CERPEN | Hujan Sore Itu


Title : Hujan Sore Itu
Author : Nur Rochman | @NVRstepback
Genre : Romantis, Life

Pada posting kali ini, ane mo share cerita bikinan ane sendiri. Sebelumnya maaf kalo bahasa di cerita ini rada semrawut. Maklum, bukan penulis profesional. he he. Oke, daripada basa - basi GeJe kelamaan, mending langsung aja deh Gan. Cekibrot !!! :D



HUJAN SORE ITU

Siang ini hujan turun cukup deras. Aku dan Alya, kekasihku terperangkap di kampus bersama beberapa mahasiswa yang lain. Alya duduk di sampingku. Sudah beberapa hari ini kami tidak saling bicara. Memang kami sedang ada masalah. Alya beberapa kali marah padaku karena aku sibuk dengan tugas – tugasku yang memang menumpuk. Sebenarnya aku sudah berusaha minta maaf. Tapi, Alya masih saja marah. Karena bosan, akhirnya aku biarkan dia mendiamkanku.
Hujan perlahan mulai mereda. Aku mengajak Alya pulang. Dengan tetap membisu, dia menurutiku. Ku antar dia sampai di rumahnya. Karena hanya didiamkan, aku langsung pergi meninggalkan rumah Alya. Sesampainya di rumah, dikejutkan oleh keberadaan seorang perempuan yang sangat kami kenal. Wina.
“Wina ?” aku masih belum percaya kalau yang aku lihat di depan mataku adalah Wina.
“Iya, Vin. Ini aku, Wina. Masa kamu udah lupa sama aku.”
“Lama banget kita nggak ketemu. Gimana kabarmu ?”
“Baik.”
Kami ngobrol di teras rumah karena Wina menolak aku ajak masuk ke dalam. Kami larut dalam obrolan yang sangat menyenangkan. Tak jarang, tawa meledak dari mulut kami berdua. Entah kenapa, saat ngobrol dengan Wina, aku bisa sejenak melupakan masalahku dengan Alya.
“Win, sekarang kamu kuliah di mana sih ? Aku jarang banget dapet kabar tentang kamu sejak kamu pindah dari Solo.”
“Aku sekarang kuliah di Semarang. Maaf banget deh jarang kasih kabar. Maklum, lagi sibuk banget sama tugas kuliah yang seabrek.”
“O iya. Ngomong – ngomong ada acara apa ni kok tumben ke Solo. Emang nggak kuliah ?”
“Kampusku lagi libur selama beberapa hari. Jadi aku sempetin maen ke Solo. Pengen ketemu kamu.”
“Ha ? Serius ?”
“Iya. Eh,Vin besok kamu sibuk nggak ?”
“Enggak kok. Ada apa ?”
“Temenin aku jalan – jalan ya.”
“Iya deh. Kebetulan aku besok nggak ada kuliah.”
“Ya udah deh. Kalo gitu aku balik dulu. Daa..” Wina beranjak dari tempat duduknya dan melangkah meninggalkan rumahku. Tapi belum lama dia pergi, aku memanggilnya lagi.
“Win ! Di sini kamu tinggal di mana ? Besok aku jemput !”
“Aku tinggal di rumah tanteku ! Besok aku jam 10 ke sini lagi, Vin ! Sampai ketemu besok !” balas Wina sambil berlalu dari pandangan mataku. Tak sabar rasanya besok jalan – jalan dengan Wina. Tapi Bagaimana dengan Alya ? Ah, lupakan Alya. Dia kelihatannya sudah tak punya keinginan untuk mempertahankan hubungan kami.
***
Esok yang ku tunggu tiba. “Masih pukul 8,” pikirku. Aku pun menyalakan TV yang ada di ruang tengah rumahku. Saat asyik nonton TV, tiba – tiba terdengar ada suara ketukan pintu. “Wina ? kan masih jam setengah 9. Pagi sekali,” ku pikir yang datang adalah Wina. Saat ku buka pintu rumah, ternyata bukan Wina, melainkan Alya. Segera ku suruh dia masuk. Tapi, dia menolak. Dia bilang dia hanya sebentar.
“Eh, masuk dulu Al,”
“Nggak usah, aku nggak lama kok.”
“Iya deh, ada apa ? Tumben maen ke sini. Kamu udah nggak marah ya ?”
“Udah enggak kok. Vino, aku ke sini pengen ngejelasin kelanjutan hubungan kita.”
“Maksud kamu ?” aku tidak mengerti dengan apa yang sedang dibicarakan Alya.
“Kayaknya hubungan kita udah nggak bisa dipertahanin. Kita putus.”
Aku sejenak terdiam. Tapi, anehnya aku tak merasa marah mendengar ucapan Alya tadi. Apa karena ada Wina ? Aku sendiri tak tahu.
“Al, kalo menurut kamu itu adalah keputusan terbaik buat kita, aku terima. Maaf selama ini aku nggak bisa bikin kamu bahagia.” Kalimat itu spontan meluncur dari bibirku. Alya terlihat agak terpukul mendengar ucapanku.
“Ya udah deh. Aku pergi dulu. Daa Vino,” Alya pun pergi.
