatan Ayah kan udah gak kayak dulu." Tanya Ayah sambil berusaha mengingat sesuatu. Rama mendengus mendengar pertanyaan ayahnya.
"Yang dulu makan malam sama kita, yah." Kata Rama dengan perlahan, berharap agar ayahnya ingat.
"Oh. Gadis yang rambutnya diikat kuncir kuda itu?" Tanya ayah mengkonfirmasi. Mata Rama berbinar.
"Nah! Iya, yah. Tuh Ayah masih inget. Gimana yah?" Rama bertanya lagi.
"Orangnya cantik. Orangnya pinter, juga baik dan sabar. Tiap ngobrol sama Ayah selalu bisa milih dan milah topik yang pas, dan ngobrolnya pun nyambung. Perhatian juga sama Ayah. Mirip ibu kamu waktu masih muda. Kamu sendiri ngrasa cocok enggak sama dia?" Ayah balik bertanya.
"Kalo aku sih emang udah ngrasa cocok sama dia yah. Udah kenal dan deket lumayan lama juga." Ujar Rama.
"Nak, kamu masih inget kan apa pesan ayah tentang jodoh?" Tanya ayah.
"Orang baik dijodohkan Tuhan dengan orang yang baik pula, begitu pun sebaliknya. Karena jodoh adalah cerminan dari diri kita." Ujar Rama sambil menirukan suara ayahnya. Sang ayah pun tertawa mendengar suara Rama yang justru terdengar lucu.
"Dan menurut ayah, kamu sekarang udah jadi laki-laki yang baik dan bertanggung jawab. Kalo Ibumu masih ada, pasti dia berpikir hal yang sama kayak ayah." Terang ayah bijak. Rama pun tersenyum penuh arti mendengar perkataan ayahnya.
"Hmmm... gara-gara kamu, ayah jadi inget gimana susahnya ayah waktu mau nglamar ibu kamu dulu." Pandangan ayah kembali menerawang jauh. Mengurai simpul-simpul ingatannya yang sudah termakan oleh usia.
"He? Emang kenapa yah?" Tanya Rama penasaran.
"Pas ayah udah punya pekerjaan yang mapan dan udah siap buat nglamar Ibu kamu, ada masalah yang datang. Tepatnya cuma kesalahpahaman. Tapi bisa bikin hubungan ayah dengan ibumu hampir aja rusak.' Jelas ayah.
++
"Mawar. Aku ingin membicarakan sesuatu." Raya terengah-engah karena harus berlari menaiki tangga mengejar Mawar.
"Tidak ada yang perlu kamu jelaskan, mas. Aku sudah lihat dengan mata kepalaku sendiri apa yang terjadi tadi di depan kantormu." Ada bulir air mata yang jatuh dari pelupuk mata Mawar.
"Tapi Mawar. Apa yang kamu lihat itu berbeda dengan apa yang kamu pikirkan. Aku dengan dia tidak ada apa-apa. Ini cuma salah paham. Tolong perc..."
"Sudah mas, aku ingin sendiri dulu. Permisi." Mawar berbalik dan melangkah pergi. Raya hanya bisa melihat sosoknya menghilang di belokan di ujung lorong kampus.
Raya terdiam tak bergerak. Tangannya yang dari tadi menggenggam kotak kecil berbalut warna merah tetap diam tersembunyi di balik punggungnya. Kejutan yang sudah dia siapkan gagal terwujud. Dia pun mulai berbalik dan berjalan menuruni tangga dengan langkah lemah. Ketika sampai di ujung bawah tangga, sudah ada seseorang yang menunggunya.
"Jadi dia adalah perempuan beruntung yang kamu pilih untuk mendampingimu ya, mas?" Tanya sosok wanita berambut pendek itu.
"Ya. Aku berencana untuk melamarnya hari ini. Sepertinya aku harus melakukan sesuatu." Ujar Raya.
"Mas. Memang benar ada beberapa hal yang hanya bisa dimengerti lewat tindakan. Tapi ada beberapa hal yang hanya bisa dimengerti dengan kata-kata." Kata wanita itu bijak. Raya terdiam mendengar apa yang dikatakan oleh wanita itu.
"Di mana cincinmu tadi? Biar aku yang mengurusnya." Wanita itu mengulurkan tangannya sebagai isyarat meminta.
"Tapi..." Raya sedikit ragu dengan apa yang akan dilakukan oleh wanita yang ada di hadapannya.
"Percayalah. Yang paling mengerti perasaan seorang wanita adalah seorang wanita." Dengan sedikit ragu, Raya pun mengulurkan tangannya yang dari tadi bersembunyi menggenggam kotak merah ke arah tangan wanita di hadapannya.
"Sekarang pulanglah dan tunggu di rumah. Siapkan kejutan kecil untuk dia." Wanita itu perlahan berjalan menaiki tangga.
++
"Wanita itu siapa yah? Jangan-jangan... wah, ternyata ayah nakal ya." Rama menyandarkan punggungnya ke kursi.
