Title : Cerita Untukmu
Author : @NVRstepback
Genre : romance
Cerita Untukmu
Hari
lulusan sekolah sebentar lagi tiba. Hampir seluruh siswa di sekolah, termasuk
aku, merasakan 1 hal yang sama : cemas! Bagaimana tidak? Usaha kami selama 3
tahun belajar, dan telah melalui ujian akhir akan diumumkan besok. Bagi
siswa-siswa cerdas mungkin tak jadi soal. Tapi bagi siswa berotak sedang yang
hanya mengandalkan kerja keras dan
keberuntungan sepertiku, hal itu adalah sesuatu yang meresahkan.
Meskipun ada hal lain yang tak kalah meresahkan dari hasil ujian… persoalan
hati.
Done! Ini cerpen yang dulu sebenernya pengen di-submit buat ikutan kumcer JCDD2. Tapi karena kelar nggak tepat waktu, akhirnya nggak jadi di-submit. Mohon komentarnya.
Author : @NVRstepback
Genre : romance
Mungkin
terdengar konyol. Menahan hati, menyimpan dan menjaga sesuatu yang padahal
tidak dimiliki, selama hampir 6 tahun. Ya, konyol. Dan yang lebih konyol lagi,
aku sama sekali tak punya nyali sedikitpun meski hanya untuk mengungkapkannya.
Jika diibaratkan rangkaian proses eksekusi prosesor komputer, terjadi bottleneck karena aliran input yang
terlalu besar dibandingkan jalur proses yang menyebabkan alur eksekusi kode
program dalam otakku tertahan. Membuatku hank.
Linglung. Ah, hati memang bisa membuat otak bekerja lebih keras dari biasanya.
Dan saat
ini aku sedang duduk berhadapan dengan biang keladi yang menjadi otakku sering
mengalami hank. Aku mencoba bersikap
setenang mungkin, meskipun di dalam, aku merasa kikuk. Tapi berkat pengalamanku
menahan perasaan, aku bisa dengan baik berpura-pura bersikap tenang dan
menutupi rasa gugupku.
“Jadi,
setelah lulus nanti kamu mau nglanjutin ke mana, Ga? Suara itu terdengar merdu
meskipun dia mengaku sedang menderita batuk sehingga suaranya serak. Dan memang
sesudah bertanya, dia batuk.
“Eh? Eng,
kayaknya aku mau kerja dulu deh, Rin.” jawabku sambil memegang botol minumanku.
“Nggak
pengen kuliah? Kan sayang banget, kamu orangnya pinter lho.” Aku sedikit
melotot dan aku yakin saat ini pipiku sedang bersemu merah karena pujian
“pinter” yang dialamatkan Airin kepadaku.
“Pinter
darimana? Pinter sih enggak, kalo bejo baru
iya. Hahaha.” jawabku sambil bercanda.
“Hahaha,
dasar kamu. Aku serius, Ga. Kamu nggak pengen apa nerusin kuliah gitu? Kan kalo
kuliah kita nggak terlalu ribet kayak pas sekolah biasa. Lebih fokus ke minat
kita.” terang Airin. Dan dia batuk lagi.
“Sejujurnya
sih pengen. Tapi kan kondisi orang tuaku sekarang nggak mungkin mampu. Jadi aku
milih kerja dulu aja, dan nabung. Kalo udah kekumpul baru aku kuliah. Itu kalo
niat kuliah masih ada. Hihihi.” Segera kuminum minuman yang masih tersisa
setengah di botolku, menenangkan diriku.
“Kalo kamu
mau nerusin ke mana, Rin? Jadi ngelanjutin ke jurusan sastra?” tanyaku.
“Hehehe.
Tau aja. Iya dong, kamu kan tau sendiri aku suka banget nulis. Jadi buat
matengin kemampuan, aku mutusin buat kuliah jurusan sastra.” Suara seraknya
tetap terdengar lembut di telingaku.
“Terus,
udah ada tujuan bakal kuliah di mana?” Aku lanjut bertanya.