Aku pun masuk ke rumah melanjutkan nonton TV. Benar – benar tak ada rasa sedih, marah, ataupun menyesal dalam hatiku. Bahkan, aku merasa bebas saat Alya memutuskan hubungan kami. Perasaan yang bagiku sendiri aneh.
Jam di dinding menunjukkan pukul 09.30 menit saat kembali terdengar suara ketukan pintu. Aku bergegas berlari ke arah pintu dan saat ku buka, ternyata ada sosok Wina yang sudah berdiri di situ. Dengan memakai kaos warna biru langit, celana jeans hitam, dan sepatu keds warna putih, serta sebuah tas yang menggantung di bahunya, dia terlihat sangat manis. Benar – benar berubah daripada Wina yang dulu aku kenal.
“Hey, Vino. Ayo berangkat.”
“Lho. Kan masih jam setengah 9. Kok kamu udah ke sini ?” aku bingung dengan kedatangan Wina. Padahal janjinya, dia akan datang pukul 10.
“Males di rumah tante nggak ada kerjaan. Mending ke sini aja. Berangkat sekarang aja yuk.” Aku masih kagum dengan perubahan Wina yang sangat drastis.
“Vin ! Buruan sana siap – siap !”
“Eh, iya deh. Bentar ya.” Aku segera menuju ke kamar untuk ganti baju. Tak berapa lama, aku sudah memakai pakaian yang sudah ku persiapkan semalam.
“Yuk berangkat.” Ajakku ke Wina.
Saat aku melangkah untuk mengambil motor yang ada di samping rumah, Wina menarik tanganku.
“Kita jalan kaki aja. Aku pengen ngrasain kota Solo dengan jalan kaki.”
“Eng.. Ya udah deh. Yuk.”
Kami pun mulai melangkahkan kaki. Berjalan – jalan menikmati keramaian kota Solo. Tak terasa sudah seharian aku menemani Wina berkeliling kota Solo. Jalan kaki !
Karena lelah, aku mengajak Wina untuk duduk sejenak. Saat ku lihat wajah Wina, tak ada sedikit pun rasa lelah tampak di sana. Hanya ada raut wajah ceria dan sebuah senyuman yang sejak dulu sangat aku sukai.
“Win, kami cantik kalo senyum kayak gitu.” Godaku pada Wina.
“Idiihh… Vino.. baru tahu ya ? Kasian.. hahaha..” jawab Wina sambil tertawa.
Kami melanjutkan kembali jalan – jalan kami. Sampai tanpa terasa bumi sudah diselimuti gelap malam. Kami masih asyik bercanda di sepanjang jalan. Sampai tiba – tiba Wina menghentikan langkahnya. Raut wajah yang sebelumnya ceria tiba – tiba berubah menjadi raut wajah penuh pengharapan.
“Vin, waktu perayaan kelulusan SMA dulu, aku pernah berjanji sama kamu sebelum aku pergi. Di sini, disaksi’in sama pohon angsana ini, aku berjanji bakal balik lagi ke sini. Buat kamu. Dan sekarang, aku pengen kamu tahu kalau aku balik ke Solo, buat nepatin janji itu dan pengen ngungkapin isi hatiku yang udah aku pendam dari dulu.”
Wina menghela nafas panjang. Aku tak bisa mengucapkan apa pun mendengar kalimat demi kalimat yang meluncur dari mulut Wina. Ingatanku pun melayang ke masa kelulusan SMA. Dan aku pun teringat pada apa yang Wina baru saja katakan. 2 tahun lalu, Wina pernah mengajakku ke sini. Tepat di mana kami sekarang berdiri sekarang. Aku pun teringat pada semua yang dulu Wina katakan. Kalimat demi kalimat. Kata demi kata. Dan saat ini, keadaan itu kembali terulang.
“Vin, aku pengen kamu jadi orang terpenting dalam hidupku,” tiba – tiba Wina melanjutkan bicaranya.
“Aku pengen kamu jadi satu – satunya orang yang akan selalu ada buat aku.”
“Aku sayang sama kamu, Vino.” Setelah selesai mengucapkan kalimat itu, Wina langsung memelukku.
Aku tak bisa berkata apa – apa. Aku hanya memeluknya erat, pelukan yang datang dari hatiku yang paling dalam.
***
Esok harinya, saat di kampus aku tak terlihat seperti orang yang baru putus cinta setelah berpisah dengan Alya. Itu karena Wina yang semalam telah menyatakan semua isi hatinya padaku. Sungguh pengalaman yang tak akan pernah kulupakan. Dan besok, dia berjanji kalau dia akan datang menemuiku lagi. Karena tak sabar, aku pun segera pulang.
Sesampainya di rumah, aku langsung menuju ke kamar dan kulihat ada sebuah paket di atas kasurku. Ku ambil sepucuk kertas yang langsung ku baca dan ternyata pengirim paket ini adalah Wina. Di dalam kertas itu dia menuliskan…

