Ketika sebuah koin dengan dua sisi yang berbeda tiba-tiba tersapu angin kencang dan terjatuh di tempat yang jauh. Dan di saat itu juga, sisi-sisi koin itu telah bertukar rupa...
Dear my other side,
Z...
Bulan Oktober sudah
hampir berusia 10 hari. Tanggal 27 Oktober, atau lebih tepatnya hari di mana 22
tahun lalu aku dilahirkan perlahan mendekat. Entah hal apa saja yang sudah aku
lakukan selama itu. Tapi satu yang aku yakini: selalu lebih banyak hal tidak
berguna yang menyedihkan daripada hal baik yang membanggakan. Ah, diriku yang
memalukan...
Oh iya, 2 hari lagi
aku akan mendapatkan kesempatan sidang skripsi. Kupikir sangat terlambat
mengingat teman-temanku banyak yang lebih dahulu melakukannya. Dan tentu,
mereka mendapatkan hasil yang bagus. Entah aku bisa seperti mereka atau tidak.
Otakku seperti hampir lumpuh dengan begitu banyak hal tidak penting yang terus
menerus datang. Ingatanku perlahan mulai kehilangan keseimbangan.
Dan kau pasti sudah
tahu. Sehari sebelum 27, atau 26 Oktober, akan diadakan sesuatu di kampus. Ya,
wisuda. Sesuatu yang sudah dinantikan oleh hampir seluruh mahasiswa terutama
mahasiswa yang sudah benar-benar selesai “berjuang” selama masa kuliahnya. Dan
salah satunya adalah aku. Aku yang dahulu baru mengenal seperti apa dunia
perkuliahan.
Tapi perasaanku
perlahan berubah. Dan... sejak beberapa bulan lalu aku kehilangan keinginan
untuk merasakan bagaimana memakai baju bernama toga, topi aneh dengan tali menggelantung,
dan tentu saja diwisuda. Sejak seseorang yang jarang aku perhatikan tetapi
selalu memperhatikanku pergi untuk selamanya.
Hari Jumat, 16
Agustus 2013. Hari ke-2 aku di Solo setelah selama sebulan lebih bermukim di
rumah sakit. Tak pernah ada perasaan gelisah sebelumnya. Hari Kamis pun, aku
berangkat dari rumah dengan langkah ringan. Dan siapa yang menyangka? Hari itu
aku harus berada begitu jauh dari rumah. Hal yang aku sesalkan. Sangat
menyesal.
Pukul 7 pagi,
handphone-ku berdering. Tanpa ada firasat buruk, aku mengangkat telepon itu.
Aku harus pulang. Begitu inti dari panggilan singkat itu. Dan sepersekian detik
kemudian, aku tahu apa yang sebenarnya terjadi. Semua berkat suara gemetar
menahan tangis di telepon tadi. Menangis? Tidak. Aku berusaha untuk tidak
menangis dan aku cukup berhasil melakukannya dari Solo hingga Boyolali.
Tapi entah kenapa
pertahananku hancur. Memang takdir air mata adalah untuk jatuh dan mengalir.
Semakin dekat aku dengan rumah, semakin dadaku semakin sesak. Dan jantungku pun
seolah ditindih oleh beban berat hingga hampir hancur ketika melihat apa yang
ada di depan rumahku. Begitu banyak orang. Segera setelah turun dari mobil, air
mataku pun pecah. Tanpa menghiraukan orang-orang di sekelilingku, aku berlari
menuju ke rumah. Dan... apa yang kudapati? Tubuh kaku yang sudah dibalut kain
putih terbujur kaku. Ayah.
Ah... dan setelah
itu, sepertinya dunia berjalan ke arah yang berlawanan dengan sebelumnya. Mimpi
dan tujuanku. Janji dan keinginanku. Semua itu perlahan memudar dari dalam
kepalaku. Berganti dengan kekosongan dan kehampaan yang menyebalkan. Emosiku
menguap. Membuatku tak tahu harus bagaimana. Apa yang harus aku rasakan?