“Jogja.” jawab
Airin singkat. Aku sedikit tercekat. Jogja? Artinya Airin akan pergi cukup jauh
dari Semarang. Memang tak cukup jauh. Tapi jarak, dan tentu saja waktu serta
aktivitas, pasti membuat jarak semakin jauh. Kepalaku tertunduk. Ada sesuatu
yang tiba-tiba seperti menekan hatiku. Sedikit sakit. Rasa sakit baru yang
belum pernah aku rasakan. Rasa yang coba kutahan agar tidak merongrong dan
membuatku semakin konyol.
“Yoga.”
Suara Airin membuyarkan lamunanku.
“Y-Ya.
Kenapa, Rin?” balasku. Aku sedikit tergagap menanggapi Airin. Mata Airin
sedikit tajam membuatku tak mengerti. Sepertinya ada hal serius yang ingin
dikatakan Airin.
“Kalo
seandainya ada cewek yang suka sama kamu tiba-tiba nembak kamu, apa yang akan
kamu lakuin?” Dengan lancar Airin menyampaikan pertanyaan dan dengan lancar
pula aku mendengar dan menerima rangkaian kata-kata itu. Tapi tiba-tiba saja
aku terbelalak ketika memproses pertanyaan itu.
“A..aku..” Belum sempat aku menjawab
pertanyaan itu, ada seseorang yang tiba-tiba datang dan duduk di sebelah Airin.
Rambut keriting pendek dan juga kacamata frame hitam itu cukup membuatku tahu
siapa dia. Vian, kapten tim basket –dan sahabatku.
“Hai
Airin. Eh, kebetulan ada lo juga, Ga. Gue pengin lo jadi saksi.” Vian nampak
bersemangat mengucapkannya.
“Saksi?”
tanyaku kebingungan. Vian mengangguk.
“Airin,
selama ini gue suka sama lo. Lo mau nggak jadi pacar gue?” setelah kalimat itu
meluncur dari mulut Vian, atmosfer tiba-tiba berubah. Airin nampak kaget
mendapatkan pernyataan cinta dari Vian. Begitu pun aku yang tak kalah kaget
karena ternyata Vian, sahabatku sendiri juga menyukai Airin. Nafasku sedikit
kutahan menunggu jawaban apa yang akan disampaikan Airin. Tapi tiba-tiba Airin
menatapku dengan pandangan aneh, lalu kembali menatap Vian.
“Vian…
aku…” Nafasku benar-benar tertahan menunggu Airin menyelesaikan kalimatnya.
“Maaf ya,
aku nggak bisa jadi pacar kamu.” Kalimat itu terdengar biasa bagiku, meskipun
aku sedikit khawatir menunggu jawaban Airin. Tapi sepertinya hal itu
benar-benar pukulan telak bagi Vian. Dia tertunduk lesu, lalu tanpa kata dia bangkit
dan pergi. Nampak raut wajah menyesal di wajah Airin.
“Kenapa,
Rin. Kok kamu keliatan nyesel gitu?” tanyaku penasaran.
“Aku nggak
enak sama Vian, Ga.” jawab Airin.
“Udah lah.
Nggak mungkin juga kan kamu nerima Vian cuma gara-gara nggak enak sama dia.”
Aku berusaha menghiburnya.
“Iya juga
sih. Uhuk.” Aku sedikit lega mendengar Airin batuk, karena aku takut dia lupa
kalau sedang batuk.
“Kamu
sendiri gimana, Ga? Ada cewek yang mau kamu tembak nggak?” tanya Airin
tiba-tiba.
“Eh? Eng..
nggak ada. Belum.” jawabku gugup.
Entah
kenapa setelah kalimat itu, diam muncul di antara kami berdua yang tiba-tiba
buyar oleh suara dering ponsel. Airin terlihat mengeluarkan ponsel dari saku
jaketnya lalu mengetik beberapa kata. Beberapa detik kemudian, Airin bangkit
dari duduknya setelah sebelumnya membereskan tasnya. Tanpa aba-aba, aku
mengikuti Airin. Ada perasaan aneh yang kurasakan ketika melihat wajah Airin.
Aku penasaran dengan ekspresi itu, tapi tak kuhiraukan hingga kami berjalan
pulang dan kemudian berpisah di persimpangan.
“Da, Yoga.
Sampai ketemu lagi ya.” Diikuti lambaian tangan, Airin berbalik pergi sebelum
aku sempat membalasnya. Dan setelahnya aku sadar, itu adalah pertemuan
terakhirku dengan Airin.