Untuk Vino,
Vin, makasih karena kemaren kamu udah bela – belain temenin aku jalan seharian. Aku nggak bisa kasih apa – apa. Semoga kado ini bisa terus ngingetin kamu sama aku.

Yang menyayangimu,
Wina

Hatiku pun langsung melayang tinggi. Sangat tinggi sampai aku tak tahu sampai ke mana. Setelah aku dapat menguasai perasaanku, segera ku buka kado dari Wina. Ternyata sebuah jam tangan. Senang rasanya hatiku. Ku rebahkan tubuhku di kasur dan ku pejamkan mataku, berharap esok segera datang dan bisa kembali bertemu dengan Wina.
***
Keesokan harinya Wina yang ku tunggu, tak segera muncul. Sms yang ku kirim tak pernah dibalasnya. Panggilanku ke ponselnya pun tak pernah diangkatnya. Aku mulai khawatir dengan Wina. Karena sudah 2 jam lebih menunggu, ku putuskan untuk datang ke kediaman tante Wina, karena Wina pernah bilang kalau dia tinggal di rumah tantenya selama di Solo.
Saat aku tiba di depan rumah tante Ina, tantenya Wina, ku lihat pemandangan yang membuatku sangat gugup. Bendera kuning yang terpasang di gerbang masuk, kursi – kursi yang tertata rapi dan beberapa orang yang memakai pakaian hitam. Sayup – sayup terdengar alunan ayat – ayat suci Al – Qur’an dari dalam rumah tante Ina.
Saat aku mendekat ke pintu, ku lihat sesosok tubuh yang sudah terbaring di tengah – tengah orang – orang yang sedang membacakan Yaasin. Saat aku melangkah semakin dekat, aku melihat wajah sosok tubuh itu adalah wajah yang kemarin bersamaku seharian. Wina.
“Wina….” Suaraku lirih ketika tahu sosok yang sudah tak bernyawa itu adalah Wina. Tubuhku tak dapat bergerak. Tanpa terasa, ada cairan bening yang mengalir dari mataku. Aku menangis.
Tiba – tiba, seseorang bangkit dari duduknya, ternyata tante Ina. Beliau pun mengajakku duduk di samping jenazah Wina.
“Nak Vino, kuatin diri kamu ya.” Hibur tante Ina.
“Tapi tante, kenapa Wina pergi secepat ini ?”
“Nak Vino, sebenarnya Wina mengidap kanker darah dan dokter sudah memvonis kalau umur Wina sudah tidak lama lagi. Karena sudah mengetahui hal itu dari dokter, Wina memutuskan untuk pulang ke Solo. Dia bilang, dia pengen dimakamin di Solo, kota kelahirannya. Dia juga sempat cerita ke tante tentang kamu. Dia bilang kalau dia pengen menghabiskan saat – saat terakhir hidupnya bersama kamu.”
Setelah mendengar penjelasan tante Ina, tangisku semakin tak bisa ku tahan. Air mataku semakin deras mengalir mengiringi kepergian Wina. Wina yang baru saja mengisi hatiku.
***
Prosesi pemakaman Wina selesai pada sore hari. Beberapa Takzi’in sudah pergi. Tinggal aku sendiri yang masih berada di depan pusara Wina. Di dalam hatiku, aku masih belum percaya kalau Wina telah meninggalkan aku. Padahal, baru saja aku ingin memulai awal kisah baru dengan Wina. Kisah yang ingin kujadikan kisah abadi, yang ternyata harus pupus karena kehendak Yang Maha Kuasa.
Langit perlahan mulai tertutup mega mendung, seolah – olah ingin menemaniku menghabiskan saat – saat terakhirku bersama Wina. Air mataku tiba – tiba mengalir tanpa bisa ku bendung. Bersamaan dengan itu, hujan datang. Air mataku pun bercampur dengan air hujan yang kian deras mendera tubuhku.
Wina telah pergi untuk selamanya. Di sini, aku dilanda kesendirian. Hanya hujan yang setia menemani kesedihanku.
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Abis baca, jangan segan2 buat kasih komentarnya ya guys.. Supaya post selanjutnya bisa lebih bagus. Terimakasih... ^^,