Sedihkah? Bahagiakah? Marah? Apa yang harus aku lakukan? Tertawa? Menangis?
Tersenyum? Entah.
Sudah tak ada lagi
“melakukan sesuatu dengan sepenuh hati” atau “berjuang dengan penuh semangat”.
Yang ada kini hanya kepalsuan. Ya, KEPALSUAN. Senyum palsu, tawa palsu, air
mata palsu, ketulusan palsu, dan semangat yang palsu. Aku menjadi seseorang
yang lain. Seseorang yang sangat menyedihkan. Lebih menyedihkan dari sampah
yang tak bisa didaur ulang dan akhirnya membusuk. Jauh lebih menyedihkan dari
keputusasaan. Haha, sial.
Kembali ke 26.
Wisuda. Sebuah perayaan keberhasilan menuntaskan kewajiban. Seseorang berkata
padaku bahwa wisuda adalah sebuah kebanggaan. Cih, aku tahu itu. Bagaimana
seorang anak yang telah menyelesaikan kuliah dan dinyatakan lulus akan begitu
bangga ketika diwisuda. Terlebih ketika dia disaksikan oleh orang-orang yang
dia sayangi. Orang-orang yang selalu mendukungnya. Ayah, Ibu, kakak, dan
adik...
Aku sudah tak
berminat dengan wisuda. Yang paling penting bagiku adalah segera lulus,
mendapatkan ijazah, dan pergi. Tapi tentu aku tidak ingin menjadi seorang yang
kurang ajar pada orang-orang di sekelilingku yang tak henti-hentinya
mendukungku. Pimpinan, dosen, teman, dan sahabat. Meskipun harus berpura-pura,
akhirnya aku bisa menapakkan satu kakiku di tangga keajaiban. Dan... itu
artinya keajaiban itu adalah keajaiban yang tak nyata, atau lebih tepatnya
keajaiban yang palsu.
Wisuda, perayaan,
dan kebanggaan. Apa definisi dari kebanggaan? Apa kau tahu, Z? Tolong beri tahu
aku! Lalu, apakah kebanggaan dan egoisme punya hubungan?
Ibuku pernah
bertanya jauh hari, ketika kesempatanku wisuda tak ada. Apakah aku akan merasa
menyesal bila tak ikut wisuda? Begitu kira-kira. Dan hatiku tertusuk. Sakit.
Kenapa seperti itu? Kenapa? Padahal sebenarnya, aku sama sekali tak
menginginkan wisuda itu. AKU INGIN WISUDA ITU ADALAH UNTUK AYAH DAN IBU! Agar
beliau berdua bisa melihat, bahwa apa yang sudah mereka perjuangkan dengan
susah payah tidak sia-sia dan membuahkan hasil. Seorang anak kurus dengan
rambut acak-acakan yang memperolah gelar sarjana. Yang dengan senyum tulus akan
melambaikan tangannya ke arah mereka. Dan mereka akan membalas lambaian itu
dengan senyum yang indah. Lebih indah dari hal paling indah yang pernah ada di
dunia ini.
Tapi apa jadinya
jika semua itu akhirnya tak bisa terjadi? Ayah... aku gagal memberikan sesuatu
yang bermakna baginya. Ibu... aku gagal menjadi seseorang yang tangguh seperti
yang diharapkannya. Adik... aku gagal menjadi seorang kakak yang seharusnya
memberikan contoh baik untuknya.
Jadi, Z...
tunjukkan padaku bagaimana caranya menjadi kuat. Langkah yang harus aku ambil
untuk menjadi tangguh. Z, tolong!
Dan kau tahu? Tak selamanya alter ego memiliki sifat baik sama sepertimu. Ada kalanya dia adalah kumpulan dari seluruh kegelapan hati yang kau tahan dan berkumpul menjadi satu. Menunggu waktu untuk menguasaimu...