***
Solo, atau
juga dikenal dengan Surakarta. Benar-benar di luar dugaan, pada akhirnya waktu
membawaku terdampar ke kota ini. Kota yang benar-benar asing karena selama
hidupku belum pernah menjamahnya. Tapi seiring berjalan waktu aku pun bisa
mengenalnya. Memang tak seperti yang kuharapkan dulu, tapi setidaknya
keinginanku untuk kuliah bisa terwujud.
Bekerja
ekstra untuk membiayai hidup dan kuliah. Hal yang harus kulakukan mengingat
keputusan ini kuambil dengan syarat tidak membebani kedua orang tuaku. Sulit,
tapi harus kujalani demi mewujudkan mimpiku. Ujian yang harus aku hadapi jika
ingin mendapatkan kehidupan yang lebih baik.
Hari yang
sibuk, waktu yang selalu padat. Tapi ada kalanya aku memiliki waktu senggang,
seperti saat ini, aku harus berangkat kerja dan kebetulan mendapatkan shift
siang ketika tidak ada jadwal kuliah.
“Yoga!”
Terdengar suara memanggilku. Ketika menoleh, kudapati sosok gadis bertubuh
mungil berlari dengan tas punggung warna hitam yang sedikit lebih besar dari
tubuhnya.
“Nia. Ada
apa?” tanyaku kepada Nia yang sedang mengatur nafas.
“Bantuin
aku. Ngerjain tugas Mikroprosesor.” pintanya.
“Aduh, aku
mau berangkat kerja, nih.” balasku. Jika memang sedang longgar, aku pasti akan
membantu Nia, mengingat dia selalu baik padaku. Dan terlebih lagi, aku sudah
menganggapnya seperti adikku sendiri, meski kami seumuran.
“Yah,
yaudah deh. Nanti kamu nggak ada kelas kan? Datang ke rumah ya?” Nia masih
belum menyerah. Melihat kobaran semangat di matanya, aku pun tak kuasa menolak.
“Iya, iya.
Nanti pulang kerja aku langsung ke rumahmu.”
“Yey! Yaudah,
yuk.” Dia menarik lengan kiriku.
“Ke mana?”
tanyaku heran. Tapi aku mengikutinya berjalan, karena aku memang menuju ke arah
yang sama dengannya. Untuk saat ini.
“Ke tempat
kamu kerja, Ga. Aku mau beli novel rilisan baru. Katanya sih hari ini udah
nyampe di Solo.” terangnya penuh semangat.
Aku tak
membalas kalimat terakhir Nia karena setibanya di halte BST, kami langsung
masuk ke dalam bus dan duduk di kursi yang berjauhan. Tapi tanpa dijelaskan
lagi, aku langsung tahu novel yang dimaksud oleh Nia. Novel yang saat ini
sedang viral menjadi perbincangan hangat di sosial media.
Sesampainya
di halte BST dekat toko buku tempatku bekerja, aku dan Nia turun. Beberapa
orang juga nampak turun namun langsung mengambil arah yang berbeda-beda dengan
kami. Ya, meski beberapa juga sepertinya menuju ke toko buku.
Baru saja
masuk, aku langsung disambut oleh Pak Bayu, manager toko, “Yoga, buruan ke
lantai atas ya, Mas Toni nggak masuk. Ika sendirian nyiapin tempat buat acara
nanti sore.”
“Ya, pak.”
Aku bergegas ke lantai atas setelah menaruh tasku di loker.
“Nia, aku
ke atas ya.”
“Jangan
lupa, nanti ke rumahku ya, Ga.” balas Nia. Aku mengangguk lalu segera menaiki
tangga menuju lantai atas.
Di lantai
atas, pengunjung toko tidak terlalu ramai, tapi memang terlihat beberapa buku yang tidak tertata di rak paling.
Mungkin baru saja dilihat-lihat oleh pengunjung tapi tidak dikembalikan lagi ke
tempat semula. Lalu di bagian komputer, aku melihat Ika yang nampak sibuk
membantu seorang pengunjung mencari buku. Setelah dia tidak sibuk, aku segera
mendekatinya.
“Hei, Ka.
Rame ya?” tanyaku berbasa basi.