"Heh, dengerin dulu ceritanya sampe selesai." Ayah pun menyruput cappuccino yang hampir dingin kemudian meneruskan ceritanya.
++
Raya masih gelisah dengan apa yang beberapa saat lalu dialaminya. Kaki kanannya masih menghentak-hentak cepat. Sementara kedua tangannya menutupi mulutnya yang tak henti mengucapkan berbagai harapan. Dan tiba-tiba sudut matanya menangkap sebentuk gitar yang dengan penuh debu bersandar di samping lemari. Tanpa pikir panjang, Raya mengambil gitar itu dan mulai memetik dawai demi dawainya.
I know it's hard to keep an open heart
When even friends seem out to harm you
But if you could heal a broken heart
Wouldn't time be out to charm you
Sometimes I need some time...on my own
Sometimes I need some...
Lagunya terhenti. Atau lebih tepatnya Raya tak bisa melanjutkannya. Tangannya melepaskan genggaman dari gitar itu lalu menyandarkannya di samping kursi tempat dia duduk. Tiba-tiba, terdengar suara ketukan pintu. Raya baru saja bangkit berdiri ketika pintu terbuka dan dari baliknya muncul seseorang yang dari tadi membuatnya gelisah. Mawar.
"Mas..." suara Mawar terdengar lirih. Kepalanya tertunduk.
Raya mendekatinya lalu meraih tangan Mawar. Dia terkejut melihat kotak merah yang ada di genggaman Mawar. Kotak merah yang belum sempat tersampaikan karena kendala keadaan.
"Ini..." Raya belum sempat menyelesaikan kalimatnya karena Mawar sudah keburu memeluknya. Erat.
"Maaf aku sudah salah paham. Aku tidak mau mendengarkan penjelasanmu terlebih dahulu." Kata Mawar sambil terisak. Raya pun tersenyum. Tangannya meraih punggung Mawar dan mengusap rambutnya.
"Jadi..." Raya melepaskan pelukan Mawar lalu mengambil kotak merah itu dari tangan Mawar. Raya lalu membuka kotak itu.
"Maukah kau menikah denganku?" Raya berlutut dengan satu lutut sebagai sandaran.
Sekalipun sudah tahu apa yang akan terjadi, Mawar tetap terkejut. Kebahagiaan memenuhi dirinya. Air mata sesalnya berubah menjadi air mata bahagia. Tanpa ragu, dia mengangguk lalu kembali memeluk Raya. Lebih erat.
Dari balik pintu, wanita yang dari tadi memperhatikan adegan emosional itu pun tersenyum. Happy ending seperti yang diharapkan.
"Intan, ayo kita pergi. Bukankah kita harus memberitahu ayah dan ibumu tentang kabar bahagia ini?" Ujar laki-laki di sebelahnya.
"Iya mas, akhirnya kakakku akan menikah." Ujar Intan bahagia.
++
"Gitu..." Ayah mengakhiri ceritanya.
"Ayah ternyata so sweet banget ya." Ujar Rama sambil tertawa kecil. Tapi di dalam hatinya, dia merasa bangga.
"Maka dari itu, kalo kamu memang udah ngrasa cocok sama Rissa, lebih baik segera diresmikan. Ayah percaya kalian pasti akan jadi pasangan yang serasi. Dan bisa saling menjaga sampai tua." Ayah tersenyum.
Rama tak membalas kalimat ayahnya dengan kata-kata, tapi hanya dengan sesungging senyum bahagia. Dia senang karena ayahnya sudah memberikan restu kepada hubungannya dengan Rissa. Dan dia pun semakin mantap untuk menikahi Rissa.
***
Lagu November Rain kembali terdengar memenuhi ruangan kafe yang cukup penuh. Hujan di luar yang kembali deras kembali menahan beberapa orang untuk beranjak dari tempat duduknya. Termasuk seseorang yang sedang duduk termenung di salah satu sudut.
"Sayang." Suara lembut diikuti belaian di pundaknya membuat Rama kaget.
"Ah, Rissa sayang. Maaf aku melamun. Aku sedang mengingat-ingat obrolan terakhirku dengan ayah di sini." Kata Rama sambil tersenyum.
"Hari ini 1 tahun meninggalnya ayah kam? Ayo kita berziarah ke makam beliau." Kata Rissa sambil meletakkan tangannya ke pundak Rama.
"Ya." Jawab Rama singkat.
Berjalan beriringan, Rama dan Rissa terlihat serasi. Masing-masing di jari manis kanan mereka, melingkar cincin yang serupa. Outro lagu November Rain mengantar mereka keluar dari kafe itu. Tempat yang bagi Rama tak hanya bermakna, tapi juga berharga. Tempat dia berbagi bersama ayahnya, juga tempat di mana dia menyampaikan perasaan pada Rissa. Juga 1 lagu yang akan selalu dia nanti untuk dimainkan. Lagu favoritnya. Lagu kenangan milik dan tentang ayahnya, November Rain. Dan penghujung November pun terlewati dengan berbagai cerita menuju Desember baru yang menanti untuk ditulis.
###