“Iya,
lumayan dari tadi pagi. Tapi pasti nanti sore bakalan lebih rame.” Ika nampak
sibuk mengoperasikan komputer di hadapannya.
“Ya udah,
sini aku bantuin bersih-bersih sama nyiapin tempat.” ujarku. Kemudian,
kegiatanku adalah bersih-bersih dan menyiapkan tempat untuk acara perilisan
tersebut.
Setelah
persiapan selesai, aku pun kembali ke aktivitas biasa. Menata, membersihkan,
dan merapikan rak serta buku yang kotor dan kurang rapi. Entah kenapa ketika
memegang sebuah buku tentang sastra, tiba-tiba aku kembali teringat kepada
Airin.
Dari kabar
yang kudengar, setelah acara kelulusan, dia beserta keluarganya langsung pindah
ke Jogja, sesuai dengan apa yang Airin ceritakan dulu. Tapi setelahnya aku sama
sekali tidak bisa menghubunginya. Sudah berulang kali aku mencoba
menghubunginya lewat berbagai media, setelah sebelumnya melawan rasa gugup,
tapi sama sekali tak bisa. Beberapa kali aku mengecek akun sosial medianya,
tapi sama sekali tak ada update seperti
yang kuharapkan.
Menyesakkan,
karena hal yang kutakutkan sepertinya benar-benar terjadi dan parahnya baru
kusadari baru-baru ini. Aku merindukan Airin. Sosok yang tidak kumiliki, tapi
juga sama sekali tidak bisa kulupakan. Sebuah perasaan klise, di mana aku
merindukan seseorang yang jelas-jelas bukan milikku.
“Yoga,
kamu istirahat dulu sana. Aku udah selesai.” Tiba-tiba lamunanku buyar oleh
suara Ika. Aku pun bergegas turun dan keluar toko untuk mencari santapan
pengisi perut.
Sekembalinya
dari mengisi perut, aku bisa melihat begitu banyak orang yang ada di dalam
toko. Sepertinya novel itu benar-benar sukses menyedot perhatian. Aku segera
menuju ke lantai atas, takut jika Ika kewalahan karena sendirian.
Tiba di
lantai atas, aku melihat jejeran kursi yang tadi kutata sudah penuh terisi,
bahkan ada beberapa orang yang berdiri di belakangnya. Aku berjalan pelan ke
arah komputer yang ada di dekat tangga. Nampak Ika berada di situ. Tiba-tiba
dia menyodorkan sebuah buku kepadaku. Novel ‘Tanpa Kata’.
“Apaan
nih, Ka?” tanyaku kebingungan.
“Ada yang
ngasih itu buat kamu.” jawab Ika.
“Ha?” Aku
bertanya-tanya siapa yang memberikan novel itu padaku. Lalu aku teringat
seseorang yang kukenal. Nia.
Acara
berlangsung dengan lancar, tapi peserta yang datang harus menahan kecewa karena
tidak bisa bertemu dengan penulis novel itu sehingga tidak bisa meminta foto
dan tanda tangan secara langsung. Yang kudengar dari Ika, penulisnya tiba-tiba
ada kepentingan mendadak dan tidak bisa hadir di acara hari ini. Dan hal itu
nampaknya benar-benar mengecewakan para penggemarnya.
***
“Udah,
ngerti?” tanyaku kepada Nia yang dibalas dengan acungan jempol olehnya.
“Makasih
ya, Ga. Berkat kamu tugasku bisa selesai tepat waktu. Diminum dulu itu tehnya.”
kata Nia.
Sesuai janjiku
sebelumnya, sepulang kerja aku mampir ke rumah Nia dan membantunya
menyelesaikan tugas kuliahnya. Beruntung, Nia cukup cerdas sehingga tak perlu
waktu lama hingga semua soal selesai dikerjakan. Tiba-tiba mataku tertuju kepada
sebuah buku bersampul biru yang berada di atas meja. Aku pun berniat menanyakan
sesuatu pada Nia, sebelum ponselku berdering.
Sebuah
panggilan singkat, yang membuatku memutuskan untuk segera pulang ke kontrakan.
Pemilik kontrakan menagih uang sewa.
***
Aku duduk
sendirian di taman kota. Sebuah pesan dari nomor tak dikenal menyuruhku
menunggu di situ. Sebenarnya enggan, tapi entah kenapa aku mau saja menuruti
pesan yang bisa saja hanya tingkah iseng seseorang untuk mengerjaiku. Untung
saja hari ini aku libur sehingga acara duduk-dudukku di taman kali ini bisa
kuanggap sebagai media istirahat.
Matahari
sudah tenggelam beberapa jam lalu. Lampu-lampu di sekitar taman pun mulai
menyala, mencoba menggantikan benderang matahari yang tak tergantikan. Nampak
beberapa penjual makanan mulai datang dan memamerkan jualan mereka. Para
pekerja kantoran dan anak-anak kuliah yang baru selesai dengan aktivitas
masing-masing juga terlihat datang satu persatu guna melepas penat.
Waktu yang
berlalu membuatku bosan menunggu. Ingin rasanya pergi dan kembali ke kontrakan
lalu merebahkan diri di kasur, tapi entah kenapa ada keinginan yang lebih kuat
untuk tetap menunggu di sini. Akhirnya aku membuka novel “Tanpa Kata” yang ada
di dalam tasku. Membacanya sambil menunggu si pengirim pesan iseng itu datang.
Aku ingin mengungkapkannya kepadamu. Tapi aku
tak punya keberanian yang cukup sehingga kata yang menggantung di ujung lidahku
menguap setiap kali ada di depanmu. Sekalipun banyak orang mengagumkan hadir
dan mengungkapkan perasaan mereka padaku, aku masih saja berharap kepadamu. Aku
sempat berpikir, apa yang sebenarnya aku lihat darimu? Aku mencari alasan untuk
tidak lagi berharap dan pergi. Namun semakin kucari, semakin tak bisa pula aku
menemukannya. Dan semakin dalam pula perasaanku untuk bisa selalu berada di
dekatmu. Aku benar-benar berharap agar aku cukup berani untuk mengungkapkannya.
Tak apa sekalipun terlambat. Asal aku dapat mengungkapkannya. Aku tak ingin
menyesal.
Paragraph
pertamanya sudah cukup memukulku. Membuatku enggan meneruskannya. Dan…
membuatku harus mengingat lagi sosok Airin yang entah bagaimana rupanya
sekarang. Apakah rambut ikal sebahunya masih selalu digerai tak terikat? Apakah
dia masih suka memakai gelang hitam di tangan kirinya? Apakah dia masih suka ngambek
ketika belanja ke minimarket dan es krim favoritnya ternyata habis? Apakah… dia
masih mengingatku? Apakah dia…
“Hai.”
Terdengar sapaan yang membuatku terlepas dari angan-angan kosong tentang Airin.
Aku
menoleh.
“Apa
kabar, Yoga?”
“….”
“Hei, kok
diem aja. Kenapa?”
“….”
“Yoga?”
Mataku
belum mau berkedip. Mulutku terkunci. Kata-kata di ujung lidahku tak mau
melompat keluar. Hanya kedua tanganku yang tiba-tiba bergerak lalu memegang
pundak sosok seperti bidadari yang kini ada di depanku. Err… secara teknis, ada
di sampingku, sih.
“Airin?”
Suaraku agak serak ketika menyebutkan nama itu. Nama usang yang sudah tak
pernah kusebut sejak 3 tahun yang lalu. Membuatku sulit untuk mengucapkannya.
“Iya.”
Airin membalasnya. Disertai senyuman yang sudah tak kulihat sejak kami berpisah
di persimpangan setelah hari kelulusan sekolah saat itu. Tanganku lepas dari
pundaknya. Aku menyandarkan tubuhku yang tiba-tiba terasa berat ke punggung
kursi taman. Ada senyum kecil yang terulas di wajahku. Mewakili perasaan lega
dan bahagia yang tak terkira di dalam hatiku.
“Kamu udah
baca novel itu?” tanya Airin tiba-tiba.
“Oh, eng…
baru paragraf pertama. Belum selesai.” Aku bersyukur kegugupanku sudah hilang.
“Aku boleh
minta tolong nggak, Ga?” Airin lagi-lagi bertanya. Tapi pertanyaannya tiba-tiba
terasa berbeda.
“Ya? Apa?”
“Tolong
baca novel itu sampai selesai, ya.” Kalimat itu terucap dengan sedikit
penekanan. Kalimat terakhir yang kudengar dari Airin, setidaknya hari ini.
***
Aku hanya ingin kau mengetahui sebuah hal yang
sangat sederhana, tapi aku tak tahu bagaimana cara menyampaikannya. Tak mungkin
aku berharap agar kau memiliki kemampuan membaca pikiran lalu tiba-tiba
mengerti isi pikiranku dan paham apa maksudku. Tak mungkin juga aku memberimu
kode-kode bodoh lalu berharap kau mengerti dan mampu memecahkannya sehingga
mengerti isi hatiku. Aku tak senaif itu!
Aku hanya ingin menyampaikannya lewat kata.
Agar kau dapat mendengarnya. Agar kau bisa mengerti. Tapi aku tak cukup berani.
Wajahmu selalu saja mengerikan. Tingkah bodohmu selalu saja menakutkan.
Membuatku takut kau tak akan mau menerimanya lalu pergi dariku. Lalu aku harus
bagaimana? Aku tersiksa!
Aku
menutup novel itu. Hampir selesai, tapi paragraf-paragraf yang kubaca seperti
tamparan keras untukku. Kenapa Airin memintaku menyelesaikan membaca novel ini?
Apa jangan-jangan dia yang menulisnya? Tapi ketika aku mengecek nama
pengarangnya, yang tertulis di situ bukanlah nama Airin, tapi nama orang lain.
Nama laki-laki. Atau jangan-jangan, penulis novel ini adalah seseorang yang
menyukai Airin lalu menulis novel ini sebagai media mengungkapkan perasaannya
kepada Airin? Ah, imajinasiku kembali liar dan memikirkan sesuatu yang tak
perlu.
Jam yang
menggantung di dinding menunjukkan pukul 7 pagi. Tak terasa aku begadang hanya
untuk membaca hingga selesai novel ini. Jika bukan karena permintaan Airin,
mungkin novel ini sudah kubuang dan kubakar. Segera aku bersiap-siap untuk
bekerja dan berusaha melupakan hal-hal aneh yang masuk ke dalam pikiranku.
“Ga, ada
yang cari kamu.” kata-kata pak Bayu menyambutku setibanya di tempat kerja.
“Siapa,
Pak?” tanyaku sambil melepas jaket dan tas. Pak Bayu membalasnya dengan
menunjuk ke arah seseorang yang sedang melihat-lihat buku.
Airin.
Aku
berjalan ke tempat Airin berdiri. Mengabaikan pak Bayu dan hal-hal lain di
sekitarku. Di bawah lampu terang, aku dapat dengan jelas memperhatikan sosok
Airin dibandingkan ketika berada di bawah remang-remang lampu taman. Rambut
ikalnya masih sama tak terikat, meski sedikit lebih panjang. Gelang hitam di
gelang kirinya pun masih ada. Dan kulihat, ada kacamata ber-frame hitam yang bersandar di hidung
mancungnya. Meski membuatnya terlihat berbeda, tapi di mataku, dia tetap sama.
“Rin.”
“Hei,
Yoga.” Dia membalas sapaanku sambil tersenyum.
Tak ada
yang bisa kuucapkan lagi. Aku benar-benar berubah menjadi sangat bodoh ketika
berada di hadapannya. Memalukan rasanya. Tapi aku teringat pada novel itu, yang
baru saja memotong jatah tidurku untuk menyelesaikannya. Kalimat demi kalimat
yang berhasil menyindirku dan sisi pengecutku. Aku tak ingin menyesal.
Satu-satunya hal yang kupikirkan setelah membaca novel itu, dan satu-satunya
hal yang terlintas di dalam pikiranku saat ini.
“Rin,
aku…”
“Airin!
Udah jam berapa nih? Waktunya berangkat!” teriak seseorang dari depan pintu
toko yang membuatku menghentikan kalimatku. Membuatnya kembali bersembunyi di
balik lidahku.
Tanpa
mengucapkan apapun kepadaku, Airin berjalan melewatiku. Langkahnya masih sama.
Aroma parfum lavendernya pun tak berubah. Andai saja…
“Yoga.”
Airin memanggilku. Aku menoleh.
“Maaf, aku
belum cukup punya keberanian.”
He? Apa
maksudnya?
“Aku…”
Airin…
jangan-jangan dia…
Tanganku
meraih tangannya, lalu menarik tubuhnya ke dalam dekapanku. Benar-benar
tindakan nekat yang tak pernah kupikirkan sebelumnya. Apalagi dilakukan di
dalam toko yang notabene tempat banyak orang berkumpul dan… tempatku bekerja.
Maafkan karyawanmu yang nekat ini, pak Bayu.
“Aku
menyukaimu. Aku sayang kamu. Aku cinta kamu. Rin. Aku…” kalimat-kalimat yang
lebih seperti igauan orang tidur itu terucap begitu saja dari mulutku. Suasana
mendadak hening.
Aku bisa
merasakan tangan Airin mendekap punggungku.
“Yoga.
Maaf udah maksa kamu. Tapi… makasih udah menghilangkan kekhawatiranku. Dan juga
ketakutanku. Aku juga sayang sama kamu, Ga. Maaf aku terlalu angkuh dan
pengecut buat nahan perasaanku selama ini.” balas Airin.
“Cieeeeee~~~~”
seisi toko seolah sedang melihat sebuah acara. Mereka memberikan reaksi yang
kurang lebih sama. Membuatku segera melepas pelukanku dari Airin. Membuat muka
kami berdua memerah.
***
“Jadi,
Airin. Kamu setuju, kan untuk mengubah ending ceritanya?” tanya seseorang yang sedang
menyetir mobil. Dia yang tadi berteriak di depan toko, editor Airin. Airin
mengangguk setuju. Ah, aku lupa mengatakannya. Aku ‘diculik’ Airin, dan dengan
izin dari pak Bayu, Airin ditemani editornya mengajakku pergi.
“Rin,
cerita apa?” tanyaku tak paham. Airin tersenyum. Dia menarik tanganku lalu
menuliskan sesuatu di telapak tanganku. Membuat mataku terbelalak.
“Alamat
blog ini…” mataku beralih ke Airin.
“Blog
kamu, kan Ga?” Aku mengangguk.
“Aku
selalu nunggu cerita-cerita baru di blog kamu, Ga. Dan ada satu cerita yang
bikin hatiku tergerak. Cerita yang memaksa aku untuk jadi berani.” Airin
mengambil sebuah buku lalu menunjukkannya padaku. Aku meraih buku itu lalu
membaca di bagian Airin menunjukkannya. Bagian yang membuatku tertawa terbahak.
“Aku yang
nulis novel ini, Ga. Tapi semua yang tertulis di sini adalah balasan untuk
semua yang tertulis di blog kamu. Karena aku nggak cukup berani…” Airin menghela
nafas lalu melanjutkan kalimatnya, “tapi seenggaknya sekarang aku cukup berani
buat ngomong berkat sikap nekat kamu.”
Wajahku
memerah. Aku tak bisa berkata apa-apa lagi. Sikap spontanku benar-benar
memalukan. Apalagi kulakukan di dalam toko tempatku bekerja. Aku harus minta
maaf kepada pak Bayu nanti.
“Tapi,
Rin. Kita sebenernya mau ke mana?” tanyaku penasaran.
“Mengubah
ending cerita. Eng, bukan. Tapi melanjutkan cerita.” balas Airin sambil
tersenyum.
Ya, tanpa
bertanya apa-apa lagi, aku sudah paham cerita apa yang dimaksud Airin. Sebuah
cerita tentang dua orang pengecut yang tak punya keberanian menyampaikan
perasaannya. Masing-masing dari mereka menumpahkan rasa ke dalam rangkaian
aksara. Membuat mereka, secara tak langsung, terus terhubung. Dan berkat
keteguhan hati masing-masing, setelah terpisah, mereka kembali diizinkan untuk
bertemu guna meraih lagi kesempatan kedua untuk mengubah cerita mereka. Hingga
akhirnya mereka percaya dan memperoleh jalan untuk dapat melanjutkan cerita.
Serta menuliskan berbagai cerita baru yang akan terus berlanjut dan terus
tertulis dalam ingatan dan hati mereka hingga akhir nanti.
=====
Done! Ini cerpen yang dulu sebenernya pengen di-submit buat ikutan kumcer JCDD2. Tapi karena kelar nggak tepat waktu, akhirnya nggak jadi di-submit. Mohon komentarnya.